Utrecht - Delft

1.2K 102 39
                                    

Oktober 2020

"Sayang, bentar ya. Nanti aku bikinin mie kuah aja ya, maaf aku nggak sempet masak. Jati seharian ini maunya nemplok terus, growth spurt," kata Hawa begitu melihat suaminya memasuki dapur. Adam menjawab dengan kecupan sekilas di kening, lalu ikut duduk bersama Hawa di ruang makan kecil yang menyesaki dapur minimalis mereka.

"Mom, maaf ya aku nggak banyak bantu kamu. Kamu baru sempet makan juga ya ?" Adam menatap sedih ke istrinya yang tampak pucat, lalu beralih ke sepiring nasi yang sedang Hawa nikmati. Nasi yang tampak kering juga keras dengan telur mata sapi dan sedikit kecap di atasnya. "Aku yang masak aja ya mom, kamu tunggu bentar, terus kita makan bareng," jawab Adam yang kemudian sibuk menyiapkan air dalam panci, mengambil stok mie di rak kabinet, lantas menyalakan kompor.

Hawa menggeleng serta buru - buru menandaskan isi piringnya. "Aku harus cepet - cepet mandi, keburu Jati bangun ntar."

"Sayang, take your time. Aku udah di rumah kan sekarang, kalau Jati bangun aku yang handle,"

"You need a rest too Dam. Kamu baru aja sampek dari Bordeaux,"

Hawa beringsut memeluk punggung Adam yang saat ini berdiri di depan kompor, menunggu air mendidih untuk masak dua bungkus indomie. "I'm okay, I'm really happy Dam."

Adam mengelus pelan tangan Hawa yang melingkarinya. "Kalau di Indonesia, kamu harusnya lebih nyaman ya Wa. Banyak yang bantu nanti,"

Hawa tertawa pelan dan melepaskan rangkulannya. "Nggak juga menurutku. Keluarga kita lagi struggling sendiri - sendiri Dam. Mami sibuk ngurus kantor desainnya, Papi ribet ngurus galeri seni. Mama sama Papa pusing sama petani - petani apelnya, Hugo Achi butuh banyak waktu urus pernikahan mereka. Semua punya hidup masing - masing," balas Hawa sambil mencuci piring bekas makannya.

"Kita bisa minta tolong ART Wa. Nggak kayak disini."

"Dam, kamu ngerasa kuatir, sungkan sama aku ?" Hawa menghela nafas sejenak. "Aku coba ngertiin itu, tapi aku beneran nggak tahu harus gimana lagi buat ngadepin perasaan kamu. I really support you and your career. Jadi tolong, just say thank you. Karena tiap kali kamu minta maaf aku jadi ngerasa serba salah. Sometimes, aku bahkan takut untuk ngeluh ke kamu."

"Kenapa Wa kamu takut ? kamu nggak percaya sama aku ? kamu nggak sayang lagi sama aku ? kamu nggak mau nerima perhatianku lagi ?"

"Dam, stop," Hawa sedikit meninggikan suaranya. "Kamu nggak boleh ngomong gitu, nyatanya aku masih bertahan di sini, dan Jati ada di tengah - tengah kita sekarang. Semua pertanyaan kamu itu nggak masuk akal. Karena kamu sendiri udah tahu pasti jawabannya."

Adam mematikan kompor, melangkah mendekat ke istrinya. "Makasih Wa, makasih banyak. Aku yang egois."

Hawa hanya memandang tajam suaminya sebelum keluar dari dapur. Ia sempatkan memeriksa anaknya yang ternyata benar - benar tertidur pulas. Beberapa menit kemudian, perempuan itu berdiri di bawah shower, membiarkan kepalanya diguyur air dingin. Hawa memikirkan semua perasaannya, tentang ia yang tidak boleh lagi terlalu sering kangen dengan Indonesia dan semua keluarga mereka di sana, tentang ia yang ternyata sudah terlalu terbiasa mengurus semuanya sendirian tanpa bantuan Adam, tentang ia yang harus lebih bersabar untuk menerima semua kekesalan suaminya soal pekerjaan, soal rasa bersalahnya, soal rendah dirinya. Hawa terus memendam semuanya sendirian.

Setelah seharian ini Hawa terus menggendong Jati sambil bebersih rumah, menyetrika, melipat baju, sampai bahkan melaksanakan sholat. Rasanya begitu tenang dan lega melihat anaknya sudah tidak lagi menangis dan tidur begitu nyenyak. "Jati anak sholeh, anak baik. Mommy and Ayah really love you." ucapnya diakhiri dengan kecupan pada kedua pipi Jati.

***

Begitu memasuki kamarnya dengan Adam, Hawa melihat laki - laki itu setengah berbaring di kasur dengan macbook di tangan. Koper Adam yang dibawa berpergian dinas ke Bordeaux - Perancis tiga hari lalu sudah terbuka dan seluruh pakaian di dalamnya kini memenuhi keranjang baju kotor di sudut kamar. "Lusa tetep ikut marathon di Utrecht ?" tanya Hawa santai, seolah tak pernah ada perdebatan serius yang sempat terjadi di antara mereka. Jadwal lari marathon sebenarnya sudah final dibahas dari jauh - jauh hari, keduanya memang aktif di sebuah organisasi kemanusiaan bernama Right To Movement sejak pindah ke Belanda. Ikut menjadi pelari fundraiser di berbagai kota di Belanda, bahkan secara khusus pernah ikut event lari di Palestina sepaket dengan ibadah umroh sebelumnya. Lari marathon sejauh empat puluh kilometer lebih itu mendukung gerakan pembebasan Palestina dan penggalangan dana untuk Rumah Sakit di daerah konflik.

SETARAWhere stories live. Discover now