Part 15. Rasa bersalah

106K 8.8K 148
                                    

Setelah menjemput si kembar, Gio kembali pergi namun bukan ke kantor. Pria itu pergi ke apartemen miliknya yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor. Sementara Asisten Rendi kembali ke kantor dengan menggunakan mobil milik tuannya.

Gio membuka pintu apartemennya, pria itu terdiam menatap sekeliling ruangan. Sudah tiga hari ia tidak pulang ke apartemen namun, apartemennya tetap terlihat bersih karena ada yang selalu membersihkannya.

Pria itu menuju kamarnya, menghempaskan tubuhnya diatas kasur empuknya. Memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya kembali menatap langit-langit kamar.

Tiba-tiba rasa rindu itu kembali hadir, apalagi mengingat gumaman Gemi yang ternyata gadis kecil itu sangat merindukan ibu kandungnya, sama seperti dirinya yang  merindukan sang istri.

Gio tahu, Gama pun merindukan sosok ibu kandungnya. Namun, bocah laki-laki itu tidak pernah mengatakan apapun.

"Maafkan Daddy yang tidak bisa melakukan apapun, sehingga kalian kehilangan sosok ibu," ucap Gio dalam hati merasa bersalah.

Pria itu bangkit dari rebahannya, ia melangkah mendekat kearah laci lemari.

Gio membuka laci lemari itu, mengeluarkan sebuah album foto. Pria itu mendudukkan dirinya di sofa yang ada di kamarnya.

"Andai kamu masih ada, mungkin anak-anak tidak akan kehilangan kasih sayang dari kamu," ucapnya seraya menatap foto itu.

"Adhis, anak-anak merindukan kamu."

Gio mengatakannya dengan raut wajah sendu dan sorot mata yang penuh kerinduan.

"Apa yang harus saya lakukan?" Ucapnya bertanya seolah-olah Adhisti ada dihadapannya.

Pria itu mengusap foto mendiang sang istri.

Tiba-tiba saja wajah Inez terlintas dibenaknya, rasa bersalah menyeruak di dadanya.

Perlakuannya selama menikah dengan Inez sangatlah tidak mencerminkan seorang suami, ia sadar itu. Sangat berbeda saat ia menikah dengan Adhisti, sosok yang dicintainya.

Mau bagaimanapun mereka adalah dua wanita yang berbeda dan tidak akan pernah sama, tidak bisa dibanding-bandingkan.

Sebaik apapun Inez, dimata Gio hanya Adhisti lah yang terbaik. Karena ia adalah sosok wanita yang dicintainya, tidak seperti Inez yang hanya dinikahi olehnya secara terpaksa, atas permintaan Adhisti.

"Maaf, sampai saat ini saya belum bisa membuka hati untuk gadis yang kamu pilihkan," ucapnya.

"Tidak semudah itu membuka hati kembali saat sudah merasakan kehilangan..."

"...Karena saya takut merasakan kehilangan untuk kedua kalinya," sambungnya dalam hati.

Datang dan pergi adalah sesuatu yang pasti terjadi dalam kehidupan namun, mengapa rasanya sangat menyakitkan saat sesuatu itu telah pergi?

Sehingga rasa tidak terima akan kenyataan membuat seseorang berlarut-larut dalam kesedihan, penyesalan dan kini hanya bisa berandai-andai.

Dan itupun yang dirasakan oleh Gio. Kehilangan adalah hal yang sangat menyakitkan yang mana membuatnya kini menutup hatinya agar tidak mudah tersentuh dan setelahnya ia akan merasakan sakitnya kehilangan untuk yang kedua kalinya. Ia tak ingin itu terjadi lagi.

Gio sadar akan sikapnya yang tidak pernah menganggap Inez sebagai istri. Namun, pria itu berusaha untuk tetap tidak peduli.

"Maaf," gumamnya pelan entah pada siapa.

***

Tak terasa kini sudah waktunya Inez pulang, gadis itu berjalan menghampiri sang sahabat yang sudah menunggunya di dalam mobil.

Inez masuk kedalam mobil merah itu. Gadis itu memasang sabuk pengamannya terlebih dahulu.

"Gimana?" Tanya Sasya penasaran.

Inez mengernyit,"gimana apanya?"

Sasya berdecak,"gimana kerjanya? Lo nyaman gak sama si bos?" Tanyanya memperjelas.

"Oh, nyaman kok. Pak Marcell baik orangnya," jawab Inez santai.

"Baguslah kalau Lo nyaman jadi sekretaris pak Marcell," seru Sasya senang.

Sasya melajukan mobilnya meninggalkan area kantor.

Inez kembali teringat dengan kejadian saat meeting siang tadi. Ia melupakan nama perusahaan sang suami, ternyata rekan bisnis pak Marcell adalah Gio, suaminya sendiri.

"Sangat menyebalkan! kenapa harus bertemu. Dia jadi tahukan kalau gue kerja di perusahaan itu," ucap Inez dalam hati.

Apalagi melihat tatapan Gio yang tajam dan selalu memperhatikannya tentu saja membuatnya tidak nyaman. Untungnya, ia mempunyai atasan yang peka akan situasi.

"Kesel banget deh, kenapa coba harus mas Gio yang jadi rekan bisnisnya pak Marcell," ucap Inez dengan raut kesalnya.

"Hah? Berarti tadi Lo ketemu dong sama mas suami, Hm?" Seru Sasya sedikit menggoda Inez.

"Dih, apaan sih."

"Gimana reaksi dia saat tahu istrinya ternyata sekretaris dari rekan bisnisnya sendiri? Gue jadi penasaran deh," ucap Sasya.

"Menurut Lo, dia bakalan kayak gimana?" Inez bertanya balik.

Sasya berpikir sejenak,"hm, cemburu mungkin?"

"Apalagi pak Marcell kan gantengnya sebelah dua belas lah sama suami Lo, masa iya, dia gak cemburu liat istrinya dekat sama pria lain, ganteng lagi," sambung Sasya.

"Lo salah Sya, buat apa dia cemburu. Orang dia gak suka sama gue," ucap Inez dalam hati.

"Nggaklah, gak mungkin," jawab Inez menyangkal.

Sasya menoleh,"loh, kok gak mungkin sih? Bisa jadi dia cemburu, kan? Masa sih gak ada rasa cemburu sedikit pun lihat istrinya dekat sama pria lain," ucapnya.

"Dia bukan tipikal orang yang cemburuan," balas Inez.

"Lebih tepatnya, dia emang gak ada rasa sama gue," sambungnya dalam hati.

"Oh gitu, berarti Lo bebas dong dekat sama siapa aja, dia gak ngelarang gitu?" Ucap Sasya.

"Iya dong, gue mah bebas," sahut Inez tersenyum.

Tak terasa selama diperjalanan mereka terus mengobrol hingga Inez telah sampai didepan rumahnya.

"Makasih, Sya."

"Iya, sama-sama."

"Hati-hati dijalan," ucap Inez sebelum keluar dari mobil Sasya.

"Iya."

Mobil merah itu melaju pergi. Setelah mobil Sasya sudah tidak terlihat dari pandangannya, Inez masuk kedalam rumah berlantai dua itu.

Cklek.

Gadis itu menutup pintunya kembali.

"Baru pulang, Nez?"

Suara itu membuat Inez menoleh, ia sedikit terkejut karena ternyata orang tua Gio masih berada dirumah.

"Eh, iya, ma."

Jawab Inez kikuk.

Gadis itu mendekat kearah sang mama mertua.

"Gio, mana? Kalian gak pulang bareng?" Tanya nyonya Regina sedikit heran karena menantunya itu pulang sendirian.

"Mm, itu, mas Gio masih dikantor, Inez pulang duluan," jawab Inez beralasan.

"Oh, iya juga sih. Pasti kamu bosan di sana," seru nyonya Regina tersenyum, wanita paruh baya itu mengerti sang menantu pasti merasa kebosanan dikantor Gio. Apalagi ia sangat tahu, Gio akan lupa waktu jika sudah menyangkut pekerjaan.

"Hehe, iya, ma."

"Maaf, ma. Sebenarnya Inez bukan ke kantor mas Gio," ucapnya dalam hati merasa bersalah karena telah membohongi Mama mertuanya sendiri.

.
.
.












Giovanni's second wife [END/TERBIT]Where stories live. Discover now