Bab 71. Shade

1.7K 593 83
                                    

Hari kedua setelah situasi menegangkan kemarin dan insiden datang bulan yang membuat Kiko merasa malu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari kedua setelah situasi menegangkan kemarin dan insiden datang bulan yang membuat Kiko merasa malu.

Kiko memilih menghindari Ankaa sebisa mungkin dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah pohon yang agak jauh dari kabin. Selain itu, Kiko juga merasa kesal ketika dia menemukan kenyataan bahwa Ankaa dengan leluasa memakai ponselnya sedangkan dia tidak. Itu cukup menjengkelkan hati Kiko mengingat dia ingin sekali bicara dengan Mas nya dan kalau memungkinkan meminta Mas nya mencari cara agar bisa menjemputnya di tempat itu. Atau dimana pun yang dianggap aman.

Menepuk uang koin di saku celana baggy yang pastinya milik Bude Gemintang, Kiko berjalan menyusuri jalanan setapak dan menjangkau jalan beraspal. Dia ingin pergi ke bawah dan mempergunakan boks telepon untuk menelpon Mas nya.

Kiko berjalan dan sesekali berhenti ketika ada orang dengan kendaraan roda dua atau pejalan kaki terlihat di kejauhan. Sikapnya menjadi terlalu waspada dan curiga pada segala sesuatu. Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Jalanan naik turun berkelok entah sampai di mana? Dia bisa melihat lembah-lembah yang landai di sepanjang perjalanannya menuju keramaian terdekat.

"Orang akan sangat menyukai tinggal di tempat ini atas nama patah hati."

Langkah Kiko melambat saat dia menyebutkan kata patah hati. Dia menarik napas pelan dan merasa bahwa kata itu sangat cocok untuknya sekarang.

"Apalagi namanya kalau bukan patah hati?"

Tanpa Kiko menyadari, batinnya mulai berperang hebat. Otak dan hatinya seperti dua pengatur strategi yang selalu bertentangan dan belum menemukan titik temu. Bagaimana dia merasa bahwa perhatian Ankaa pada insiden pembalut kemarin sanggup mengusik hatinya dan mengikis sedikit amarahnya. Namun di sisi lain, isi kepalanya segera berkecamuk bahwa siapapun bisa melakukan hal seperti itu. Bapaknya dan Gempar adiknya, tidak pernah canggung sedikitpun berbelanja keperluan wanita ketika situasi mendesak. Jadi wajar saja kalau Ankaa seperti itu juga. Lagi pula bukan dia yang ingin berada di tempat itu.

Kiko melemparkan ranting kecil yang sejak tadi dia genggam dan ayunkan ke udara.

"Tapi, dia terlihat khawatir dengan apa yang sudah kamu lakukan, Michiko." Batin Kiko seperti mendengar sebuah bisikan yang menegaskan bahwa Ankaa masih begitu perduli dan tidak seharusnya dia memendam kesal seperti sekarang.

"Haiish!" Kiko merutuk dan menggeleng kuat. Langkahnya sedikit laju ketika tubuhnya tanpa dia minta terdorong ke depan karena jalanan yang cukup curam. Sekali lagi Kiko celingukan menatap sekelilingnya. Tempat itu benar-benar jauh dari keramaian. Jarak rumah satu dengan yang lainnya juga cukup jauh. Benar-benar cocok untuk mendirikan sebuah perkumpulan dengan nama Republik Patah Hati.

"Hahahaha..." Kiko tertawa sendiri menyadari pemikirannya yang konyol. Dia menepi sambil mengatupkan mulut dan merapatkan maskernya. Kiko berbelok di sebuah tikungan tajam dengan sebuah sisi gunung kapur. Dia menunduk dalam ketika seorang pria tua bersimpangan jalan dengannya sambil menuntun seekor kerbau. Kerbau itu melenguh bodoh dan keras ketika jalanan mulai menanjak.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now