Bab 43. Kekhawatiran Yang Sirna Di Penghujung Hari

1.7K 561 68
                                    

"Bagaimana Ibu, Pak?"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bagaimana Ibu, Pak?"

"Kami belum menemukan cara untuk membuka pembicaraan dengan Pak Sanusi."

Kiko menelan ludahnya kelu. Dia ikut mencermati berkas berisi hasil tes DNA yang ada di meja kerja Bapaknya. Dua hari sudah berlalu dan Ibunya belum juga berbicara apapun.

"Kita mati gaya ya Pak?"

Kiko menatap Bapaknya yang tertawa. Dan pria itu mengangguk. "Memang. Kita mati gaya karena tidak mungkin dong mengkonfrontir Pak Sanusi tentang hal ini? Semua akan mendapatkan masalah. Dia bisa melakukan apapun termasuk membuat pelaporan tentang pencurian alat bukti untuk tes DNA itu? Semua akan menjadi melebar kemana-mana dan itu sangat membahayakan posisi Ilman dan Ankaa."

Kiko termenung. "Maafkan Kiko ya Pak. Seandainya Kiko tidak kepo..."

"Hal seperti ini? Bukankah memang harus terungkap? Itu seperti kita menjalani sebuah karma hidup. Cepat atau lambat pasti terungkap. Dan dalam masalah ini, kita tahu lebih dulu. Itu saja. Allah sudah atur."

"Karma baik atau buruk, Pak?"

Kiko memeluk Bapaknya yang duduk di kursi kerjanya. Dia tahu Bapaknya termenung dan sedang memikirkan pertanyaannya.

"Selama kita berprasangka baik kepada Allah, InShaAllah semua akan menjadi baik."

"Aamiin."

Dua hari sudah semua menjadi benderang. Walaupun baru dua hari, Kiko berpikir itu bukan waktu yang sebentar untuk sesuatu yang bersifat urgent. Kiko terus teringat akan wanita itu, yang sejatinya bernama Lanjar Nastiti. Seorang Danurwendo yang baru saja ditemukan dan kebetulan saja mengalami hal yang buruk. Dia tentu saja bukan menjadi pertama yang diketahui oleh keluarga inti dari Danurwendo karena banyak anak yang disembunyikan oleh Sri Roso, baik diakui atau tidak. Namun, mirisnya nasib wanita itu cukup menyita perhatian, terlebih dia ada sangkut pautnya dengan Ferdian Sanusi Baco yang notabene adalah calon mertua dari salah satu Danurwendo. Dan bahkan Pakde Farel sebagai orang terdekat Mas Ilman belum mengeluarkan sepatah katapun. Kiko yakin Ibunya bicara dengan Bapaknya tapi mereka masih diam dan seperti kata Bapaknya, mereka belum menemukan cara membuka pembicaraan dengan Sanusi Baco. Mungkin Pakde dan Budenya juga mengalami hal yang sama.

Kiko beringsut dan melepaskan pelukannya. Dia tersenyum. "Kiko berangkat kerja dulu, Pak."

"Huum. Hati-hati, Mbak."

"Dalem, Pak." Kiko mencium tangan Bapaknya dan mengucapkan salam. Dia melangkah keluar dari ruang kerja itu dan menutup pintu sangat pelan. Kiko berjalan di sepanjang koridor dan menatap lurus ke depan. Aula rumah nampak sunyi dimana seharusnya di jam seperti itu, Ibunya sedang mengganti bunga di meja aula. Namun, pagi itu Ibunya memilih pergi ke rumah iparnya sendirian.

Kiko bergerak cepat memakai jaketnya sambil berjalan ke garasi dan tak lama kemudian mobilnya sudah keluar dari gerbang rumah dan melaju di jalanan menuju dalam kota. Menyatu dengan kemacetan di dua pasar yang dia lewati dan baru tiba di kantor tiga puluh menit kemudian.

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now