Bab 16 Restu

2.5K 646 143
                                    

Kiko menatap bapaknya tak mengerti ketika mereka justru berakhir di ruang praktek dokter Ankaa Pananggalih dan bukan pulang ke Danurejan

Йой! Нажаль, це зображення не відповідає нашим правилам. Щоб продовжити публікацію, будь ласка, видаліть його або завантажте інше.

Kiko menatap bapaknya tak mengerti ketika mereka justru berakhir di ruang praktek dokter Ankaa Pananggalih dan bukan pulang ke Danurejan. Bapaknya terlibat pembicaraan yang cukup serius dengan pemuda itu dan Kiko sibuk berpikir mengapa dia tidak bisa berkonsentrasi dengan baik?

"Saya mengerti Paklik."

Kiko mendongak ketika akhirnya hening menyelimuti ruang praktek itu.

"Mau makan apa?"

"Heh?" Kiko menyipit ketika Ankaa justru mengajukan pertanyaan itu. "Apa saja."

"Huum, bapak harus ke kantor lagi jadi kamu makan dulu sama Mas Ankaa."

Kiko menoleh pada bapaknya. "Loh, Pak?"

"Ini, Mas Ageng mengirim pesan kalau bapak harus berada di kantor sekarang."

"Ooh..." Kiko mengangguk-angguk dan mencium tangan bapaknya yang beranjak. Kepala Kiko menoleh perlahan mengikuti gerakan bapaknya yang berjalan ke arah pintu dan Ankaa mengikutinya dari belakang. Mereka terlihat berbincang sebentar lagi di depan pintu.

Beberapa saat kemudian, Kiko merasakan belaian tangan di kepalanya yang membuat dia mendongak.

"Kata bapak kamu marah sama seseorang."

"Mbak Kinan yang mengunci aku di toilet, Mas." Tanpa tedeng aling aling Kiko berkata cepat.

"Bapak bilang itu memang toilet yang sudah jarang digunakan. Toilet baru sudah dibuat di tempat lain. Jarang juga orang berlalu lalang lewat koridor dimana toilet itu berada. Bisa jadi Mbak Kinan kebetulan lewat sana. Bisa jadi juga tidak."

Kiko terlihat berpikir keras dan mencoba mengingat sesuatu. "Letaknya memang aneh Mas. Ada di dekat pintu masuk tangga darurat. Dan kebetulan sekali ya dia lewat sana." Kiko menghembuskan napas panjang.

"Bangunan rumah sakit itu memang sudah cukup tua dengan renovasi di banyak tempat. Dan Mbak Kinan mau ketemu Mas Ilman kan. Dia bisa berada di manapun koridor di rumah sakit itu. Huum...kita anggap dulu seperti itu, oke? Bagaimana perasaan kamu sekarang?"

Kiko menatap tangannya yang diraih oleh Ankaa. "Mas Ankaa sudah selesai praktek?" Kiko justru mengajukan pertanyaan di luar topik pembicaraan mereka.

"Sudah. Ini jadwal pulang."

"Huum." Kiko mengangguk-angguk dan mengusap lengannya.

"Boleh saja kok curiga sama Mbak Kinan. Tapi jangan terlalu diperlihatkan. Wanita seperti itu akan berpikir kamu menyulut peperangan dengannya kalau kamu bersikap seperti itu."

"Aku yakin kok."

"Oke...mau makan apa sekarang?"

"Ini bisa menjadi semacam sakit kejiwaan atau tidak sih Mas?"

"Fobia itu kan yang diserang memang mental. Tapi bukan berarti penderita fobia itu gila." Ankaa menekan telapak tangan Kiko lembut. "Dan akhir-akhir ini kamu banyak pikiran dan pekerjaan. Ya sudah, gampang lah terbawa perasaan ketika berada di tempat yang kamu tidak suka. Sejauh ini kata bapak sudah tidak pernah seperti itu. Dan, tiba-tiba saja memburuk tadi."

PINK IN MY BLUEWhere stories live. Discover now