Chapter 16: The Beginning of the End

1.3K 42 17
                                    

Yuka’s POV

            Aku berjalan menyusuri lorong sekolah menuju kelasku. Masih terus berfikir tentang kejadian kemarin hari. Malaikat level S, roh penasran, malaikat yang dipecat, dan banyak hal yang selalu memenuhi kepalaku setiap harinya. Semenjak bertugas bersama Gerald, aku mendapat banyak sekali pengetahuan mengenai malaikat yang mungkin tidak diketahui malaikat lain jika bukan berasa dari mulut malaikat level tinggi sekali pun. Bertugas bersama Gerald. Bukan hal buruk juga.

            Langkah kakiku membawaku berjalan menuju sebuah perpustakaan besar yang berada di lantai empat gedung belakang. Salah satu tempat favoritku untuk sekedar membaca buku asal-asalan. Tujuanku hanya untuk mendinginkan kepalaku.

“Harry?” seruku ketika aku melihat seseorang dengan rambut bergelombang warna coklatnya dari belakang sedang duduk di salah satu kursi di pojok ruangan. Orang itu menolehkan kepalanya.

“Hei, Yuka. Kemarilah,” balas Harry dengan senyum lebar di wajahnya.

Kugeser sebuah kursi di depannya dan duduk menghadapnya. “Loh, tumben kau ada di sini? Nggak main bola?”

“Hei, lihatlah tanganku….” Kulihat tangan kanan Harry yang menunjuk-nunjuk tangan kirinya. Sebuah perban putih menyelimuti tangannya sepanjang siku sampai pergelangan tangan kiri.

“Maaf…” kepalaku terjatuh menghadap lantai dengan sebuah ekspresi menyesal.

Kudengar Harry menghela nafasnya dan sebuah tangan besar menepuk-nepuk kepala bagian atasku. “Bukan salahmu, kok,” senyumnya lalu kembali duduk dan menghisap sebuah jus apel kesukaannya.

            Kesunyian mengelilingi kami berdua. Aku hanya duduk terdiam sambil menghisap sedikit demi sedikit lemon tea yang baru sekitar dua menit yang lalu mendarat di atas meja ini. Sedangkan Harry tengah asik mengemut sedotan putihnya yang menghubungkannya dengan segelas jus apel sambil membalik tiap halaman sebuah buku di depannya.

“Nanti malam, ya,” ucap Harry memecah keheningan ketika matanya telah selesai menyusuri seluk beluk buku bacaannya. Aku hanya terdiam.

“Ya, kau benar,” jari-jari tanganku hanya terlipat rapih di atas meja dengan wajahku yang terus memperhatikan sebuah butir buah lemon di dalam tehku.

“Kau nggak ragu atau semacamnya?” tanya Harry. Aku terdiam dan sedikit tersontak ketika Harry bertanya sebuah kalimat yang membuatku sedikit tidak yakin.

“Kau akan merangkai jari-jari tanganmu ketika kau ragu. Jadi, kau sudah nggak ragu lagi?”

Kutegakkan badanku dan kupejamkan mataku untuk sesaat. “Ya. Aku nggak akan ragu lagi,” nada seriusku terdengar sedikit bergetar. Kulihat Harry hanya tersenyum manis.

“Tenang saja, aku akan membantumu,” aku mengangguk ketika Harry menggenggam tangan kanannya dan mengangkatnya untukku. Aku tersenyum balik padanya dan menempelkan genggaman tangan kananku ke miliknya.

“Jadi, apa yang akan kalian berdua lakukan mala mini?” tanya sebuaah suara dari belakang Harry.

“HAAAAA!” Aku dan Harry berteriak nyaring ketika keadaan sunyi mendekap dan sebuah suara mengagetkan kami berdua. Teriakkan kami terhenti ketika seorang penjaga perpustakaan memperingati kami.

“Oh Tuhan, kau mengagetkanku, Niall!” seruku setengah berbisik ketika laki-laki berambut pirang kecoklatan dengan kaos hitamnya duduk di sebuah kursi kosong di antara kami berdua.

“Habis, kan, nggak seru kalau aku menghampiri kalian dengan biasa saja,” balas Niall sedikit memanyunkan bibir bawahnya.

“Dasar, kau nggak pernah tau suasana yang baik,” Harry mulai masuk dalam percakapan sambil mengelus-elus leher belakangnya.

Tiba-tiba Niall meletakkan kepalanya di pundak kiriku. Aku hanya tersenyum dan mulai memainkan rambutnya. Aku suka sekali memainkan rambutnya. “Oh, iya, Harry. Tangan kirimu kenapa?” tanya Niall menunjuk tangan kiri Harry yang diperban.

“Oh ini, kemarin sebuah mobil menyerempetku dan, yah, beginilah akibatnya,” balas Harry dengan nada sedikit dramatis. Kau pembohong yang baik, kawan.

“Dan, kau, Yuka. Ada apa denganmu? Kau terlihat tidak terlalu ceria?” Niall mengangkat kepalanya dari pundakku dan melihatku dengan ekspresi wajah yang terlihat khawatir.

“Seperti biasa, Ni,” ucapku sedikit melihat ke arah Harry mencari sebuah alasan.

“Seperti biasa? Apa yang biasa?” Niall terus mendesakku dengan pertanyaan-pertanyaannya. Aku menginjak kaki Harry di bawah meja untuk memintanya membantuku. Sialan. Dia hanya tersenyum licik.

“PMS, bodoh,” dua kalimat simple keluar dari mulut Harry dan semoga saja berhasil membantuku.

“Ohh… kukira ada apa,” tawa Niall keras hingga membuat penjaga perpustakaan itu kembali memperingati kami. Fyuh, Harry memang seorang ‘pembohong’ yang baik.

Niall bangun dari duduknya dan mengetik beberapa kalimat di ponselnya. “Hei, kalian bisa ikut denganku hari ini nggak? Aku ingin sesekali bermain bersama kalian,” usul Niall yang membuatku dan Harry saling bertatapan.

“Ayo! Kita buat hari ini jadi milik kita!” seru Harry yang membuatku bangun dari kursiku. Kami bertiga berlari bersama keluar dari perpustakaan dan menuruni puluhan anak tangga hingga keenam kaki kami menginjak tanah di halaman luas di depan gerbang sekolah. Melangkah menuju sesuatu yang baru yang akan segera berakhir dalam beberapa jam ke depan. Permulaan dari sebuah akhir mulai kami gapai.

.

.

Uwohoooo! Kembali lagi di tiga chapter sebelum ending!! *nangis legit* Maaf minggu lalu aku nggak update soalnya ujian praktek bertebaran di mana-mana… (derita bentar lagi lulus) T-T Maaf juga ya tadinya kan chapter ini mau ngebahas tentang Gerald tapi nggak jadi. Aku bingung mau ngomongin apa tentang si Gerald wkwk ._.  Chapter ini kependekkan ya? Janji deh chapter 17-nya bakal panjang~ (~^o^)~

Jangan lupa vote sama comment-nya :DD

-Jasmin

Voice of The SkyWhere stories live. Discover now