Chapter 6: The One Will Hurted

1.5K 28 2
                                    

Harry’s POV

 

            Hei, bocah. Kau tau sebagaimana besarnya kebodohanmu? Ya, kau sangat bodoh. Kau kabur begitu saja seperti anak kecil sehabis melihat vampire yang tengah menggigit mangsanya. Mereka hanya berpelukan. Hanya.

Aku terduduk di kursi di taman belakang rumah sakit. Diam. Entah apa yang akan aku lakukan setelah ini.

“Harry!” panggil sebuah suara dari belakangku. Aku menengok dan kudapati Yuka tengah berlari ke arahku.

“Oh, hai,” aku kembali menghadap ke depan membuang pandanganku darinya.

“Kau kenapa?” tanyanya duduk perlahan di sebelahku. “Apa terjadi sesuatu?”

“Tidak. Tidak ada apa-apa,” jawabku masih menundukkan kepalaku memperhatikan barisan semut hitam yang berjalan di bawah kakiku.

“Apa salahku padamu?”

“Hah? Kau ti–“

“Kau aneh. Akhir-akhir ini kau selalu berusaha menjauh dariku. Apa yang membuatmu begitu? Apa aku pernah membuatmu merasa tidak nyaman? Kumohon maafkan aku…” ekspresinya berubah ketika aku melihatnya. Aku ingin memeluknya erat. Aku ingin dia bisa memelukku erat dan menjadikan pundakku sebagai sandarannya. Aku ingin semua itu nyata! Bukan hanya sebuah realita belaka!

“Tidak. Kau tidak salah apa-apa, Yuka. Itu hanya kebodohanku saja,” jawabku lalu berdiri dari dudukku.

“Tapi itu–“

“Aku duluan. Bos menunggumu,” lanjutku memotong perkataanya. Kukembangkan sayapku dan mulai terbang menjauh. Kau memang tidak mempunyai salah apapun padaku, Yuka. Hanya aku yang salah. Hanya aku. Mengapa aku harus mencintai orang sepertimu yang tidak akan pernah menincintaiku? Mengapa aku sebodoh itu? Mengapa aku tidak pernah bisa menyingkirkan semua perasaanku yang lebih padamu? Mengapa Tuhan ingin aku mencintaimu? Mengapa Tuhan ingin aku merasa sakit seperti ini?

Yuka’s POV

 

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Niall setelah aku duduk di kursi di sebalah tempat ttidurnya.

“Entahlah. Apa salahku hingga membuatnya menjauhiku..” kutundukkan kepalaku berusaha menahan air mataku. Dijauhi sahabat baikku sendiri adalah hal yang paling menyakitkan. Kumohon, Harry..

“Jangan menangis. Harry bukan laki-laki seperti itu. Dia punya suatu alasan untuk melakukan ini semua. Mungkin seperti kejutan, ya, kan?” lanjut Niall sembari mengacak-acak rambutku dengan tawa dan senyumanannya itu. Aku harap keadaan ini bisa terus bertahan selama…. mungkin. Selama mungkin. Apa yang aku katakan. Ini mustahil. Sebulan-lagi-dia-akan-pergi. Secepat itu kah takdirnya akan berakhir.

“Kau juga berfikir begitu kan tentang Harry? Kau sudah mengenalnya selama sepuluh tahun. Kau lebih tau banyak tentangnya dariku,”

“Ya, kau benar Niall. Selama aku mengenalnya, dia laki-laki yang sangat baik. Dia selalu tersenyum dan terkadang menyebalkan. Hahaha. Dia sahabat terbaikku,” aku mulai tersenyum mengingat hal-hal positif tentang Harry.

“Nah, kau lebih baik tersenyum dari pada ada pelangi terbalik di wajahmu! Eh salah, mungkin bimetal yang melengkung ke arah koefisien yang lebih rendah!”

“Uwaaaa, Niall bodoh!” teriakku mencubit tangannya. Dasar laki-laki. Kutarik satu alat di sini dan kau akan mati, hah!

“Aw! Kau licik!”

“Kau jauh lebih licik!” kami mulai saling ‘bertengkar’ dan ‘berkelahi’. Yah, tidak membuat Niall dalam bahaya.

“Oh iya, Yuka. Kenapa kau sangat peduli padaku? Karena kita teman, kan? Hahahaha,” tanya Niall dengan tawanya.

“Bukan,” jawabku singkat, kepalaku masih menunduk menghadap lantai ubin yang berkilauan.

“Hah? Jadi?”

“Karena aku menyukaimu..” kulihat ekspresi di wajah Niall terlihat kaget. Ini hal yang memalukan.

“Maaf? Maksudmu? Aku tidak mengeri hahaha,” jawabnya dengan sedikit tawa. Apa yang lucu, bodoh.

“Niall mungkin ini terdengar bodoh. Sangat bodoh. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku menyatakannya dengan cara yang setidaknya lebih baik dari ini. Tapi, aku benar-benar menyukaimu. Aku menghabiskan lebih dari dua tahun menahan semuanya dan hanya memperhatikanmu. Dan kejadian beberapa hari yang lalu ketika untuk pertama kalinya kita berbicara benar-benar membuatku bahagia. Ya, memang aku–“ tiba-tiba ucapanku terpotong ketika duah buah tangan menyentuh pipiku dan bibir yang terasa hangat menciumku. Ini terasa… berbeda dari yang sebelumnya. Aku merasa tidak ada getaran lagi di antara kami berdua. Tak lama, Niall melepaskan ciumannya dariku dan kami saling menatap. Dia meletakkan kedua tangan besarnya di kedua pundakku dan mulai menundukkan kepalanya.

“Sial, kenapa kau bisa membaca pikiranku, Yuka….”

.

.

Voice of The SkyWhere stories live. Discover now