Chapter 2: Heart's Voice

2.2K 45 5
                                    

Malaikat selalu memiliki partner dalam setiap pekerjaannya. Tidak ada malaikat yang bekerja sendiri di dunia ini. Bukan hanya sekedar untuk menemani atau membantu pekerjaan satu sama lain. Melainkan lebih terfokus untuk mengawasi satu sama lain. Dahulu kala, para malaikat bekerja masing-masing dalam mengerjakan seluruh pekerjaannya. Tapi ada seorang malaikat yang menjemput roh dan mengantarnya di luar jadwal yang sudah ditentukan. Dia mengantar seorang gadis yang sekarat tepat sehari sebelum jadwal yang ditentukan. Bukan karena hal bodoh, melainkan karena malaikat itu merasa kasihan dengan penderitaan sang gadis. Tanpa menunggu lama lagi, malaikat yang sebenarnya tak bersalah itu tetap mendapat hukuman. Kedua sayapnya disegel dan kehidupannya diubah menjadi manusia untuk sementara waktu. Kalian fikir Tuhan itu jahat? Tentu tidak. Malaikat lah yang bersalah. Mereka seenaknya mengubah takdir manusia. Itu merusak hukum dunia dan hukum Tuhan.

Aku berdiri di atas rumahku lengkap dengan seragam hitam-hitamku. Jangan kalian fikir bahwa malaikat bekerja dengan pakaian bebasnya. Kami berkerja dengan pakaian hitam khusus. Entahlah aku juga tidak mengerti apa ke-khusus-an pakaian ini. Pukul 10pm. Si level S yang sudah berjanji akan datang pukul 09:30pm tidak juga menampakkan wujudnya. Hari pertama saja sudah telat. Mau menjadi pengawasku bagaimana jika janjian saja sudah telat. Pip pip. Ponselku berbunyi.

To: C213946 

From: S109284 

Aku telat. Kau duluan saja.

C213946 itu kan kode kerjaku. Berarti S109284 adalah kode kerja si level S. Dasar sok penting pakai laporan segala.

"Kalau gak niat dateng, ga usah janji! Aku masih bisa mengerjakan pekerjaan seperti ini sendiri!" eluhku kesalnya. Menjengkelkan. Mentang-mentang kau pengawas dari level S, seenaknya saja mempermainkanku yang level C.

Aku pergi menuju rumah seseorang yang sudah menjadi jadwalku untuk mengantar rohnya kembali ke langit. Orang yang akan meninggal ini... apa hidunya menyenangkan? Apa tidak ada sedikitpun penyesalan dalam hatinya? Dia tidak tahu dia akan mati hari ini. Jika dia tahu, mungkin dia akan terus memanjatkan doanya untuk sisa waktunya. Mungkin saja penyesalan itu ada. Kami para malaikat penjemput roh tidak bisa melakukan apa-apa selain melaksanakan kewajiban kami. Tidak bisa memperpanjang umur ataupun memberi tahu kematian seseorang. Tapi... benarkah tidak ada satu hal pun yang dapat dilakukan? Meskipun hal sekecil apapun? Kurasa pastia ada.

"Eh......"

Bohong... Ini pasti bohong... Bohong!! Aku kaget sejadi-jadinya ketika kulihat orang yang kukagumi tidur di atas sebuah tempat tidur berwarna putih itu. Mustahil. Mengapa harus dia yang sekarang kujemput?! Mengapa harus Niall yang harus kuantar rohnya?! Aku terduduk tak berdaya di atas lantai. Tubuhku gemetaran. Air mataku mengalir mudah membasahi kedua pipiku. Pikiranku benar-benar kacau. Apa yang harus kulakukan. Aku tidak ingin hari ini menjadi hari pertamaku sekaligus hari terakhirku berbicara dengannya. Kukuatkan kedua kakiku dan terbang pergi secepat dan sejauh mungkin.

"Dulu ada malaikat yang menjemput orang yang disukainya. Namun, karena dia tidak ingin orang itu mati, dia meminumkan air matanya. Air mata malaikat memiliki kekuatan untuk menyelamatkan nyawa orang mati. Namun nyawa manusia telah ditentukan oleh takdir. Takdir adalah kehendak Tuhan. Bila melanggar hal itu, berarti melanggar ketentuan Tuhan. Si malaikat itu pun dipecat dari pekerjaannya dan menjalani hidup barunya sebagai manusia."

.

.

Deburan ombak membasahi seluruh tubuh dan sayapku. Kubiarkan semuanya membasahi semau mereka. Rambut coklat panjangku kubiarkan tergerai basah dengan maksud menutupi seluruh air mataku.

"Yuka?" tanya seseorang dari belakangku. Aku menoleh membalikkan wajahku.

"Liam. Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku kembali membasahi wajahku agar air mataku benar-benar tersamarkan.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Ayo ikut bersamaku. Kau bisa sakit kalau berendam di air laut malam-malam," lanjutnya menjulurkan tangannya. Kuraih tangannya dan dia menuntunku menuju pinggir pantai yang kering.

"Gunakanlah ini. Kau semakin terlihat kedinginan," Liam melepas jas luarnya dan memberikannya padaku. Kugelengkan kepalaku tanda aku menolak benda itu.

"Ayolah. Aku bisa dimarahi Harry," lanjutnya memelas. Akhirnya dia menyelimutkan jasnya di tubuhku yang terlihat mulai menggigil tanpa adanya anggukan dariku.

"Kau kenapa, sih? Murung banget. Tadi siang kau masih terlihat ceria tapi ada apa denganmu sekarang? Kau menangis?" lagi-lagi aku hanya menggeleng setiap menjawab pertanyaan Liam. Aku merasa tidak enak padanya tapi aku juga tidak ingin dia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Haaah, baiklah. Ayo kita pulang. Aku akan mengantarmu ke rumahmu," lagi-lagi aku tak menjawab apapun dan hanya mengangguk seperti orang bisu. Liam menggendongku hingga sampai di rumahku. Sayapku basah. Ya. Karena ulahku sendiri. Bodoh. Kebodohanku kembali muncul secara tidak wajar.

"Selamat malam, Yuka. Aku pulang dulu," ucap Liam keluar dari jendela kamarku. Aku mengganti pakaianku dan membaringkan tubuhku di atas tempat tidur nyamanku. Tuhan, mengapa kau berikan hal ini padaku. Kenapa kau ingin aku mengantar rohnya malam ini. Mengapa bukan beberapa tahun kedepan saja. Atau jika memang takdirnya adalah malam ini, setidaknya biarkan malaikat lain yang melakukan hal ini. Tuhan, kumohon.... Pip pip.

To: C213946 

From: S109284 

Kenapa kamu nggak menjalankan tugasmu? Aku masuk ke dalam kamar laki-laki itu dan kudapati bekas keberadaanmu di sana. Kamu nggak bisa mengantarnya? Atau nggak mau? Yang mana? Kalau kau tidak bisa, biar aku yang lakukan. Batas waktu diundur hingga sebulan lagi. Kalau kamu mengulangi hal ini lagi, bersiaplah untuk dihukum. 

Selamat malam.

Kupandangi terus layer ponselku di mana pesan dari si level S berada. Kuperhatikan setiap kata yang dia tulis. 'Batas waktu diundur hingga sebulan lagi. Kalau kamu mengulangi hal ini lagi, bersiaplah untuk dihukum.' Dua kalimat itu yang terus membayang di pikiranku. Aku bangga pada pekerjaanku sebagai malaikat penjemput roh. Aku cinta pekerjaan ini. Aku cinta dia. Aku cinta Niall. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin kehilangan salah satu dari keduanya. Jika kalian ada di posisiku, apa yang akan kalian pilih? Aku bingung. Air mataku kembali menetes membasahi bantalku. Ini tidak bisa dihentikan. Aku benar-benar mencintai keduanya.

"Kau kenapa? Gagal dalam tugas? Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya seseorang dari pintu kamar. Aku membalikkan badanku yang tertidur dan kudapati kakakku, Aaron, tengah memandangku sedikit cemas sambil melipat tangannya dan menyandar di tembok. Aku bangun dan duduk di atas kasur ketika kakakku duduk di sebelahku.

"Tumben kau menangis. Ada apa?" aku diam seribu kata. Aku tidak ingin mengingat hal-hal mengenai kematian dan lain sebagainya untuk beberapa waktu ini.

"Kau harus menjemput orang yang kau suka, kan?" mematung. Itu yang terjadi padaku ketika sepotong kalimat berjuta emosi keluar dari mulutnya dan membuatku kembali menangis sejadi-jadinya. Aaron memelukku hangat dan mengusap-usap kepala dan punggungku. Aku terbenam di pelukannya. Tuhan, tidak adakah jalan lain? Mengapa kau harus membuatku menjemputnya tadi? Mengapa bukan sebelum hari ini atau bahkan lebih baik sebelum aku jatuh cinta padanya? Mengapa harus Niall? Mengapa Niall harus pergi dalam umur semuda ini? Mengapa? Jutaan pertanyaan 'mengapa' berputar layaknya tornado di kepalaku. Mereka tidak mau pergi atau pun meredup. Hanya selalu berputar di satu tempat dan semakin lama semakin membesar. Tuhan, apakah salah apa yang aku lakukan? Tuhan, aku benci berada di antara dua pilihan sulit.

"Ini yang namanya takdir, Yuka. Kau tidak bisa menolaknya sekalipun kau adalah seorang malaikat...."

.

.

Voice of The SkyWo Geschichten leben. Entdecke jetzt