s e b e l a s

1.1K 79 6
                                    

((Bacanya sambil dengerin lagu yang di mulmed yaa, biar lebih meresapi hihi))

___________

s  e  b  e  l  a  s

___________

"Kean sakit, Sha. Bukan cuma sakit biasa, tapi kanker otak stadium akhir."

"Selama ini, dia berusaha bertahan cuma demi lo.., orang yang dia sayangi selain keluarganya sama gue."

"Dia nggak pernah berniat sedikit pun buat nyakitin lo apalagi, buat bikin lo nangis selama berhari-hari cuma buat nangisin dia. Tapi, keadaanlah yang memaksanya ngelakuin itu sama lo."

Sekali lagi, pernyataan-pernyataan Arsa tadi siang kembali menyentakku tentang kenyataan pahit yang tak kuketahui selama dua tahun ini tentang lelaki bermata elang itu.

Membuat luka yang tadinya belum mengering, semakin melebar karenanya.

"Kalau emang kamu sayang sama aku, kenapa kamu nutup-nutupin semuanya dari aku, Nu?" tanyaku lirih dengan tangisan yang semakin menjadi karena hanya dengan mengingatnya.

"Karena cuma dengan cara seperti itu, yang bisa bikin lo ngejauhin dia. Karena dengan cara seperti itu, bikin lo benci sama dia. Karena dengan cara seperti itu, lo nggak bakalan pernah ngerasain yang namanya 'kecewa' karena punya cowok yang penyakitan kayak dia. Itu yang jadi alesan dia ngelakuin itu sama lo."

*

"Lo tau? Selama hampir dua tahun ini, dia selalu berharap lo dateng nemuin dia. Walaupun dia nggak pernah bilang secara langsung sama gue, tapi gue tau, kalau dia selalu berharap kedatangan lo setiap harinya...,"

"... dia selalu nunggu lo, Sha. Sampai saat ini pun, dia selalu nunggu lo."

*

Entah sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan hanya untuk menatap pintu kamar rawat bernomor 421 di hadapanku ini tanpa berniat untuk mengetuknya sama sekali. Padahal, sebagian hati kecilku mengatakan untuk melakukannya demi menjawab rasa penasaranku terhadap pernyataan-pernyataan Arsa tadi siang kepadaku.

Dengan satu helaan napas, aku pun memutuskan untuk meninggalkan tempat ini.

Karena jujur, aku belum sepenuhnya siap untuk menghadapi kenyataan pahit ini. Apalagi, jika harus bertemu lagi dengannya setelah dua tahun tak bertemu.

Tapi, saat aku akan membalikkan tubuhku untuk meninggalkan tempat itu, lagi-lagi seseorang menghentikanku bahkan saat kakiku belum bergerak sama sekali untuk meninggalkan tempat itu.

"Lo mau menghindar sampai kapan lagi sih, Sha? Apa sampai dia meninggal dulu, baru lo bisa sadar?" tanya lelaki itu. Arsa. Yang lagi-lagi membuatku tersentak karena perkataannya.

Aku menelan ludahku dengan susah payah, lalu mengembuskan napas dalam, berusaha sebisa mungkin untuk menetralkan perasaanku yang tak karuan sejak ia mengatakan kenyataan pahit itu tentangnya.

"Gue nggak menghindar kok. Ini.., gue mau ngetuk pintunya." elakku sambil membalikkan badan dan memajukan kakiku satu langkah lalu mengayunkan kepalan tanganku ke udara bersiap untuk mengetuk pintu kamar rawat yang ada di hadapanku ini.

"Baguslah," ucapnya sambil berlalu meninggalkanku, membuatku mengembuskan napas lega karena perlakuannya itu. Karena itu berarti, aku benar-benar bisa cepat pergi dari tempat ini.

Tapi, saat aku benar-benar sudah bersiap untuk melangkahkan kakiku untuk meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja aku mendengar suara pintu terbuka dari dalam kamar rawat itu. Dan...

AyeshaWhere stories live. Discover now