e n a m

1K 91 1
                                    

e  n  a  m

_______

Dua tahun telah berlalu. Sejak kejadian lelaki itu meninggalkannya, mencampakkannya, dan membuat hari-hari perempuan yang sangat dicintainya—dalam diam—itu—seperti mimpi buruk yang tak pernah ingin dilihatnya. Membuatnya merasakan sakit teramat dalam, sama seperti yang dirasakan oleh perempuan itu.

Baginya, melihat wajah perempuan itu berbinar, senyum yang selalu terbit di bibir tipisnya, dan kebahagiaan perempuan itu adalah kebahagiannya juga. Walaupun ia harus merasakan sakit, karena yang bisa membuat perempuan itu kembali seperti yang diinginkannya, hanya oleh lelaki itu, hanya dengan lelaki itu. Tapi, tak apa. Yang penting perempuan itu bisa bahagia. Itu cukup. Walaupun ia lagi-lagi harus merasakan sakit, sakit yang teramat sakit.

*

"Bengong aja. Nanti kesambet, baru tau rasa lho," ucap seseorang sambil menyenggol bahunya, menyadarkannya dari lamunan singkatnya tentang masa lalunya.

"Eh.. Nggak kok," elaknya sambil tersenyum tipis. Perempuan itu terlihat jelas sedang menyembunyikan kerapuhannya di depan lelaki yang ada di hadapannya ini.

Lelaki itu mendudukkan bokongnya di kursi sebelah perempuan itu. Menatapnya tak yakin, lalu berkata. "Yakin?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

Perempuan itu mengangguk yakin. "Ngapain juga aku harus bengong? Lagian, nggak ada yang perlu dibengongin," elaknya lagi, lagi-lagi dengan senyuman tipis.

Lelaki itu mengembuskan napasnya. Kebiasaan yang sering dilakukannya saat sedang bersama dengan perempuan yang ada di hadapannya ini. Ia merasa lelah, sangat teramat lelah, harus menyaksikan sendiri kerapuhan perempuan yang dicintainya dengan secara langsung. Walaupun perempuan itu terlihat jelas berusaha menyembunyikannya, akan tetapi, ia tetap bisa melihat kerapuhan perempuan itu dengan hanya sekali menatap kedalaman matanya.

"Pulang sekolah nanti, jangan dulu pulang ya? Ada yang mau aku tunjukkin sama kamu," ucap lelaki itu akhirnya sambil membalas senyumannya dengan tak kalah tipis.

*

Sepanjang pelajaran terakhir berlangsung, Ayesha tak bisa menyembunyikan kegelisahan yang terpancar dalam wajah cantiknya dengan mulus. Seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini. Padahal, dulu, hal itu begitu mudah sekali dilakukannya. Tapi, hari ini, entah mengapa Ayesha terlihat kesulitan untuk menyembunyikan kegelisahannya itu. Membuatnya harus menggigit bibir bawahnya beberapa kali, berharap apa yang dilakukannya itu bisa mengurangi kegelisahannya saat itu juga.

Baru saja ia berusaha menenangkan perasaannya dengan mengembuskan napas panjang untuk menghilangkan kegelisahannya itu, ia harus dikagetkan dengan bunyi bel yang berdering nyaring di telinganya. Yang artinya, pelajaran terakhir di hari ini telah usai, berganti dengan jam pulang, tanda bahwa ia dan murid-murid seantero sekolah ini harus segera enyah meninggalkan kelas masing-masing.

Jika sebelum-sebelumnya ia melakukan hal yang sama seperti murid-murid lainnya. Membereskan buku-buku yang berserakan di dalam meja untuk dimasukkan ke dalam tas masing-masing dan segala tetek bengek yang sudah menjadi kebiasaan mendarah daging bagi murid-murid lainnya—termasuk dirinya sendiri—di sekolah ini—kali ini terasa berbeda karena suatu hal yang ia sendiri ragu untuk melakukannya.

"Pulang sekolah nanti, jangan dulu pulang ya? Ada yang mau aku tunjukkin sama kamu,"

Ayesha menggigit bibir bawahnya entah untuk kesekian kalinya saat ia mengingat kembali pesan yang lelaki itu katakan kepadanya saat jam istirahat pertama tadi. Sesuatu yang menahannya untuk segera enyah dari kelasnya ini.

Kira-kira.., Ravel mau nunjukkin apa ya, sama gue? gumam perempuan itu dalam hati. Perasaan gue kok, tiba-tiba nggak enak ya?

*

"Kamu mau ngapain sih, Vel. Ngajak aku ke sini?" tanya Ayesha pada lelaki yang ada di hadapannya. Ravel.

Bukannya menjawab pertanyaannya, lelaki itu malah memamerkan seringaian yang terpampang jelas di bibirnya. "Mau tau aja atau mau tau banget?" godanya dengan menaik-turunkan kedua alisnya.

"Jangan becanda deh, Vel." Ayesha mendelik malas. "Aku serius."

"Aku juga serius," ucapnya masih dengan seringaian kecil di bibirnya.

"Kalau kamu emang bener-bener serius, seenggaknya kamu bakalan jawab pertanyaanku, Ravelio," ucapnya dengan nada penuh penekanan setiap kata per katanya.

"Ini.., aku lagi berusaha serius," ucapnya sambil merogoh sesuatu di dalam celana abu-abunya. Lalu menyembunyikannya di balik punggung tegapnya.

"Eh.. eh.. Mau ngapain?" tanya Ayesha saat melihat Ravel tiba-tiba berlutut di hadapannya. Raut wajah bingung terpampang jelas di wajah cantiknya.

"Katanya mau tau, alesan aku ngajak kamu ke sini mau ngapain, 'kan?" tanya Ravel, mengingatkannya.

"Yaa, nggak gini juga kali, Ravelio," ucap perempuan itu, lagi-lagi mendelik malas. "Ayo bangun." Ayesha mengulurkan tangannya kepada Ravel untuk segera di raih oleh lelaki itu, akan tetapi Ravel tak menghiraukannya.

Ravel berusaha tak peduli dengan tatapan-tatapan orang-orang yang berada di sekitarnya dengan menatap kedalaman mata seseorang yang menjadi fokus utamanya. Perempuan yang ada di hadapannya ini. "Aku nggak bakalan bangun sebelum kamu dengerin perkataanku baik-baik. Bisa?"

"Emangnya kamu—"

"Cukup dengerin dan pahami maksud dari perkataanku, oke?" selanya cepat, seperti enggan memberinya kesempatan untuk meneruskan pertanyaan perempuan itu.

Walaupun sedikit kesal dengan kelakuan Ravel yang suka seenaknya, tapi tak urung perempuan itu pun akhirnya mengangguk juga. Membuat kedua sudut bibir lelaki itu tertarik ke atas.

"Jadi, maksud aku ngajakin kamu ke sini bukan cuma tanpa alasan..," jedanya, "... aku mau nunjukkin kamu sesuatu yang sangat rahasia bagiku, tapi nggak buat kamu." lelaki itu tersenyum tipis. "Kamu tau, itu apa?" tanyanya, yang langsung dijawab oleh gelengan kecil oleh perempuan itu.

"Tentang perasaan aku sama kamu..,"

______

A/N Enaknya, sampe part berapa ya? :3

07 Maret 2015

AyeshaΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα