d u a

1.3K 96 4
                                    

d  u  a

_____

"Jadi?" tanyaku sambil menyipitkan mata, menuntut jawaban atas pertanyaanku tadi malam pada lelaki yang kini ada di hadapanku.

Keanu mengangkat sebelah alisnya. "Jadi apa?" tanyanya, seolah tak mengerti dengan apa yang aku katakan.

Aku mendelik malas. "Katanya, mau ngasih tau gue yang tadi malem itu." cibirku, yang entah mengapa malah membuatnya terkekeh karena perkataanku.

"Oh.. Yang itu..," ucapnya sambil tak menghentikan kekehannya. "Beneran mau tau?"

"Yaa, iyalah." ucapku, lagi-lagi mendelik malas. "Lo pikir gue nyamperin ke bangku lo ini mau apa?!"

"Jadi, kamu nyamperin ke sini cuma mau nanya itu doang nih?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis. "Nggak mau ngucapin makasih gitu?"

"Tadi malem 'kan, udah." aku mendesah, "sekarang giliran lo yang ngasih tau gue, dari mana lo dapetin asbak itu tadi malem?"

"Kalau aku nggak mau ngasih tau?"

"Gue nggak akan—"

"Si Kean dapetin itu asbak penuh perjuangan lho, Sha. Masa lo nggak ada makasih-makasihnya?" celetuk seseorang, yang memotong perkataanku. Arsa.

"Jangan sok tau, please." dengusku, "lo bahkan nggak tau apa-apa."

"Enak aja nggak tau apa-apa," ucap Arsa tak terima. "Gue yang nganterin si Kean tadi malem buat dapetin itu, asal lo tau."

"Heh? Iya?" tanyaku sambil menyipitkan mata.

Arsa mengangguk. "Iyalah, kalau lo nggak percaya tanya aja tuh si Kean."

"Beneran, Nu?"

Keanu tertawa salah tingkah. "Hehe.. Iya, dia nganterin aku nyari itu tadi malem," ucapnya, yang membuat Arsa menatapku dengan tatapan 'apa gue bilang'.

Aku merengut, tapi tak urung menuntut Arsa untuk memberitahuku tentang hal itu. "Kalau gitu, lo harus kasih tau gue, dari mana kalian dapetin itu tadi malem."

"Emangnya penting ya?" tanya Arsa dengan nada seperti enggan memberitahuku.

"Jelas."

"Kalau menurut lo itu penting, kenapa nggak lo tanya aja sama dia?" tanya Arsa sambil menunjuk Keanu kepadaku.

Aku mendengus. "Dari tadi juga udah gue tanya, kali. Cuma dasar orangnya aja yang nggak mau ngasih tau," ucapku sebal.

"Bukannya aku nggak mau ngasih tau kamu, Yesha. Tapi menurutku itu sama sekali nggak penting, dibandingkan kamu harus dapet hukuman dari Pak Rama karena nggak ngerjain tugas," ucap Keanu membela diri.

"Tapi—"

"Udahlah, yang penting 'kan, lo nggak di hukum sama Pak Rama. Apa itu masih nggak cukup?" sela Arsa, yang membuatku merengut kembali karena perkataannya.

*

Sejak ia membantuku mengerjakan tugas keterampilanku malam itu—walaupun pada akhirnya yang kukumpulkan pada guru keterampilanku bukan hasil pekerjaan kami—minus soal pertengkaran kecil kami dengan Arsa hari itu—hubungan kami menjadi semakin dekat. Bukan hanya di dalam kelas, di luar kelas pun hubungan kami menjadi tidak ada bedanya. Bahkan teman-teman sekelasku sampai mengira aku dan Keanu pacaran karena kedekatan kami akhir-akhir ini.

Awalnya, aku tak begitu menghiraukan perkataan mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, entah mengapa aku merasa terganggu juga akan perkataan mereka. Pasalnya, kali ini bukan hanya teman-teman sekelasku yang membicarakan tentang kedekatan kami. Tapi, hampir seantero sekolah, dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, semuanya membicarakan kami. Begitupun dengan guru-guru kami, pun dengan ibu-ibu kantin dan satpam sekolah kami. Membuatku semakin terganggu dibuatnya.

"Yesha.." aku mengerjap saat mendengarnya memanggil namaku dengan suara bassnya.

"Ke—napa?" tanyaku terbata, tak bisa menghilangkan kegugupanku saat berada di dekatnya.

"Kamu nggak denger aku ngomong apa ya?" tanyanya sambil menyipitkan mata.

"Hah?"

"Kamu nggak denger aku ngomong apa ya?" cicitnya lagi, diiringi dengan kekehan kecilnya.

"Ngg.. Emangnya kamu ngomong apa, Nu?" tanyaku sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Jadi beneran nggak denger nih?" kekehnya, yang membuatku salah tingkah karena perkataannya yang terdengar seperti menggoda di telingaku.

"Ngg..,"

"Nggak papa," selanya, lalu tersenyum tipis. "Ikut aku yuk," ia beranjak dari duduknya sambil mengamit lenganku tiba-tiba.

"Lho, ke mana?" tanyaku sambil menatapnya bingung.

"Udah, ikut aja yuk." ucapnya tak ingin dibantah, membuatku mau tak mau menurut karena perkataannya.

*

"Lho, kamu kok ngajak aku ke sini?" tanyaku bingung saat ia mengajakku ke kantin yang berada di lantai atas.

"Bukannya tadi kamu mau bilang, mau traktir aku di kantin?"

"Eh? Traktir apaan?" tanyaku heran. Merasa ada yang salah dengan perkataanya.

"Traktir makan lah. Bukannya tadi kamu sendiri yang bilang?" tanyanya, yang membuatku semakin melongo, benar-benar tak mengerti dengan perkataannya.

Emangnya kapan sih, gue bilang mau traktir dia? tanyaku dalam hati.

"Kapan aku bilang mau traktir kamu coba?"

"Tadi.., waktu di kelas. Sebelum ulangan matematika, kamu bilang sendiri. Kalau kamu bakalan traktir aku kalau kamu kalah ke luar kelas duluan."

"Astaga.." aku menepuk keningku pelan. "Jadi itu beneran?" tanyaku, seolah tak percaya dengan apa yang ia katakan.

Keanu mengangguk. "Itu 'kan, perjanjian kita. Kalau di antara kita kalah, harus rela uangnya abis buat traktir makan apa pun di kantin."

"Ya Ampun.. Tega bener," ucapku dengan wajah memelas. "Aku kira tadi bohongan doang, makanya aku bilang gitu."

Keanu tersenyum kecil. "Yaudah, kalau gitu aku aja yang traktir." ucapnya sambil menepuk puncak kepalaku lembut. "Tapi untuk kali ini doang ya, lain kali nggak ada yang namanya kayak gini."

"Maksudnya?" tanyaku sambil menyipitkan mata.

"Maksudnya.., lain kali kamu harus tepatin janji, nggak boleh ngeles lagi kayak gini."

"Jadi, perjanjian kita masih berlanjut?"

Keanu mengangguk. "Pokoknya, selama kita masih ada ulangan, pernjanjian kita masih terus berlanjut."

"Termasuk UTS sama UAS, gitu?"

"Ya, termasuk." ucapnya, yang membuatku menghela napas.

Ini mah, namanya ke makan sama omongan sendiri dong? Ceritanya 'kan, gue mau ngerjain dia doang...

_______

22 Februari 2015

AyeshaWhere stories live. Discover now