"Mengandalkan ketidaksabaran
yang ada di hati,
aku berlari sekuat tenaga
menuju dirimu di tengah hujan.
Orang yang selalu kukejar."
....
****
“Lalu apa yang terjadi? Jake, apa kau tidak membantunya?”
“I-itu … aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”
“DASAR BODOH, IDIOT KAU!”
Aku hanya bisa tertunduk saat mendengar Ryujin membentak Jake lalu menjambak rambutnya kuat-kuat hingga dia mengaduh kesakitan.
Tidak ada yang kulakukan, satu-satunya hal yang ada di otakku hanyalah Minjeong, Somi, Jay dan Chenle, aku masih tidak menduga kalau mereka juga mendaftar sekolah ini dan bisa sampai berada di kelas yang sama.
Karena aku tidak melihat kertas pengumuman secara langsung jadi aku tidak mengetahuinya sama sekali.
Jadi … apa yang harus kulakukan?
“Kau bodoh, harusnya kau menolong Sarang! Bagaimana bisa temanmu dijadikan mainan tapi kau malah duduk leha-leha tanpa dosa.”
“Aku ingin menolongnya tapi aku takut!”
“Apa kau banci?! BAGAIMANA BISA KAU TAKUT PADA SEORANG PEREMPUAN YANG BAHKAN TIDAK TERLALU CANTIK!”
Aku melirik sekilas, “Ryujin … Minju sangat cantik, wajahnya bahkan seperti rahmat dari surga.”
Ucapanku justru membuat Ryujin semakin menatap penuh hujaman kepada Jake, tidak perduli kalau Jake terlihat menciut seperti seekor anak kucing diterpa badai.
“Jadi kau takut padanya karena dia cantik? Jadi kau tidak berani jika berhadapan dengan gadis cantik?!”
“Bu-bukan begitu ….”
“Selamat atas hubunganmu dengan Sunghoon, Jung Sarang,” ucap seorang lelaki yang tiba-tiba melewati kami, sepertinya dia teman sekelas.
“HEH! BRENGSEK KAU!” seru Ryujin kepada orang itu.
Aku dan Jake menahan napas melihat Ryujin berteriak pada orang itu, padahal aku yang dikerjai oleh orang-orang di kelas tetapi Ryujin terlihat paling emosi, mungkin saja dia marah padaku karena tidak mampu melakukan apapun untuk membela diri.
Dia memegang kedua bahuku dan menepuknya beberapa kali.
“Jika nanti Minju atau siapapun itu mengganggumu lagi, jangan pernah kau diam saja, tarik saja rambutnya nanti aku pasti akan membantumu. Kepalan tanganku ini terasa seperti batu raksasa jika menghantam seseorang, jadi kau tidak perlu takut.”
Entah mengapa aku merasa sedih saat mendengar ucapan Ryujin.
Jika suatu hari nanti Ryujin berubah menjadi seperti Byeol, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan selain marah pada hidupku sendiri.
Aku juga pernah mendapat teman yang kupikir akan membelaku meskipun semua orang berpaling, tetapi disaat itu juga dia ikut pergi seakan senyum dan tawa pada hari yang lalu bukanlah apa-apa.
Lagipula aku tidak mungkin mampu melawan … memang apa yang bisa dilakukan orang bodoh dan lemah sepertiku selain menangis.
“Astaga, apa ini, kenapa kau menangis? JAKE TANGGUNG JAWAB!”
“Kau yang marah-marah, kenapa aku yang harus tanggung jawab!”
****
Bel tanda bahwa jam pelajaran sekolah telah selesai, berbunyi beberapa kali sejak hampir sepuluh menit lalu, hari pertama di sekolah tidak terasa sudah berakhir hanya untuk sekadar perkenalan materi belajar sekaligus perkenalan antar teman-teman di kelas.
Aku masih sangat ingat ketika aku diminta oleh wali kelas untuk berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri.
“Na-namaku Jung Sarang.”
“Kekasih resmi Park Sunghoon,” sahut salah satu murid laki-laki di bangku belakang kemudian beberapa murid tertawa seakan itu adalah hal lucu.
“Tutup mulutmu!” jawab Ryujin sembari menoleh ke belakang dan melotot galak kepada orang itu hingga dia diam tidak mengatakan apapun karena takut.
Aku sempat melihat kepada Sunghoon, dia hanya diam saja saat diejek seperti itu, padahal aku yakin dia juga tidak nyaman sama sepertiku tetapi dia tidak mengatakan apapun, bahkan dia juga tidak mengajakku berbicara seharian ini.
Ketika Sunghoon berkenalan di depan kelas mereka juga mengejeknya sebagai kekasihku hingga wali kelas bertanya apakah kami benar-benar berpacaran, untungnya mereka menjawab kalau itu hanyalah lelucon.
Akan tetapi tetap saja itu terasa sangat memalukan, raut wajah santai dari Sunghoon justru membuatku semakin tidak enak padanya.
Aku terus berjalan pergi menuju halte depan sekolah bersama Ryujin hanya untuk menunggu kakakku datang menjemput sekaligus jemputan milik Ryujin.
“Apakah hari ini kakakmu yang datang menjemput?”
Aku mengangguk pelan, “Iya, dia akan datang sebentar lagi karena jam kuliahnya sudah selesai beberapa jam lalu.”
Ryujin langsung merapikan rambutnya sedikit tanpa melihat kaca, aku terkekeh pelan melihat tingkahnya yang seperti itu.
“Aku tidak boleh terlihat jelek di depannya.”
“Apa kau menyukai kakakku?”
“Tidak, hanya saja kakakmu itu baik dan tampan, akan sangat memalukan jika aku terlihat jelek di depannya.”
Ini bukan pertama kalinya Ryujin bersikap seperti ini setiap akan bertemu kakakku, dia terus menyangkal kalau dia tidak menyukainya dan aku tahu akan hal itu, namun tingkahnya selalu saja membuatku merasa heran.
Ryujin adalah gadis yang bebas, dia tidak harus berpacaran ataupun menyukai seseorang, bagi dia kebahagiaan untuk diri sendiri jauh lebih penting, dia lebih senang memiliki teman banyak daripada memiliki seorang pacar.
Ah, kami melihat mobil milik keluarga Ryujin dari kejauhan.
“Kau ingin pulang naik mobilku? Sepertinya langit sudah semakin mendung, kau bisa kedinginan di sini,” ucap Ryujin saat mobil berwarna silver itu semakin mendekat.
Aku menggeleng, menolak ajakannya, “Sebentar lagi kakakku akan sampai, kalau dia tahu aku pulang bersamamu padahal dia sudah diperjalanan aku yakin dia akan mengomel.”
“Apa kau yakin akan menunggu di sini?”
“Iya, tidak apa-apa.”
Ryujin tampak kebingungan sejenak sebelum aku meyakinkannya bahwa sebentar lagi kakakku pasti akan datang, akhirnya dia mengangguk setuju dan meninggalkanku di sini seorang diri menunggu jemputan.
“Dingin sekali.”
Beberapa kali aku mengusap telapak tangan.
Langit sudah begitu mendung dan aku memprediksi kalau hujan akan turun beberapa saat lagi, terpaksa aku harus menunda mengirim pesan pada kakakku hingga hujan sedikit lebih reda daripada menjadi bahan omelan.
Kak Jaehyun juga orang yang sangat sibuk, jam setengah lima sore seperti sekarang sudah pasti dia masih berada di kampus untuk mengerjakan tugas, atau barangkali dia sedang bersama pacarnya.
Hujan tiba-tiba turun.
Aku terbelalak lantaran tebakanku benar.
Sambil melihat tetesan hujan aku tidak bisa berhenti memikirkan Minjeong, dia terlihat baik dengan tersenyum padaku, dia juga tidak ikut mengejek ketika semua orang mengejekku sebagai kekasih Sunghoon.
Sebenarnya apa yang terjadi setelah aku pindah sekolah? Mengapa mereka terlihat baik-baik saja seakan lupa kalau dulu mereka pernah melakukan hal buruk padaku?
Meratapi setiap hal-hal tidak berguna sambil nelamun menatap hujan, rasanya mirip seperti orang-orang yang sedang syuting film drama menyedihkan.
Ah … aku harus berhenti terlihat menyedihkan seperti ini, aku sudah bertekad untuk menunjukkan sisi kuat dari diriku.
Suara gemeresak pelan terdengar disela-sela lamunan, aku menoleh ke arah samping, melihat seorang lelaki sedang membersihkan lengan seragam almamater sekolahnya yang terkena air hujan.
Aku merasa heran.
Lelaki itu membawa payung tapi dia terlihat seperti agak kehujanan, bahkan rambutnya juga tampak setengah basah.
Siapa dia?
Entah mengapa aku merasa asing sekaligus merasa kenal di saat bersamaan.
Lelaki dengan mata tajam sekaligus teduh, rambut hitam serta tubuh yang lumayan tinggi, dia memiliki wajah tirus dan suara yang lumayan berat walaupun sebenarnya suara itu tidak terlalu cocok dengan wajahnya.
Dia terlihat seperti flower boy yang mampu memikat orang lain hanya dengan menatapnya selama beberapa detik, seperti model di majalah remaja.
Beberapa kali dia mengibaskan rambut hingga poni itu menutupi sedikit kedua mata tajamnya.
Sadar kalau aku terus menatap, dia menolehkan kepala, tanpa sadar tatapan kami justru bertemu begitu tepat.
Aku terbelalak, karena ketahuan sedang mengamati orang asing tanpa izin, padahal aku hanya penasaran saja tapi sekarang merasa sangat bersalah, aku seperti mengenal dia tetapi tidak tahu di mana.
Lelaki itu tersenyum teduh seperti malaikat bertatapan tajam.
“Menunggu jemputan?”
Tanpa sadar aku membeku, entah mengapa suara berat yang orang itu miliki terdengar lembut dan dalam secara bersamaan, seperti mantra.
“I-iya ...,” Tanpa sadar aku menjawab pertanyaan orang itu dengan kaku.
Buru-buru aku membuang muka ke arah lain agar tidak kembali bertatapan dengan lelaki yang duduk dua meter dariku.
Aku merasa sedikit aneh, laki-laki itu seakan memiliki aura tidak biasa.
Rasanya seperti berhadapan dengan orang dari ras tinggi.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam membunyikan klakson begitu keras, dia berhenti di hadapan kami begitu mulus, tentu saja itu bukan mobil milik keluargaku.
Bagaimanapun juga mobil itu terlihat sangat-sangat mewah dan licin, melihatnya saja sudah membuatku merasa tidak enak, apakah itu mobil milik pejabat? Apakah laki-laki itu adalah anak dari konglomerat?
Dia berdiri dengan santai kemudian berjalan menghampiri mobil hitam mewah di hadapan kami.
Tak ada percakapan apapun selayaknya orang yang tidak mengenal satu sama lain, dia hanya masuk ke dalam mobil dengan tenang dan menurunkan kacanya sedikit agar dapat melihatku di halte.
“Aku pergi dulu ... Jung Sarang.”
“Iya.”
Mobil hitam itu melaju pergi, menjauh dari halte sekolah.
Aku melihat sebuah payung putih transparan di atas tempat duduk halte yang panjang, tampak setengah basah seperti habis digunakan.
“Astaga, dia meninggalkan payungnya. Ceroboh sekali.”
Tunggu dulu ....
Kalau tidak salah orang tadi memanggil namaku, Jung Sarang.
“Dia mengenalku?!”
.
.
.
.
TBC