Chasing Antagonist | ChenJi

By TETEHnya_chenji

792K 102K 115K

Zhong Chenle, pemuda manis penyandang gelar gelandangan baru. Entah sial atau mujur, ia dipertemukan dengan s... More

Let's Start
Playing With Fire Pt.1
Playing With Fire Pt.2
Playing With Fire End
Interlude
Annoying Tricks Pt.1
Annoying Tricks Pt.2
Annoying Tricks Pt.3
Annoying Tricks Pt.4
Annoying Tricks End
Interlude Pt.2
Ageless Toxic Pt.1
Ageless Toxic Pt.2
Ageless Toxic Pt.3
Ageless Toxic Pt.4
Ageless Toxic End
Interlude pt.3
Bloody Pearl Pt.1
Bloody Pearl Pt.2
Bloody Pearl Pt.4
Bloody Pearl Pt.5
Bloody Pearl Pt.6
Bloody Pearl Pt.7
Bloody Pearl Pt.8
Bloody Pearl Pt.9
Bloody Pearl Pt.10
Bloody Pearl End
Interlude Pt.4
Under The Veil Pt.1
Under The Veil Pt.2
Under The Veil Pt.3
Under The Veil Pt.4
Under The Veil Pt.5
Under The Veil Pt.6
Under The Veil Pt.7

Bloody Pearl Pt.3

18.1K 2.5K 4K
By TETEHnya_chenji

Klarifisisksasififikasi!!!

Taeil dan Minseok itu sepupuan yaaa, bukan ponakan ama om (。•̀ᴗ-)

Ttd. Aing yg males ngedit typo











.
.
.
Chasing Antagonis
.
.
.















Kaku.

Tegang.

Tegak.

Itulah posisi duduk Chenle sekarang.

Park Jisung kurang ajar! Bodoh! Aku membencimu, sialan!

Batinnya terus mengulang mantra kutukan tersebut. Siapa yang tidak kesal jika ditinggal sendirian begini. Tidak benar-benar sendiri sih, masih ada ibu Taeil.

Tapi itu lah masalahnya! Keduanya tidak dekat, bahkan tidak kenal sama sekali.

Tadi, setelah Jisung mengajaknya makan. Pemuda tinggi tersebut beserta Taeil malah meninggalkannya seorang diri di meja makan. Mereka sudah makan, katanya.

Alhasil, duduk lah Chenle beserta sang tuan rumah yang sebelumnya sudah ia ketahui kondisinya. Ibu Taeil masih memiliki dua kaki, hanya saja kaki kanannya sudah tidak mampu bergerak. Wanita itu perlu bantuan kruk untuk berjalan.

Ibu Taeil tergolong cantik, terlebih rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai terlihat begitu lembut dan menawan. Namun, ia yang terus diam dan hanya duduk memperhatikan itu membuat Chenle tidak nyaman.

Pemuda manis itu sudah mencoba membuka percakapan. Tapi tak ada reaksi berarti. Wanita paruh baya tersebut tetap asyik menatapi dirinya.

"Ma-maaf, bibi. Apa ada yang salah dengan wajahku?" padahal aroma masakan yang tersaji begitu menggugah selera. Terlalu sayang untuk diabaikan, terlalu canggung pula untuk mulai makan. Dipersilahkan saja belum.

Chenle mulai bingung. Yang didepanku ini sebenarnya manusia atau hello kitty, sih?!

Oke. Sukses. Bulu kuduknya meremang. Ingatkan ia untuk menghajar Jisung karena telah berani meninggalkannya disini.

"Bibi?" ulangnya lagi. Berharap setidaknya ada sahutan singkat. Kaki wanita itu masih menapak tanah, artinya ia masih manusia. Tapi manusia mana yang betah diam membisu begitu?

Sial. Selera makannya mendadak hilang. Aku menyusul Jisung saja!

"Eh? Mau kemana?" akhirnya terdengar juga suara khas si nyonya Moon.

Bisa bicara ternyata, innernya sarkas. "Aku pergi saja, sepertinya bibi tidak suka padaku."

Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi pertamanya sejak tadi. "Karena suka padamu makanya bibi lihat terus-terusan. Apa kau terganggu?"

Tentu saja!

Chenle tersenyum kikuk. "Ehehe... tidak bibi, hanya saja rasanya agak aneh ditatap begitu."

"Maaf, maaf..." Wanita itu tersenyum, cantik sekali. "aku terkadang lupa mengontrol wajahku, terlebih aku suka diam kalau sedang terkesima."

"Ah... iya, bi." Jawab si manis sekenanya. Sejujurnya ia juga bingung harus menjawab apa ketika seseorang menyatakan kekaguman atas dirinya. Ingin sombong, tapi dengan orang tua. Ingin membantah, tapi ia yakin kalau dirinya sungguh tampan mempesona.

"Terlebih aku tengah mencoba mengingat sesuatu." Tutur nyonya Moon itu lagi.

"Wajahmu seperti pernah ku lihat di suatu tempat. Tapi aku lupa dimana." Lanjutnya ragu.

"Mungkin hanya kebetulan mirip." Simpul Chenle sepihak.

Konon kabarnya, setiap orang memiliki tujuh kembaran di dunia ini. Maka tak heran jika terkadang seseorang yang hampir serupa dianggap sama; padahal nyatanya berbeda.

Itulah mitos yang dipercayai orang terdahulu. Sebagai orang modern, tentu data ilmiah lebih diperlukan.

Begini.

Gen manusia tidak sepenuhnya beragam secara genetika, beberapa fitur yang mewakili diri seseorang ternyata juga dimiliki oleh orang lain. Sebagai contoh; meskipun tidak persis sama, namun pada umumnya manusia dengan ras yang sama memiliki bentuk mata, hidung, mulut hingga postur tubuh yang tidak terlalu beda satu sama lainnya.

Kesamaan bentuk wajah inilah yang membuat orang dari satu negara merasa bahwa semua warga dari negara lain yang tidak serumpun memiliki wajah yang sama.

Misalnya, Chenle yang awalnya kesulitan membedakan---artis negara antah-berantah--- Gita Gutawa dan Nagita Slavina. Ia kagum pada sang mama yang dengan mudahnya membedakan mereka berdua. Omong-omong, ibunya itu suka sekali menonton sinetron 'sangat bermutu' dari negeri yang katanya Atlantis hilang tersebut.

Atau seperti artikel dari laman online yang tak sengaja ia baca tempo hari. Katanya, orang-orang dari luar sulit sekali membedakan wajah warga Korea. Sebagai contoh; Park Jisung NCT sering dianggap sama dengan Jae Day6. Padahal jelas-jelas lebih tampan Park Jisung NCT dimata Chenle. Harap garis bawahi kalimat terakhirnya. Terima kasih.

Oh ayolah, jangan dianggap serius. Fenomena ini sebenarnya tergantung pada persepsi masing-masing orang. 

Mudahnya, jika merasa apa yang orang lain tuduhkan tidak benar. Maka bisa dipastikan pelaku dalam tuduhan tersebut 'hanya mirip' dengan diri sang tertuduh. Hmm... mengambang kemana-mana, itulah pemikiran seorang Zhong Chenle.

"Mungkin juga." Wanita itu membenarkan. Setelahnya ia kembali tersenyum lalu berkata. "kalau begitu, selamat menikmati hidangan ala kadarnya dariku ini." Itupun kalau seporsi penuh tteok dalbi, semangkuk udon, sepanci besar samgyetang serta dua roll potongan kimbab bisa digolongkan sebagai sajian ala kadarnya.

Chenle bersorak-sorai dalam hati. "Selamat makan." Akhirnya cacing-cacing di perut mendapat asupan juga. Cacing-ssi, tolong jangan curi semua nutrisi, beri banyak bagian agar diriku ini bisa lebih tinggi.

"Omong-omong, kita belum berkenalan." Sang nyonya Moon kembali berujar. Sementara si manis manggut-manggut, mulutnya sibuk mengunyah. "namamu Park Chenle, kan?"

Sang empunya nama kembali mengangguk.

"Kau punya marga yang sama dengan Jisung. Kalian saudara?"

Chenle menggeleng ribut.

"Berarti kalian menikah?"

"Uhuk! Maksud bibi apa?"

"Kau tidak terlihat seperti orang Korea sungguhan, agak ganjil kalau margamu benar Park." Wanita itu menjawab yakin. Wajah oriental Chenle tentunya tak bisa berbohong.

"Aku memang tidak berdarah Korea asli, tapi bukan berarti aku harus menikah dengan si tiang itu juga, kan?!" gemas. Chenle benar-benar gemas. Dari sekian banyak opsi, mengapa harus kata menikah yang melekat padanya dan pemuda Park itu.

Nyonya Moon hanya tertawa. Ia memang sudah mengira kalau wajah manis didepannya ini akan semakin manis jika digoda. Baiklah, saatnya mengalihkan topik. "Namaku Na Hyemi, ibu Taeil dan Bin."

Si manis mengernyit, "Bin?" 

Bin salabin jadi apa prok prok prok

"Moon Bin, adik Taeil."

Oh.

Mari lupakan pemikiran absurd Chenle barusan.

Semenjak kepergian Moon Jung Hyuk---ayah Taeil---sepuluh tahun yang lalu, Taeil pun mengambil alih tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga. Kala itu mereka bertiga berniat ke kota untuk merayakan diterimanya sang putera sebagai salah satu dokter forensik di rumah sakit swasta Seoul.

Namun naas, saat melewati tanjakan insiden menyedihkan pun terjadi. Sebuah truk yang membawa kayu gelondongan gagal mempertahankan muatannya. Alhasil puluhan batang kayu menghantam beberapa mobil dibelakangnya. Sang ayah tewas ditempat, sementara Taeil beserta ibunya kritis.

Lebih memilukannya lagi, hari kematian itu bertepatan pula dengan hari kelahiran sang adik. Hyemi yang tengah mengandung terpaksa menjalani operasi caesar. Kecelakaan tersebut lah yang menyebabkan kebutaan Moon Bin dan lumpuhnya kaki Hyemi. 

Taeil memang tak mengalami luka fatal jangka panjang. Ia hanya menderita geger otak dan leher retak yang untungnya mudah disembuhkan. Namun, luka batinnya terus menghantui hingga sekarang. Pria Moon itu tidak bisa menyetir mobil di jalan yang bergunung, karena trauma akan membuat tubuhnya limbung seketika.

Untungya rute untuk menjemput Jisung hanya melewati jalan hutan yang datar dan berkelok tanpa tanjakan, sehingga Taeil masih mampu melakukannya sendiri. 

"Kau cantik ya." komentar Hyemi lalu kembali menekuni kegiatannya; menatapi Chenle.

"Terutama dibagian mata." Lanjutnya lagi.





















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.



















Seperti yang telah disepakati bersama. Tim Kyuhyun bertugas menjaga kediaman So Junghwan, tim Leeteuk terus berpatroli sementara tim Jisung bertandang langsung ke kediaman Minseok. 

Mereka harus mengabarkan kematian bocah itu dulu, kemudian melakukan penyidikan pada si bocah So.

Rumah Minseok terletak di ujung desa, berseberangan langsung dengan muara sungai. Karena posisinya yang cukup jauh dari pemukiman, sinyal seluler tidak mampu menggapai daerah tersebut. Mau tidak mau mendatangi langsung menjadi pilihan satu-satunya.

"Taeil hyung." Pemuda tinggi yang tengah memasang beberapa peralatan kepolisian itu memanggil.

"Ya?"

"Apa pekerjaan orangtua korban?"

"Minseok? Kalau ayahnya buruh pabrik di kota sedangkan ibunya pengrajin boneka."

"Apa ayahnya sering pulang?"

"Jarang, aku bahkan tidak pernah melihatnya saat pulang kesini."

"Tapi sebelumnya hyung berkata bahwa Minseok ikut dengannya ke kota."

Taeil menjentikkan jari. "Soal itu, ibuku yang mengatakannya."

"Ibu hyung dekat dengan keluarga Minseok?"

Si pria Moon menggeleng pelan. "Tidak, tapi Minseok sering datang kemari untuk bermain dengan adikku." Setelahnya suara decihan samar terdengar. "Ck! Bukan bermain sih, lebih tepat mempermainkan adikku."

"Hyung terdengar begitu dendam padanya." Timpal Jisung seraya melekatkan sebuah alat pelacak dibagian bawah mobil.

"Aku tidak dendam, hanya kurang suka." Bantah Taeil. "kenapa kau memasang pelacak, Jisung-ah?" tanyanya bingung. Pengalihan, sebenarnya.

"Mempersiapkan kemungkinan terburuk. Siapa tahu mobil kita jatuh ke jurang tanpa diketahui siapapun."

"Hey! Perkataan itu doa. Jangan sembarangan!" Taeil mencebik. Kalau sampai kejadian ia juga yang mati. Lebih tepatnya mereka bertiga yang mati.

"Bercanda." Jisung menepuk bahu sang hyung. "aku selalu menggunakan alat pelacak ini agar Sungchan hyung dan Mark hyung selalu mengetahui posisiku."

"Kau tidak risih selalu diawasi begitu?" si pria Moon bertanya dengan nada sangsi.

Ujung bibir pemuda tinggi itu melengkung tipis. "Yah... mau bagaimana lagi."

Taeil paham. "Dua pengawas dua target, huh?"

Jisung hanya tersenyum gusi. Menolak berkomentar.

"Kau merancang semuanya dengan apik, aku kagum." Puji Taeil, walau raut wajahnya berubah datar.

Tentu saja ia mengerti, Sungchan harus tahu posisi Jisung karena mereka rekan yang semestinya selalu terhubung. Sementara Mark sebagai hyung yang baik harus selalu mengawasi adiknya, bukan?

"Mark hyung sudah mengeluh karena aku memintanya mengawasi tiga orang sekaligus."

Sebelah alis Taeil otomatis terangkat. "Bukannya ada kau dan Jaemin?"

"Kami 'kan tidak bisa bersama terus-terusan. Ada kalanya mereka pergi sendiri."

"Ah... benar juga." Taeil melangkah pergi, ia berniat menyiapkan peratalan kedokteran yang akan dibawanya. Siapa tahu ada kejadian darurat yang membutuhkan penanganan segera.

"Taeil hyung."

"Apa?"

"Tolong tambah dosisnya."

Pria Moon itu balik mendelik. "Kalau kau mau mati, silahkan tambah sendiri!" sinisnya lalu benar-benar menjauh.

Jisung hanya cekikikan. Namun, tawanya mendadak terhenti saat selintas cairan kental mengalir dibawah kakinya.

"Sial! Olinya bocor." Dengusan kasar ia hembuskan. "semoga bukan oli gardannya yang bermasalah." Harusnya mereka bisa segera pergi, tapi si roda besi rupanya tak mengijinkan.

Jisung bisa memperbaikinya kok, tenang saja.

Ia segera membuka kap belakang mobil, meraih sebuah dongkrak hidrolik jenis tabung beserta jack stand yang memang selalu ada disana. Ada juga box perkakas dan beberapa botol oli baru.

Taeil memang sengaja menjadikan bagasi mobilnya sebagai bengkel keliling pribadi. Padahal pria itu jarang menggunakan mobil, cara membenarkan mobil saja ia tak tahu.

Sebelum memulai aksinya, Jisung terlebih dulu menanggalkan atasannya. "Bertelanjang dada di udara dingin pukul satu malam nikmat juga tenyata." Jangan berpikiran macam-macam, ia hanya tidak ingin baju berharganya terkena cipratan oli.

Tak hanya tubuh atletisnya yang terekspos, seuntai kalung berbandul huruf 'C' pun ikut menunjukkan eksistensinya.

Jemari panjangnya mengusap bandul tersebut lalu menciumnya sejenak. "Delapan Desember." Gumamnya pelan. "sudah tahun yang ke berapa,ya? Kau pasti merajuk seharian kalau tahu aku melupakannya."

Sudah cukup acara mari mengenang masa lalunya.

Jisung kembali bergegas. Ia menuju bagian depan mobil, menyelipkan dongkrak pada kerangka besi tepat dibelakang roda depan.

Sebelum menaik turunkan tuas agar sistem hidrolis bekerja, pemuda tinggi itu lebih dulu mengencangkan katup kecil yang berada di sebelah tuas pengungkit.

Krit

"Hah!"

Krit

"Hah!"

Bunyi deruan napas serta derit tuas dongkrak saling bersahutan.

"Lenganku bisa makin kencang kalau melakukan ini setiap hari." Jisung malas berolahraga, ia lebih suka bermain danz base atau pump it up. Toh sama saja berkeringatnya. Terlebih ia suka sekali menarikan setiap lagu.

Dua roda depan akhirnya  berhasil terangkat. Tinggal memasang jack stand untuk menyokong fungsi si dongkrak agar tidak amblas.

Selesai dengan tahap pertama, Jisung kembali bangkit menuju kap belakang lalu menggamit segulung matras pink tipis yang harusnya dipakai untuk yoga. Ia tertawa, harusnya Taeil membeli satu yang beroda.

Ia menggelarkan matras tersebut, pas menutupi tumpahan oli. Setelahnya tubuh tegapnya pun ikut masuk ke kolong mobil.

"Hmm..." Pintar. Saking pintarnya ia sampai lupa membawa penerangan. Bagaimana bisa melihat rembesan oli jika semuanya gelap?!

Jisung berniat menarik tubuhnya untuk keluar, namun suara langkah kaki yang mendekat membuat niatnya urung.

"Kenapa?" Itu suara Chenle. Wajah manisnya bahkan ikut mengintip. "kau mencari serangga, ya?"

"Hm." Jisung menjawab malas.

"Mencari serangga itu di hutan, bukan dibawah mobil."

Nah itu kau tahu! Rasa-rasanya Jisung ingin menjedukkan sebongkah kepala besar ke rangka besi diatas sana.

"Bisa tolong aku?" Mengesampingkankan rasa sebalnya, ia harus segera memperbaiki kerusakan yang ada.

"Aku tidak bisa mereparasi mobil."

"Jadi, apa yang kau bisa?"

"Mereparasi tubuh manusia, mungkin. Contohnya memotong kakimu ini." Jisung bisa merasakan jika rekan manisnya itu tengah menggesekkan sesuatu yang panjang dan tumpul ke ujung kakinya.

"Hentikan! Itu geli."

Bukannya berhenti, Chenle justru makin menguatkan gesekannya. Sebilah sendok plastik tengah ia genggam.

Lama-lama rasanya sakit juga.

"Park Chenle!"

"Apa, sih? Tolong diam, aku belum selesai mengamputasi kakimu."

Benar. Kaki Jisung harus dipotong agar tinggi mereka sejajar.

"Potongnya nanti saja, sekarang bantu aku dulu."

"Bayarannya apa?" Todong si manis.

"Nikmat dunia mau?"

"Maksudmu es krim?"

Plak

Jisung menepuk dahi didalam sana. Entah polos atau bodoh pemuda manis yang tengah berbicara dengannya ini.

"Aku harus membantu apa?" Nada Chenle terdengar antusias. Ia serius berpikir tentang benda manis nan dingin tersebut. "nanti belikan dua box rasa strawberry, ya!"

Jisung menyerah. "Ambilkan box perkakas di bagasi."

"Siap, bos!" Chenle yang semula duduk itu langsung bangkit berlari.

"Sudah." Ucapnya lagi ketika kembali ke posisi semula.

"Buka kotaknya, carikan lampu LED untukku."

"Call!" Pemuda manis itu mengacungkan jempolnya, lalu mulai membuka kotak digenggamannya. Ada banyak kunci pas, palu, tang, obeng dan benda-benda lain yang tidak ia mengerti.

"Sesuatu yang seperti lampu." Bibir manisnya terus bergumam. Jisung tebak, pemuda mungil itu tengah bingung.

"Menemukannya?"

"Eung... sebentar."

"Cari benda bening yang punya tombol on/off."

"Oh! Yang ini!" Si manis berseru girang. Ada dua benda yang mirip lampu, tapi hanya satu yang memiliki tombol.

"Nyalakan lalu berikan padaku." Jemari panjang si pemuda Park terulur.

Klik

Lampu menyala. Chenle segera menyerahkan benda yang dimaksud.

Setelah mendapat penerangan yang cukup, Jisung segera mengobservasi titik bocornya oli. Manik tegasnya berkeliling, memindai onderdil satu per satu.

Gotcha! Hanya baut yang kendur rupanya.

"Chenle, kau masih disana?"

"Hu'um..."

Nadanya lucu sekali, semua kotoran telinga Jisung terasa mencair saat mendengarnya.

"Bisa tolong sambutkan kunci ring pas 17 padaku?"

Chenle kembali mengamati kotak perkakas didepannya. Kunci tujuhbelas? Maksudnya ada angka 17 belas, begitu?

"Kau tidak tahu?" suara si jangkung kembali terdengar.

"Iyaaa..." Mungkin Chenle salah makan, nadanya manja sekali malam ini. Pikir Jisung begitu.

"Wajar sih kau tidak tahu, otomotif memang dunianya laki-laki."

"Hmm..." Si manis terus menggumam, kepala cantiknya sibuk berpikir soal si angka tujuh belas. Beruntunglah Park Jisung. Ucapannya barusan tidak sampai ke telinga Chenle.

Diam-diam pemuda Park itu menarik napas lega. Ia kelepasan. Kan tidak lucu kalau rekan manisnya itu menuntaskan niatnya yang sempat tertunda disini. Itu loh, soal pembuktian.

"Cari yang ada angka 17 digagangnya."

"Ada tiga." Chenle menyahut. Ada sebuah kunci yang ujungnya berpenjepit sedang ujung satunya bulat. Ada yang kedua ujungnya berpenjepit. Ada pula yang kedua ujungnya bulat melingkar. "yang mana?"

"Yang ujungnya berbeda bentuk."

Oh, berarti opsi yang pertama. "Ini, bukan?"

"Ya, benar." Untuk alasan tertentu, Jisung bangga.

Setelahnya ia kembali fokus. Hanya perlu sedikit putaran untuk mengencangkan baut itu kembali.

Selesai. Masalah teratasi.

Ia berniat keluar, namun lagi-lagi terhalang ketika sebuah benda dingin menyentuh ujung jari kakinya. Bahkan samar-samar Jisung bisa mendengar sebait nyanyian.

Hanchi dochi sechi nechi~

Ppukuppang! ppukkuppang!

Seekor dinosaurus sukses tergambar di ibu jari pemuda Park tersebut.

Chenle menemukan sebuah spidol permanen. Karena bosan hanya diam, ia memutuskan untuk membuat mahakarya saja.

Hanchi dochi sechi nechi ppukku ppukku ppang ppang!

Kali ini karakter kartun kotak mirip busa pencuci piring menghiasi jari telunjuk kaki Jisung.

Dalrineun duchi son naemilmyeon jab-eul su issgo~

Eoryeoul ttae useojun-eun nae chingu duchi~

Selanjutnya emotikon mengupil di jari tengah.

Kkupu kkupu gado-gado!

Jisung dibuat mengernyit, seingatnya bukan itu liriknya.

Jageun kirago nolrimyeon nan jeongmal sirheo~

Kineun jagjiman gip-eun saeng-gag keun kkum-i isseo~

Selanjutnya seekor lumba-lumba punk metalic dijari manis.

Kkupu kkupu gado-gado!

Diakhiri dengan kuku kelincing Jisung yang ia beri kuteks hitam hasil spidol.

"Yeay!" Seru si manis bangga.

"Kau sudah selesai?"

"Sudah."

"Kalau begitu menjauh lah, aku ingin keluar. Kau bisa tertendang kalau tetap disana."

"Okay."

Benar-benar khas anak TK. Itu inner Jisung begitu netranya menangkap hasil karya yang Chenle torehkan padanya.

"Woahh... kalungmu." Daripada memerah karena tubuh topless si jangkung, Chenle lebih tertarik pada kalung yang melilit di leher pemuda tinggi tersebut. "C? Itu inisial pacarmu, yaaa..." Nadanya mengolok.

"Biar ku tebak, C untuk Chaeyong? Chaeryong? Chaeyoung? Chaeyeon?"

"Bagaimana kalau C untuk Chenle?" Sekalian saja Jisung balas menggoda.

Diluar dugaan, pemuda manis itu justru terlihat tenang-tenang saja. "Boleh, tapi kau harus mau ku beri inisial B."

"B?"

Chenle mengangguk. "Ya, B untuk babi alias mati saja kau!"

Tuh kan, kata tenang dan Chenle memang tidak seharusnya berdampingan.



















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.























Singkat cerita, setelah acara mengomel singkat karena lagi-lagi sang rekan manis menguji kebasabaran Park Jisung.

Ketiganya pun berangkat menuju tempat yang dimaksud.

"Berhenti tertawa!" Jisung yang tengah menyetir itu mendelik ke arah kursi penumpang. Chenle terkikik geli disana.

"Begitu saja marah, kalau kau benar tampan tidak akan ada masalah." Setelah menyahut ia kembali tergelak.

Taeil menatap kasihan pemuda disampingnya. Dari dulu, Jisung memang selalu menjadi korban kejahilan Chenle.

"Kemarikan wajahmu, biar ku balas hal serupa."

"Ey... tidak bisa." Nada mengejeknya kian menjadi. "wajah tampanku ini aset, tidak boleh diperlakukan sembarang."

Emosi Jisung sungguh mengepul di ubun-ubun. Sebentar lagi akan meledak. Ia tidak habis pikir, bagaimana bisa pemuda manisnya itu dengan gampanganya mencorat-coret wajah tampannya.

Tadi, Jisung meminta Chenle untuk membersihkan noda oli yang terciprat ke pipinya. Benar, si manis itu memang benar membersihkannya. Tapi ia juga sekalian menggambar kumis palsu dan kacamata untuknya.

Tinta permanen. Kualitas super pula. Pemuda Park itu sudah menggunakan alkohol bahkan body lotion untuk menghilangkannya. Tapi tetap saja ada bekas samar yang tertinggal, terlebih kulit putihnya semakin mendukung noda tersebut.

Mau tak mau ia harus memakai kacamata sungguhan untuk menutupi kacamata dua dimensinya. Tapi kumisnya masih belum teratasi. Kalau hanya garis biasa sih tidak masalah. Nah ini garis lurus yang melingkar-lingkar macam obat nyamuk diujungnya.

"Bisakah sehari saja kau tidak nakal padaku?"

"Tidak bisa."

"Jangan salahkan aku kalau suatu hari kau ku beri hukuman yang berat."

"Coba saja." Chenle balas menantang. Tidak ada kata takut dalam kamus hidupnya. Iyakan, umur tidak ada yang tahu.

Tiba-tiba saja Taeil tertawa. "Aku jadi teringat dia yang tidak bisa bekerja seminggu penuh karena ulahmu."

Jisung hanya melirik lewat ekor matanya, "Jangan membahasnya sekarang, hyung."

"Dia siapa?" terlambat. Pemuda manis itu sudah penasaran.

"Jaemin, Jisung pernah mematahkan tulang rusuknya." Taeil tidak berbohong. Memang ada dua kejadian yang menyebabkan seseorang tidak bisa masuk kerja.

"Eh? Kenapa?"

"Kurasa kau tidak perlu mengetahuinya." Sambar si pemuda Park.

"Hmm... ya sudah, aku juga tidak memaksa."

"Jaemin hyung pernah memberikan obat yang salah padaku." Jisung bercerita juga akhirnya.

"Kesalahan itu wajar, harusnya kau bisa berbesar hati untuk memaafkan."

"Karena kau tidak merasakannya sekarang, maka kau tidak akan tahu betap frustasinya aku saat itu." Sejujurnya, Jisung pun tak ingin membuka luka lama.

"Memang dia salah memberi obat apa, sih?" Kan... Chenle jadi penasaran lagi.

"Tidak ada."

"Huh! Menyebalkan!"

Kau tidak boleh mengingatnya lagi, sayang.

Ya. Park Chenle tidak boleh mengingat kejadian paling kelam itu lagi.

Ia harus selalu bahagia tanpa perlu mengenang sosok malaikat kecil yang sempat menyebutnya ibu.

Walau semuanya berlandas dusta, aku lebih suka kau yang ceria begini.

Tidak. Jisung tidak boleh menangis sekarang.

"Taeil hyung." Lebih baik menenggelamkan diri dengan berbagai kasus kejahatan. "melihat kondisi korban, menurutmu bagaimana cara pelaku membunuhnya?"

"Kepala bagian belakangnya membengkak dan membiru, kemungkinan disebabkan pukulan langsung benda tumpul di area tersebut."

"Saat memeriksanya, kami juga menemukan serbuk kayu dibagian itu. Bisa ku simpulkan senjata yang pelaku gunakan adalah sebilah kayu." Taeil berujar lagi.

"Apa kalian menemukan alat yang mungkin pelaku gunakan?"

"Kalau hanya sebilah kayu, di lokasi penemuan mayat Minseok terdapat banyak potongan kayu." Chenle menyahut. Ia berkata begitu karena TKP dekat sekali dengan perkebunan warga. Bukan hal aneh jika banyak potongan kayu disana.

"Akan cukup sulit jika kita tidak menemukan alat pembunuhan yang pelaku gunakan." timpal si jangkung. "kita harus tahu dulu kapan terakhir Minseok masih terlihat hidup."

"Kalau soal itu, harusnya kita curiga pada Kim Seokjin." Taeil menambahkan. "dari apa yang ku dengar, anak itu terakhir kali ikut bersamanya."

"Tapi untuk apa Kim Seokjin membunuhnya?" Si manis kembali menyahut. "apa alasan logis ketika seorang ayah membunuh anaknya sendiri?"

"Kita tidak bisa menyimpulkannya sekarang." Jisung menengahi. "kita harus memeriksa kesaksian orangtua Minseok. Bisa saja seseorang membunuh anak mereka lalu mengarahkan semua bukti pada keduanya."

Masuk akal. Dua lainnya mengangguk setuju.

"Soal bola mata korban yang hilang, menurut kalian apa motifnya?" pemuda Park itu kembali memulai diskusi.

"Seperti yang Taeil-ssi katakan, mata tidak begitu mahal di pasar gelap. Bukan perdagangan organ ataupun human trafficking motifnya." Chenle menyimpulkan.

"Mungkinkah motif dendam?" Celetuk si jangkung lagi.

"Sudah ku katakan pada Chenle-ssi sebelumnya." Taeil memulai. Bibirnya sedikit melengkungkan senyum ganjil. "kalau motifnya dendam, kalian tentu harus mencurigaiku."

Chenle bersiap menyela. "Bukankah sudah kukatakan kalau alibi--

"Mungkin alibiku kuat, tapi aku punya latar belakang lain yang semakin memperkuat tuduhan padaku."

Chenle tidak mengerti, disaat orang lain mati-matian membantah, Taeil justru dengan suka rela menyerahkan diri.

"Karena kondisi adikku, aku termotivasi untuk mendalami ilmu transplantasi kornea mata."

"Praktek uji cobanya sangat menguras biaya, terlebih mata merupakan organ vital manusia yang sulit sekali ditemukan pendonornya. Tidak kah kalian terpikir bahwa aku akan mengambil jalan pintas untuk mempermudah segalanya?" Taeil belum berniat berhenti.

"Memperdaya bocah lugu lalu mencungkil bola matanya misalnya." Lanjutnya enteng.

"Hyung." Jisung mendadak resah. "aku terpaksa akan menahanmu jika kau terus memperkuat bukti yang mengarah padamu."

Chenle tidak suka suasana ini. Taeil terlihat aneh.

"Kau tidak akan bisa menahanku," pria bermarga Moon itu kembali tersenyum. Secerah dan seramah biasanya.

"Karena aku---

"Hyung!"

---akan melakukan ini."

Brukk!



















tbc...

Gk jelas? Yaudah.
( ',ƪ') Aing ngupil

                          <( ‾▿‾)-σ• (‾o‾") nih upil

Anu.

Eh langsung ditampar dong!

#ps jgn cari aing, lagi mampus. Bye.

Continue Reading

You'll Also Like

42.4K 3.5K 76
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
1M 83.8K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
58.8K 6K 19
Romance story🤍 Ada moment ada cerita GxG
225K 33.8K 61
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...