Move On

بواسطة afterbrokenn

26.1K 3.3K 1.3K

[SELESAI] Cinta itu mudah, yang memperumit adalah pikiran kita sendiri. المزيد

Mereka Berdua
00. Prolog
01. Senyuman
02. Hujan Dan Malam
04. Tentang Cinta
05. Siapa?
06. Kesekian Kali
07. Perlindungan
08. Berharap
09. Bahagia?
10. Pertarungan Atap
11. Kertas Hitam
12. Lagu Kita
13. Suka?
14. Mimpi Buruk
15. Selamat
16. Sandaran
17. Berjarak
18. Rasa Bersalah
19. Pertemuan
20. Susu Kotak
21. Kebenaran
22. Kembali
23. Lekas Pulih
24. Lembar Baru
25. Epilog
MINI EXTRA; Puing Lain
EXTRA CHAPTER; Buah Cinta

03. Kejadian Rabu

794 127 21
بواسطة afterbrokenn

Hari Rabu tiba. Gadis yang tengah berjalan menuju kelas itu tampak bersinar bak bintang di tengah malam. Ia selalu memberikan senyuman pada orang-orang yang menyapa.

Lia memasuki kelas dan mengambil tempat duduk disamping Yana seperti biasanya.

"Yan, Rachel mana ya?" Tanya Lia sembari celingak-celinguk lantaran Rachel tidak ada di dalam kelas namun tasnya secara tidak langsung mengatakan bahwa dia sudah datang.

Yana yang sedang streaming MV itu menoleh, "Gak tau, tadi katanya ada urusan bentar." Lia mengangguk paham.

Tak berselang lama dari itu, suara riuh dan bising terdengar dari perpustakaan sekolah, disusul oleh para siswa yang berlarian kearah sana.

"Yana, mereka ngapain sih lari-lari kayak dikejar setan?" Dahi Lia mengkerut.

Yana menyimpan ponselnya ke saku, "Mana gue tau, gue 'kan disini sama elo. Mau ikut lari gak?"

Tanpa mendengar jawaban, Yana segera menarik lengan Lia dan membawanya ikut bersama siswa-siswa tadi.

"Permisi, ada air panas!" Teriak Yana yang seketika langsung membuat kerumunan itu memberinya jalan.

Orang-orang yang tadinya melindungi diri dengan tangan sontak mendesah malas melihat Yana tidak membawa air panas.

"Nares!" Pekik Lia dan Yana kaget saat menyaksikan ditengah kerumunan ada Nares dan Haris dengan wajah yang sudah babak belur.

Disana bukan hanya mereka berdua saja, ada guru BK juga. Tapi yang membuat dahi Lia semakin mengerut dalam adalah kehadiran Rachel diantara keduanya.

"Jangan bilang Rachel yang nonjok?" Lia masih sempat-sempatnya berpikir seperti itu. Bukan tanpa alasan, disana hanya Rachel saja yang tidak lecet sedikitpun yang membuat wajar pemikiran Lia.

Yana tidak mengacuhkan Lia, dia seperti membeku ditempat dengan mata yang terpaku pada tiga orang itu.

Nares tak sengaja menengok Lia, selanjutnya ia mendesah menahan kesal dan membuang muka.

"Kalian bertiga, ikut bapak sekarang!" Suruh pak Hakim sambil menyeret paksa lengan Nares dan Haris membelah kerumunan, diikuti Rachel dibelakang.

Saat Rachel berpapasan dengan Yana, Yana langsung menahan tangannya.

"Berulah lagi dia?" Pertanyaan Yana diangguki oleh Rachel dengan berat. Menimbulkan helaan nafas Yana yang terdengar iba.

***

Diruang BK ini sudah agak lapang, tidak banyak siswa yang berdesakan guna menyaksikan apa yang tengah terjadi pada mereka.

Hanya ada Yana, Lia, Jafran, Haikal dan Reza diluar ruangan untuk menunggu. Walau begitu, suara di dalam ruangan masih kedengaran seperti menggema ditelinga Lia.

Yana dan Lia duduk dikursi panjang depan ruang BK. Sedangkan tiga lelaki itu berdiri, menyandarkan punggung pada dinding dengan tangan yang menyilang di dada.

"Jadi belum ada yang mau cerita?" Pertanyaan pak Hakim tidak mendapat jawaban.

Lia menarik-narik baju seragam Yana, gadis bermata tajam itu akhirnya menyambar tangan Lia dan menggenggamnya seolah memberi ketenangan.

Jangan salah paham dulu, Lia gugup karena sahabatnya, Rachel, juga ikut dalam masalah yang belum jelas seluk-beluknya ini. Ia khawatir Rachel kenapa-napa.

"Rachel gak papa 'kan, Yan?" Tanya Lia.

"Dia gak papa, Lia. Tenang aja, oke?" Lia mengangguk berat.

"Tau gak sih, kita kayak lagi nunggu kabar pasien dari dokter gitu?" Jafran mencoba memberi lelucon, tapi tak ada yang mau menanggapi.

"Si Nares anjing lagian, udah tau kayak gitu masih aja keras kepala." Reza mengumpat kasar.

Haikal langsung menyenggol lengan Reza untuk menyuruh pemuda itu agar diam karena dia ingin menguping pembicaraan.

"Gak semua masalah pribadi orang bisa diceritakan, pak." Ujar Haris dari dalam ruangan yang membuat Haikal terkikik.

"Demen nih gue sama yang kayak gini." Kata Haikal.

"Kamu melawan saya?!" Sentak pak Hakim.

"Ya mana berani saya, pak. Saya cuman ngasih tau pendapat aja." Ujar Haris lagi.

"Haris." Rachel menegur tegas yang membuat atmosfer ruangan semakin dingin dan mencekam.

Nares menoleh kearah gadis yang berdiri satu-satunya itu, kemudian mendecih pelan.

"Heh, kamu kan bilang gak ikut-ikutan sedangkan kamu ada disana tadi. Bisa diceritakan?" Giliran Rachel yang ditanyai.

Rachel diam, menunduk dalam.

Pak Hakim menghela nafas panjang, menyenderkan tubuh kepunggung kursi sambil membagi tatapan pada 3 orang dihadapannya ini.

"Kalian mau jadi apa kalau kerjaannya kayak gini? Kamu, Nares Adhinatha, saya kenal betul sama ibu kamu. Mau saya laporin ke dia kalau anaknya berantem sama temen sekelasnya sendiri?"

Nares tentu menggeleng. Dia sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun, jangan sampai hati ibunya tersakiti hanya karena masalah sepele yang dia alami.

"Kamu, Haris, saya juga kenal dengan pamanmu. Mau saya laporin ke dia kalau kamu berantem terus disini? Kamu ini ya, belajar malasnya minta ampun. Giliran berantem gini gak mau ketinggalan."

"Laporin aja, pak. Paling mereka gak peduli." Sahut Haris tenang. Seperti tak ada beban saat mengucapkan sederet kalimat itu, mungkin karena dia merasa dapat tekanan dari pak Hakim.

Rachel, Nares dan pak Hakim sontak menatap Haris sekilas. Terkejut dengan pernyataan Haris yang tiba-tiba.

Melihat itu, Haris tertawa remeh. "Ini makanya saya bilang gak semua bisa diceritakan. Orangtua saya cerai. Udah puas?" Ucap Haris menusuk lalu keluar dari ruangan meninggalkan keheningan yang dia ciptakan.

Langkah Haris terhenti saat menangkap lima orang diluar ruangan. Mereka berlima pun kini menengok Haris dengan berbagai macam pertanyaan.

Namun yang terjadi selanjutnya sesuai dugaan, tanpa meninggalkan sepatah kata Haris pergi melanjutkan langkahnya yang tertunda.

Lia yang tak sengaja menyaksikan bagaimana tajam dan tidak bersahabatnya tatapan Haris tadi langsung mengeratkan genggaman tangan. Ia merasa mereka berlima seperti akan diterkam oleh Haris.

"Songong banget muka lu. Ngajak tawuran?!" Teriak Haikal kala Haris sudah pergi.

Jafran menoyor dahi Haikal, "Udah keburu pergi baru berani bilang gitu. Elo tuh yang songong!"

"Eh, elo kok bela dia?" Tentu saja Haikal tak terima.

Reza ikut menoyor Haikal, "Diem dulu bambang! Gak kedengeran nanti suara mereka."

"Elo tuh yang diem cabe pasar!" Hardik Haikal sambil mengelus dahinya yang toyorable.

Reza mendengus, "Dasar Budi!"

Mendengar nama asing disebut, Lia mendekatkan bibir ketelinga Yana. "Budi siapa?"

"Bapaknya Haikal." Jawab Yana pelan.

Tak berselang lama, Nares dan Rachel keluar dari ruang BK yang mana membuat kelima orang itu langsung berdiri tegak.

"Udah selesai?" Tanya Jafran meluruskan pandang kearah Nares.

Nares mengangguk.

"Kena skor gak?" Giliran Reza yang menanya.

Nares menggeleng pelan. Ia melirik-lirik Lia lalu membuang nafas agak kasar. Karena tak tahan, Nares mendekati Lia lalu meloloskan ikat rambut yang melilit pada gadis itu.

"Ini udah yang ketiga kalinya gue lepasin ya Lia. Ikat rambut lo gue sita." Kata Nares sambil memasukkan ikat rambut bewarna biru pastel kedalam saku celana.

Lia baru ingat, hari selasa semalam Nares juga melepas kunciran dia.

Reza dan Rachel sontak membuang muka kearah lain.

Reza memang tak bisa menyaksikan langsung sikap sok lembut seorang Nares. Baginya itu menggelikan.

Sedangkan Rachel, entahlah, hatinya seperti bergemuruh hebat.

"Kalo gitu ayo masuk kelas." Reza mengkomando.

Saat semuanya sudah mulai bergerak menuju kelas, Nares cepat-cepat menyambar lengan Lia sehingga gadis itu tertarik kesampingnya.

"Gue pinjem Lia bentar. Kalian duluan aja ke kelas." Ujar Nares tak bernada, lalu membawa Lia untuk ikut dengannya.

Seolah tak keberatan dan tak mau tau, muda-mudi itu memilih untuk masuk ke dalam kelas.

"Ngapain?" Lia bengong karena Nares malah membawanya ke UKS, takut diperlakukan yang macam-macam.

Pemuda yang sudah duduk manis diujung ranjang UKS itu mendongak.

Ia menyodorkan wajah, "Obatin dulu."

"H-hah?"

"Obatin dulu ini muka ganteng gue gak keliatan, Lia." Kata Nares tenang.

Lia mengangguk, ia mengedarkan pandangan dan menemukan kotak P3K dimeja. Lia menyambar kotak itu dan mulai mengobati luka Nares secara perlahan.

"Bilang kalo sakit." Ucap Lia.

Nares tak menjawab, pemuda itu malah asik meneliti garis wajah Lia dari arah pandangnya.

Lia ini cantik, baik pula. Tapi sayangnya dia agak bego sedikit.

Nares mendengus, membuang muka kearah lain karena Lia cewek yang terlalu polos sehingga mudah dibodohi.

"Kenapa?" Bingung Lia karena Nares mendengus tepat diwajahnya.

"Enggak ada apa-apa." Kata Nares. Seperti biasa, nada bicaranya sopan dan lembut.

***

"Lo tadi kenapa bisa berantem sama Haris anjing?!" Tanya Jafran tajam saat mereka berempat sudah duduk dengan tenang didalam kelas.

Rachel, Yana dan Lia juga sudah berada di dalam kelas. Bedanya, mereka tidak mengorek informasi lebih dalam. Rachel tampak termenung, Yana sedang fokus pada ponselnya sambil sesekali berteriak tak jelas, sedangkan Lia sudah tertidur pulas dengan tangan yang dia jadikan bantal.

Guru yang seharusnya mengajar tidak masuk pagi ini, katanya pergi keluar kota mengobati anaknya yang sakit. Makanya kelas IPA 2 ini sangat bising.

Nares memandang kursi kosong yang biasa ditempati Haris dengan pandangan yang sulit untuk di artikan. Haris sedari tadi tak masuk ke dalam kelas, entah kemana perginya anak itu.

"Kepoan lo pada." Nares berdecak malas.

Reza menggeram frustasi, kesabarannya terkikis habis karena sikap Nares. "Heh dodol! Kita ini siapa elo sih sebenernya? Gak mau buka-bukaan?"

Haikal langsung melihatnya ngeri, "Dosa woi!"

Untuk kesekian kali, Reza menoyor Haikal, "Masih sempet-sempetnya nih anak."

"Bisa diem gak sih?" Tanya Nares kesal.

"Kagak!!" Jawab ketiganya kompak, lalu saling memberi tos heboh.

***

Lia sebenarnya tidak tidur.

Ia memunggungi ke-empat lelaki itu makanya dia terlihat sedang tidur. Tapi nyatanya, Lia melamun.

Yana sadar, tapi dia tidak mau menegur Lia. Takutnya ditanyai yang macam-macam.

"Yana." Panggil Lia.

Dengan pasrah Yana menyahut, "Iya?"

"Kamu beneran gak tau masalah antara Rachel dan Nares?"

"Satu dunia juga tau, Lia." Ingin sekali Yana mengucapkannya namun tak bisa karena Rachel akan marah besar kalau masa lalunya diceritakan orang lain. Apalagi disini Rachel terkesan sadgirl dan Rachel membenci itu.

Pada akhirnya Yana menggeleng ragu, "Enggak, Lia. Emang ada masalah apa?"

Lia mendesah pelan, "Enggak papa kok. Cuman aneh aja liat mereka berdua kayak renggang banget."

"Udah, jangan dipikirin lagi." Kata Yana menenangkan, Lia hanya mengangguk saja.

"Omong-omong, Lia. Gue juga mau nanya," Yana mulai serius.

"Tanya apa?"

"Tapi sebelumnya jangan tersinggung ya."

"Iya, santai aja Yana."

"Elo... suka ya sama Nares?"

"Hah, suka gimana? Baru beberapa hari aku kenal dia, deket juga engga," Lia menyangkal halus.

Yana mengangguk singkat. Dipikirannya sekarang, Lia suatu saat pasti akan menyukai Nares jika pemuda itu terus melakukan hal-hal konyol yang kemungkinan akan membuat Lia salah mengartikan.

***

"Mereka kok gak gabung sama kita lagi?" Lia mengedarkan pandangan kepenjuru kantin, mencari keberadaan empat orang cowok jangkung yang biasanya ikut nimbrung makan bersama Lia, Yana dan Rachel.

Pergerakan Rachel yang lagi memotong bakso memelan, sedangkan Yana berdehem lalu meneguk es teh manisnya.

"Harusnya kita tuh beruntung mereka gak satu meja lagi sama kita, 'kan jadi gak keganggu, Lia." Ujar Yana berusaha terlihat tenang.

"Berarti kamu selama ini keganggu ya?" Tanya Lia polos.

Yana mengangguk pasti, "Iya dong. Emang lo engga keganggu apa berisik gitu?"

Lia menggeleng, "Engga, enak juga 'kan jadi rame, dari pada makan hening gini." Kata Lia menyinggung suasana diantara mereka bertiga ini.

"Adab makan di Indonesia tuh jangan banyak bicara, Lia. Gendang telinga gue bisa lari denger si Haikal teriak-teriak." Ucap Rachel melebih-lebihkan.

"Kalo Haikal... iya sih aku keganggu hehe." Lia menyengir lebar.

"Yaudah makannya di lanjut. Ngobrolnya agak nantian lagi." Final Rachel sambil menyuapkan sesendok bakso ke mulutnya.

Walau dalam hati Rachel sangat gundah, khawatir seorang Nares Adhinatha kenapa-napa.

***

"Udahlah, Na. Ngambek jangan kayak setan gini. Ayo buru ngantin, gue mau godain Neng Lia lagi nih!" Haikal mendesak.

Empat sekawan itu kini tengah berada di rooftop sekolah. Nares tidak meminta mereka untuk mengikutinya, namun dengan segala kesetia kawanan Reza, Jafran dan Haikal mengekor.

Kata Jafran, "Lo pada kagak mikir kalo Nares bisa aja loncatin diri dari atas gedung?!"

Lalu Reza menyahut, "Gue belum siap kehilangan Nares, nanti gak ada lagi yang rela hujan-hujanan kerumah gue untuk mulangin buku catatan."

Dan Haikal mengiyakan, "Gue takut digentayangin Nares karna sering bocorin rahasia dia yang suka bolos ke emaknya."

Dari percakapan singkat diatas kalian bisa menyimpulkan bahwa 'kewarasan' adalah hal yang paling gila bagi Dreamer.

"Siapa suruh ngekorin gue?" Nares mengangkat sebelah alis.

"Ya tapi kan—ah yaudah deh." Haikal pasrah saja, ia kemudian mengambil duduk dibawah kursi karna kursinya dipakai oleh Nares dan Jafran. Sedang Reza menyandarkan punggungnya pada dinding pembatas dengan kedua tangan dimasukkan dalam saku.

"Si Haris kemana dah? Dari pagi tadi gak keliatan." Tanya Reza memecah keheningan.

Jafran mengedik bahu, "Gak tau, paling cabut lagi dia. Tuh anak 'kan emang suka cabut kalo ada masalah."

"Tapi kalo diliat-liat Haris kasian juga ya? Mukanya kayak orang kurang perhatian gitu." Haikal nimbrung.

Reza merubah pose jadi menyilangkan tangan di dada, ia menghadap Haikal.

"Lo tuh ngaca! Muka kayak gembel aja ngeselin banget." Kata Reza sarkas.

Hailal menyatukan alis, "Halah, orang kayak elo tuh yang harusnya musnah aja!"

Tatapan Reza semakin tajam. "Enak aja! Orang tua gue susah payah buat gue ada disini malah elo suruh musnah?!"

Haikal bangkit dari duduknya, ikut bersidekap dada. "Lo kira orang tua gue gak kerja keras buat gue ada di dunia ini juga?!"

"Kenapa jadi malah bahas orang tua sih kalian ini?!" Jafran menghela nafas pelan.

"Si Haikal ini nih!" Adu Reza, menunjuk Haikal dengan jari telunjuknya.

"Apa? Gue kenapa emang?!" Haikal masang wajah songong.

"Jangan pancing gue untuk berkata kasar ya monyet!" Jafran mengumpat, namun didetik selanjutnya ia tersenyum hingga matanya pun ikut senyum.

"Kalian berdua ini kayak anak kecil aja ya. Dari dulu gak pernah berubah. Gelut terus sampe Jafran nafkahi Yana dan anaknya." Omel Nares dengan suara bass persis seorang rapper.

"Aamiin.. makasih do'anya ya, Res." Kata Jafran, menepuk pelan bahu Nares beberapa kali.

"Eh tapi serius dah, Haris kemana?" Pertanyaan Haikal kali ini dijawab oleh rumput yang bergoyang.

***

Ting!

Bunyi notifikasi ponsel Rachel terdengar nyaring, berhasil menginterupsi dua orang lainnya.

Rachel merogoh saku, mengambil ponsel dan membaca pesan tersebut.

Ekspresi tenang tadi berganti menjadi tegang. Rachel bangkit dari duduknya dan permisi dengan terburu-buru.

Padahal bakso dia belum habis.

"Rachel orangnya tertutup gitu ya, Yan?" Tanya Lia tanpa sadar mengorek informasi tentang Rachel lebih dalam.

Yana terdiam sebentar, dia baru menyadari satu hal. "Dulu dia terbuka. Malah sangat terbuka sama gue. Tapi ada something yang buat dia jadi agak nutup diri."

"Aku pernah baca buku, katanya kalo kita terus-terusan mendam sesuatu itu bisa berakibat fatal. Kita jadi bisa menutup diri dari orang lain dan bahkan jadi gila." Jelas Lia panjang lebar.

"Lo do'ain Rachel gila?" Yana terkejut.

Lia jadi panik, "Aduh bukan gitu maksudku Yana..."

"Hehehe bercanda kok, Lanjut deh lanjut. Gue masih mau dengerin." Ujar Yana.

"Satu-satunya cara yang bisa buat seseorang itu lupain bebannya walaupun cuman sebentar, ya cari tempat yang tenang."

"Jadi?"

"Jadi gimana kalo nanti kita ajakin Rachel buat jalan-jalan? Cuman kita bertiga doang tapi."

Yana mengangguk antusias. Bersahabat dengan Lia ternyata bukanlah hal yang buruk.

"Eh, aku ke toilet bentar ya, Yana. Kebelet." Lia langsung bangkit dan berlari kecil menuju toilet.

"Aduh ini kok gak dikasih aba-aba dulu kek?" Lia merutuk sepanjang jalan.

***

"Jadi ngapain elo suruh gue kesini?" Tanya Rachel tanpa basa-basi.

"Chel, gue mau minta maaf."

"Maaf? Kenapa?"

"Karna gue... gue udah banyak buat hidup lo bermasalah."

"Gue biasa aja tuh." Rachel mengedik bahu.

Haris berdecak agak kuat, "Lo liat sendiri kan? Asal elo sama gue pasti kena masalah mulu. Minggu lalu gue buat lo pingsan karna gak sengaja lempar bola basket ke kepala lo. Trus tiga hari kemudian gengnya Hana permaluin lo didepan anak-anak karna gue nolongin elo dan-"

"Dan lo minta gue buat menjauh? Minta pertemanan kita sampe disini aja karna lo udah banyak buat gue terlibat masalah?" Nada Rachel tenang tapi mengerikan.

Haris diam lama namun kemudian mengangguk ragu.

Hal itu sontak membuat Rachel mendorong dada Haris hingga pemuda itu sedikit terhuyung kebelakang.

"Banci tau gak sih lo?!"

"Chel, plis—"

"Haris." Tegur gadis mungil itu yang membuat Haris menelan kembali kata-katanya.

"Semua itu gak seberapa kalo dibandingin sama semua perbuatan baik lo ke gue. Lo udah banyak bantu gue, lo selalu ada di titik terendah gue. Lo selalu mengerti gue gimanapun itu dan sekarang lo minta pertemanan kita kandas?" Rachel tak habis pikir.

"Chel, lo gak malu apa temenan sama anak kayak gue? Gue ini brengsek, bajingan, brandalan—"

Grep

Haris mematung saat Rachel tiba-tiba menubruk tubuhnya dan memberi pelukan erat. Tanpa bisa ditahan, kristal bening pun mulai keluar dari sudut matanya.

Tak berbeda dengan Haris, Rachel pun merasa hancur saat mendengar kalimat demi kalimat yang Haris lontarkan.

Tak bisakah Haris mensyukuri dirinya sendiri?

Hei, setidaknya dia masih diberi kesempatan untuk bernafas dengan baik.

Rachel memberi tepukan dipunggungnya sehingga pemuda jangkung itu merasa lebih tenang dari sebelumnya.

"Haris, jauh sebelum gue ngenal Yana gue udah ngenal lo lebih dulu. Gue tau lo itu cowok kuat, lo temen terhebat gue sampe kapanpun itu." Kata Rachel tulus.

Haris membalas pelukan Rachel tak kalah erat.

Mereka berdua sebenarnya sangat dekat layaknya saudara kandung. Ayah dan Ibu Haris sudah bercerai sejak Haris masih berumur 3 tahun. Karena dulu Haris dan Rachel bertetangga, maka orang tua Rachel sepakat untuk membagi perhatian mereka pada Haris  dikarenakan Ayah dan Ibunya lalai dalam mengurus dia. Tak berselang lama setelah perceraian itu, Haris dibawa sang Ayah pindah ke kota lain. Namun beberapa tahun kemudian Haris memutuskan untuk tinggal di kota ini dan tinggal berdua dengan Neneknya.

"Chel, bisa janji 'kan buat gak tinggalin gue?" Tanya Haris serius.

Perlahan Rachel melepas pelukan, ia menatap Haris lekat sambil menghapus jejak air mata dipipinya.

Rachel yang terkenal galak kini sudah berhasil menampakkan wajah pilu.

"Iya. Gue janji." Kata Rachel mantap.

Tanpa mereka sadari, dari balik dinding pembatas halaman belakang sekolah ada seseorang yang mendengar dan menyaksikan langsung interaksi keduanya.

Lalu orang tersebut memilih untuk pergi dari sana dengan membawa satu jawaban dari segala pertanyaan.

__________

Gimana sama part ini?

Sider keluar dongg biar lapak ini gak sepii

Btw ini panjang banget, mual gak sih bacanya?

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

2K 233 5
Tidak segala hal mesti rampung ketika harus ditinggalkan. Tidak segala hal mesti selesai ketika harus ditenggelamkan. Tidak segalanya harus berakhir...
Remember When بواسطة senja

قصص المراهقين

45.3K 8.4K 34
(COMPLETED) Berawal dari bioskop, popcorn, dan cola. Yang akhirnya mempertemukan Hejantara dan Grizellet dalam satu teater yang sama.
1M 63.4K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
2.9K 482 19
- Done - Entah takdir atau kebetulan, aku ingin mengetahui segalanya tentangmu, tanpa melepaskan dia. Sebut saja aku pemeran antagonisnya - Nala Aku...