Chasing Antagonist | ChenJi

By TETEHnya_chenji

792K 102K 115K

Zhong Chenle, pemuda manis penyandang gelar gelandangan baru. Entah sial atau mujur, ia dipertemukan dengan s... More

Let's Start
Playing With Fire Pt.1
Playing With Fire Pt.2
Playing With Fire End
Interlude
Annoying Tricks Pt.1
Annoying Tricks Pt.2
Annoying Tricks Pt.3
Annoying Tricks Pt.4
Interlude Pt.2
Ageless Toxic Pt.1
Ageless Toxic Pt.2
Ageless Toxic Pt.3
Ageless Toxic Pt.4
Ageless Toxic End
Interlude pt.3
Bloody Pearl Pt.1
Bloody Pearl Pt.2
Bloody Pearl Pt.3
Bloody Pearl Pt.4
Bloody Pearl Pt.5
Bloody Pearl Pt.6
Bloody Pearl Pt.7
Bloody Pearl Pt.8
Bloody Pearl Pt.9
Bloody Pearl Pt.10
Bloody Pearl End
Interlude Pt.4
Under The Veil Pt.1
Under The Veil Pt.2
Under The Veil Pt.3
Under The Veil Pt.4
Under The Veil Pt.5
Under The Veil Pt.6
Under The Veil Pt.7

Annoying Tricks End

19K 3K 2.5K
By TETEHnya_chenji

Plak

"Awh! Jangan memukul pantatku!"

"Kau tidak mendengar perintahku, ya? Aku tidak menyuruhmu untuk membunuhnya!"

"Jeno, kau tidak mengerti. Orang itu menyentuh Chenle!"

"Lalu apa masalahnya? Pria itu hanya menyentuhnya." Jeno sungguh tidak mengerti jalan pikiran istri manisnya ini.

"Tsk!" decihnya tak suka. "dia menyentuhnya, aku tidak suka!"

Si pemuda Lee mengernyit, "Kau tidak suka karena dia mantan kekasihmu, kan?" bibir yang biasanya tersenyum konyol itu melengkung ke bawah. "kau masih menyimpan perasaan padanya, bukan?"

Renjun menggulirkan booa matanya malas, alasannya tidak begitu.

Salah. Salah besar.

"Bukan begitu."

"Lalu apa lagi? kau punya hubungan masa lalu dengannya, kau pasti masih mencintainya."

"Aku memang tidak suka jika orang lain menyentuhnya, tapi bukan karena aku masih mencintainya. Dia memang seharusnya tak tersentuh."

Penjelasan membingungkan itu membuat lengkungan turun bibir si pemuda Lee makin menjadi. "Tak tersentuh? Jelaskan dengan benar, jangan mengarang alasan."

Renjun tak tahan lagi, "Sudahlah! Bisa tidak kau kesampingkan masalah pribadi?!"

"Kau yang terlebih dahulu membawa masalah pribadi!" Jeno tak mau kalah.

Kehidupan rumah tangga dua orang ini memang penuh dengan perdebatan. Namun tenang saja, mereka saling mencintai kok. Mungkin cekcok adalah cara mereka untuk menunjukkan perasaan masing-masing. Untung tidak ada Jaemin, bisa-bisa adu debat berubah jadi ajang adu gulat.

"Aku tidak--

"Sssstttt..." Nakamoto Yuta yang ada diantara mereka mendesis. "diamlah, kalian terlalu berisik."

"Salahkan si bodoh ini!" sergap Renjun.

"Kau berani mengatai suamimu, huh?!"

"Aku hanya mengataimu bodoh, kau bahkan sering mengataiku jalang!" Renjun tidak bohong. Jika Jaemin selalu memberinya panggilan menggelikan, maka Jeno lebih suka memberinya panggilan mengesalkan.

Sudah cukup. Yuta geram, tanpa pikir panjang ia meraih leher pasangan suami istri itu lalu mencengkramnya kuat. "Diam atau ku patahkan leher kalian!"

Lee Jeno boleh saja lebih berotot, tapi Nakamoto Yuta yang sedang marah itu jauh lebih kuat dan menyeramkan.  Ia tak akan segan-segan mematahkan batang lehermu jika berani mengiyakan. Jung Sungchan pernah membuktikannya dulu

Pemuda Jung itu sempat menggoda Shotaro saat ikut sang kakak bertugas. Bahkan tangan nakalnya sempat mencolek dagu si pemuda Osaki tersebut. Dan yah... tentu saja Yuta murka. Selain batang leher, ia juga mematahkan jari tengah Sungchan.

Beruntung kasusnya tak sampai ke meja hijau, mereka lebih memilih menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan. Namun hasilnya, Sungchan trauma untuk keluar dari ruangannya. Terutama jika itu berpasan dengan Yuta, nyawanya siap melayang saat itu juga.

Kasihan.

"Baiklah, lepaskan aku dan kita kembali pada tugas utama." Renjun bernegosiasi.

Yuta melepaskan keduanya lalu kembali pada sikap acuh tak acuhnya. "Mengapa kau menembaknya? Aku atau pun Jeno tidak memerintahkan hal tersebut padamu." tanya si Nakamoto akhirnya.

Huang Renjun bukan bagian dari kepolisian, tapi kemampuan menembak jarak jauhnya tidak boleh dianggap enteng. Ia sering ikut andil dalam beberapa kasus yang tentunya tanpa sepengetahuan Seo Johhny.

Ah, Pria tinggi beraura hot daddy itu kepala polisi cabang tempat Jisung bekerja, omong-omong.

Kembali soal Renjun. Orang tanpa ijin khusus seharusnya tidak diperkenankan untuk ikut campur dalam penindakan kejahatan. Tapi, kerja Renjun selalu bersih. Terlebih ada Lee Jeno sebagai tameng pelindungnya.

Yuta sebenarnya merasa jika istri rekannya itu cukup aneh. Seingatnya saat Jeno dan Renjun masih berpacaran, pemuda China itu sempat pergi ke luar negeri untuk melanjutkan sekolah bisnisnya. Bukan untuk melatih kemampuannya sebagai seorang sniper.

Ah, masih ingat dengan pengakuan Renjun pada Jisung waktu itu? Masih ingat cerita masa lalu memalukan antara dirinya dan Chenle ketika itu?

Mari bongkar satu hal, mereka adalah pembohong ulung. Saling melengkapi dusta masing-masing, itulah kenyataannya.

Jangan pikir Jeno selaku suami tidak pernah curiga. Karena sebanyak apapun ia bertanya, sebanyak itu pula Renjun tidak akan mau menjawab dari mana ia memperoleh keahliannya.

Karena itu pula Jeno menyerah, biarlah hal itu tetap menjadi rahasia si pemuda Huang. Bertanya pada Jaemin pun sama tidak bergunanya. Istrinya yang satu itu bahkan lebih bodoh darinya.

Jangan sampai Jaemin tau ejekannya barusan. Bisa tamat riwayatnya.

"Sudah kukatakan, bukan?" Renjun menghela napas. "aku tidak suka dia menyentuh Chenle."

Yuta benar-benar tidak setuju, penuh penekanan ia menjawab. "Tapi kau membunuhnya, seharusnya kita bisa mendapat penjelasan darinya nanti!"

"Bagaimana jika ternyata masih ada orang lain yang membantu pelakunya?" Jeno juga ikut memojokkan sang istri.

"Aku tidak peduli, tinggal bunuh saja mereka satu per satu." Renjun berucap santai tanpa beban, seolah menghilangkan nyawa seseorang bukan lah hal berat untuknya.

"Kalian tidak lihat kalau pelakunya menodongkan pistol pada Chenle? Bagaimana kalau dia mati? Jangan katakan bahwa kalian berharap pada Jisung yang tengah pingsan itu." sambung Renjun sewot. Siapa sangka ia akan menyaksikan langsung sisi tidak berguna seorang Park Jisung.

Dua lelaki berseragam polisi itu merenung, mereka sudah biasa menyerahkan segalanya pada Jisung. Apakah kali ini Jisung akan kehilangan gelar pahlawannya?

Sementara dua orang itu sibuk dengan pemikirannya, Renjun kembali tiarap untuk meraih senapan runduknya. Sebelah matanya ia tempatkan pada teleskop pembidik dibagian atas senjata. Hal ini memungkinkannya untuk melihat sesuatu yang jauh menjadi lebih dekat.

Sedetik kemudian ia terbahak karena si pemuda Zhong diseberang sana tengah memakinya. Pemuda cantik itu mangacungkan jari tengah padanya.

"Ahahahaha... you know it, huh."

"Apa yang terjadi?" si pemuda Lee bertanya. Situasi genting begini istrinya itu malah sempat-sempatnya tertawa.

"Tidak ada-- eh?!" tawa Renjun seketika itu menghilang lalu digantikan dengan sorot terkejut. "Jisung bilang pelakunya ada dua orang!" ia berkata begitu karena si Pemuda Park memberikan isyarat dua jari padanya.

Yuta melongo, "Apa!? Jadi dia tidak benar-benar pingsan?"

"Sepertinya dia sengaja pura-pura pingsan agar pelakunya segera keluar." Asumsi Renjun kemudian.

"Dan kau mengacaukan rencananya dengan membunuh pelaku pertama." sindir Jeno.

Renjun merasa cukup bersalah untuk itu, namun ia merasa sudah melakukan hal yang benar. Tidak perlu minta maaf.

"Tidak boleh ada orang yang bertindak tak senonoh pada Tu-- ah! maksudku Chenle."

"Bisakah kau memberikan jawaban yang lebih pasti? Alasanmu sungguh terdengar sangat personal." sungut si pemuda Lee tak suka. Ia cemburu bung!

"Kalian berdua! Kembali merunduk! Ada seseorang yang datang." Renjun refleks mengomando saat pandangannya menangkap siluet lain yang mendekat kearah Chenle.

Jeno dan Yuta kembali ke posisi semula kemudian meraih teropong masing-masing. Yang bermarga Lee melotot, ia kenal siapa orang itu. "Tidak kusangka kasus ini masih ada hubungannya dengan kasus kemarin."




























.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.



























Huang Renjun sialan! Dia membunuh orang tepat didepan wajahku. Menjijikkan! darahnya mengenaiku, keparat!

Chenle menatap terganggu pada jasad berlumur darah dihadapannya. Ia ingin mengelap wajah namun tangannya masih terikat. Berdoa saja putih kulit mulusnya tidak alergi.

Tak

Tak

Setelahnya ia menjadi awas ketika pendengarannya menangkap suara derap langkah yang mendekat.

"Oh, halo temanku." Bukan sapaan menyenangkan.

Chenle kenal suara ini, "Ch-choi Minho!"

"Kau! Jangan bilang kalau kau terlibat!" Chenle tak bisa percaya ini. "kau harusnya ada di rumah sakit."

Choi Minho tersenyum simpul. "Harusnya kau terlebih dulu bertanya tentang kabarku."

Perasaan si pemuda Zhong mendadak cemas, pertemuannya dengan Choi Minho hanya berjeda beberapa hari. Tidak mungkin pria itu sembuh kejiwaannya hanya dalam hitungan hari. Sungguh, lebih mudah menghadapi orang normal yang beringas dibanding orang gila yang berpura-pura polos.

"Jangan takut, aku tidak akan berbuat jahat pada temanku." Choi Minho tersenyum lagi, senyum yang memuakkan dimata Chenle.

"Katakan maksud semua ini!" Chenle menyalak, berbasa-basi bukan gayanya. Pergelangannya sakit karena ia refleks bergerak maju saat berteriak barusan.

"Woah..." Choi Minho berpura-pura terkejut. "tenanglah, tidakkah kau merindukanku?"

"Cih! aku pasti sudah gila jika merindukanmu."

"Aahh~ harusnya kau merindukanku, kau berkata akan menjadi temanku, bukan?" nadanya sengaja dibuat semenyedihkan mungkin.

Chenle muak, tapi ia akan mencoba mengikuti alur yang pemuda Choi itu ciptakan. "Jelaskan semuanya padaku, apa tujuanmu melakukan semua ini? Kau akan jujur pada temanmu ini, kan?"

"Tentu saja! Tapi sebelum itu kita harus menutup celah ini dulu." Pemuda Choi itu mengeluarkan benda semacam remote control dari sakunya, setelahnya muncul beberapa drone melayang dengan selembar kain hitam tebal yang membentang. Kain tersebut menutup satu-satunya ventilasi yang ada disana.

Sial. Chenle mengumpat dalam hati. Renjun diluar sana melakukan hal yang sama.

"Nah... sekarang temanmu yang lain tidak akan bisa melihat kita dari luar."

"Tidak ada siapa-siapa diluar sana." Chenle berkilah.

"Hahahaha..." Choi Minho terpingkal, "kau pikir aku bodoh? Jasad didepanmu itu sudah cukup menjelaskan bahwa ada temanmu yang lain diluar sana."

"Syukurlah jika kau pandai, tapi sayang sekali kepandaian itu kau gunakan untuk hal yang salah." Cibir si manis kemudian. Ia tau, sangat tau malah. Seharusnya ia tidak memancing amarah pria itu. Dirinya tidak bersenjata dan posisi yang terikat ini tidak memberikan keuntungan sama sekali.

Ia melirik bagian sampingnya, cepatlah bangun Jisung sialan! sampai kapan kau akan tidur, huh! Bangun atau aku bumi hanguskan apartemenmu!

Percuma. Si pemuda Park tetap setia memejamkan matanya. Chenle benar-benar gemas untuk merobek kelopak mata pemuda tinggi itu agar terbuka.

"Temanmu itu tidak akan bangun, mungkin dia perlu beberapa hari lagi untuk sadar. Kau tau? Peluru bius yang ku tembakkan padanya memiliki dosis yang sangat tinggi loh." Choi Minho kembali terbahak, merasa lucu tentang perbuatannya.

Chenle sungguh cemas, bibir bagian dalamnya ia gigit kecil-kecil. Bagaimana ia harus menghadapi situasi ini?

Ayo berpikirlah, Zhong Chenle! Kau bukan orang bodoh macam Jisung.

Yah... bahkan situasi genting  sekali pun tak mampu menghalanginya untuk memperolok si jangkung.

"Apa alasanmu melakukan ini, apa keluarga Osaki sudah melakukan hal tidak baik padamu?"

Seketika tawa Choi Minho berhenti, wajahnya kembali sendu. "Tidak, dia yang membuatku begini!" tunjuknya pada Shotaro.

Gotcha! Chenle mengerti pokok bahasan yang bisa membuat lelaki Choi itu buka mulut. Choi Minho dan Shotaro menuntut ilmu di perguruan tinggi yang sama, pasti terjadi sesuatu diantara mereka.

"Apa dia melukaimu?"

Choi Minho jatuh berlutut, lalu meraung tak karuan. "Ya! Dia melukai hatiku. Melukai cintaku!" derai air matanya berjatuhan.

"Mungkin dia tidak bermaksud begitu."

"Bohong!" tangisnya semakin menjadi. "dia selalu saja menolak cintaku. Mengatakan aku tidak pantas untuknya."

"Apa dia mengatakan suka pada orang lain?" Chenle harus memancing lebih jauh, ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Dia sangat mencintai Nakamoto Yuta! Karena itu aku selalu mengancam akan membunuh kakaknya kalau dia berani melapor."

Yang lebih muda terkesiap, percintaan haram semacam itu memang seharusnya dibenci. "Dia hanya mencintai sebatas cinta antar saudara, aku yakin itu." Seterkejut apapun, Chenle harus tetap tenang.

"Tidak!" si pemuda Choi semakin sesenggukan. "dia mencintainya!"

"Apa karena itu kau mencoba membunuh Shotaro?"

"Aku tidak berniat untuk membunuhnya."

"Penembakan di kamarnya? Itu ulahmu, kan? Kau juga telah mengotori dirinya."

"TIDAK!" Minho tiba-tiba saja bangkit, tatapan nyalang ia tujukan untuk si pemuda Zhong. "aku ingin membunuh pemuda yang bersamanya didalam kamar itu, bukan dirinya. Aku tidak mengotorinya, aku hanya bermain dengannya! Lagipula dia sudah sering begitu dengan mantan kekasihnya!"

"Kau pasti cemburu pada Yangyang."

Pemuda Choi itu mendekat kearah Chenle, ia bahkan menendang jauh tubuh kaku Kim Woojin yang menghalangi langkahnya. "Ya, tapi sekarang aku cemburu padamu."

Firasat Chenle tak enak.

"Bagaimana kalau sekarang kita bermain?" Choi Minho menyeringai padanya.

Orang ini psycho!

"Aku akan bertanya sesuatu padamu, jika kau benar maka aku akan menjawab satu pertanyaanmu. Jika kau salah... pemuda itu melirik Jisung.

Ia kembali berdiri kemudian memungut salah satu pecahan kaca. Langkahnya ia bawa menuju kearah si jangkung yang masih setia menuup mata. Perasaan Chenle semakin tak karuan, "Apa yang akan kau lakukan?!"

Sret

Bruk

Pemuda Choi itu memotong tali yang mengikat tubuh Jisung, membuatnya jatuh tertelungkup membentur kerasnya lantai marmer.

Mari beri hadiah piala oscar untuk Park Jisung. Acting pingsannya terlihat sangat natural kawan-kawan.

"Jika kau salah menjawab, maka aku akan mengambil darahnya." Choi Minho lagi-lagi tertawa, wajahnya menyiratkan napsu yang menggebu. "tubuhnya yang putih bersih ini pasti akan sangat indah jika berlumur merahnya darah. Seandainya darah manusia berwarna putih, pasti akan terlihat lebih indah lagi."

Chenle tidak salah lihat, air liur memang menetes dari ujung bibir pemuda Choi itu.

"Mengapa harus dia? Kenapa tidak aku saja?" Chenle menawarkan diri. Lebih baik ia yang terluka ketimbang orang lain.

"Aku tidak bisa melukai orang yang kusukai."

Chenle meringis dalam hati, tidak adakah orang normal yang bisa menyukainya?

"Jika aku tidak mau bermain, kau pasti akan tetap membunuhnya, bukan?"

"Ya, tapi tidak akan seru jika kau tidak ikut bagian. Kau mungkin akan ketakukan menyaksikan kematiannya didepan matamu. Tapi aku lebih suka wajah penuh kekhawatiranmu ketika nyawanya bergantung pada jawabanmu."

"Kau tidak waras!"

"Aah..." Choi Minho bersedih lagi, "aku ini normal." ia menangis lagi.

Sial, ikatannya terlalu kuat!

Sementara pemuda gila itu sibuk menangis, Chenle mencoba melepaskan ikatan yang menahan pergelangan tangannya. Namun segala usahanya sia-sia, bukannya merenggang ikatan itu malah semakin kuat menyakitinya. Pergelangannya akan menghitam setelah ini.

"Tenanglah."

Sayup-sayup ia mendengar sebuah suara yang memintanya untuk tenang.

"Disini."

Lagi, Chenle mendengarnya lagi.

"Dibawah sini."

Matanya melirik ke arah sang rekan. "Kau sudah bangun!" kata-kata itu tidak bersuara, hanya gerakan bibirnya lah yang bisa Jisung baca.

"Ya, ikuti saja permainannya." Si pemuda Park melakukan hal yang sama.

"Tapi kau bisa terluka!"

"Sejak kapan kau peduli padaku?"

Wajah Chenle menggelap, ia tengah khawatir tapi pemuda Jangkung kurang ajar itu malah menghancurkan mood baik hatinya.

"Baiklah, ayo mulai permainannya!"  Choi Minho tiba-tiba berseru, wajahnya kembali ceria.

Aku harus tenang.

Chenle menarik napas dalam-dalam, ia sudah membaca profil diri Choi Minho. Ia masih ingat semuanya, tidak akan ada masalah tentang itu.

Maniknya mengikuti gerakan si pemuda gila yang kembali menghampiri Jisung, lalu...

Jleb

Sebilah potongan kaca berhasil menembus telapak tangan kanan Jisung.

Chenle melotot, "Ya! Kau bahkan belum bertanya apapun!"

Darah segar mulai membanjiri bagian terluka itu. Namun Jisung tetap pada kepura-puraannya, karena...

"Aku berubah pikiran, aku akan menjawab pertanyaanmu setelah aku menusuk tubuhnya." Choi Minho tersenyum kegirangan.

"Apa kalian hanya berdua, masih adakah dalang yang lain dibalik ini semua?" Chenle harus bertanya, ia tidak bisa membiarkan luka sang rekan sia-sia begitu saja.

"Itu dua pertanyaan, aku akan mengambil bayarannya dulu." Choi Minho menarik kembali pecahan kaca tersebut lalu...

Jleb

"Tidak!"

Kali ini punggung Jisung lah yang menjadi sasarannya. Chenle menatap geram. Bagaimana dia bisa setenang itu!

"Hanya kami berdua, tapi ada seseorang yang membantu memenuhi segala peralatan yang kami butuhkan."

Chenle ingin bertanya lebih lanjut, namun hal itu akan semakin melukai Jisung.

"Aku akan mengambil bayaran yang ketiga." Pemuda gila itu berseru ceria, ia sangat suka menusuk tubuh seperti ini. Rasanya menyegarkan. Satisfying.

Kali ini orang sinting itu mengincar tengkuk Jisung. Tinggal beberapa inci lagi hingga...

Hap!

Brak

Bunyi dentuman keras terdengar ketika Jisung menghempaskan tubuh pemuda gila itu ke dinding. "Sudah cukup bermainnya, sekarang waktunya untuk mengadilimu." Jisung bersuara lantang. Sedikit pun tidak meringis akan luka-lukanya.

"Uhuk." Choi Minho terbatuk darah, "tidak semudah itu." Ia meraih sebuah remote control lain kemudian menekannya. Beberapa drone yang tadi menutupi ventilasi kini mulai bergerak. Benda tersebut mengeleluarkan cahaya terant yang mampu membakar benda-benda disekitarnya.

"Sinar laser! darimana dia mendapatkan teknologi canggih semacam itu!" Chenle terkejut bukan main. Senjata laser hanya diproduksi dalam skala kecil, itupun untuk penggunaan di medan perang bukan kehidupan sehari-hari semacam ini.

Jisung terus menghindar, sudah cukup luka yang ia terima. Ia tidak mau mendapat bonus terbakar.

"Sial, mereka melucuti senjataku." Jisung mengumpat ketika tidak menemukan pistol yang tadi ia bawa.

"Jisung! Terima ini!" Chenle menendang pistol yang tadi Kim Woojin gunakan, beruntung kakinya tidak terikat.

Crak

Pemuda Park itu berhasil menangkap pistol tersebut dengan tangan kanannya yang terluka. Ia ingin meringis sakit, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat.

Dor!

Satu tembakan ia arahkan, namun pelurunya terpental. "Sial! Benda itu anti peluru."

Dor!

Lagi-lagi terpental.

"Jisung! Bidik titik cahaya itu keluar!"

"Pelurunya akan meluruh sebelum berhasil mengenainya!" Jisung balas berteriak sembari langkahnya terus berayun untuk menghindar.

"Tembakkan beberapa peluru pada titik yang sama, peluru paling belakang akan terlindungi!"

Jisung mengangguk, ia bahkan tidak sempat berpikir bagaimana Chenle bisa tahu hal tersebut.

Dor!

Dor!

Dor!

Tiga tembakan beruntun dan sebuah drone akhirnya jatuh. Masih tersisa dua lagi. Jisung bergerak cepat, berbelok mendadak untuk menghindar.

Jisung terus berpikir, jika terus begini ia akan semakin kehilangan darah. Dirinya juga mulai kelelahan. Ia harus mencari akal. "Aku tau!" sungguh beruntung ia yang diberkati otak kelewat cerdas ini.

Pemuda jangkung itu kembali berlari, kali ini ia menaiki tangga. Ia berencana membuat drone-drone itu terbang lebih rendah darinya.

Setelah memastikan benda tersebut mengekor dibelakangnya, secara tiba-tiba Jisung berbalik arah. Drone yang terbang rendah itu sudah tergapai oleh kakinya. Tanpa pikir panjang ia menendang salah satunya membuat kedua drone itu saling cium.

Duarr!

Dua benda dengan elemen sama akan mengalami kerusakan fatal jika saling bertabrakan.

"Akh!" Jisung mengaduh ketika menyadari salah satu kakinya terkena luka bakar. Untungnya tidak begitu parah hingga membuatnya tidak bisa berjalan.

Selesai dengan urusannya, Jisung kembali ke tempat Chenle tadi. Pemuda cantik itu sudah berhasil melepas ikatannya, sekarang ia tengah berusaha melepaskan ikatan Shotaro.

Chenle menghentikan pergerakannya ketika Jisung tiba disana, "Kau baik-baik saja? Berbaringlah, jangan banyak bergerak atau lukamu akan semakin terbuka!" Chenle berujar panik, raut khawatir sangat kentara diwajah cantiknya. Jisung terpukau, tak tau situasi dan kondisi memang.

"Tenanglah, aku tak apa." Jisung tetap memberikan senyuman gusi terbaiknya.

"Tak apa pantatmu! Jelas-jelas kau terluka. Diam disini!"

Jisung mengalah, ia duduk ditempat yang pemuda Zhong itu maksudkan.

"Aku terpaksa menggunakan bahan tidak steril, tapi ini lebih baik daripada membiarkan darahmu semakin deras mengalir." Chenle membuka potongan baju Jisung yang sedari tadi melekat dilehernya, ia merobeknya menjadi beberapa bagian lalu mulai melilitkannya di telapak tangan dan bahu sang rekan. Tak lupa sedikit menekan titik luka yang ada disana. "apa kau punya sapu tangan?"

Jisung meraba kantong bagian kirinya, tempat ia selalu meletakkan sapu tangannya. "Ini."

Chenle menerimanya lalu pemuda itu berlari ke sudut ruangan, ada keran air disana. Ia basahi sapu tangan tersebut kemudian kembali berlari ke arah si jangkung.

Jisung memandanginya dengan khidmat. Sungguh menarik mengawasi pemuda cantik itu pikirnya. Tapi ia tak suka raut panik yang mengganggu disana. Chenle yang merengut karena ia jahili seribu kali jauh lebih baik ketimbang rautnya yang khawatir macam ini.

Ia berjanji dalam hati agar kedepannya bisa lebih berhati-hati.

"Untung saja luka bakarnya tidak terlalu parah, kau tidak akan terlalu kesulitan berjalan." Chenle dengan telaten merekatkan sapu tangan basah itu pada luka bakar sang rekan.

"Kan sudah kukatakan jika aku baik-baik saja." Jisung berujar lembut, niat hati menenangkan sang pujaan, namun sayangnya tak digubris.

"Syukurlah orang gila itu tidak menusuk daerah vitalmu." Chenle menghela napas panjang, namun setelahnya ia menaham napas saat maniknya tak menemukan pria yang dimaksud. "dimana orang sinting itu?!" hebohnya kemudian.

Selagi Jisung sibuk menghindar, Choi Minho memanfaatkannya untuk melarikan diri. Chenle juga tidak menyadarinya karena ia terlalu terfokus pada sang rekan.

"Tenang saja, mereka berhasil menangkapnya." Perkataan Jisung itu membuat si manis lega, bisa berbahaya jika Choi Minho berhasil lolos.

Beberapa saat kemudian, masuklah tiga orang yang sedari tadi berjaga diluar. Mereka menyeret paksa si pemuda Choi yang dikedua kakinya sudah tertanam timah panas.

Setelahnya disusul lagi oleh empat manusia. Mark, Haechan dan dua pemuda kelebihan hormon lainnya juga telah tiba.

"Kalian sudah kembali!" Chenle berseru, wajahnya mencoba biasa saja namun siapapun mengerti nada bahagia itu.

"Sebenarnya kami tidak melakukan sesuatu yang berbahaya." Haechan menyengir. "kau tidak perlu sekhawatir itu."

"Cih! siapa juga yang khawatir padamu." Sudah hapal bukan sifat Chenle yang ini?

"Meimei, kau tidak cocok berbohong."

"Mark hyung, apa kau sudah menemukan latar belakang Kim Woojin." interupsi Jisung.

"Apa dia ini Kim Woojin?" Jeno menghampiri tubuh yang tergeletak tidak jauh dari mereka.

"Ya," Mark menyahut, "dia dulunya seorang tukang kebun disini, karena ketahanan tubuhnya ia akhirnya diangkat menjadi salah satu penjaga. Karena ia sudah mengenal seluk beluk tempat ini, ia dengan mudah memanfaatkannya untuk memasang kamera pengawas ilegal."

"Lalu suatu hari ia bertemu dengan Choi Minho yang menyimpan dendam, mereka akhirnya bekerja sama untuk meneror keluarga Osaki." lanjut Jungwoo.

Yuta diam mendengarkan sementara  manik tajamnya mulai berkeliling dan menemukan pemandangan yang membuatnya tercekat. "Apa yang dilakukan keparat itu pada adikku!" murkanya.

"Tenanglah, Shotaro hyung baik-baik saja. Dia hanya pingsan." Jisung menenangkan.

Yuta naik darah, ia melangkah menghampiri Choi Minho, berniat menghajarnya sebelum Jeno menahan pergerakannya. "Tenangkan dirimu, kau bisa memaksanya bicara di ruang investigasi nanti. Jika jawabannya membuatmu kesal, kau boleh menghajarnya." Pemuda Lee itu berbicara seraya terus membekap tubuh sang hyung erat-erat.

"Lepaskan aku!" Yuta berontak.

"Dia benar, tidak ada gunanya kau menghajar sialan itu disini." tambah Renjun. Tubuh mungilnya ikut membantu sang suami.

"Mark hyung, lanjutkan penjelasanmu." titah Jisung akhirnya. Jika terus diberi atensi, Yuta akan semakin menjadi.

Mark mengangguk. "Pembunuhan penjaga juga hanya untuk membuat kita terpecah belah dan saling tuduh. Penembakan beruntun di kamar Shotaro berasal dari sebuah drone yang dilengkapi senjata."

"Penembakan beruntun itu tidak sepenuhnya berisi peluru sungguhan." sambung Jisung.

"Maksudnya?" Lucas akhirnya angkat bicara.

"Hanya beberapa peluru yang benar-benar nyata, seperti yang mengenaiku dan Yangyang. Sisanya hanyalah efek hologram."

"Para penjahat ini akhirnya menampakkan diri setelah semua kamera pengawas berhasil kita ambil alih." sambung Mark.

"Lalu tentang Shotaro yang bisa berada disini? Kau juga tau?" tanya Chenle.

"Setelah menyelidiki denah rumah ini, aku menemukan lorong rahasia yang menghubungkan kamar Shotaro dan gudang ini." Mark lah yang menyahut.

"Yang sekarang belum kita ketahui adalah siapa sumber dari peralatan canggih ini." sambung Jisung lagi.

Sementara Park bersaudara itu membongkar segala motif kasus ini, Chenle merasakan sesuatu yang janggal. Telinganya mendengar bunyi jarum jam yang terus berdentang, seperti tengah menghitung waktu mundur.

"Ada apa?" Haechan bertanya, ia berhasil menangkap gelagat aneh sang adik angkat.

"Aku mendengar bunyi penghitung waktu." jawab si manis, Haechan tentu saja percaya karena ia tidak pernah meragukan pendengaran si pemuda Zhong.

Keduanya meneliti sekitar, mencari dimana kiranya sumber suara tersebut.

Netra bening Chenle melebar ketika ia berhasil menemukan sebuah benda yang berkedip-kedip di ujung ruangan. Tanpa pikir panjang, ia berlari meraihnya.

Satu...

"Sial! Tersisa lima detik!"

Dua...

"Chenle, kau mau kemana?!"

Tiga...

Jisung refleks berteriak ketika melihat sang rekan berlari keluar dengan membekap sesuatu di dadanya.

Empat...

"BOM!!" Lucas berteriak nyaring ketika maniknya sempat mengenali benda yang pemuda Zhong itu bawa.

"APA!!"

Lima...

"Chenle!!!"


DUAARRR


Bunyi ledakan keras terdengar dari luar.

Bagai tersambar petir, Jisung dapat merasakan detakan jantungnya berhenti sesaat.





































.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.






























Paginya...

Haechan tiada hentinya memaki dan menangis.

"Diamlah, bodoh! aku tidak mati."

"Tapi kau hampir mati, sialan!"

Chenle benar-benar sudah letih. Sudah hampir satu jam kakak angkatnya itu terus memeluk dan menangis padanya.

"Aku baik-baik saja, terluka pun tidak." Ia tidak terluka, sedikit pun tidak. Ia hanya harus mengganti pakaiannya yang basah. Peledak tersebut berhasil dibuang tepat waktu.

Untung saja terdapat sebuah danau besar di pekarangan rumah keluarga Osaki ini, Chenle bisa membuang bom itu kesana. Air akan mengurangi daya ledakannya. Dan juga, danau tidak akan menghasilkan gelombang besar yang membahayakan.

Walaupun begitu, yang lainnya tetap saja syok berlebih.

Memang siapa yang tidak akan jantungan ketika tau temannya tengah memeluk sebuah bom?

Tuhan sepertinya belum ingin malaikat cantiknya ini kembali, karena itu Chenle masih diberikan kehidupan hingga sekarang.

Sebenarnya saat ini mereka tengah dalam perjalanan pulang. Begitu banyak mobil yang beriringan. Dua mobil jenazah untuk Kim Jongdae dan Kim Woojin, satu mobil tahanan untuk membawa Choi Minho. Sebuah mobil polisi yang dikemudikan oleh Yuta, bersamanya ada Jeno, Renjun dan Shotaro.

Dua mobil ambulans yang masing-masing untuk Yangyang dan Jisung. Yangyang ditemani oleh Jungwoo dan Lucas. Sedangkan Chenle, Haechan dan Mark ikut ambulans yang membawa Jisung.

Mobil mereka? Lupakan saja.

Sejak tadi, Jisung hanya diam. Sikapnya agak berbeda dari biasanya. Ia bahkan menolak untuk menoleh kearah Chenle, pemuda Park itu terus berbaring dengan wajah menghadap kearah sang kakak..

Apa dia marah?

Namun Chenle tak menemukan satu pun alasan yang bisa membuat pemuda tinggi  itu marah kepadanya.

Apa hanya perasaanku saja?

Namun perkataan Jisung beberapa waktu lalu berhasil mengusiknya. Jisung berkata, "Aku pikir aku akan kehilanganmu lagi."

Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih.

Lagi?

Apa maksudnya?

Chenle pening, lebih baik ia tidur.

















tbc...

Udah ya? Lunaaassss (´・ε・`)

Btw
Ini semenya vlive ganteng

Ukenya malah... ah sudahlah (༎ຶ⌑༎ຶ)

Continue Reading

You'll Also Like

125K 1K 6
isinya jimin dan kelakuan gilanya
37.9K 3.2K 69
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
233K 25.3K 17
[Brothership] [Re-birth] [Not bl] Singkatnya tentang Ersya dan kehidupan keduanya. Terdengar mustahil tapi ini lah yang dialami oleh Ersya. Hidup kem...
69.6K 14.4K 161
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...