Chasing Antagonist | ChenJi

By TETEHnya_chenji

792K 102K 115K

Zhong Chenle, pemuda manis penyandang gelar gelandangan baru. Entah sial atau mujur, ia dipertemukan dengan s... More

Let's Start
Playing With Fire Pt.1
Playing With Fire Pt.2
Playing With Fire End
Interlude
Annoying Tricks Pt.1
Annoying Tricks Pt.3
Annoying Tricks Pt.4
Annoying Tricks End
Interlude Pt.2
Ageless Toxic Pt.1
Ageless Toxic Pt.2
Ageless Toxic Pt.3
Ageless Toxic Pt.4
Ageless Toxic End
Interlude pt.3
Bloody Pearl Pt.1
Bloody Pearl Pt.2
Bloody Pearl Pt.3
Bloody Pearl Pt.4
Bloody Pearl Pt.5
Bloody Pearl Pt.6
Bloody Pearl Pt.7
Bloody Pearl Pt.8
Bloody Pearl Pt.9
Bloody Pearl Pt.10
Bloody Pearl End
Interlude Pt.4
Under The Veil Pt.1
Under The Veil Pt.2
Under The Veil Pt.3
Under The Veil Pt.4
Under The Veil Pt.5
Under The Veil Pt.6
Under The Veil Pt.7

Annoying Tricks Pt.2

20.4K 3K 1.8K
By TETEHnya_chenji

"Kenapa jadi menakutkan begini?" Chenle berseru lemas, jemari mungilnya meremas kuat lengan si pemuda Lee.

"Kau boleh saja terkejut, tapi tidak juga mencakar lenganku!" emosi Haechan membumbung tinggi. Harusnya ia berdiri jauh dari pemuda kekurangan melanin berlabel Zhong Chenle yang akan anarkis ketika takut. Lecet sudah kulit mulusnya.

Siapa yang tidak ngeri? Mereka segera bergegas ketika Jungwoo dan Yangyang melaporkan penemuan jasad seorang penjaga yang tewas di halaman belakang.

Mengenaskan. Mayat pria itu berlumur darah, sebilah kapak besar menancap tepat ditengkorak kepalanya. Matanya membeliak, menyiratkan seberapa menyeramnkannya sang malaikat maut.

Jisung, selaku yang paling berwenang mendekat. Memastikan bahwa pria itu benar-benar sudah mati.

"Siapa nama orang ini?"

Shotaro sebagai sang tuan rumah tahu diri untuk menjawab, "Namanya Kim Jongdae." bau anyir darah membuatnya jijik. Tapi ia juga tidak mau ditinggalkan sendirian, karenanya bersembunyi dibalik punggung pemuda--yang ia ketahui-- bernama Yangyang menjadi kegiatan yang ia lakukan sejak tadi.

Kenapa Yangyang? Tanya saja sendiri.

Jisung berjongkok didepan mayat tersebut, mengamati keseluruhan tubuh korban. "Apa ada yang sudah menyentuhnya?" tanyanya kemudian.

Salah seorang penjaga bertubuh kurus melangkah maju, dengan yakin ia berkata "Tidak ada, tuan. Begitu menemukannya kami langsung menjaga jarak."

Si pemuda Park mengangguk-angguk, "Bagus." menjeda sebentar kemudian ia lanjut bertanya "apa kau punya serbuk karbon?"

Shotaro menyahut bingung, "Apa itu?"

Jisung mengetuk keras pelipisnya. Pertanyaan tadi harusnya diajukan pada orang yang mengerti atau setidaknya berada dalam bidang pekerjaan yang sama. "Kalau namanya saja kau tidak tau, aku yakin kau juga tidak punya barangnya."

"Memang sejak kapan aku jadi polisi sepertimu?" kalimat Shotaro tentu saja menyindirnya. Si Park bodoh itu, untuk apa ia menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.

Jisung terkekeh canggung, harusnya ia tampak keren dihadapan sang rekan. Namun justru berakhir menggelikan begini. "Maaf untuk itu, tapi aku perlu serbuk karbon untuk mengambil sidik jari pada gagang kapak ini."

Chenle mengawang, mencungkil sedikit memori otaknya. Pasti ada cara yang lebih umum.

Berpikir,

masih berpikir,

terus berpikir,

hingga akhirnya ia sakit kepala sendiri. Ayolah sel-sel otakku, jangan makan gaji buta!

Chenle merengut, hidungnya kembang-kempis tak beraturan. Hal tersebut mengundang si pemuda Park untuk berkomentar "Jangan terlalu keras berpikir, otakmu bisa sariawan."

Bodoh.

Oh, kalimat itu membuat si manis ingat sesuatu. "Kita bisa menggunakan bahan alternatif."

Jisung tersenyum puas, "Apa itu?" seperti yang ia harapkan, kekas---rekan kerjanya ini memang bisa diandalkan.

"Shotaro, apa kau punya bedak tabur dan solasi bening?" Chenle mengabaikan Jisung. Pemuda tiang itu pasti berniat membuat otaknya kerja rodi. Mustahil ia tidak tahu cara yang lebih mudah, Chenle yakin itu.

Tunggu dulu,

Memangnya apa hubungan otak sariawan dengan bedak tabur?

"Punya, tapi ada didalam kamarku."

"Perintahkan salah satu penjagamu untuk membawanya kemari."

Si pemuda Jepang menggeleng ribut, "Tidak bisa!" sergahnya cepat. Saat sadar yang lain menatapnya heran, ia bersuara lagi. "a-aku ti-tidak pernah mengijinkan penjaga masuk ke kamarku."

Si pemuda Zhong berpikir lagi, kamar memang privacy yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Tapi tidak mungkin juga membiarkan Shotaro mengambilnya sendiri. Selain tidak sopan, juga tidak aman. "Beri pengecualian untuk sekarang, kau tinggal menyebutkan dimana persisnya kau meletakkan barang-barang itu." ucapnya mencoba bernegosiasi.

"Tetap tidak bisa!" Ugh! Chenle tidak suka orang keras kepala begini.

"Sikapnya aneh." celetuk Mark.

"Lihat situasinya sekarang, jangan egois hanya untuk privasimu." Haechan ikut menyela. Tindak tanduk pemuda Jepang itu mulai membuatnya curiga.

"Bu-bukan be-begitu..." hampir menangis Shotaro mengatakannya, "ha-hanya saja..."

"Hanya?" Oh Tuhan, beri Chenle lebih banyak kesabaran.

"A-aku akan membawakannya untuk kalian!" setelah meneriakkan kalimat tersebut, Shotaro berlari pergi lalu masuk kembali ke dalam rumah.

Chenle dan Haechan refleks mengejar. Sesuatu yang penting tengah coba ditutupi pemuda Osaki itu. Buktinya, ia tidak mengijinkan orang lain untuk menemukannya.

"Sesuatu, hm? Apakah sesuatu ini ada hubungannya dengan penjaga tadi? Shotaro ini ada dipihak kita atau tidak sih sebenarnya?" kecurigaan Chenle semakin berlarian entah kemana.

"Aku juga tidak tau, lebih baik kita cepat susul dia." Haechan menimpali.

"Donghyuck." Mark berniat ikut pergi, namun sang kekasih memberinya gestur untuk tetap tinggal.

"Kami akan membawanya kembali, kalian lanjutkan saja pekerjaan disini!" teriakan Haechan itu adalah hal terakhir yang mereka dengar sebelum dua pemuda manis tersebut hilang tertelan pintu.

Chenle memaksa kaki kecilnya berlari lebih cepat "Shotaro! Tunggu!" bagus. Bahu si pemuda Jepang berhasil tertangkap.

"Su-sudah ku bilang, aku akan membawakannya kesana. Kenapa kalian ikut kemari?!"

"Kau menyembunyikan sesuatu?" tembak Haechan tepat sasaran.

"A-apa maksudmu? A-aku tidak menyembunyikan apapun!"

Manik sipit si pemuda Zhong memicing tajam, "Tapi kau gugup dan panik."

"Tentu saja aku panik! Kau tidak lihat ada pembunuhan disini?!" Shotaro menghempaskan tangan Chenle dibahunya dengan kasar. "A-aku... aku takut!" setelahnya ia jatuh terduduk, netra coklatnya banjir air mata. Belum lagi rengekannya yang mirip anak kecil disentil ginjalnya.

Dua pemuda lain beradu pandang. Tatapan mereka menyiratkan sebuah pertanyaan yang sama.

Apa yang harus kita lakukan?

Akhirnya, sebagai teman yang baik. Mereka berdua memutuskan untuk memeluknya.

"Tenang saja, kami ada disini bersamamu." kalimat penenang itu meluncur dari bibir Haechan. Ia sudah cukup berpengalaman menenangkan sang adik angkat yang sikapnya bahkan lebih balita dari balita.

Chenle menepuk punggung pemuda dalam pelukannya, ikut menenangkan. "Jangan takut. Kalau kau bertingkah seperti ini, yang lainnya hanya akan semakin curiga padamu."

Shotaro mengangkat wajah, dengan nada sengau yang terbata ia bertanya. "Be-benarkah?"

Chenle dan Haechan mengangguk beersamaan, walaupun keduanya tidak mengerti pernyataan mana yang pemuda Jepang itu coba pastikan.

"Karena kalian ada disini, aku akan menunjukkannya. Jadi jangan curiga lagi padaku."

"Tentu saja." dua pemuda calon nyonya keluarga Park tersebut menjawab kompak.

"Kalau begitu, ayo ikut aku!" Shotaro tiba-tiba saja berdiri, ia menarik lengan dua pemuda yang lain lalu membawa mereka berlarian menuju kamarnya.

Sial! Untung saja lidahku tidak tergigit! Chenle mengumpat dalam hati, si pemuda Jepang rupanya tak sadar jika ujung kepalanya menyentak dagu si pemuda Zhong.

"I-ini..." Chenle semakin kalut, mati-matian ia menahan diri agar tidak meninju wajah sok polos pemuda didepannya.

"Aku malu jika ada yang tau."

Berbeda dengan Chenle, Haechan malah menatap 'sesuatu' itu dengan raut tertarik yang berlebihan. "Waaah... kau bahkan punya edisi paling langka."

"Perlu perjuangan untuk mendapatkannya, tapi kau tidak akan menyesal jika sudah membuka isinya."

"Kau benar, ini woaahh..."

Cukup sudah!

Gigi Chenle bergemelutuk menahan emosi, lalu tanpa basa-basi ia menarik kuat daun telinga dua pemuda lainnya. "Perjuangan apanya, hah?! Jadi yang kau sembunyikan hanyalah buku laknat ini!" emosinya membengkak diubun-ubun.

Ia mengira 'sesuatu' ini adalah hal yang sangat penting. Ternyata ekspektasi memang tak pernah sesuai realita. Ia marah, kalau bisa sedikit baku pukul pasti menyenangkan.

"Aww... meimei, buku ini sangat penting!" Shotaro mengangguki perkataan si beruang Lee.

"Penting katamu?!" Chenle gelap mata, tarikannya ia kencangkan tanpa ampun. "katakan padaku dimana letak pentingnya sebuah buku porno?! Mati saja  kalian berdua!"

Astaga, wajah polos Osaki Shotaro ternyata hanya kamuflase. Otaknya benar-benar sebelas duabelas dengan Haechan. Ingatkan Chenle untuk mencuci otak keduanya di kolam terdekat!

"Awh... meimei, telinga kami bisa putus!" Haechan memohon belas kasih, tapi tak mempan. Salah sendiri berotak mesum.

"Biarkan saja! Kalau bisa sekalian kucabut otak kotor kalian!"




















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.


















Mark mengernyit saat mendapati telinga sang kekasih memerah, pikirannya bertanya apa yang terjadi. "Donghyuck, kenapa telingamu merah?"

"Itu karena--- belum selesai perkataannya, Chenle sudah lebih dulu memotong. "Tadi seekor lebah menggigitnya, jangan berlebihan."

"Benar?" Haechan terpaksa mengangguk, ia tidak ingin adik tersayangnya ini membongkar harta karun yang tadi mereka temukan. Mark juga akan marah padanya kalau tahu ia belum benar-benar sembuh dari hobi menyimpangnya.

Seandainya Haechan mengerti, Mark bukannya marah karena hobinya itu. Mark marah karena seharusnya Haechan hanya melihat dirinya, bukan yang lain.

Haechan terlalu tidak peka untuk menyadari maksud 'tidak boleh' yang Mark utarakan. Sulung Park itu ingin Haechan menghentikan hobinya membaca dan memulai hobi baru untuk mempraktekkan langsung dengannya!

Apa bagusnya jika hanya dibaca? Lebih baik langsung diperbuat bukan? Begitulah isi kepala seorang Mark yang sebenarnya.

Dan sialnya, yang mengerti akan hal itu hanyalah Jisung seorang. Sungguh wajar keduanya bersaudara, otaknya sama-sama diselangkangan!

"Setidaknya aku tidak dungu seperti kau yang otaknya didengkul!" itulah kalimat ejekan Jisung tempo hari ketika Lee Jeno menasehatinya soal wanita. Yang benar saja, istri pemuda Lee itu bahkan seorang laki-laki.

Mari lupakan fakta tidak penting ini.

"Siapa yang akan melakukannya? Kau atau aku?" Jisung memulai suasana serius diantara mereka.

"Kau yakin aku bisa melakukannya?" Chenle merasa jika Jisung sedang bertanya padanya karena netra pemuda jangkung itu menatap tepat kearahnya.

"Kenapa tidak?"

"Kau sungguh percaya padaku? Bagaimana jika ternyata aku pembunuhnya?"

"Pfft..." Jisung nyaris terbahak, "Mengurus hidupmu saja kau tidak becus, tidak mungkin orang sepertimu mau repot-repot mengurusi hidup orang lain. Apalagi sampai membunuhnya"

Oke. Chenle tersinggung.

"Terima kasih untuk pujiannya."si manis menyengir lucu, gigi gerahamnya sampai terlihat saking lebarnya ia tersenyum. "sekarang boleh kah aku melempar kepalamu dengan batu ini?" entah sejak kapan, sebuah batu besar bertengger manis digenggamannya.

Jisung balas menantang, takut tidak ada dalam kamus hidupnya. "Lempar saja, setelahnya aku akan menyeretmu ke lubang neraka." 

"Tidak boleh!" Haechan menengahi pertengkaran dua makhluk berbeda tinggi tersebut, "meimei, kau tidak boleh membunuh Jisung sekarang. Menikah lah dulu dengannya, ketika dia mati kau akan mendapatkan seluruh harta warisannya." Bravo! Ide cemerlang Lee Donghyuck!

Eh! Tapi...

"Kau pikir siapa yang mau menikah dengannya, hah!" nah, Chenle menyembur sewot.

Park Jisung kembali tertolak. Selamat.

"Ekhem..." Jungwoo berdehem agak keras, "maaf menyela, tapi bisakah kita memulai menyelidiki kasus ini?"

Chenle membuang muka, pernyataan itu membuatnya sadar tentang hal tidak penting yang sedang ia debatkan. "Salahkan orang-orang tolol ini!" dumalnya kelewat sebal.

Jisung merotasikan bola matanya, mencekam begini masih saja sempat bertengkal konyol. Memang luar biasa. "Biar aku saja yang melakukannya." ia kembali ke mode seriusnya.

Memang seharusnya kau yang melakukannya, brengsek! Mati saja kau!" tanpa dijelaskan pun, kita pasti tau siapa gerangan pelaku yang menyerukan kata mutiara hitam untuk Park Jisung ini.

"Berikan bedak tabur itu padaku." perintah Jisung, Chenle mendekat. Bukannya apa, tapi ia lah orang yang memegang benda tersebut. Bau anyir darah merambat masuk inderanya, Chenle ingin sekali menutup hidung. Tapi tindakan tersebut tidak lah profesional, Jisung bahkan terlihat biasa-biasa saja.

"Chenle, kau membawa ponselmu?"

"Ada, kenapa?"

Si pemuda Park melirik sekilas, mulai terganggu akan ketidakpekaan sang rekan kerja. "Kau tidak lihat disini gelap? Gunakan senternya untuk penarangan."

Chenle mendecakkan lidah, "Tsk!" Walau enggan, ia tetap mengambil posisi yang sama dengan Jisung. Mereka berdua kini berjongkok dihadapan mayat tersebut. Jisung yang sibuk dengan pekerjaannya dan Chenle yang sibuk memberikan pencahayaan.

Jisung memulai pekerjaannya, dengan hati-hati ia taburkan bedak tadi pada keseluruhan permukaan gagang kapak. Menaburkannya sedikit demi sedikit sambil sesekali meniup bagian yang tergumpal banyak.

Setelahnya, ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah kuas kecil dan selembar kertas berwarna gelap. "Pegang ini." Jisung menyerahkan kertas tadi pada Chenle. Posisi si manis saat ini; solasi bening dan kertas ditangan kiri, ponsel ditangan kanan.

Omong-omong, kemana yang lain?

Mereka hanya diam, menyaksikan setiap gerakan yang Jisung lakukan. Bersuara hanya akan menyebabkan gangguan, lagipula keberadaan si pemuda Zhong sudah cukup untuk jadi pesuruhnya.

Atau mungkin, memang pemuda jangkung itu hanya ingin Chenle yang membantunya? Karena sedari tadi nama yang ia sebut tak lain hanya Chenle, Chenle dan Chenle.

Kembali pada Jisung, sekarang pemuda tiang itu tengah menyapukan kuas dalam gerakan melingkar pada gagang kapak. Gerakannya sangat pelan dan lembut, hal ini dimaksudkan agar sidik jari yang ada disana tidak rusak.

Proses ini tentu saja memerlukan latihan yang tidak sedikit. Ketelitian dan kejelian adalah kunci utama keberhasilannya, dan hal seperti ini hanyalah masalah kecil untuk seorang Park Jisung. Pengalaman dan kemampuan kerjanya tentu tidak perlu diragukan lagi.

Waktu bergulir, tapi Jisung belum menemukan sidik jari yang jelas. Hanya ada satu sidik jari yang berhasil ia temukan, itupun terlihat samar.

"Sepertinya pelaku tau bagaimana cara menyembunyikan sidik jarinya." Chenle lah sang empunya suara.

Meski fokus dengan pekerjaannya, Jisung tetap menanggapi. "Tidak juga, aku menemukan satu sidik jari samar. Itu sudah lebih dari cukup."

"Berikan isolasi itu padaku." lanjutnya lagi. Chenle menurut, Jisung meraihnya kemudian mulai menempelkan solasi bening itu pada satu-satunya sidik jari yang berhasil ia dapatkan. Setelahnya, perekat tersebut ia angkat kembali dengan hati-hati, sebuah sidik jari sudah tergambar disana.

Tanpa diminta dua kali, Chenle menyodorkan kertas gelap dalam genggamannya. Si pemuda Park lalu menempelkan solasi yang sudah berisi sidik jari itu disana. Dengan demikian, selesai lah pencarian bukti pertama.

"Sudah selesai?" Shotaro yang pertama bertanya, dirinya masih setia bersembunyi dibalik punggung Yangyang omong-omong.

"Ini bukti pertama, aku akan meminta bagian forensik untuk mencari tau siapa pemilik sidik jari ini." Jisung menjawab tenang, aura kepemimpinannya memguar ketika sedang serius begini. Chenle harus segera memupuskan pikirannya tentang pangkat Park Jisung yang tinggi hanya karena orang dalam.

"Mark hyung, scan sidik jari ini dan kirimkan datanya pada Sungchan hyung." Mark mengangguk kemudian mengeluarkan sebuah alat portable dari dari dalam tas kecil yang sedari tadi ia bawa.

"Hmm... ada yang aneh" Chenle menggumam.

"Apa kau menemukan sesuatu?" Gumaman Chenle tadi ternyata didengar juga oleh sang rekan.

Chenle bertopang dagu, wajahnya benar-benar serius. Otaknya sedang mencerna kejanggalan yang baru saja ia temukan. "Perhatikan posisi mayat dan arah gagang kapak ini."

Mereka memandang kearah yang Chenle maksudkan.

Lalu apa yang salah?

Yah... pemandangan seorang pria berlumuran darah dengan sebilah kapak yang menancap tentu saja salah, tapi bukan itu. Ada sesuatu yang tidak berada pada tempat seharusnya.

"Ah! Aku tau!" Yangyang akhirnya mendapatkan dialognya. "Posisi mayat ini tengkurap, berarti ia ditikam dari arah belakang."

"Lalu?" interupsi Haechan, pikirannya tak sampai.

"Tapi arah gagang kapak ini mengatakan hal sebaliknya," Yangyang melanjutkan. "jika memang benar korbannya ditikam dari arah belakang, harusnya gagang kapak ini juga mengarah ke bagian belakang tubuhnya. Tapi lihat, gagang kapak ini justru mengarah ke bagian depan tubuhnya."

"Jadi kesimpulannya adalah korban ditikam dari arah depan," Jungwoo mengambil alih. "yang jadi pertanyaannya yaitu tentang bagaimana pelaku bisa dengan mudah menyerang korban dari depan? Bukankah korban ini memiliki tubuh kekar. Seharusnya ia punya kekuatan yang cukup besar untuk menahan serangan yang tepat berada didepan matanya."

"Bisa jadi karena korban mencoba melawan si pelaku yang jauh lebih kuat." Haechan berasumsi.

"Bisa jadi," Yangyang kembali bersuara. "tapi dari yang kami temukan, penjaga yang lain tidak mendengar suara ribut apapun. Jika ada perkelahian, setidaknya korban akan berteriak kesakitan ketika kapak tersebut menikam tengkoraknya."

"Kalian benar tidak mendengar apapun?" Shotaro bertanya pada delapan orang penjaga lain yang ada disana. Yang ditanya kompak menggelengkan kepala.

"Padahal jarak mereka saat itu tidak terlalu jauh, tapi anehnya mereka tidak mendengar apapun." Sambung Jungwoo.

Haechan kembali bingung, "Apa si pelaku bisa membuat korbannya tiba-tiba menjadi bisu?"

"Tidak" Chenle menyela pembicaraan mereka. "ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan korban." Chenle masih berjongkok ditempatnya, ia menggunakan sebuah ranting kayu untuk mengangkat bagian leher korban dan menemukan sebuah benjolan besar bersarang disana.

"Kita harus membedahnya untuk tau benda apa itu." Jisung menyarankan, namun setelahnya ia mendesah frustasi.

"Tapi sayangnya kita tidak punya satu pun orang yang bisa membedah disini." tebak si manis.

Jisung mengangguk, "Tapi aku membawa salah satu anak buahku yang bisa melakukan pembedahan kemari."

"Lalu dimana dia?"

"Aku meminta mereka untuk berjaga disekitar hutan."

Lipatan didahi si manis muncul, "Mereka?"

Jisung mengangguk lagi, "Ada lima orang, satu diantaranya ahli bedah forensik." pemuda tampan itu menjeda sebentar, "mereka sedang dalam perjalanan kemari." kalimatnya memelan diujung. Nyaris berbisik.

Chenle tahu ada yang coba pemuda Park itu perbuat, karenanya ia hanya bergumam oh. "Lalu tentang jejak ini, bukankah terlihat seperti baru saja dilewati sebuah roda yang terbakar?"

Benar saja, rumput disekitar jejak tersebut menjadi kehitaman. "Roda yang terbakar? Semacam roda api? Tapi apa mungkin ada benda semacam itu?" Haechan menimpali. Ia sudah ikut berjongkok disamping sang adik.

"Entahlah, seseorang bisa saja menjadi sangat jenius untuk memodifikasi teknologi bukan?" Chenle tidak tahu, hanya hipotesa tersebut yang berhasil muncul dalam benaknya.

"Apapun itu, kita harus mengumpulkan bukti terlebih dahulu." Jisung bangkit, perhatiannya beralih pada sang tuan rumah. "tolong siapkan kain untuk menutupi tubuh korban."

Ting

Dering ponsel terdengar.

"Ponselku!" panik Shotaro, ia yakin jika penguntit itu lah yang mengirim pesan.

"Kemarikan ponselmu." pinta Jisung, sang empunya ponsel menurut.

From : +8210 ×××× ××××

Suka dengan hadiahku?
Merah bukan? Anggap saja itu bunga mawar dariku. Jangan takut sayang, aku tidak akan membunuhmu. Aku mencintaimu.

Oh! katakan pada polisi tampan itu jika aku sudah menenggelamkan anak buahnya di danau. Mereka mengganggu, aku tidak suka banyak orang asing di rumahmu.

Dan juga, aku menemukan orang lain dengan mobil porsche kuning sedang menuju kesana. Boleh kah aku juga menenggelamkannya?

Jisung meremas ponsel itu kuat, melupakan fakta jika benda pipih tersebut bukan lah miliknya. "Mark hyung, periksa koordinat Jinyoung dan yang lainnya." Mark mengangguk, ia mengutak-atik sebilah ipad yang terhubung langsung pada perangkat utamanya.

Sementara itu, Jungwoo gelisah. Mobil yang pelaku itu sebutkan membuatnya ingat pada seseorang.

Sementara Mark mencari, Jisung berusaha menghubungi anak buahnya. Namun, tidak ada satu pun yang menyahut panggilannya. Mereka terakhir kali terhubung sekitar dua puluh menit yang lalu. Secepat itu kah pelaku ini beraksi?

Jika sedang dalam bahaya, seharusnya mereka mengirimkan sinyal peringatan pada Jisung. Tapi lagi-lagi tidak ada satu pun yang mengirimkan sinyal itu padanya.

Mark menjentikkan jari,"Aku menemukannya, lokasi mereka berada ditempat yang dikelilingi air."

"Sial!" umpatan pertama Jisung untuk hari ini.

Jungwoo masih berkelana dalam pikirannya hingga suatu hal berhasil ia sadari . Mobil porsche? Berwarna kuning? Sedang menuju kesini?

"Lucas!" pekikan tiba-tibanya mengejutkan manusia lain yang ada disana.

"Jungwoo hyung, ada apa?" Yangyang bertanya.

"Lucas! Mobil porsche kuning yang sedang menuju kesini itu pasti Lucas!" Jungwoo panik.

"Tenanglah, hyung." Jisung mencoba menenangkan, walaupun dirinya sendiri sedang tidak baik-baik saja.

"Tidak bisa Jisung! Lucas sedang dalam bahaya!"

"Lucas itu kuat, percaya lah padanya"

"Dia memang kuat, tapi dia sangat ceroboh. Dia selalu meremehkan segala sesuatu, aku tidak mau dia mati!" Jungwoo yang biasanya tenang mulai berteriak tidak karuan.

"Pesan itu hanya pengalihan" Jisung masih berusaha menenangkannya.

"Aku akan mencarinya!"

"Jungwoo hyung! Jangan gegabah!"

Terlambat.Jungwoo sudah berlari kearah mobil mereka.

Jisung mengusak rambutnya frustasi, "Mark hyung, Haechan hyung, pergi lah bersamanya. Aku, Chenle dan Yangyang hyung akan mengurus masalah disini."

Mark dan Haechan sebenarnya tidak setuju, tapi melihat raut Jisung yang sangat serius itu membuat nyali mereka ciut.

Mereka jelas tau bahwa pertanyaan pelaku itu tadi hanyalah sebuah pengalih perhatian, tujuan utamanya tentu saja Osaki Shotaro. Dan tempat yang paling berbahaya sekarang tidak lain dan tidak bukan adalah wilayah disekitar pemuda Jepang itu sendiri.

Mark menghela napas panjang,"Baiklah kami pergi, berhati-hatilah." pesannya sebelum benar-benar menjauh.

Sepeninggal tiga orang itu, keadaan kembali hening.

"Yangyang hyung, kau aku tugaskan untuk menjadi pengawal pribadi Shotaro hyung."

"Siap laksanakan!"

"Kalian cepat ambil kain untuk menutupi mayat ini. Kita akan mengurusnya besok pagi." titahnya pada bodyguard pribadi sang tuan tuan rumah. Jisung bukan lah bos mereka, tapi sikapnya yang tegas sudah cukup untuk membuat mereka tunduk.

"Hyung, beristirahatlah." Jisung tau, Shotaro lah yang paling lelah disini. Pemuda itu tidak terbiasa dengan kejahatan seperti ini, tenaganya pasti terkuras habis karena ketakutan.

Manik kembar pemuda Osaki tersebut bergerak resah, tangannya bahkan mencengkram kemeja belakang si pemuda Liu. "A-aku tidak bisa tidur ji-jika keadaannya seperti ini."

"Jangan takut, Yangyang hyung akan selalu ada bersamamu. Semua penjaga akan aku kerahkan untuk berjaga disekitar kamar tidurmu."

Chenle mengernyit tidak setuju, "Bukankah terlalu berbahaya kalau dia tidur di kamarnya?"

"Kalau begitu, tidur lah di kamar yang sebelumnya aku tempati. Mark hyung menyiapkan alarm jika ada yang mencoba menerobos masuk ke dalam." putus si pemuda Park final.





















.
.
.
Chasing Antagonist
.
.
.



















Setelah memastikan Shotaro aman, Jisung memutuskan untuk menyelidiki setiap sudut rumah ini. Tentu saja ditemani sang rekan tercinta.

Jisung sangat percaya pada Yangyang, walaupun pemuda itu cukup naif dan sembrono tapi bakat alaminya cukup mumpuni.

Pemuda Park itu selalu mengamati perkembangan kedua bawahannya. Jika Jungwoo sangat baik dalam hal merencanakan taktik, maka Yangyang sangat baik dalam hal pelaksaannya. Walaupun sangat disayangkan, Jungwoo akan bertindak gegabah ketika Lucas ikut terlibat didalamnya.

Walaupun belum pernah terbukti di lapangan, Jisung mengakui jika Yangyang adalah penembak terbaik yang pernah ia kenal. Tidak pernah sekali pun pemuda Liu itu meleset dari sasaran ketika latihan tembak berlangsung.

Oleh karena itu, ia bisa sedikit tenang ketika Yangyang sudah dibekali sepucuk senjata dengan selonsong peluru yang penuh. Ia cukup yakin bahwa lawan mereka kali ini hanyalah seorang psikopat gila yang buta karena cinta.

"Bagaimana cara kita memeriksa tempat ini?" Chenle memulai obrolan mereka. Tak betah lama-lama diam, mulutnya gatal.

"Ini." Jisung menyerahkan sebuah benda persegi berwarna hitam yang dilengkapi antena panjang pada salah satu sisinya.

"Lens finder and wireless camera detector NC20T20?" Chenle membaca serentetan kalimat yang tercetak dibagian depan alat tersebut. Walau sempat terjadi insiden lidah terbelit karena kata bahasa Inggris yang tidak begitu ia kuasai. "Apa ini?"

"Alat yang dikembangkan sendiri oleh Mark hyung. Alat ini memungkinkan kita untuk mengetahui segala macam bentuk penyusupan dengan memanfaatkan sebuah sinar laser. Alat ini akan bergetar untuk memberi tanda bahwa disekitar kita terdapat kamera pengintai atau sejenisnya."

Chenle meragu, dengan nada tak yakin ia kembali bertanya. "Kau yakin alat ini akurat?"

"Kami sudah beberapa kali menguji coba alat ini, tapi inilah kali pertama aku menggunakannya untuk sebuah kasus sungguhan."

"Baiklah, tidak ada salahnya dicoba." putus si pemuda Zhong akhirnya.

Jisung tersenyum kecil, satu hal yang berhasil ia pelajari selama mengenal pemuda cantik disebelahnya. Chenle ini tipikal orang yang sangat mudah dipengaruhi. Sikapnya yang keras kepala hanyalah tameng untuk menutupi hatinya yang sesungguhnya sangat lembut bagai hello kitty.

Ibarat sebutir telur, luarnya nampak keras namun begitu rapuh didalam. Butuh perlindungan. Jisung jadi semakin tergugah untuk menjadikan pemuda cantik itu miliknya.

Haruskah ia memperkosanya? Dengan begitu, mau tidak mau Chenle harus tetap bersamanya. Pikiran biadab! Tidak seharusnya lelaki gentle sepertinya bertindak demikian.

"Kita mulai dari mana?" seruan si manis menariknya kembali pada kenyataan. Sejenak, akal sehatnya hampir hilang.

Meneguk ludah sekali, menghirup napas teratur, mengendalikan diri sebelum menjawab pertanyaan si manis. "Kurasa kita bisa mulai dari kamar pribadi Shotaro hyung."

Duarr!

Suara ledakan terdengar, bersamaan dengan itu semua lampu penerangan mendadak padam. Gelap gulita menyergap.

Chenle berkeringat dingin, ia tidak suka gelap. "Apa yang terjadi?" tanyanya mulai panik.

"Sepertinya generator rumah ini mengalami korsleting listrik." simpul si pemuda Park. Chenle hanya bisa mendengar suara Jisung ditengah kegelapan ini.

"Huwaah... siapa itu!" Chenle tersentak kaget saat merasakan telapak tangan besar menggenggam jemari kirinya.

"Itu aku, akan sangat berbahaya jika kita terpisah. Jadi, izinkan aku menggenggam tanganmu." Chenle ingin menolak, tapi perkataan Jisung ada benarnya juga. Toh hanya menggenggam tangan kan? Tidak ada salahnya.

Ya... ya... teruslah bertahan pada ketidakpekaanmu Tuan Zhong.

"Kau masih membawa ponselmu?" Jisung bersuara lagi.

"Masih," Chenle menggerak-gerakkan tangannya, minta dilepaskan. "aku tidak bisa meraihnya kalau kau terus menggenggam tanganku."

Jisung mengerling,"Kau 'kan bisa menggunakan tangan kananmu."

Si manis mendengus, ia selalu benci Jisung yang memerintah seenak jidatnya begini. "Aku sedang memegang alat yang kau berikan tadi, bodoh!"

"Lepaskan saja benda itu, kau bisa memungutnya kembali jika sudah mendapatkan pencahayaan." penawaran bagus Tuan Park!

"Ck! Kenapa tidak kau saja yang menyalakan ponselmu sih!" berdekatan dengan si pemuda Park benar-benar menguras emosinya. Kalau ada yang mudah, mengapa harus melakukan hal susah?

"Aku meninggalkannya di apartemenku."

"Apa?! Lalu anak buahmu?! Bukannya tadi kau bilang--- celotehan pemuda manis itu terhenti ketika tubuh Jisung mendekat kearahnya. Telinganya bergidik geli ketika terpaan napas hangat pemuda tampan itu berhembus disekitarnya.

"Aku tidak membawa satu pun anak buah, tadi hanya caraku untuk mengetahui apakah pelakunya ada diantara kita atau tidak." Jisung berbisik pelan, sangat pelan sehingga hanya bisa didengar oleh Chenle seorang. Seandainya ia tidak ingat jati diri sebagai calon seme, Chenle pasti sudah tegang karena bisikan nada deep baritone yang sumpah demi Tuhan begitu seksi!

"Kenapa bisa begitu?" Chenle ikut berbisik. Berbanding terbalik dengan si pemuda Park, bisikannya justru terdengar menggemaskan. Begitu membuai hingga diam-diam yang lebih muda menjilat bibir.

"Pelaku itu berbohong untuk tau apakah ada orang lain selain kita, jadi aku balas bersandiwara. Untung saja Maek hyung dan Jungwoo hyung mengerti." Jisung masih setia dengan bisikannya, lama kelamaan suaranya semakin terdengar seduktif di telinga Chenle.

"Jadi tiga orang tadi kemana?" si manis buru-buru bertanya sebelum pemikiran anehnya semakin menjadi.

"Mereka ada disekitar sini, mengawasi dari jarak aman" Jisung terdiam sebentar, "Kau mendengarnya?" tanyanya kemudian.

Chenle mengangguk, saat menyadari Jisung tidak bisa melihatnya, ia pun bersuara "Ya."

"Arah jam tiga! Sekarang!" Jisung memeluknya kemudian menarik tubuh ramping itu menjauh.

Prang!



Crash!



Mereka baru saja menghindari sebuah lampu gantung yang terjatuh.

"Orang ini benar-benar psikopat gila!" jantung Chenle bertalu kencang, napasnya naik turun dengan cepat. Bukan hanya karena terkejut, Jisung yang saat ini sedang memeluknya erat membuatnya sesak napas.

"Hampir saja kita mati" balas Jisung.

"Kau tidak terdengar takut." Chenle berucap sarkas.

"Kalau aku takut, aku tidak akan bisa melindungimu."

"Terima kasih untuk perlindunganmu Tuan Park." Chenle menjawab tak acuh, tidak terlalu berminat untuk menanggapi kalimat yang lebih terdengar seperti bualan untuknya.

Dor!


Dor!


Dor!



Suara tembakan beruntun mengaum. Setelahnya, suara teriakan menggema.

"Shotaro!"












tbc...

#ps berasa gak sih feel tegangnya? 😣

Continue Reading

You'll Also Like

628K 18.3K 14
LAPAK BROTHERSHIP ✔️ NOT BOYS LOVE...❌ SUDAH END TAPI TETEP VOTE + FOLLOW PROSES REVISI Kamu tahu obsessi? Ya apa saja bisa dilakukan bahkan bisa m...
147K 15K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
1M 83.8K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
611K 61K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...