Vote dulu sebelum membaca!
Bila perlu komen yang banyak:)
***
Hai makasih banget yang udah baca cerita aku. Aku seneng banget kalo kalian juga vote dan komen setiap part-nya!
Semua itu sangat berarti buat aku:)
Buat kalian yang selalu nunggu up, semangat ya!
***
Masih di kediaman rumah Valdo. Semuanya berbincang-bincang bagaimana cara membuat Bella jujur kepada mereka semua. Tentang dendam apa yang dia miliki terhadap keluarga Daniel sampai-sampai sudah menghabiskan 3 korban.
Wanara yang tiba-tiba berbicara sontak langsung membuat semua yang ada di sana membulatkan matanya. "Sebentar lagi, Bella akan mati."
"Maksud lo apa?!" Dino menggebrak meja kaca yang ada di sana sampai retak.
"DINO!" semuanya langsung berlari ke Dino. Kecuali Wanara, untuk memastikan tangan Dino tidak kenapa-kenapa. Ternyata, jarinya tergores oleh retakan kaca yang membuat darah segar mengalir dari sana.
Wanara masih duduk dengan manis layaknya seorang putri dari kerajaan ilusi. "Emang itu kenyataannya, dia sudah pergi meninggalkan kediaman rumah Daniel," ujar Wanara tanpa ragu.
Dino yang seharusnya kesakitan karena luka yang ada pada jarinya bahkan tidak merasakannya sama sekali, karena ucapan Wanara. Dino malah langsung menghantamkan tangannya ke dinding rumah Valdo yang membuat darahnya semakin mengalir. "Lo bawa siapa sih, Tamara?!"
"A--aku." Wanara memotong ucapan Tamara. "Kenapa emang?! Gue ngomong apa adanya!" ujar Wanara penuh penekanan.
Dino hanya membuang mukanya ketika melihat Wanara. Dia merasa jijik sekali dengan Wanara.
Prang!
Sebuah pisau jatuh dari luar kediaman rumah Valdo. Mereka yang ada di sana langsung berlari keluar untuk memeriksa apa yang terjadi.
"Ternyata Bella itu penguping yang ceroboh! Pantas saja disebut dinding pun punya telinga. Tetapi, dia ceroboh! Meninggalkan jejak yang begitu penting," ujar Wanara sembari tertawa meremehkan.
Radit yang biasanya berbicara pedas pun tidak mengeluarkan sepatah katapun. Sungguh, gadis yang dibawa oleh Tamara benar-benar jahat mulutnya. Dia tidak bisa mengontrol mulutnya sama sekali. Dia selalu berbicara, meskipun memang itu kenyataannya.
"Bukannya lo bisa sihir?" tanya Valdo yang tidak tahan dengan sikap Wanara.
Wanara menaikkan sudut bibirnya. "Gue emang bisa sihir, tapi di dunia gue sendiri, bukan dunia ini yang penuh dengan dendam yang aneh."
"Terus apa gunanya lo di sini?" tanya Valdo kembali.
"Pertanyaan lo bagus juga. Gue bisa menerawang masa depan." Wanara dengan bangganya mengibaskan rambut miliknya.
Dino langsung tertawa. "Lo bisa menerawang masa depan? Beneran?"
"Apa lo nggak paham sama ucapan gue?!"
Dino menggeleng-gelengkan kepalanya sembari tertawa. "Kalo gitu gue mau nanya, kapan lo mati?!"
Deg!
"Brengsek!" umpat Wanara kasar.
"Kenapa? Apa pertanyaan gue nyakitin lo, Ciung Wanara?" Dino tersenyum sinis melambangkan sebuah kebencian pada Wanara.
"Kalo lo nggak percaya semua omongan gue, gue bisa buktiin--"
"Bukti apa yang lo punya?!" potong Dino dengan cepat.
Wanara menahan emosinya, dia sangat-sangat marah sekarang ini. "Apa yang lo harapkan dari Bella? Dia itu cuma orang gila yang mau nge-bunuh sahabatnya sendiri?!"
"Pasti ada alasan di balik itu semua," ujar Dino dengan percaya diri.
"BERHENTI!" pekik Tamara.
Keduanya langsung terdiam ketika mendengarkan pekikan Tamara. "Kamu bisa menerawang masa depan, kan? Aku mau tanya, dimana keberadaan Bella sekarang ini?"
"Dia ada di jalan beringin yang mitosnya jalan itu sangat angker," ujar Wanara tanpa basa-basi.
"Kalau begitu, kita ke sana sekarang!" semuanya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Tamara. Masalah ini harus cepat diselesaikan.
***
Setibanya di sana, mereka semua membulatkan matanya ketika melihat Bella yang ingin meloncat dari jembatan yang ada di jalan beringin.
"BELLA!" teriak Dino dengan spontan. Cintanya masih saja terus menjalar, semua ini bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa adanya nyawa yang hilang kembali.
"Jangan mendekat!" Bella kemudian turun dari jembatan itu. "Gue pikir orang yang paling jahat di dunia ini adalah keluarga Daniel, tapi ternyata lo lebih jahat, No."
"Apa maksud lo, Bel?" Dino semakin mendekati Bella. Namun, Bella tahu, Dino ingin mencoba menghentikan aksinya.
"Gue bilang jangan mendekat!"
"Apa salah gue sama lo, Bel?" Dino mencoba berbicara dengan lembut. Dia sangat takut jika harus kehilangan Bella.
"Salah lo? Lo pikir gue nggak tahu, kalau diam-diam lo suka sama gadis aneh itu?!" Bella menunjuk gadis itu yang mengarah kepada Wanara.
"Wanara?! Gue nggak punya perasaan apapun sama dia, Bel." Dino dengan cepat menolak semua tuduhan yang diberikan Bella. Dia sangat-sangat keliru karena telah berkata begitu. Cinta Dino hanyalah kepada Isabella, tidak ada yang bisa menggantikan posisi Bella dari hatinya.
"Bacot! Gue nggak nyangka, No. Gue benci sama lo!" Bella kemudian langsung membalikkan tubuhnya, mencoba untuk melompat dari sana kembali. Tetapi, entah kenapa Bella tersenyum penuh arti.
Dengan sigap Dino langsung berlari demi menyelamatkan nyawa Bella. Namun, malah Dino yang terkena tusukan dari Bella.
"Arrghhh!" erang Dino kesakitan ketika pisau itu sudah ditancapkan ke dalam perutnya.
"DINOOO!" pekik mereka semua yang ada di sana.
Bella tertawa, kemudian menutup mulutnya menggunakan tangannya. Dia sangat bahagia.
"Kamu itu dendamnya sama aku! Bukan sama Dino, Bel." Tamara berteriak dari seberang jalan.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau Dino bakal terkena tusukan dari Bella?!" Tamara menangis tersedu-sedu menyaksikan Dino yang tergulai lemas tak berdaya.
"Gu--gue nggak ta--u," ujar Wanara dengan terbata-bata. Baru kali ini dia merasakan ketakutan yang luar biasa.
"Lo nggak mikir dengan semua perbuatan lo, Bel?!" tanya Wanara yang tiba-tiba saja sangat membenci Bella.
"Gue mikir, kok. Lo nggak berhak dapetin perhatian dari Dino, jadi lebih baik gue bunuh Dino. GUE MATI DINO JUGA HARUS MATI!" Bella menekankan kalimat terakhirnya yang membuat semua yang ada di sana bergidik ngeri.
Tamara, Valdo, Radit, dan Wanara mencoba untuk mendekati mereka semua. Namun, tidak disangka Bella langsung saja membuang mayat Dino ke jembatan beringin itu.
"Nggak!" teriak mereka dengan serempak.
"Bella dasar brengsek lo!" Radit mengumpat kasar. Baru kali ini dia berbicara kasar kepada seorang gadis.
"Gue bahagia berada di antara kalian, gue sama Dino pamit dulu." Bella kemudian menjatuhkan dirinya dari jembatan beringin itu. Isak tangis semakin terdengar dengan kencang, mereka semua menyesal karena telah percaya pada seorang Isabella.
***
Terima kasih sudah mampir ke ceritaku.
Penasaran part selanjutnya?
Silahkan komen jika ada typo!
Follow Instagram Author
@Dewibiruu
Follow YouTube Author
@dewisarah16