LOVEBIRD

By zahirra

1.6M 74.9K 2.2K

Apa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan d... More

LOVEBIRD
Lovebird 1
Lovebird 2
Lovebird 3
Lovebird 4
Lovebird 5
Lovebird 6
Lovebird 7
Lovebird 8
Lovebird 9
Lovebird 10
Lovebird 11
Lovebird 12
Lovebird 13
Lovebird 14
Lovebird 15
Lovebird 17
Lovebird 18
Lovebird 19
Lovebird 20
Lovebird 21
Lovebird 22
Lovebird 23
Lovebird 24
Lovebird 25
Lovebird 26 (re-post)
Lovebird 27
EPILOG

Lovebird 16

45.2K 2.5K 144
By zahirra

Fio keluar dari kamar Tydes yang baru saja tertidur setelah sepanjang sore ini rewel dan menagis, Fio hampir saja kewalahan menghadapi kerewelan Tydes akhir-akhir ini kalau saja Tinah tidak membantunya mungkin dia tidak akan sanggup merawat Tydes sendirian karena Ibu Ismi hanya bekerja sampai jam empat sore jadi selanjutnya Fio yang mengambil alih tugas Ibu Ismi, harusnya Nino Ayahnya yang mengurus Tydes dari sore sampai malam tapi sepertinya Nino sudah tidak peduli lagi dengan Tydes, dia sekarang sibuk dengan dirinya sendiri setelah Melati memutuskan untuk pergi.

Dengan langkah gontai karena lelah Fio berjalan menuju ruang keluarga dimana biasanya dia dan Ayahnya duduk sambil mengajak Tydes bermain, Fio menatap isi rumahnya yang sepi, tidak ada seorangpun yang berkeliaran di rumahnya, jam di dinding sudah menunjukan hampir tengah malam dan Ayahnya belum juga pulang, ini memang bukan kali pertama Nino pulang telat sudah hampir tiga bulan ini Nino tidak pernah lagi pulang sore, dia selalu pulang lebih dari jam dua belas malam bahkan terkadang menjelang subuh baru pulang. Sebetulnya Fio merasa terpukul dengan keadaan ini, kalau boleh meminta Fio ingin memutar balikkan waktu ke tiga bulan yang lalu, dimana Ayahnya selalu tersenyum dan sangat perhatian padanya, Ayahnya yang tidak pernah lupa mencium puncak kepalanya kalau dia akan berangkat kerja, Ayahnya yang selalu memberikan pelukan hangat dan bilang bahwa dia sangat menyanginya, Ayahnya yang berubah menjadi lebih baik semenjak dia mengenal Melati dokter kesayangannya.

Fio terduduk lemas di atas lantai yang dingin, dia menagis, menyesali semua yang telah di lakukannya, menyesali permintaannya pada Melati, menyesali keinginan hatinya. Kalau pada akhirnya akan seperti ini, Fio tidak akan pernah meminta Melati untuk meninggalkan Ayahnya, Fio akan mengalah dan membiarkan ayahnya bahagia bersama Melati, meski mungkin dirinya tidak akan pernah mendapatkan perhatian Ayahnya lagi, tapi lebih baik seperti itu di banding dengan keadaan sekarang ini.

Fio tertunduk, dia kembali sendiri seperti sebelum-sebelumnya, hidup dirumah yang besar dan kosong tidak ada kehangatan sedikitpun, tidak ada seorangpun yang menyayanginya. Fio takut sangat takut untuk kehilangan semuanya, dia tidak ingin kehilangan kebahagiannya, dia tidak ingin kehilangan kasih sayang Ayahnya dan dia juga tidak ingin kehilangan sosok Melati orang yang selama ini telah membantunya dan menjadi tumpahan segala keluh kesahnya, hanya Melati satu-satunya orang yang peduli dengan apapun yang rasakannya. Tiba-tiba saja Fio merasakan kerinduan yang amat sangat pada sosok Dokter cantik yang selalu di banggakannya itu. Melati tidak pernah lagi bisa di hubungi sejak Fio memintanya untuk meninggalkan Ayahnya, dia seperti di telan bumi tanpa ada seorangpun yang tahu keberadaannya, satu-satunya cara bagi Fio untuk meminta maaf dan berkeluh kesah tentang kedaan Ayahnya yaitu dengan mengirimi Melati email meskipun Melati tidak pernah membalasnya. Mungkin dia marah tapi Fio tetap berharap Melati akan pulang dan mau memaafkan kesalahannya.

Brukk.......Tiba-tiba Fio mendengar suara seseorang terjatuh dan di susul dengan umpatan-umpatan halus seorang wanita, Fio berdiri dan mengusap air mata dengan tangannya, dia berjalan menghampiri suara bising yang berasal dari ruang tamu, di lihatnya Ayahnya berusaha berdiri dengan di gandeng seorang wanita sexy yang berpakaian sangat minim dan ketat sampai terlihat jelas lekuk tubuhnya. Fio diam mematung menatap Ayahnya dengan menelan ludah, Ayahnya memang sering pulang larut malam dan sedikit mabuk tapi tidak pernah pulang sampai diantar wanita jalang seperti ini.

"Duhh....kamu kenapa sih, biasanya tidak seperti ini. Mabuk dan lepas kontrol."Si wanita  kembali mengumpat dan berusaha mengangkat tubuh Nino yang sempoyongan.

"Semua karena kamu Mel, kenapa kamu tega ninggalin aku." ucap Nino dengan sedih dan Fio kembali menitikkan air matanya dengan tangan bergetar hebat, melihat Ayahnya yang meratapi kepergian Melati. Semua adalah salahnya.

"Hai, kenapa masih diam di situ, tunjukin kamar Ayah kamu cepat, berat sekali ini." Dengan sedikit gugup Fio membantu wanita yang belum di ketahui namanya itu, memapah Ayahnya menuju kamar tidurnya.

Dengan sedikit usaha akhirnya Fio dan wanita yang mengantar Ayahnya pulang itu berhasil menidurkan Ayahnya. Dengan cepat pula Fio membuka jas dan dasi Ayahnya, dia juga membuka sepatu Ayahnya.

"Terima kasih Tante." Fio menatap wanita yang mengantar Ayahnya pulang, bagaimanapun dia harus berterima kasih pada wanita sexy itu karena telah rela mengantar Ayahnya pulang ke rumah.

"Ayah kamu payah." Ucapnya dengan mengibaskan tangannya, acuh tak acuh.

"Maksud Tante?" Fio tidak mengerti, dia kemudian menatap lawan bicaranya tanpa beranjak dari tempat tidur Ayahnya.

"Dia sudah tidak sama lagi dengan enam bulan yang lalu, dia sudah tidak asik lagi." Fio tersenyum getir, enam bulan yang lalu adalah dimana Ayahnya baru pertama kali mengenal Melati.

"Dulu Ayah kamu yang meminta aku membesarkan payudara ini tapi setelah aku besarkan katanya jelek dan tidak sama dengan Melatinya. Ayah kamu juga sudah tidak mau tidur denganku lagi karena tidak ingin menghianati Melatinya. Siapa sebenarnya Melati itu?" Tanya penasaran bercampur jengkel karena pemasukannya berkurang satu.

"Dia pacarnya Daddy, lebih tepatnya calon istrinya."

"TIDAK MUNGKIN! Selama ini Nino tidak pernah mau menikah. Jangan asal ngomong kamu!"

"Ssstt. Aku gak asal ngomong Tante " Fio berbisik dan menempelkan jari telunjuknya. "Di kamar sebelah ada bayi yang baru saja tertidur. Jadi Tante jangan berisik nanti dia bisa bangun."

"Bayi, Nino punya bayi! bayi siapa? jangan bilang itu bayi calon istri Nino. Atau bayi Ibu kamu?" Wanita sexy itu mulai kalap dia mondar-mandir di kamar Nino. "Dulu aku pernah memintanya untuk memberikan aku bayi, tapi Nino tidak pernah mengabulkan keinginanku. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba saja ada bayi di rumah ini. Bayi siapa?"

"Bayi Melati." Sudah kepalang tanggung, Fio akhirnya berbohong supaya wanita sexy ini tidak mengganggu lagi Ayahnya.

"Bayinya Melati? Pantas sekali dia terus membandingkan setiap wanita yang di temuinya dengan Melati. Melati seperti ini, Melati seperti itu, Melati selalu begini Melati selalu begitu. Jadi penasaran, apa Melati cantik?"

"Tentu saja cantik, semua perempuan yang di kencani Daddy cantik tidak ada yang jelek tapi dia lebih cantik."

"Operasi, implan, atau botox?" Tanyanya sambil menatap Fio lekat karena sepertinya Fio tahu banyak tentang Melati.

"Asli." Jawab Fio merasa terhina karena Melati yang selalu di banggakannya di samakan dengan dirinya.

"Kalau begitu di mana Melati sekarang, karena sepertinya Ayah kamu begitu frustasi."

Dengan cepat Fio menjawab. "Pergi meninggalkan Daddy karena Daddy tidak mau berubah, tapi setelah kepergiannya Daddy menyesal." Fio melirik Ayahnya dan meminta maaf dalam hati karena telah berbohong, Melati pergi bukan karena Ayahnya tapi karena dirinya.

"Bisa dimaklumi kenapa dia pergi. Dia pasti tidak tahan bersama Ayah kamu yang......" Wanita sexy itu membuat tanda kutif dengan jarinya. Fio tertunduk sedih, dia semakin merasa bersalah.

"Tante, boleh Fio minta sesuatu?" Fio meminta dengan penuh harap.

"Katakanlah, asal jangan meminta aku mengembalikan apa yang sudah Ayah kamu berikan."

Fio menggelengkan kepalanya, dia tidak peduli seberapa banyak Ayahnya memberikan uang dan barang mewah untuk wanita sexy ini. "Fio minta jauhi  Daddy kalau Tante sayang sama Daddy biarkan dia hidup bahagia." Fio tidak ingin ada yang merusak lagi kebahagian Ayahnya cukup hanya dirinyalah yang merusak dan menghancurkan kebahagian Ayahnya jangan ada lagi orang lain.

"Kalau hanya itu jangan khawatir, aku tidak akan mengganggu lagi Ayah kamu kecuali kalau Ayah kamu yang meminta."

"Tante." Wanita sexy itu mengedipkan sebelah matanya dan memberikan senyumannya untuk Fio.

"Terima kasih Tante." Fio membalas senyuman yang di berikan lawan bicaranya dengan tulus.

"Panggil aku Rossa. R-o-s-s-a. partner sex Ayah kamu." Fio membulatkan matanya.

"Dulu." Jawabnya dengan terkikik geli.

"Tante mau minum dulu atau......" Fio baru teringat dia belum menawari tamu Ayahnya minum.

"Pulang, Aku akan pulang sekarang. Untuk apa tinggal di sini kalau ayah kamu tidak bisa ngapa-ngapain aku." Jawabnya dengan tersenyum khas wanita penggoda. Perut Fio tiba-tiba merasa mual mendengarnya.

"Aku hanya bercanda jangan kamu anggap serius. Ya, sudah aku pamit." Rossa meninggalkan Fio yang masih terduduk.

"Terima kasih Tante." Fio berdiri dan mengantar Rossa sampai ke pintu kamar.

"Tidak masalah." Jawab Rossa melenggang pergi meninggalkan Fio.

"Tante masih ingatkan jalan keluarnya."

"Aku bisa mencarinya." Dia kemudian menutup pintu kamar Nino.

Tatapan mata Fio kembali fokus menatap Ayahnya yang sedang terbaring, Ayahnya tampak kusam dan lusuh dengan rambut sedikit panjang dan badannya juga jauh lebih kurus.

Fio memghampiri Ayahnya yang terlelap, dia menatap Ayahnya dengan sedih. "Maafin Fio Daddy." Fio kembali menagis melihat perubahan drastis Ayahnya.

"Fio tau Fio salah telah meminta Tante Mel untuk menjauhi Daddy tapi Fio tidak pernah meminta Tante Mel untuk meninggalkan Daddy." Ucapnya di sela-sela tangisnya.

"Fio minta maaf sekali lagi Fio minta maaf, Fio menyesal telah membuat Daddy dan Tante Mel berpisah. Fio tidak tau kalau  keinginan Fio akan membuat Daddy seperti ini. Maafin Fio." Fio terduduk, dia menangis dan menelungkupkan wajahnya di tempat tidur Ayahnya, Nino sepertinya tidak mendengar apapun yang Fio katakan karena dia mabuk berat.

Fio kelelahan sampai akhirnya tertidur sambil duduk.

***

Di belahan benua yang berbeda Melati sedang duduk termenung dengan laptop di pangkuannya, dia menikmati makan siangnya di sebuah taman dekat rumah sakit tempatnya tinggal selama dia mengikuti pelatihan di Belanda. Dia membaca email yang dikirim Fio hampir setiap hari dan dia akan selalu sedih setelahnya, dia tidak menyangka kepergian dan keputusannya untuk meninggalkan Indonesia selama beberapa bulan ini telah menyakiti banyak orang bukan hanya Nino dan Fio, tapi Ibu dan Bapak juga, mereka harus berjuang mencari tambahan uang untuk panti asuhan selama Melati tinggal di Belanda karena Melati tidak bisa membantunya secara finansial.

Raut muka Melati berubah sedih ketika Fio menceritakan semua perubahan Nino yang tidak pernah lagi memperhatikan Tydes karena sibuk dengan kesedihannya dan dirinya sendiri.

Melati juga sempat menagis ketika membaca email Fio yang menyesal dan memintanya untuk kembali, Fio meminta maaf karena keegoisannya telah membuat semua orang tersakiti. Ternyata Fio membutuhkan dirinya, ternyata Nino memang mencintainya dan tidak bisa hidup tanpa dirinya.

Melati tersenyum dan menutup laptopnya, dia bahagia karena ternyata masih ada orang yang membutuhkannya dan mengharapkan dia cepat pulang.

***

Fio terbangun dengan mata sembab karena hampir semalaman menagis, dia mengerjap-ngerjapkan matanya dan menatap sekelilingnya, ternyata dia sudah tertidur di tempat tidur Ayahnya, pantas sekali rasanya nyaman dan badan tidak pegal. Sesaat Fio terdiam dan melihat kesamping siapa tahu Ayahnya ada di sampingnya menemaninya tidur tapi Fio melihat tempat tidur itu kosong dan Ayahnya pasti sudah bangun terlebih dulu.

Fio kemudian turun dari ranjang dan berjalan kearah connecting door yang menghubungkan kamar Ayahnya dan kamar Tydes, dia hendak memeriksa Tydes karena  kemarin Tydes sangat rewel, Fio takut Tydes sakit. Di bukanya secara perlahan pintu kamar Tydes takut membangunkan Tydes yang sedang tertidur. Sesaat Fio membeku melihat Tydes yang tertidur nyaman di gendongan Ayahnya. Nino berdiri menghadap jendela dan mengusap punggung Tydes, kepala Tydes berada tepat di bahu Nino dan sepertinya Tydes sangat lelap.

Fio berjalan memberanikan diri menghampiri Ayahnya dengan takut-takut, dia tahu dia salah dan telah membuat Ayahnya kecewa tapi sekarang dia bertekad akan meminta maaf atas semua kesalahan yang telah di lakukannya.

Fio berdiri di balik punggung Ayahnya, menatapnya cukup lama, beberapa kali dia menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan, dia hendak meminta maaf tapi suaranya tidak keluar dan tenggorokannya merasa sakit. Fio menelan ludahnya dan berdehem tanpa suara.

"Dad." Akhirnya Fio bisa memanggil Ayahnya meski dengan suara pelan,  sangat pelan hampir tidak terdengar. Fio mengambil napas panjang dan menghembuskannya kembali.

"Daddy." Panggilnya dengan lemah.

Nino berbalik dan menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Ssttt." Fio kembali mengatupkan bibirnya tidak jadi meminta maaf.

Akhirnya mereka berdua saling diam, Nino menatap Fio yang sedang tertunduk karena merasa bersalah, sementara itu Tydes semakin terlelap. Perlahan Fio mulai mengangkat wajahnya dan menatap Nino penuh tekad.

"Fio, ngaku salah. Fio minta maaf." Ucapnya dengan suara penuh penyesalan. Tapi Nino seolah-olah tidak mendengar ucapan maaf yang keluar dari bibir Fio, dia malah membalikkan badan dan mulai menidurkan Tydes lalu menyelimutinya.

Meskipun tidak di dengar Nino Fio terus melanjutkannya. "Fio yang telah meminta Tante Mel untuk menolak Daddy, tapi Fio tidak pernah meminta Tante Mel untuk pergi meninggalkan kita." Ucapnya di balik punggung Nino. Nino diam dengan tangan memegang erat sisi boks tempat tidur Tydes. Entah apa yang di rasakan Nino saat Fio mengakui kesalahannya. Fio sudah pasrah kalau Nino marah dan menghukumnya dia akan terima itu.

"Maaf." Fio kembali menitikkan air matanya, berharap Ayahnya memaafkan keegoisannya.

Nino tidak menjawab sama sekali, dia diam dan hanya menarik napas panjang, lalu beberapa menit kemudian dia berbalik dan meninggalkan Fio sendirian tanpa sepatah katapun. Fio menagis dengan menatap punggung Nino yang hilang di balik pintu.

Nino POV

Aku tidak tega melihat Fio menagis karena merasa bersalah, aku juga tidak tega melihat dia terus-terusan murung semenjak Melati pergi. Tapi aku bisa apa? akupun sama terpuruknya seperti dia, aku juga tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat Fio merasa nyaman tinggal denganku. Bukankah selama ini Melatilah yang selalu memberitahuku bagaimana caranya membahagiakan anak-anakku tapi sekarang dia sudah pergi dan tidak tahu kapan akan kembali.

Hubunganku dan Fio yang awalnya mulai membaik kini menjadi beku kembali, semua memang salahku, tidak seharusnya aku membebani dan menelantarkan kedua anakku hanya karena aku telah gagal mendapatkan Melati.

Miris hatiku mendengar Fio meminta maaf seperti itu, seolah-olah kepergian Melati adalah salahnya padahal aku yakin Melati memilih dan memutuskan untuk pergi karena memang itu kehendaknya bukan karena Fio.

Ingin rasanya aku kembali memeluk Fio dan mengatakan padanya semua akan baik-baik saja tapi aku tidak bisa melakukannya, karena setiap melihat Fio menagis aku merasa menjadi ayah yang buruk dan tidak berguna.

Aku putuskan meninggalkannya sendirian, supaya kami berdua bisa sama-sama berpikir dan memulai hubungan yang lebih baik lagi sebagai Ayah dan anak.

Ku telepon Julian dan mengajaknya bermain golf olahraga yang paling aku benci tapi harus aku lakukan agar aku tidak terlalu memikirkan semua masalah ini.

***

Menurut Pak Halim, Nino tidak pulang terlalu larut tadi malam. Tapi Fio tidak tahu Ayahnya pulang jam berapa karena kepalanya sangat pusing dan berat setelah tadi pagi mengakui semua kesalahannya dan Ayahnya tidak merespons sedikitpun. Fio menagis terus hampir seharian dia tidak mau keluar kamar dan  memutuskan beristirahat lebih awal.

"Tidak terlalu malam, jam sebelas kira-kira. Pak Nino pulang diantar sekertarisnya itu neng, siapa itu namanya Bapak lupa?" Pak Halim diam sesaat sambil berpikir ketika Fio menayakan Ayahnya pulang jam berapa.

"Naomi maksud Bapak." Fio menjawab tidak berminat, dia sekarang sudah tidak peduli lagi Ayahnya mau berkencan dengan sipapapun atau menikahi siapapun. Fio tidak peduli.

"Ah, Ya itu. Tapi tidak lama karena Pak Nino mengusirnya dengan menyeret dia keluar dari kamarnya. Sepertinya Bapak sangat marah sampai-sampai saya kaget ketika Bapak membanting pintu dengan sangat keras." Fio tidak peduli, apapun yang dilakukan Ayahnya. Terserah.

Dia memijit kepalanya yang sedikit pusing dan meminum susu vanila  hangat yang di sajikan Pak Halim. "Terus, kenapa Daddy belum keluar juga padahal ini sudah jam sepuluh."

"Masih tidur mungkin neng. Gak apa-apa inikan hari minggu." Fio terdiam harusnya hari minggu begini Ayahnya yang menjaga Tydes.

Dengan langkah tergesa Tinah menghampiri Fio yang sedang duduk di meja makan dan di temani Pak Halim.

"Mbak Fio, Tydes Mbak." Katanya  cepat dengan wajah pucat.

"Tydes ada apa dengan Tydes?" Fio terkesiap dan menegakkan punggungnya dia menatap Tinah tidak sabar.

"Anu Mbak, badannya panas."

"Panas?"

"Iya Mbak." Tinah menganggukan kepalanya.

"Serius, kamu tidak bohongkan."

"Iya Mbak betul, badan Tydes panas. Tadi sempat saya cek suhu badannya." Dengan cepat Fio berdiri dan berlari masuk ke kamar Tydes di ikuti Pak Halim dan Tinah. Dia kemudian menghampiri Tydes di dalam boks bayinya, di pegangnya dahi Tydes.

"Panas banget Tinah, badannya juga panas. Apa yang harus kita lakukan?" Fio bingung, hilang sudah sakit di kepalanya.

"Kita bawa ke dokter saja Mbak." Pak Halim memberikan solusi yang tidak terpikirkan Fio karena panik.

"Iya, Kita bawa Tydes ke dokter sekarang. Pak Halim siapkan mobil dan kamu Tinah ikut aku, temani aku." Perintah Fio sambil menyelimuti badan Tydes dan menggendongnya.

Fio dan Tinah bergegas ke depan rumah menunggu mobil yang sedang di keluarkan Pak Halim untuk mengantar mereka ke rumah sakit.

Tiba-tiba sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah dimana Fio dan Tinah berdiri, keluarlah Melati di susul dengan sopir taksi yang mengeluarkan koper milik Melati.

"Tydes kenapa Fio?"  Melati menghampiri Fio dan mengambil alih Tydes dari gendongan Fio.

"Ya, Tuhan kenapa badannya panas begini?" Melati mulai membuka selimut yang membungkus badan Tydes, dia kemudian membawa Tydes kembali kedalam kamarnya.

Fio kaget dia diam membeku untuk beberapa saat karena tidak menyangka Melatinya pulang, Melatinya datang menemuinya, Melatinya yang sangat di rindukannya. Fio berlari menuju kamar Tydes sambil menagis bahagia.

"Tante Fio kangen sama Tante." Fio menubruk Melati dan memeluknya dari belakang dia menagis.

"Jangan tinggalin Fio lagi Tante." Ucapnya terisak. Melati tersenyum dan membiarkan Fio memeluknya seperti itu untuk beberapa saat sebelum akhirnya berbalik dan balas memeluk Fio, dia juga sudah sangat merindukan celotehannya Fio.

"Tante juga kangen sama kamu, tapi Tydes sangat membutuhkan pertolongan." Melati menunjuk Tydes yang telah kembali di dalam boks bayinya.

"Maaf."

"Tidak apa-apa. Bisa tolong kamu ambilkan air hangat untuk membasuh badan Tydes." Dengan cekatan Melati membuka seluruh pakaian Tydes dan membiarkan Tydes telanjang.

"Tante kemana saja?" Fio menyerahkan air hangat dalam wadah lengkap dengan washlap yang di minta Melati, sekarang dia sudah  merasa lebih tenang ketika Melati datang dan merawat Tydes.

Melati tidak menjawab pertanyaan Fio, dia lebih fokus mengusap badan Tydes dengan washlap untuk pertolongan pertama dan mulai memperhatikan termometer yang berada di lipatan ketiak Tydes.

"Panasnya berangsur turun, tolong kamu suruh seseorang beli obat penurun panas ini Fio." Melati menuliskan nama obat tersebut di dalam secarik kertas dan menyerahkannya pada Fio.

"Fio kangen sama Tante." Ucap Fio sekali lagi sambil memeluk Melati, sebelum akhirnya pergi mencari seseorang.

Melati menatap Tydes yang tertidur, dia menyelimutinya dengan selimut tipis sambil tersenyum, Tydes sekarang sudah lebih besar dari tiga bulan yang lalu ketika dia meninggalkannya.  "Sudah bisa apa kamu Nak?" Tanyanya sambil mengelus puncak kepala Tydes.

"Tydes, sudah bisa tengkurep Tante." Jawab Fio yang telah datang kembali dan berdiri di samping Melati.

"O, ya. Banyak sekali perkembangan yang aku lewati."

"Dia sudah bisa berguling dan aku rasa sebentar lagi giginya akan tumbuh." Ucap Fio penuh semangat.

"Siapa yang mengurus Tydes selama ini, setelah Ibu Ismi pulang?"

"Fio. Tante." Jawab Fio dengan sedih. "Dibantu Tinah, Daddy sudah tidak peduli lagi dengan Tydes. Selama ini Tante kemana? kenapa ponselnya tiba-tiba tidak aktif dan Tante susah di cari?"

"Ada di Belanda."

"Di Belanda? ngapain?"

"Menenangkan diri." Melati berbohong dengan sedikit senyum tersungging di bibirnya. "Ngomong-ngomong mana ayah kamu?"

"Ma-masih tidur. Jangan ganggu Daddy biarkan dia tidur, Fio masih kangen sama tante. Fio pengen ngobrol sama Tante." Melati melirik jam tangannya, dia menggelengkan kepalanya.

"Jadi ini yang di lakukan Ayah kamu selama aku pergi, tidur dan bangun siang? Benar-benar manusia tidak berguna." Melati  geram dan menuju connecting door

"Jaga Tydes untuk ku." Melati berbalik dan menyuruh Fio, lalu dia membuka pintu dengan kasar masuk ke kamar Nino, tidak ada yang berubah semuanya masih tetap sama seperti tiga bulan yang lalu bahkan boks bayi tempat tidur Tydes masih ada di pojok ruangan. Melati menghampiri Nino yang sedang tertidur dengan bertelanjang dada, dia mengamati pria yang di harapkan bisa merawat kedua anaknya itu. Melati mendekati Nino yang terlihat lebih kurus dari terakhir kali dia melihatnya. Tiba-tiba saja amarahnya meledak, dia benci melihat Nino seperti ini, dia benci melihat Nino meratapi kepergiannya seolah-olah tidak pernah ada hari esok. Dia benci melihat Nino menelantarkan kedua anaknya.

Melati melangkahkan kakinya ke arah toilet dan mengambil satu ember air lalu menyiramkannya ke tubuh Nino bagian atas. Nino kaget spontan terbangun dari tidurnya dan duduk, dia menatap Melati tidak percaya dengan apa yang terjadi, beberapa kali dia mengucek matanya dan kembali menatap Melati.

"Melati." Ucapnya tidak percaya.

***

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 26.2K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
2.9M 143K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.3K 150 13
Sudah satu tahun pacaran, Kevin (Kevin Bzezovski) (16 Tahun) dan Chelsea (Chelsea Davina) (14 Tahun) bingung apakah mereka harus bercinta atau tidak...
1.6K 99 19
"Jika kamu adalah sebuah buku, maka akan aku baca berulangkali tanpa pernah merasa bosan. Sebab, kamu adalah sejarah singkat yang indah dan melekat."...