KATASTROFE

By AMr_writer

23.1K 3.4K 103

🏆 Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... More

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
5 | Anggota Baru
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
17 | Ancangan [1]
18 | Ancangan [2]
19 | Goncang
20 | Intai
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
23 | Penyerangan
25 | Titik Awal [END]
ending notes

24 | Puncak Pertempuran

240 65 0
By AMr_writer

Tertatih-tatih Ray menuju ke tengah-tengah ruang. Ia gerakkan sepasang tungkai itu untuk menghampiri Karen dan Vian, tetapi sorot tajamnya tak lepas dari Theo di atas podium. Orang itu, pamannya—tidak, orang itu bukan lagi pamannya yang dulu—mengurungnya dalam kekangan berbalut api. Beberapa luka bakar melukai otot-otot Ray. Darah kental mengalir pada sudut bibir. 

          "Paman bilang aku berani?" ujarnya sinis sembari mengelap darah pada sudut bibir itu dengan punggung tangan. Seperti Theo, ia juga menggunakan Bahasa Prancis. "Bagaimana mungkin aku bisa menghormati orang yang sudah hampir membunuhku?" Ia meludah kasar, membuang sisa-sisa darah yang tersisa dalam mulut. "Jangan harap. Sejak kejadian itu aku sudah tidak sudi lagi bersikap hormat padamu. Kau membunuh orang-orang tak berdosa, mengorbankan keluargamu sendiri demi ambisimu yang omong kosong itu. Percayalah, hidup selayaknya orang normal akan membuatmu jauh lebih bahagia."

          "Kau pengkhianat memang lebih pantas mati bersama manusia-manusia rendahan ini!"

          Theo mencengkeram tangan kirinya lebih kuat, membuat benda bermuatan listrik yang meliliti tubuh Irene semakin mencekik. Gadis itu berteriak kesakitan.

          "Paman, hentikan!"

          Ray hendak memutuskan pergelangan tangan kiri Theo, tetapi kali ini mantranya tidak mempan. Justru persendian siku kanan sang paman berangsur-angsur pulih. Bersamaan dengan itu, sesuatu melayang-layang di langit-langit ruangan lalu berkumpul membentuk bola besar berwarna hitam pekat. Satu cabangnya menancap di ujung kepala Irene, membuat gadis itu tak sadarkan diri. Sementara cabang lainnya menempel di ubun-ubun Theo.

          Secret Experiment X. Tidak salah lagi. Ray sudah kembali mengingat kejadian di masa lalu, ketika bulatan besar dari sekumpulan asap meledak di wilayah I Distrik Namlea. Ray mengingatnya setelah Theo membicarakan hal itu, saat ia terkurung dan diselingi tawa bengis sang paman. 

          Belasan tahun lalu, Theo nekat menggunakan kristal jenis lain yang ia curi dari gedung IPTEK Namlea dan ternyata gagal. Namun sekarang, ada seorang gadis, Irene, yang ternyata merupakan cyborg dengan salah satu penyusun organ tubuhnya merupakan bongkahan Kristal Velositi. Ini berarti, kemungkinan besar proyek Secret Expreiment X akan berhasil. 

          Ray teringat sesuatu. Penasihat Theo, Rana, menyabotase sistem inti pusat di ruang pengoperasian BIU dengan mantra sihir, sehingga lima bulatan asap di lantai dasar menara BIU tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Lima bulatan asap itu sudah ia ketahui bernama coretrax. Dapat melemahkan kekuatan sihir bahkan mengurung penyihir dari jarak ratusan kilometer.

          Langit-langit bergetar. Puing-puing berjatuhan dari tengah ruang. Vian menjulurkan tangan yang terbungkus sarung keperakan, menjadikannya tameng yang menjaga kepala Karen dan membawa Karen berlari ke tepi. Ray mengekor dengan gerakan cepatnya. 

          "Apa coretrax masih belum hidup?" tanya Ray setengah berbisik tetapi sedikit terburu-buru ketika mereka sudah berlindung dekat pilar. 

          "Kami nggak bisa lenyapkan mantra sihir yang menutup akses sistem inti pusat," jawab Vian disela napas terengah. "Kecuali kamu tau caranya. Atau punya ide selain manfaatin coretrax."

          Ray berpikir sejenak. "Pinjam barphone kalian. Tolong sambungkan ke siapa saja yang berjaga di BIU."

          Tanpa banyak bertanya, Vian segera mengeluarkan barphone-nya. Beruntung masih tersimpan baik dalam saku. Ia mengetuk sebuah fitur tautan internal. Sedikit memakan waktu sampai tautan itu terbuka, lalu Vian mengetikkan kode angka. Setelah menekan tombol 'submit', tautan itu tersambung ke alat komunikasi salah satu kawan yang bertugas menjaga ruang pengoperasian BIU. 

          "Halo, di sini Vian. Bisa dengar?"

          Suara berkerasak mendominasi sebelum orang di seberang sana menjawab. "Ya, Vian? Ini Vian? Kamu di mana?" Terdengar nada panik dari suaranya. Juga dentuman keras silih berganti, agak samar karena getaran dan serpihan puing-puing yang berjatuhan dari langit-langit markas. 

          Vian mengembuskan napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku di markas penyihir."

          "Gila!"

          "Ini bukan waktunya mengumpat. Sekarang tolong kasih tau progres sistem inti pusat yang diblokir oleh mereka."

          "Belum ada progres apa-apa," jawab orang di seberang sana setengah berteriak, setengah putus asa dan panik. "Sekarang kami lagi kesusahan lawan pasukan mereka yang tiba-tiba menyerbu BIU. Mereka sangat sulit diserang. Mereka bukan manusia. Kami kewalahan!" Mendadak suaranya menggebu takut. 

          "Tenang, tenang dulu." Vian tahu apa yang ia ucapkan tak akan berhasil tapi ia tidak punya pilihan. "Sekarang posisi kamu di mana?" 

          "Aku lagi sembunyi." Suaranya memelan, hampir seperti bisikan. "Di pilar dekat Ruang Pengoperasian BIU. Mahasiswa pengkhianat itu, yang dari Bidang Pertahanan, dia kembali ke sini." Sedikit-sedikit ia mengintip ke balik pilar. "Lima orang yang kayaknya sama-sama dari Bidang Pertahanan juga, lagi berusaha serang dia. Tubuh mereka terus-terusan terkena hantaman sihir itu. Tapi mereka tetap bangkit. Oh, salah satunya kalau nggak salah, teman si pengkhianat. Aku sering lihat mereka jalan bersama."

          Karen mengernyit tegang dan mengepalkan tangan di atas pangkuan. "Ray." Ia lirik pemuda itu, memberi kode agar Ray menuntaskan apa yang seharusnya ia lakukan. 

          Ray mengangguk paham. Ia sambar barphone dari tangan Vian, mengambil alih percakapan antara Vian dan kawannya.

          "Ini Ray. Ikuti arahan saya supaya kalian bisa lepasin mantra itu dan akses inti pusat terbuka lagi."

          "Ray!" Lagi, orang di seberang sana berteriak dalam bisikan. "Gimana aku bisa percaya sama orang dari kalangan mereka?"

          Ray mendesah. "Punya pilihan lain?" Ia bairkan orang itu berpikir sendiri, malas menjelaskan panjang lebar. Lagipula ia sedang bersama Vian dan seharusnya orang itu paham.

          Setelah hening sebentar, orang itu akhirnya bicara lagi, "Oke."

          Ray mengucapkan sebuah kode. Lalu ia buka fitur keyboard untuk mengetikkan suatu mantra. Ia berucap lagi, merapal, meminta orang itu merekam suaranya. Belum sempat ia berikan arahan terakhir, tubuhnya tiba-tiba tertarik, bersamaan dengan ditariknya tubuh dari kedua rekannya ke tengah-tengah ruang. Barphone pun terbanting, jatuh dengan keras. Jiwa-jiwa mereka dikendalikan oleh Theo. Raga mereka melayang, agak jauh jaraknya di belakang Irene. Guncangan semakin hebat dalam markas ini.

          Sementara itu, pasukan Theo dalam jumlah banyak melakukan penyerangan di berbagai wilayah Buru. Beberapa kawasan hancur, kalah telak dengan kekuatan sihir itu. Terutama Kawasan Lindung yang dikepalai oleh anggota dewan yang bekerjasama dengan Theo. Para prajurit BIU menggunakan alat yang diciptakan Vian untuk melawan mereka. Juga menunggangi Garuda serta hewan mitologi lainnya seperti Cindaku dan Ahool dalam ukuran raksasa teruntuk para utusan Bidang Pertahanan sehingga setidaknya mereka bisa menandingi kekuatan magis mereka. 

          Getaran kuat membentuk jalur lingkaran dari titik tengah Pulau Buru, menjalar ke batas laut, membuat pepohonan serta gedung-gedung bergoyang seperti ditiupi angin topan. Air laut pun pasang, bergelombang tinggi hingga ke pulau seberang.

***

          Langit-langit markas sudah separuhnya runtuh. Tiga tubuh di tengah-tengah ruangan melayang beberapa senti di atas serakan puing, dengan masing-masing mulut yang menganga. Mata mereka setengah tertutup dan memperlihatkan selaput putih. Raga mereka seakaan sudah tak bernyawa.

          Cahaya dari benda berbentuk bola besar bermuatan listrik dan berkekuatan magis menerang dan meredup. Satu cabangnya berdenyut-denyut menghantarkan energi ke kepala Theo, sementara cabang lainnya berdenyut-denyut menyerap energi itu dari kepala Irene.

          Gadis itu masih bernapas. Dadanya masih terlihat kembang-kempis perlahan. Hanya saja, matanya terpejam, tak sadarkan diri. Jauh di alam bawah sadar, Irene terbawa oleh lorong waktu ke masa-masa di mana ia masih menjadi manusia normal. Memori ini sempat hilang karena perubahannya menjadi cyboarg.

          Irene kecil adalah sosok pendiam yang dikucilkan teman-temannya. Ia sering mendapati perundungan karena tak pernah melawan saat diganggu, juga karena ia adalah satu-satunya anak panti asuhan di sekolah tersebut. Suatu ketika, saat ia dikerjai habis-habisan sampai menangis, anak laki-laki yang merupakan kakak kelasnya datang menolong. Anak itu adalah Ray. Sambil mengenakan topeng reog, Ray membuat mereka terkejut lantas berlari terbirit, sementara ia terbahak puas melihat betapa ketakutannya mereka. 

          Itu adalah awal mula kedekatan Irene dan Ray, tepat satu minggu sebelum Hari Pendidikan Nasional. Dalam masa tersebut Ray seringkali datang menemani dan melindungi Irene. Bahkan ia menolak berada dalam rombongan teman-temannya demi bersama dengan Irene pada pameran Hardiknas di wilayah I Distrik Namlea. 

          Irene benar-benar bersyukur memiliki kawan seperti Ray di sekolah. Ia jadi lebih sering tersenyum atas kebahagiaan yang menyelimuti batinnya. Terutama ketika Ray tersenyum tulus sembari menatapnya, seperti yang Ray lakukan saat berlari menghampirinya yang sedang menunggu di depan gedung pusat peragaan IPTEK. Irene sangat senang melihat senyum itu. Senyum yang menawan, yang selalu membuat ia tenang, yang berhasil menghilangkan kesedihan pada dirinya. Namun kebahagiaan itu lenyap seketika kala terjadi ledakan dari gumpalan awan hitam, yang sebelumnya didekati oleh anak laki-laki berusia sedikit lebih kecil dari Irene. Reflek ia berlari. Ia tidak mau senyum Ray lenyap. Ia ingin membalas perlindungan Ray.  

          Ia menubruki tubuh Ray, memeluk, tepat saat ledakan itu mengenai tubuhnya. Ia terpental jauh. Punggung terbakar. Teriakan histeris menggema. Ia jatuh membenturi keras jalan beraspal. Kesadaran hilang, dan tanpa pernah ia ketahui, Ray tersedot ke dimensi lain. Ray seakan jatuh dari ketinggian yang tak berujung saat melintasi portal lorong. Dan ia, dengan debaran jantung yang kencang, menatap Irene di atas sana yang sudah seperti tak bernyawa lagi.

           Kesadaran Ray perlahan-lahan pulih. Iris serta pupil matanya kembali hitam, dan ia jatuh tersungkur, terbatuk-batuk, mengatur napas hingga stabil. Ia mendengar Karen dan Vian melakukan hal yang sama di sebelahnya tanpa menoleh sedikit pun. Setengah berbaring ia jadikan lengan kanan sebagai tumpuan. Masih melakukan pengaturan napas, tatapannya tertuju pada gadis cyboarg di depan sana. Dia. Ternyata dia gadis itu. Gadis kecil yang pernah mengorbankan nyawa untuknya. Memori kebersamaan mereka berputar berpadu dengan kenyataan bahwa Irene berubah menjadi gadis cyboarg saat ia berada di alam bawah sadar tadi. 

          Sekarang, entah apa yang gadis itu lakukan, ia membuat Theo berteriak kesakitan. Ray merunduk kala jemari Irene mengeluarkan laser sihir tanpa ampun ke sana-ke mari, menghancurkan sedikit demi sedikit tiang penyangga serta dinding. 

          Cahaya memancar terang dari kedua mata Irene, tertuju pada bulatan besar dari sekumpulan awan hitam yang kini tengah berdenyut-denyut hebat. Sementara kedua tangannya melakukan suatu gerakan yang merupakan perlawanan tak terlihat atas serangan Theo.

          "Kita harus bantu dia hancurin bola itu!" teriak Vian di tengah kebisingan.

          "Hah?" Ray menoleh cepat tak percaya. "Kalau kita hancurin bola itu, sama aja ngasih peluang untuk terjadinya ledakan Secret Experiment X seperti dulu!"

          "Itu nggak akan terjadi, Ray. Di dalam tubuh Irene ada bongkahan Kristal Velositi. Kalau bola itu dihancurkan, ledakannya tidak akan sebesar kejadian belasan tahun lalu. Kekuatan Kristal Velositi yang melebur dengan tubuh Irene akan meredamkan ledakannya."

          "Dan itu berarti tubuhnya akan hancur berkeping-keping bersamaan dengan hancurnya bola besar itu!" Ray menarik kerah baju Vian. Ia marah.

          "Lebih baik mengorbankan satu nyawa untuk menyelamatkan keselamatan jutaan nyawa daripada tidak sama sekali, Ray." 

          Karen yang memperhatikan keduanya tak tahu harus melakukan apa. Ia merunduk lemah. Otot-ototnya sakit saat hendak bangkit, dan akhirnya terjatuh lagi.

          Ray masih mencengkeram kerah baju Vian. Masih terlihat marah. Kemudian ia lepaskan cengkeraman itu. Vian benar. Tapi ia benar-benar tidak mau kehilangan Irene. Tidak untuk yang kedua kalinya. Jadi ia berpikir cepat demi menemukan kira-kira mantra apa yang bisa menghancurkan bola itu tanpa mengorbankan nyawa Irene.

          "Baiklah. Ayo kita bantu dia."

          Vian menghela napas lega. Ia bergegas mengikuti Ray yang berlari demi menyejajarkan dirinya dengan arah sinar dari bola mata Irene. Mereka berhenti tepat setelah memantapkan jarak dengan bola besar itu dan sinar mata Irene. Tangan Vian yang terbungkus sarung keperakan terangkat ke atas kepala, begitu pula dengan sebelah tangan Ray. Cahaya dengan warna putih dan biru keluar dari masing-masing telapak tangan keduanya. Ray menurunkan lengannya ke arah Vian, begitu pula sebaliknya, sehingga cahaya dari telapak tangan mereka menyatu. Lalu bersama-sama mereka arahkan pada gumpalan asap itu, sehingga menciptakan gelombang elektromagnetik berkekuatan besar.

          Gumpalan asap bermuatan listrik semakin berdenyut-denyut hebat atas tekanan dari kedua sisi. Kemudian cahaya amat terang mengelilinginya, semakin besar, hingga memenuhi sepenjuru ruangan.

***

          Putih.

          Sepanjang mata memandang hanya ada putih yang terlihat. Cahaya memancar terang dari langit-langit, membuat penglihatan Ray menyipit setelah rasanya terpejam dalam jangka waktu lama. Kedua tangannya menggapai-gapai udara. Tempat ini layaknya ruang hampa tanpa adanya apa pun yang bisa disentuh ataupun dilihat. Kemudian, lamat-lamat tampak sesuatu di kejauhan. Sesuatu itu mendekat, perlahan-lahan mendekat, hingga Ray dapat melihat dengan jelas.

          Irene. Wajah itu menunduk, tertidur, kedua tangannya terjulur menyatu di bawah kemaluan. Ia melayang dan posisi tidurnya seperti orang yang sedang berdiri. Ray berjalan pelan-pelan selagi Irene masih terus melayang mendekatinya. Ia perhatikan wajah polos tanpa riasan serta kacamata itu. Wajah yang sama cantiknya dengan gadis kecil, sahabatnya, yang menghilang lima belas tahun lalu. Ray merasa begitu bodoh karena sama sekali tak mengenali Irene yang sekarang. Merasa amat bersalah, lantaran ia sempat melupakan gadis itu, seolah-olah gadis itu tak begitu penting di kehidupannya. Bahkan ia sempat memarahi Irene.

          Sebelah tangan Ray terjulur begitu tubuh Irene sudah amat dekat dengannya. Tetapi tangannya berhenti di udara, saat hampir menyentuh wajah Irene. Sesuatu tak kasat mata seperti menjadi pembatas di antara mereka. Seperti kaca yang menghalangi dirinya dengan gadis itu. 

          Tangan Ray menapak pada kaca pembatas. Ia usap lembut wajah Irene meski tak tergapai. Dan, perlahan kelopak mata Irene membuka, mengerjap. Ia termangu sesaat sebelum mengeluarkan suara parau, "Kak ...."

          Ray tersenyum hangat. "Aku senang kamu masih di sini, Ren. Mantraku berhasil. Kamu tidak ikut menghilang."

          Irene tersenyum getir. "Maaf, Kak ...." Lalu ia menapakkan tangan pada kaca pembatas, dan menempelkan dahi di sana.

          Ray turut menempelkan dahinya. Senyum simpul masih tersungging di wajah itu. "Ini kamu lagi ngejek aku, ya?" Ia pejamkan mata, merasakan kehangatan dari saat-saat ini. "Maaf untuk semua tindakan menjengkelkan yang pernah aku lakuin ke kamu. Maaf karena mungkin dari setiap pertemuan kita, tidak ada kesan baik yang bisa kamu dapatkan dariku. Mulai sekarang, ayo, kita perbaiki semuanya. Kita mulai lagi dari awal, dengan kamu sebagai gadis yang akan selalu ada di sisiku."

         Suara Ray begitu lembut, begitu menenangkan. Senyum manis tersimpul di bibir Irene. Kemudian kabut menyelimuti mereka yang kini sama-sama terpejam. 

Continue Reading

You'll Also Like

18.2K 1.5K 35
Awal awal bertemu dengan tidak kesengajaan pertengahan hanya menjadi pasangan boss dan karyawan pada biasanya dan berakhir menjadi pasangan yg saling...
4.5M 310K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...
648K 66.6K 64
KARYA ASLI BUKAN NOVEL TERJEMAHAN CERITA INI DIBUAT UNTUK DINIKMATI BUKAN UNTUK DI PLAGIAT, HARAP DIBACA DAN JANGAN DI JIPLAK.? I was kidnapped by...
3.6K 575 60
[Reading List WattpadfantasiID Januari 2024] Diculik sebagai tumbal, Wafir---bocah naif yang selamat dari tenggelamnya separuh daratan bumi---harus m...