KATASTROFE

By AMr_writer

22.8K 3.4K 98

๐Ÿ† Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... More

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
5 | Anggota Baru
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
17 | Ancangan [1]
18 | Ancangan [2]
19 | Goncang
20 | Intai
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
24 | Puncak Pertempuran
25 | Titik Awal [END]
ending notes

23 | Penyerangan

169 66 0
By AMr_writer

Para android sudah tidak berpatroli lagi di sekitaran Benteng VOC sejak Vian memberikan sinyal pemberitahuan. Vian meminta mereka untuk kembali ke pusat pertahanan Buru, dan meminta mereka memberitahukan para tentara, polisi, serta prajurit lainnya untuk bersiaga di masing-masing distrik karena ia akan mulai mengusik musuh dengan melintasi portal tak tergapai—memasuki markas musuh.

          Karen berada di barisan terdepan bertingkah selayaknya pemandu. Ia sibak daun-daun yang terjulur dari pepohonan yang menghalangi jalan. Sesekali melompat atas semak-semak yang teramat rimbun. Rocky tidak ia bawa, ia biarkan berada di Lamahang, karena akan berbahaya jika memakan tanaman palsu di Hutan Kayeli.

          Karen menengok ke belakang saat hampir tiba di Benteng VOC. Tanpa ia duga, anggota baru mereka, Irene, bisa melewati rerimbunan hutan dan menyeimbangkan kecepatan langkahnya dengan baik. Vian berada di barisan paling belakang. Sesekali ia lirik Irene untuk memastikan keadaan gadis itu.

          Tangan Irene bertumpu pada batang pohon setelah ia berada di sisi Karen. Tampak engahan pada napasnya. 

          "Kamu yakin, mau ikut kami menyusup ke markas penyihir?" Karen memberi perhatian penuh pada kondisi Irene. Tubuh yang tampak ringkih dan tak bisa melakukan perlawanan. Fisik yang lemah. 

          "Aku yakin." Irene mengangguk dengan bersemangat. Energi seakan kembali dalam dirinya. "Sangat yakin, seratus persen."

          "Apa yang bikin kamu seyakin itu?" Karen lebih terdengar seperti seorang penguji yang hendak merekrut bawahan.

          "Karena ...." Irene menggigit bibir, melirik ke satu kerikil dekat kakinya, berpikir dengan hati-hati. "Karena aku punya potensi untuk menyelamatkan negara kita." Ia ulangi perkataan yang pernah diucapkan ibunya seraya mengangkat wajah dan tersenyum, menunjukkan rasa percaya diri serta keyakinan di sana. Menyadari lawan bicaranya memberi tatapan ragu, ia teruskan ucapan agar keyakinan itu tidak hanya ada pada dirinya, tapi juga tertular pada dua orang yang akan berjuang bersamanya. "Tadi Kakak sudah ajari aku beberapa teknik pertahanan, meskipun cuma dalam waktu yang singkat. Tapi sebelum itu, aku juga sudah banyak mempejalari tentang pertahanan diri." 

          "Kurasa caramu menghindar dari serangan ataupun menyerang masih belum cukup bagus." Perkataan ini jauh lebih halus dari yang Karen pikirkan. Hasil latihan selama enam jam tadi tentu sangat sangat kurang untuk menghadapi musuh secara langsung, bagi orang yang tidak berpengalaman dalam hal pertarungan seperti Irene. Meski dikatakan sudah pernah belajar pun, tapi dari apa yang ia lihat, Irene sama sekali belum mencapai kemampuan yang ia harapkan, sama sekali belum mencapai fase siap tempur. Lagipula, memangnya berapa lama dia berlatih? Sepertinya seminggu pun kurang. 

          "Kalau dia punya keinginan dan keyakinan yang kuat," ujar Vian, berusaha mencairkan ketegangan, "nggak ada salahnya kita beri dia kesempatan. Aku juga hampir sama, Ren, nggak terbiasa hadapi pertarungan, nggak kayak kamu. Tapi kamu bisa kasih kesempatan ke aku buat melawan musuh. Kamu percaya, kalau aku bisa hadapi mereka. Selama kita punya keberanian untuk ini, punya tekad yang besar, kita janji nggak akan nyusahin kamu, Ren."

          Karen hampir-hampir menggeram. Itu nggak sama, gumamnya dalam hati. Jika dengan Vian, ia sudah kenal lama dan sudah memperkirakan kemampuan pemuda itu jauh-jauh hari. Tapi kalau dengan Irene, rasanya baru satu kali berpapasan, di kantin Gedung I bagian barat, dan saat itu Irene hendak dirundung jika tidak ditolong olehnya. Gadis yang lemah itu, tiba-tiba saja pagi ini menawarkan diri untuk turut ikut membantu menyergap ke markas musuh. Setiba-tiba itu. Mungkin ada sesuatu yang membuat keberaniannya muncul. Ada sesuatu yang membuatnya ingin turut berjuang langsung menghadapi musuh.

          "Oke," ujar Karen akhirnya. "Tolong jangan kecewakan kami, ya."

          Irene tampak berbinar. Ia sedikit menunduk seraya mengucapkan terima kasih pada Karen dan Vian, pada kepercayaan mereka padanya. 

          Matahari semakin merangkak naik dan panasnya siang teredam oleh kanopi hutan. Karen menjelaskan strategi sebelum mereka mulai menyusup. Setelah rekan-rekannya mengerti dan semua persiapan telah siap, ia angkat lengan kiri dan menekan tombol merah di gelang rantai titanium. Seketika bangunan besi megah dengan ukiran khas istana kerajaan perlahan-lahan terlihat, menutupi berhektar-hektar pepohonan dekat Benteng VOC.  

          Vian dan Irene menatap takjub. Keduanya sampai membetulkan posisi kacamata demi memastikan apa yang mereka lihat itu adalah nyata. 

          "Seperti dugaan kamu, Yan. Benda pemberian mereka ini ternyata masih berguna. Akses belum dimatikan."

          "Kita harus tingkatin kewaspadaan. Bisa jadi mereka sengaja nggak blokir aksesnya karena udah siapin perangkap buat kamu."

          Karen menyengguk paham. Ia beri komando pada dua rekannya untuk menekan tombol putih pada MBForce yang sudah mereka kenakan. Setelahnya, mereka mengendap-endap mendekati dinding markas. Karen memperkirakan di balik dinding pada sisi ini ada sebuah labirin. Ujung labirin akan mengarahkan mereka pada ruang rahasia milik Theo, yang menyimpan banyak buku-buku mantra serta ramuan sihir. Karen juga sudah menyelidiki bahwa di sana terdapat sesuatu yang menjadi kelemahan Theo.

          Mereka secara bergantian menembus dinding besar itu, dan disambut oleh suasana labirin yang gelap, dingin, dan pengap. Penerangan di dalamnya memanfaatkan api obor abadi yang tertempel di dinding tiap seratus meter, memperlihatkan pantulan bayangan yang besar dan bergoyang-goyang.

          "Ini labirin, yang punya banyak cabang." Karen berbisik mendeklarasikan tempat mereka berada sekarang. "Sekalinya tersesat, kita akan terperangkap selamanya. Tapi kalian jangan khawatir. Aku udah terbiasa dengan jalur-jalur rahasia dalam markas ini. Mudah-mudahan, ya, kita bisa capai tujuan tepat waktu."

          Jantung Irene berdebar-debar. Kedua tangan menggenggam batang tombak dengan kuat di depan dada, menandakan kegugupan. Ia terus berucap dalam hati meyakinkan diri bahwa ia berani, ia tidak akan takut, ia bisa menyerang dan bertahan tanpa mengecewakan mereka yang sudah memercayainya. 

          "Sensor di telingaku bereaksi," tutur Vian menandakan peringatan. "Seseorang berjalan ke arah sini, jaraknya dua ratus meter di depan kita."

          Langkah Karen terhenti. Pun dengan Irene. Kemudian, cepat-cepat mereka menekan tombol putih lagi dan bersembunyi di balik dinding. Tak berapa lama, langkah kaki yang dimaksud Vian terdengar sangat jelas. Suaranya menggema di sepanjang lorong. Lalu perlahan-lahan menjauh, cukup jauh, dan menghilang. Karen serta kedua rekannya keluar dari dinding. Setelah merasa cukup aman, mereka lanjutkan perjalanan melewati lorong itu kembali.

          Cahaya pada lorong labirin yang mereka lewati makin lama makin menipis. Padahal seingat Karen, seharusnya mereka sudah hampir mencapai ruang rahasia Theo dan seharusnya tak segelap ini, karena sudah beberapa kali ia melewati jalur ini dan sesering itu pula hampir menyusup ke dalam sana, tapi tak pernah berhasil.

          "Kira-kira seberapa jauh lagi, Ren?" tanya Vian, yang juga menjadi pertanyaan dari benak Irene. Gadis itu sedari tadi tidak bisa bicara karena sibuk menguatkan batinnya.

          "Sebentar lagi. Kita udah cukup dekat," jawab Karen tak yakin.

          "Mari kita bersiap," bisik Vian lagi, tersirat kepercayaan diri dalam nada bicaranya. Pilfrof yang tersampir di antara batang hidungnya memendarkan titik biru pertanda adanya keanehan di depan mereka. "Musuh sudah memanipulasi jalur yang sesungguhnya. Dan mereka, sedang menunggu kita."

          Usai peringatan itu, tetiba cahaya lampu menyorot dari langit-langit. Disusul dengan lampu lainnya yang menyorot jauh di depan sana, sedikit remang, tapi cukup membuat mereka melihat jelas keadaan sekitar. 

          Mereka sudah tidak berada di lorong labirin seperti yang diduga, seperti yang dilewati sebelumnya. Ini adalah ruang utama tempat singgasana Theo berada.

          "Selamat datang, para tamuku."

          Suara Theo yang berat dan terdengar mistis menggema. Tapi bukan itu, ataupun ketetibaan mereka di sini, yang membuat kening Karen mengerut. Theo berucap dengan Bahasa Indonesia yang sangat fasih. 

          "Kamu masih berani datang ke sini rupanya," Theo menyeringai seraya menggenggam tongkat di sisi singgasana. Perkataan selanjutnya diucapkan secara perlahan-lahan, menyiratkan amarah pada tiap penuturan. "Prajurit yang berkhianat pada rajanya." Lalu ia berdiri. "Tapi saya bersyukur yang kamu bawa cuma para pecundang ini." Ia ketukkan tongkat ke lantai podium dan mengangkat lengan kiri. Setelah menggumamkan mantra, muncul gelembung besar yang berputar-putar di atas tongkat. Gelembung ini seperti magnet yang menyatukan memori lama dari otaknya, dengan memori lama dari dua orang yang Karen bawa itu sebagai objeknya. Sensor Theo memberi tanda bahwa ada sesuatu yang ia cari di antara mereka.

          Sementara Karen, Irene, dan Vian terkesiap. Mereka mempersiapkan diri dengan mengambil ancang-ancang, mempersiapkan masing-masing senjata, mengira sang raja akan segera menyerang.

          "Wah ... ternyata kamu si gadis kecil itu," ucap Theo bersamaan dengan menghilangnya gelembung dari pucuk tongkat seperti angin. "Gadis kecil yang berani melindungi orang lain, yang tidak lain adalah keponakanku, dari ledakan Secret Experiment X."

          Sontak Vian dan Karen memutar wajah pada Irene. Alis mereka tertaut, dan sejuta kebingungan itu terefleksi pada mimik Irene. 

          "Ah ... seharusnya saya berterima kasih padamu. Tapi kamu sama sekali tidak ingat kejadian itu, kan, wahai cyboarg?"

          Cyboarg. Karen ingat ucapan Teddy yang mengatakan bahwa bongkahan Kristal Velositi yang lebih besar tertanam dalam tubuh seorang cyboarg dari kalangan mahasiswa BIU. Jika memang begitu, jika memang Irene seorang cyboarg, maka perizinannya pada gadis itu untuk berada di sini adalah keputusan yang sangat fatal. 

          Segera ia raih lengan Irene tanpa memedulikan dentuman keras dari jantung gadis itu serta keterkejutan yang teramat sangat. Lengan itu bergetar takut namun tampak pasrah ketika Karen dekatkan ujung pedang pada punggung tangannya. Dan terlihatlah benda itu. Chip identitas cyboarg. Tanpa membuang waktu lagi, Karen menekan nadi di pergelangan tangan Irene, membiarkan gadis itu merintih, dan seketika logam menjalari tangan manusianya hingga seutuhnya berubah menjadi tangan cyboarg

          Dengungan serta pergerakan mesin dalam kepala menyakiti Irene. Benda-benda di dalam sana begitu asing. Terasa begitu tidak seimbang dengan apa yang selama ini Irene alami. Ia sedikit merunduk sambil memegangi kepala. Merintih, dan merintih sakit, sementara dua rekannya menyaksikan tanpa bisa berbuat apa pun. Namun, mereka tetap mengawasi Theo dengan waspada, memberi posisi perlindungan bagi Irene.  

          "Ternyata kamu tidak sepenuhnya berkhianat, Karen. Kamu sudah membawa apa yang saya cari dengan sukarela." Kini Theo terbahak-bahak. Tertawa keras dan makin kencang, seperti guruh yang hampir-hampir menggetarkan ruangan. Setelah tawa mereda, ia berujar memberi ejekan, "Dan sekarang apa yang mau kalian lakukan? Mengalahkan kami? Itu hanya terjadi dalam mimpi."

          "Orang yang sombong biasanya tidak akan menang."

          Theo berpura-pura terkesan atas kepercayaan diri mantan prajuritnya.

          Ia perhatikan bagaimana Karen dengan gerakan cepat mengambil busur beserta anak panah yang tersampir di pundak, lantas membidik, lalu melesatkan panah itu padanya. Ia hanya menatap tak minat atas tindakan Karen yang menurutnya gegabah. Seharusnya gadis itu tahu serangan jarak jauh tidak bisa mengalahkannya. Seharusnya kemampuan Karen membaca lawan sudah semakin meningkat, tapi sekarang justru ia dibuat kecewa atas keputusan ceroboh gadis itu. Rasa kecewa, yang dibumbui dengan cemooh. Mereka jelas akan kalah dalam waktu yang sangat singkat.

          Sepersekian detik kemudian, Theo merasakan sakit pada pelipis kanan. Sakit yang merobek kulit, seakan-akan tergores benda tajam. Dan setelahnya ia melihat anak panah melintasi wajahnya. Bercak noda kemerahan melayang secara bersamaan dengan lintasan itu. Secepat yang bisa ia sadari, anak panah meluncur turun, lalu tiba-tiba saja tertangkangkap oleh Karen.

          Theo bergeming. Terbelalak tak percaya. Anak panah itu ... bagaimana anak panah itu bisa muncul dari arah belakang lalu kembali pada sang pemilik, seperti bumerang? Perlahan jemari Theo bergerak menyentuh pipi yang terasa sakit, lantas meringis kala bersentuhan dengan goresan luka. Terlihat bercak-bercak darah segar ketika ia gerakkan jemari itu ke depan wajah.

          Amarah bergelegak dalam diri Theo dan sorot tajamnya mengarah pada Karen. Rahang serta lengannya bergetar. "Kau sudah semakin berani sekarang," ujarnya geram, lalu ia angkat kepalan tangan dan menjetikkan jemari, yang terdengar seperti ketukan nyaring akan peringatan bahaya. Seketika jasad manusia yang berada dalam tabung-tabung pemenuh dinding ruangan masing-masing membuka mata mereka. Mata itu bersinar terang, mengintimidasi, dan seakan berasal dari dimensi lain, mereka keluar secara bergantian selayaknya tabung-tabung itu adalah portal.

          Karen bersiap dengan senjatanya. Begitu pula Vian. Ditekannya tombol silver dari MBForce, lantas sesuatu berwarna keperakan melapisi lengan kirinya seperti sebuah sarung tangan. Vian angkat tangan itu dan membuat gerakan cengkeraman, hingga seorang prajurit yang hendak menyerangnya tersengat kekuatan listrik. Ia tekan tombol berwarna jingga, dan setelahnya mampu melihat pergerakan lawan yang melayang-layang kemudian menyerangnya dengan cepat.

          Seperti biasa Karen lebih menyukai serangan jarak jauh. Ia yang tak mungkin membidik sambil berdiam diri berlari kesana-kemari, melesatkan anak panah, melemparkan belati, yang kemudian semua senjata itu tepat melukai sasaran tanpa diduga dan melayang kembali ke genggaman Karen seperti semula. Beruntung para prajurit tanpa nyawa ini bukanlah yang memiliki kekuatan sihir seratus persen. Sebagai mantan pekerja di markas ini, Karen sangat tahu itu. Kekuatan sihir dalam diri mereka masih dalam tahap percobaan. Namun ia tidak boleh lengah. Di sini ada Theo yang tentu saja akan mengendalikan mereka dengan kekuatannya yang luar biasa.

          Sementara Karen dan Vian sibuk menyerang prajurit-prajurit Theo, Irene justru masih bergeming di tempat semula. Keterkejutannya atas kebenaran yang diungkapkan Theo membuat otot-ototnya menegang. Sensor motoriknya kacau. Pada layar visi di dalam retinanya menampilkan gelombang putus-putus seperti siaran tv rusak.

          "Irene, awas!"

          Karen melihat satu-dua prajurit berlari menghampiri Irene yang masih bergeming. Tak ingin temannya terluka, ia pun berlari, melompat, membuat putaran horizontal seraya mengayunkan pedang di kedua tangan, dan seketika ia sudah berada di dekat Irene menghalau serangan dua prajurit tadi. Sial, tubuh mereka kebal. Ayunan pedangnya tak berhasil melukai keduanya. Alhasil, ia pun memasang kuda-kuda pertahanan dengan kedua pedangnya sebagai tameng. Beruntung Vian datang membantu menyerang mereka sebelum stamina Karen melemah. Dua prajurit tadi tergeletak tak berdaya seperti tersengat petir.

          Para prajurit yang separuhnya sudah tergeletak, yang sebelumnya berhasil Vian kalahkan, berangsur-angsur bangkit dengan tenaga penuh seperti semula. Kostum baja mereka terlepas seperti puzzle dari tubuh-tubuh yang kini telah menghitam, lalu menghilang, berganti dengan jubah yang sama legamnya dengan tubuh mereka. Kini wujud tubuh-tubuh itu tidak seperti manusia biasa. Lebih tepatnya, seperti kumpulan asap hitam yang menyerupai tubuh manusia. Wajah mereka yang tertutup tudung pun menggelap. Perlahan, mereka menggerakkan kaki seperti tengkorak hidup yang haus akan darah.

          Sambil tetap memasang ancang-ancang, Karen dan Vian merapatkan diri pada Irene.

          Kesadaran Irene masih belum pulih. Layar visi dalam retinanya masih seperti siaran rusak. Perlahan-lahan muncul garis hijau horizontal yang bergerak-gerak dari bawah ke atas, kemudian berganti dengan titik-titik berwarna hijau. Setelahnya muncul tulisan 'loading' pertanda sensor motoriknya sedang memproses. Seketika, layar visi itu berkedip-kedip.

          ZRET!

          Karen dan Vian terperangah. Irene tiba-tiba melompat tinggi, menebaskan sesuatu dengan arah memutar sehingga mengenai seluruh prajurit yang kini telah dilingkupi kekuatan magis. Dan yang lebih membuat terkejut, para prajurit itu berubah menjadi arang, perlahan melayang ke atas dan menghilang, menyisakan jubah-jubah hitam tergeletak di lantai. 

          Baru saja mengagumi kekuaran Irene, tetiba tubuh gadis itu terangkat. Sesuatu berwarna biru keunguan bermuatan listrik melilitinya. Ia melayang, sejajar dengan posisi Theo di atas podium. Karen dan Vian hendak menolong, tetapi tubuh mereka seperti membeku di tempat. Mereka sama sekali tak bisa menggerakkan tangan ataupun kaki.

          Satu tangan Theo memegang kendali atas benda bermuatan listrik yang meliliti Irene, sementara satu tangan lainnya terlujur ke depan, menjaga agar mantra yang ia berikan pada Karen dan Vian yang membuat mereka tak mampu bergerak sama sekali tetap bekerja.

          "Aarrghh ...!"

          Theo mengerang. Persendian sikunya tiba-tiba merobek. Tangan yang semula terangkat itu, kini terkulai lemas. Tetes demi tetes darah pun mengucur. 

          "Tu ....30)" Theo mengeraskan rahang. Matanya melotot marah pada sosok yang berada di kejauhan, berjalan memasuki ruangan ini. "Berani kau melawan pamanmu sendiri?!"




======== Footnote ========

[30] Kamu (dalam Bahasa Prancis).



Jangan lupa vote dan comment-nya, ya! Supaya saya tahu kalian betul-betul ngikutin cerita ini. Saya juga sangat menerima masukan, saran, atau kritik yang membangun dari kalian ^^

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 221K 55
โ€‹Alexis pattinson dan Darrel Kneiling sudah bersahabat sejak kecil, hubungan mereka berubah menjadi sedikit lebih rumit ketika Darrel menyatakan cint...
2.4M 208K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
33.7K 690 11
Motto atau semboyan Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Setengah bait dari kitab ini telah menyatuka...
35.7K 3.4K 16
Daniel sudah cukup membuat masalah dengan hidupnya. Ia ingin menjalani tahun ketiganya di SMA dengan tenang. Namun, ia justru harus berurusan dengan...