KATASTROFE

De AMr_writer

23.2K 3.4K 103

🏆 Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... Mai multe

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
5 | Anggota Baru
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
17 | Ancangan [1]
18 | Ancangan [2]
19 | Goncang
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
23 | Penyerangan
24 | Puncak Pertempuran
25 | Titik Awal [END]
ending notes

20 | Intai

194 64 2
De AMr_writer

Sinar pagi mulai menyelimuti Lamahang. Teddie menjatuhkan dirinya pada lahan parkir di antara gedung-gedung usang, berselimutkan rerumputan kotor yang lebih cocok dianggap sebagai lumut. Dadanya naik-turun selagi mengatur napas terengah. Ia pejamkan mata demi menikmati udara pagi. Meski Lamahang tidak memiliki persediaan oksigen yang segar, dengan kebebasan seperti ini saja sudah membuat Teddie senang. 

          "Jangan kelamaan di luar. Bisa-bisa kamu jadi umpan empuk buat penguntit."

          Teddie membuka matanya dan sekumpulan burung melintas jauh di langit. Ia bangkit perlahan. Dengan posisi duduk, ia melihat keadaan sekeliling. Apa tidak bisa ia istirahat sebentar dan menikmati kebebasan? Sedetik kemudian Teddie berpikir bahwa memang seharusnya begitu. Jangan harap ada waktu istirahat jika masih dihantui oleh kehadiran musuh. 

          Sebetulnya ia sedang amat lelah. Ia turuti keinginan Karen untuk mengikuti mobil si penculik, semalaman. Sekali lagi. Mobil si penculik. Teddie belum pernah melakukan hal heroik sebelumnya seperti mematai-matai penculik untuk meringkus mereka. Menggunakan bom kecil untuk meledakkan mobil penculik saja sudah membuat ia ketakutan setengah mati. 

          Dan sekarang, di sinilah ia, kembali ke habitat yang seharusnya—Kawasan Lindung Lamahang. Bukan sebagai Teddie biasa yang mengais puing-puing bangunan untuk dijual kemudian dirundung oleh sekumpulan preman, melainkan Teddie yang akan melakukan aksi heroik. 

          Ia embuskan napas berat atas kenyataan itu. 

          Teddie beranjak masuk ke gedung di belakangnya. Di dalam sana, Karen sedang mengelap banyak senjata yang dicuri dari BIU. Entah kenapa Teddie merasa kata 'mencuri' lebih tepat lantaran Karen mengambilnya diam-diam dan dengan gelagat seperti penyamun. Beberapa di antaranya saja ada yang tidak begitu Karen mengerti cara menggunakannya saat pertama kali dipakai. Kalau sekarang, karena gadis itu tekun mencoba, jadi sudah cukup mahir. Teddie sendiri pun jadi tahu berbagai jenis senjata yang menurutnya asing itu. Tapi dari segi fungsinya saja. Ia tak pandai menghafal nama-nama senjata yang susah itu. 

          Ia perhatikan pangkal lengan kiri Karen yang dibalut perban. Juga beberapa luka kecil lainnya. Tanpa banyak bertanya, ia berspekulasi bahwa pasti kejadian semalam yang memberikan hadiah di tubuh gadis itu.

          "Kamu seorang cyboarg," Karen berucap setelah menyadari kehadiran Teddie, tanpa mengalihkan perhatian dari senjatanya, "berarti kamu pernah terjangkit kinetoksis?"

          Teddie merenung. Jika ditanya seperti itu sebetulnya Teddie tidak yakin. Tak pernah ada cyboarg yang ingat masa lalu mereka kala masih menjadi manusia seutuhnya. Tapi ia tahu yang Karen tanyakan bukanlah ingatannya mengenai kejadian itu, melainkan ingatannya atas informasi yang ia curi dengar dari si penculik. 

          "Kalau nggak salah dengar, saya ... orang pertama yang terkena patogen itu." Karen hentikan sebentar gerakan tangannya yang mengelap sejenis pistol, lantas melirik Teddie. "Sekaligus orang pertama, yang jadi objek percobaan penyembuhan kinetoksis dengan Kristal Velositi. Tapi nggak tau kenapa, saya malah jadi cyboarg begini."

          Teddie mendekat. Ia ambil benda panjang seperti pedang listrik dari meja Karen, sementara gadis itu mengamatinya. 

          Wajah Teddie terlihat begitu muda seperti anak-anak. Tubuhnya pun kecil nan ringkih, dengan jakun yang hanya menonjol sedikit, persis remaja tanggung. Karen sampai mengira usia Teddie kisaran 11-13 tahun. Jika penyintas pertama, maka seharusnya saat ini umur Teddie sudah dewasa. Kinetoksis pertama kali muncul kisaran lima belas tahun lalu. Boro-boro dijadikan cyboarg sejak masih dalam kandungan. Anak berusia di bawah tiga tahun saja hanya bisa bertahan satu hari jika sudah terpapar kinetoksis. 

          "Berarti sekarang kamu sudah berumur?"

          Teddie tersedak ludah sendiri atas pertanyaan itu. Ia letakkan kembali pedang listrik di tempat semula. "Kayaknya ... nggak setua itu." Ia garuk-garuk tengkuk karena bingung. "Mungkin seusia Kakak. Atau lebih muda sedikit." Tatapan Karen yang menggerayangi tubuhnya membuat Teddie merinding. Ia paham akan pertanyaan tersirat di sana. "Mungkin ... hormon saya terhambat karena ada pencangkokan Kristal Velositi yang masih belum sempurna, karena saya objek manusia pertama dari penelitian itu."

          Karen mengangguk-angguk paham. Pemikiran Teddie masuk akal juga. 

          Suasana hening setelah percakapan tadi—tidak ada pembicaraan lanjutan. Karen kembali berkutat dengan senjata-senjatanya, sedangkan Teddie masih mencoba membiasakan diri dengan anggota tubuh logam serta sedikit dengungan mesin dalam kepala saat ia berubah ke mode cyboarg. Ia mempelajari berbagai kemampuan dari anugerah cyboarg ini, melalui data internal dari inti prosesor dalam tubuhnya. Ia bisa memotret dan merekam melalui lensa mata. Hasilnya tersimpan dalam chip di punggung tangan, dan bisa ia putar kembali rekaman itu dari lensa mata yang diarahkan ke bidang datar. Ia hanya perlu memberikan perintah melalui ucapan jika ingin merekam, memotret, atau hal lain yang biasanya menjadi fungsi kamera.

          Saat ini Teddie sedang coba merekam keadan sekeliling. Ada banyak onggokan kayu panjang tak terpakai. Juga besi-besi yang kelihatannya masih bagus. Jika dalam keadaan biasa, ia sudah sangat gencar mengambil benda-benda itu untuk dijual ke tukang bangunan di Blok II.

          Lensa Teddie berbelok arah, dan mendapati Karen yang masih sibuk mengelap senjata. Sekarang pedang tradisional yang sedang Karen bersihkan. Teddie terus merekam bagaimana Karen bekerja—bagaimana Karen terlihat di matanya. Riasan tipis sisa semalam masih berada di wajah cantik itu. Gaun anggun sudah berganti dengan kaos berbalut sangkarut. Dan meski tampak lelah serta kantong hitam bertengger di bawah mata, semua itu tak menutupi pesona Karen juga kharismanya yang kuat. Gadis itu betul-betul membuat Teddie kagum, terutama dari semua keberaniannya.

          "Oh, ya, kira-kira ada yang kamu lupain, nggak?"

          Teddie terkesiap. Fokusnya mengabur sesaat. Tiba-tiba saja Karen mengajak bicara lagi setelah keheningan yang berlangsung cukup lama. 

          Ketika ia sedang memikirkan gadis itu. 

          Karena tak ada jawaban, Karen pun menoleh. "Kita sama sekali belum kenalan." Sudut bibir Karen tertarik. Ia berikan senyum ramah seperti yang selalu ia tampakkan saat ada pembicaraan intens yang santai. "Aku tipe orang yang nggak mau sembarangan kenalan sama orang lain. Tadinya aku kira kita nggak akan bersama selama ini. Sekarang, sebagai partner, kita harus kenal satu sama lain. Dan pengetahuan seputar nama seharusnya jadi yang paling penting."

          Untuk beberapa saat Teddie hanya bergeming. Senyum itu, senyum paling manis dan tulus yang pernah ia lihat. Ia sadar sudah terlalu lama menatap Karen—dan tatapan mereka bertautan. Dengan canggung, ia layangkan pandangan ke arah lain, berkedip, dan tampilan lensa kamera dari matanya pun menghilang.

          "Na-nama saya Teddie." Telinga Teddie memerah. Ia berjalan canggung menuju kursi dekat jendela lantas menuangkan air mineral dari botol ke dalam gelas. Sekarang ia malu karena merasa namanya terkesan lucu seperti anak-anak.

          "Namaku Karen."

          Teddie menenggak minumannya. Selagi menatap jendela ia bergumam, "Nama sama orangnya cocok, ya."

***

          Plang bertuliskan 'Pusat Penelitian Lamahang' tertempel pada gedung sewaan pemerintah di Blok IV. Karen sedang memperhatikannya ketika deruman mobil terdengar dari kejauhan, lalu perlahan-lahan mendekat. Ia perintahkan Teddie untuk bersembunyi di balik dinding pagar. Kacamata yang ia kenakan sudah difungsikan selayaknya teropong, serta dapat mendeteksi jaringan organ tubuh dari manusia yang menjadi titik target. 

          Karen dapat memanfaatkan alat ini untuk memperkirakan kekuatan lawan. Juga memperkirakan adanya aliran sihir atau infeksi virus dari tubuh lawan. Ini pertama kali bagi Karen menggunakan Adv-bino II dan tanpa perizinan, sehingga terselubung sedikit keresahan. Namun, ia sudah melakukan simulasi semalaman—begitu pula dengan senjata dari bidang IPTEK lainnya—sehingga cukup bisa menggunakan dengan baik.

          "Kamera kamu sudah siap rekam?"

          "Sudah." Teddie menonjolkan kepalanya sedikit sehingga dapat melihat objek intai mereka dengan jelas. Ia membisikkan kata 'record', dan lensa mata pun mulai merekam apa yang ia lihat dalam mode video.

          Mobil SUV  terparkir di sebelah limosin persis depan gerbang pusat penelitian. Lambang bupati Buru serta cengkih tertempel pada sisi kanan kedua mobil itu. Sekelompok orang berjas hitam juga mengenakan kacamata hitam keluar dari mobil SUV sambil menarik lengan seseorang yang tak sadarkan diri.

          Karen pernah melihat orang itu. Wanita itu. Ia, adalah ibu dari cyboarg yang secara paksa diambil oleh petugas pemerintahan, yang Karen jumpai sekitar dua minggu lalu di Blok II. 

          Karen menargetkan wanita itu pada Adv-bino II. Namun, sama sekali tidak menemukan adanya virus dalam jaringan tubuhnya. 

          "Dia bukan penderita kinetoksis, bukan pula cyboarg," tutur Karen lebih seperti menggumam. "Kenapa dibawa ke sini?" 

          Teddie hendak menoleh tetapi tidak jadi, karena ia harus fokus ke depan. Sejauh yang ia tahu pun tempat ini menjadi tempat percobaan vaksin serta kinetoksis pada tubuh cyboarg. Tapi seingat Teddie, ia belum pernah dibawa ke sini saat penculikan kemarin.

          "Ayo kita masuk."

          Sekarang Teddie benar-benar menoleh. Dari lensa kameranya, Karen mengacungkan tali tambang, lalu dilingkarkan ke pinggang Teddie. Gadis itu melemparkan ujung tali yang memiliki pengait besi ke atas dinding pagar. Ia tampak menelisiki sebentar bagian dalam dengan Adv-bino II, memperhatikan seseorang yang sekiranya berada di balik dinding, lalu berkata, "Aman. Nggak ada tanda-tanda manusia sampai kisaran jarak sepuluh meter. Tutup mulut kamu, ya. Jangan berisik."

          Baru saja selesai memberi instruksi, Karen mendorong Teddie dan tubuh remaja itu pun terangkat. Gerakan cepat yang tak diduga-duga ini membuat Teddie hampir-hampir berteriak jika tidak ingat dengan peringatan Karen tadi. Sebisa mungkin ia menutup mulut demi menahan rasa kejut. Lalu, ia terguling pada rerumputan di balik dinding pagar. Sungguh pendaratan yang sangat tidak mulus. 

          Sontak ia bangkit, mengamati sekitar dengan kuda-kuda siap tempur—yang lebih mirip seperti kuda-kuda dari orang yang takut mati. Masih sepi. Masih belum ada yang mencurigai kehadirannya.

          Karen menyusul tiga detik kemudian. Pendaratan gadis ini tentu jauh lebih baik dibandingkan Teddie. 

          Setelah menggulung kembali tali tambang pada masing-masing gesper mereka, Karen mendekati pintu masuk dan menyabotase alat pendeteksinya. Ia pandu Teddie untuk bergerak ke dalam. Ada suara familiar dari ruangan sebelah. Karen mengangkat tangan demi memberi tanda pada Teddie untuk menghentikan langkah. 

          Dengan bersembunyi di balik dinding pembatas, keduanya mengintip. Seseorang bertubuh tinggi tegap membelakangi mereka. Rambutnya klimis dengan sedikit uban menonjol pada ubun-ubun. Meski wajahnya tak terlihat, Karen mengenali laki-laki itu sebagai salah satu anggota dewan Kabupaten Buru, dan ia tahu namanya. Leo.

          Wanita yang tadi mereka lihat di depan, didorong masuk menggunakan kursi roda. Kedua tangan terikat pada lengan kursi. Tubuh pun tak luput dari ikatan tali yang terekat pada sandaran kursi. Mulut wanita itu diplesteri lakban hitam. Dan sekarang, ia sudah sadar, sudah tidak pingsan lagi.

          "Sebentar lagi keinginan untuk menemui anak dan suami kamu akan terwujud." Sang anggota dewan mencondongkan tubuh, tersenyum, sengaja menantang tatapan nyalang dari wanita di kursi roda. "Kenapa natap saya begitu? Saya kan sudah berbaik hati nolong kamu. Wujudin keinginan kamu."

          Dua orang ber-APD putih masuk sembari mendorong troli berisi tabung-tabung serum. Bersamaan dengan itu, ada getaran dari saku celana Leo. 

          "Tolong kalian kerjakan seperti biasa, ya. Jangan sampai ada kesalahan lagi," titahnya pada tiga petugas medis di dalam sana. Lalu, ia beranjak dari ruangan itu seraya mengambil barphone dari saku untuk menerima panggilan masuk.

          "Kamu tetap di sini. Terus awasi apa yang dilakuin paramedis ke wanita itu." Karen berbisik pada Teddie. "Saya mau ikutin anggota dewan terhormat kita."

          Teddie mengangguk ragu. Tak sempat ia ucapkan kata 'hati-hati' karena tergantung di tenggorokan, bahkan sampai gadis itu mengendap pergi dengan cepat.

          Karen melewati beberapa ruangan hingga kemudian berhenti di depan ruang penyimpanan peralatan medis. Di antara alat-alat yang tergantung, Karen melihat Leo berbicara serius pada barphone yang hanya berupa panggilan suara.

          "Nona tidak perlu cemas. Bilang sama Raja Theo, sekarang ini kami lagi dalam proses pengumpulan antibodi dari orang-orang sehat." 

          Karen tersekat mendengar nama itu. Ia siapkan barphone untuk merekam percakapan ini dan tetap ia simpan kembali di dalam saku agar tak menghalangi tangannya saat akan melakukan perlawanan. 

          "Saya janji ini nggak akan makan waktu yang lama karena kami tidak pilah-pilih. Semua warga sipil Lamahang yang tidak berguna itu akan kami jadikan objek percobaan. Setidaknya, sampai cyboarg laki-laki bernama Teddie ditemukan. Saya tau dia kunci utama kita dalam proyek ini." Jantung Karen berdebar, terlebih setelah kalimat selanjutnya diucapkan. "Kalian mau anak itu dalam keadaan mati sekalipun? Baiklah."

          Troli dekat kaki Karen berderit. Tungkainya tak sengaja menyenggol, dan dengan tegang, sontak ia menatap kembali si anggota dewan. 

          "Oh, tunggu sebentar, ya." Laki-laki itu masih terus berbicara pada barphone. Kemudian, ia layangkan pandangan ke balik bahunya. "Ada penyusup kecil di sini."

          Karen keluar dari persembunyian. Dengan memberanikan diri ia menghadang pada ambang pintu, bersiap dengan pedang listrik di tangan kanannya. 

          Laki-laki itu menutup dan menyimpan barphone dengan gerakan perlahan seolah tak gentar dengan sikap perlawanan Karen. Senyum penuh ketenangan masih tersungging di wajah ramah berbalut kebengisan itu. "Kamu mahasiswi BIU, kan? Kenapa lancang masuk ke tempat ini tanpa izin?"

          "Saya berbuat lancang demi membela negara. Sedangkan Bapak?" Karen mengeraskan rahang. Tatapannya semakin tajam. "Bapak berbuat lancang dengan melakukan perbuatan ilegal untuk mengkhianati negara."

          Leo tersedak salivanya sendiri. Lalu perlahan-lahan ia terkekeh, tertawa, dan terbahak-bahak. Tawa yang terdengar sadis itu terus menggema.

          "Saya sudah punya banyak bukti. Dan sekarang, posisi Bapak kalah telak karena saya punya banyak senjata ini."

          Tawa Leo berhenti. Beralih perhatiannya pada apa yang dibawa Karen. Ia telengkan kepala dan berucap, "Yakin?"

          "Maaf kalau saya tidak sopan." Ucapan ini terasa kontras karena nada bicara Karen yang terdengar penuh pergolakan. Ia ambil lasso dari gesper untuk mengikat tubuh Leo secara otomatis. Namun, setelah ia lemparkan salah satu ujungnya, lasso itu hangus saat mengenai tubuh Leo, lantas hancur menjadi serpihan abu. 

          Karen terhenyak. Ia ambil senjata lain yang dapat melumpuhkan lawan dari jarak jauh: pistol sengat. Namun setelah ia menembak dan sengatan listrik terlempar keluar dari ujung pistol, tiba-tiba sengatan itu seperti benda yang terpantul tanpa bisa menembusi tubuh sang anggota dewan. Karen coba tembakkan sekali lagi. Tapi benda itu mati, sudah tidak berfungsi. 

          Karen mendecih, membuang pistol, dan mengangkat pedang listriknya. Namun lagi-lagi aliran listrik pada pedang itu padam.

          Bagaimana bisa? Ia tersekat. Fokus Adv-bino II mengarah pada jaringan organ tubuh laki-laki itu, tetapi sama sekali tidak ada tanda-tanda keabnormalan yang mengindikasikan bahwa si anggota dewan ini menggunakan ilmu sihir. 

          Laki-laki itu menyeringai. Karen sudah tidak peduli dengan apa pun yang digunakan laki-laki itu. Tidak peduli dengan menghilangnya kekuatan khusus dari senjata yang ia bawa. Sekarang ia merangsek masuk dan melompat, melayangkan pedang dengan kekuatan penuh. Namun justru ia yang terpental jatuh mengenai peralatan logam serta gelas-gelas kaca. Karen mengerang kesakitan. Ia bangun dengan tertatih-tatih. 

          Sebuah benda berat melayang ke arahnya dan sontak ia berguling untuk menghindar. Ia bergerak keluar ruangan, berlari, menarik rak-rak dan troli dan apa saja yang bisa menghalangi laki-laki yang sudah seperti kerasukan penyihir itu. 

          Di sisi lain, Teddy merenung di hadapan layar yang menampilan daftar korban objek percobaan. Teriakan nelangsa terdengar dari ruangan di sebelahnya. Ia sudah merekam. Sudah melihat bagaimana wanita di dalam sana, yang tadinya sehat-sehat saja, kini berubah menjadi seperti monster kristal dengan lelehan berbau timah yang terbakar. 

          "Kuda ... punya taktik untuk menyerang raja ...." Ia bergumam. 

          Lalu derap langkah cepat terdengar menghampirinya disertai teriakan panik.

          "Teddie! Kita harus keluar dari sini, sekarang!"

          Karen meraih tangan kiri Teddie. Ia terus menarik, membawa Teddie ke halaman belakang, hingga berhadapan lagi dengan dinding pagar. Dengan kepanikan maksimal ia lepas tangan Teddie dan memasang kembali tali tambang ke pinggangnya. 

          "Aku sudah ajarin kamu cara pasang talinya dan sekarang cepat kamu pakai."

          Karen menoleh, dan terdiam. Tidak ada Teddie di sisinya. Pun di belakangnya. Lalu yang tadi kupegang ....

          Netranya membelalak tatkala melihat lengan kiri Teddie tergeletak dekat kakinya. Lengan logam, dengan kabel-kabel menjuntai pada ujungnya. 

          Sepersekian detik kemudian tembakan terdengar dari dalam gedung. Itu sudah lebih dari cukup membuat jantung Karen serasa berhenti berdetak. Serasa seperti dadanya yang dihunuskan peluru saat ini juga. 

          Ia jatuh berlutut dengan tatapan kosong. Ingin menangis. Ingin berteriak sekencang-kencangnya. Dan air matalah yang menjadi manifestasi atas semua itu, serta isakan terpatah-patah atas guncangan hebat dari dalam dirinya.




■□■

[Jangan lupa vote dan comment-nya, ya!  Supaya saya tahu kalian betul-betul baca cerita ini. Saya juga sangat menerima masukan, saran, atau kritik yang membangun dari kalian ^^]

Continuă lectura

O să-ți placă și

17K 2.7K 50
[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Setelah kiamat kedua, Makka---manusia berdarah campuran MESS---harus menemukan ibunya di sisi lain bumi-yang-baru sebelum...
2.3M 84.5K 19
DITERBITKAN!!! (TERSEDIA DI GRAMEDIA, GUNUNG AGUNG, TMBOOKSTORE) BEBERAPA PART SUDAH DIHAPUS!!! Pemenang WATTYS AWARD 2016 Kategori Edisi Kolektor da...
2.4M 211K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
4.5M 310K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...