KATASTROFE

By AMr_writer

22.8K 3.4K 98

๐Ÿ† Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... More

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
5 | Anggota Baru
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
17 | Ancangan [1]
18 | Ancangan [2]
20 | Intai
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
23 | Penyerangan
24 | Puncak Pertempuran
25 | Titik Awal [END]
ending notes

19 | Goncang

173 72 2
By AMr_writer

Hela kelegaan lolos  dari pernapasan Irene. Masih sedikit terengah, ia atur udara yang masuk ke rongga hidung juga tempo dari detak jantung yang belum stabil.

          Ia berhasil. 

          Ia telah berhasil kabur dari para prajurit BIU yang menjaganya ketat seperti seorang tahanan. Tak pernah ia bersyukur seperti ini dengan sesuatu yang menyeramkan layaknya dentuman bom beberapa menit lalu. Karena jika tidak ada itu, ia tidak mungkin bisa lolos. Meski demikian ia tetap berharap tak terjadi sesuatu yang begitu berbahaya akibat dentuman bom itu. Ia hanya ingin terlepas dari pengawan prajurit sementara waktu ini.

          Irene membuka tudung peach, berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya. Gaun ini hanya sebatas lutut dan bentuknya tak menyusahkan Irene untuk bergerak. Kaki rampingnya berbalut flat shoes. Ia rasa tampilan ini sudah cukup sesuai dan tak mencurigakan jika berbaur dengan yang lain. 

          Panel-panel bercahaya neon keunguan menyambut Irene di sepanjang lorong menuju pintu masuk auditorium. Samar-samar musik mengalun dari dalam. Terdengar sendu, dan terdapat sentuhan romantis secara bersamaan. Tungkai Irene sudah berada di ambang pintu. Suasana di dalam sana membuat netranya berbinar. Lembutnya cahaya biru dari lampu-lampu, panel-panel pada dinding, serta pantulannya ke lantai auditorium membuat Irene terkesima. Ruangan itu terlihat begitu megah dan indah. Para pengunjung tampak menawan dengan pakaian mereka—perpaduan antara modern dan tradisional.

          Irene melangkah ke dalam, agak ragu. Ia tak terbiasa dengan keramaian serta kemegahan seperti ini. Musik semakin jelas terdengar. Orang-orang membentuk lingkaran sebagai pembatas antara arena dansa dengan penonton. Jarak sekumpulan penonton ini cukup renggang sehingga Irene dapat menerobos tanpa mengenai tubuh mereka. Langkah Irene berhenti sebelum ia berada di barisan penonton paling depan. Ia berdiam, bersembunyi di belakang pasangan yang cukup tinggi. Sebelum menelisiki arena di depan sana, ia sempatkan diri terlebih dulu melirik bagian atas auditorium secara samar, takut sekiranya ada yang mengawasi dari lantai atas. 

          Cukup aman. Maka ia lanjutkan melihat keadaan di lantai dansa. Masing-masing pasangan menari dengan cukup baik. Ada dari kalangan mahasiswa, ada pula yang terlihat berumur seperti petinggi BIU serta tamu kenegaraan. Pancaran kebahagiaan terlihat dari wajah-wajah itu. Menari, berputar, ada yang sampai mendekati barisan Irene dan membuat penonton sekitar berseru-seru riang.

          Lalu Irene terpaku dengan pemandangan di tengah-tengah sana, tampak kontras di antara yang lain. Dua sosok yang dikenalinya. Gadis cantik nan anggun, serta pemuda tampan memesona, sedang menautkan tatapan satu sama lain dengan lengan yang bersentuhan. Mereka pasangan yang dapat membuat siapa pun terpana karena keelokan rupa itu. Mereka pasangan serasi, teramat serasi, dan dada Irene terasa sesak atas kenyataan itu. 

          Ia tersenyum miris. Bagaimana mungkin ia bisa iri? Ia sama sekali tak bisa disandingkan dengan Karen, bahkan saat berdansa dengan Ray dalam mimpinya sekali pun. Iya, Irene tidak boleh berharap lebih. Cukup sebatas mimpi saja. 

          Tampaknya rasa patah hati ini tak hanya dimiliki olehnya. Pada barisan lain dari penonton di seberang Irene, pemuda tinggi berkacamata menatap sendu pada pasangan itu. Perlu waktu bagi Irene untuk menyadari bahwa ia adalah Vian, mahasiswa bidang IPTEK yang seringkali berbicara dengan Karen. Irene cukup terkejut dengan tampilan Vian yang sangat berbeda dari biasanya. Bahkan tak kalah menawan dengan Ray. 

          Netranya melayang lagi ke pasangan yang juga sedang diperhatikan Vian. Tentu saja Karen pasti punya penggemar. Bahkan ia sendiri menyukai gadis itu. Kemudian ia menunduk, memperhatikan diri sendiri. Lantas mendesah pelan.

          Irene keluar dari barisan. Beranjak ia menuju jejeran gelas berisi air mineral dekat pilar di pojokan ruang. Baru berhasil meminum satu tegukan, rungu menangkap langkah sepatu yang terdengar familier dan membuat Irene mengejang. Sontak ia membalikkan tubuh, menutupi kepala dengan tudung, dan bergeser demi membaurkan diri dengan orang lain meski tak ia kenali. Keempat orang itu tidak menyadari dirinya karena asyik bercengkerama. 

          "Ada ledakan dari limusin salah satu pejabat." 

          Samar Irene mendengar bisikan prajurit BIU di belakang. 

          "Sementara jangan kasih tau rektor dulu. Sebentar lagi beliau ngasih sambutan dan kita tidak boleh bikin gempar. Kabari yang lain, kita atasi dulu sebisanya," ujar prajurit lain.

          "Dan ... ada satu hal lagi. Mahasiswa yang rektor tugasin ke kita untuk diawasi, dia ..." suara itu terdengar ragu-ragu, "dia kabur."

          "Apa?!" Teriakan bercampur amarah itu tertahan di kerongkongan. Irene mengintip dari balik bahu. Ia tidak dapat mendengar percakapan mereka lagi karena volumenya semakin kecil. Yang ia dapati hanya bahu salah satu prajurit yang bergetar-getar seperti sedang mengomel. Kemudian mereka bergegas pergi. 

          Musik berhenti mengalun. Kerumunan orang di lantai dansa membubarkan diri. MC naik ke podium, mengumumkan acara selanjutnya, lalu mempersilakan rektor untuk memberi sambutan. Tepukan tangan riuh bersahutan seiringan dengan langkah retor BIU yang penuh wibawa. Ia rapatkan diri pada tiang penyangga microphone, tanpa menggenggam mic itu ia pun berbicara, "Selamat malam, para tamu undangan, pejabat negara, para staff, serta mahasiswa-mahasiswi Buru Island University yang saya banggakan.

          Beberapa hari yang lalu kita dikejutkan oleh fenomena aneh di langit Buru. Dan jauh sebelum itu, kita sudah dihantui oleh patogen yang entah berasal dari mana, yang membuat keadaan kacau dan memecah belah persatuan di antara kita."

          Atmosfer menegang. Mereka yang semula hendak melupakan sejenak keadaan itu kini resah kembali. 

          "Peneliti utusan kami telah mengonfirmasi bahwa dua kejadian ini saling berhubungan. Dan, dilakukan oleh pelaku yang sama." Suara Bille merendah. Terasa gelora amarah di sana. "Oknum yang ingin menghancurkan negara kita."

          Suasana gaduh. Para pengunjung menebak-nebak siapa oknum yang dimaksud Bille. Mereka saling pandang dan berspekulasi. Apakah oknum ini dari negara barat? Atau masih dalam lingkup asia?

          "Kita tentu tidak akan diam saja dengan segala ancaman ini." Bille melanjutkan. "Para leluhur sudah menumpahkan darah mereka demi memerdekakan negeri ini. Sudah mengerahkan segala cara demi memajukan Indonesia seperti sekarang. Apa boleh kita biarkan mereka hancurkan itu semua dalam sekejap?"

          Gemuruh pernyataan 'tidak' menggema. Ada yang mengangkat tangan tinggi-tinggi seolah siap melawan.

          "Dalam usaha meredamkan kekacauan yang sudah mereka perbuat ini, para prajurit terus bekerja keras memperkuat armada serta dibantu dengan teknologi paling mutakhir. Para peneliti pun bekerja keras menciptakan vaksin serta obat penawar kinetoksis. Dan khusus yang terakhir ini, pencapaian kita sudah mendekati 95%."

          Kejutan tertahan terdengar di sepenjuru auditorium. Mendadak mereka merasakan adanya harapan.

          "Buru Island University menyimpan banyak harta berharga yang dapat mewujudkan itu semua. Salah satunya Kristal Velositi, penemuan tim sains kami puluhan tahun lalu, yang akan menjadi salah satu jawaban atas permasalahan wabah di wilayah kita ini. Kami juga menggunakan cengkih sebagai inti dasar vaksin dan obat penawar. Sebelumnya oknum mereka membabat habis ladang cengkih kita di Hutan Kayeli. Mereka tidak tahu bahwa kita punya pesediaan yang banyak dan tersembunyi selain di sana." Bille tak memberitahukan di mana letak tempatnya. Ia berikan senyum seakan menantang siapa pun yang bersembunyi di antara para pengunjung ini, menantang oknum penyihir yang berbaur di antaranya. "Sudah saatnya kita tunjukkan bahwa kita bisa melawan mereka. Mari kita bersatu untuk mengusir mereka dari tanah tercinta ini!"

          Auditorium bergelora. Semangat membara. Banyak yang mengangkat tangan tinggi-tinggi dan meneriakkan perjuangan. Gemuruh ini berlangsung sampai beberapa detik kemudian. Saat sudah mulai kembali tenang dan Bille hendak memberikan perkataan terakhir, satu orang laki-laki masih terus berteriak menggemakan kata perjuangan disertai kepalan tangan yang meninju-ninju udara di atas kepala, "Hidup rektor BIU! Hidup pejuang Indonesia!"

          Semua orang menoleh karena hanya suara laki-laki itu yang terdengar. Menjadi pusat perhatian tak membuat ia berhenti berteriak. Bille menunggu sampai laki-laki itu mau menyudahi semangatnya yang teramat besar, tapi tak kunjung selesai sampai satu menit kemudian berlalu. 

          "Hidup rektor BIU! Hidup pejuang Indonesia!"

          Penyataan itu terus digemakan, bahkan sampai tangan laki-laki itu menjadi kaku. Tangannya yang terkepal di udara tak bisa digerakkan. Seberkas asap hitam tipis menguar dari ujung kuku, lalu kristal berbau timah menjalari jemari sampai ke pangkal lengannya.

          Para pengunjung yang berada di dekatnya sontak menjauh, tersekat, menahan pekikan di tenggorokan. Namun laki-laki itu tak menyudahi teriakannya.

          "Hidup rektor BIU! Hidup pejuang Indonesia!"

          Sambil terus meneriakkan perjuangan, mata laki-laki itu menyalang pada kristal-kristal yang menempeli lengannya, melekat kuat sampai ke organ lengan terdalam. Tubuhnya bergetar. Ia melangkah mundur disertai air mata yang mengalir tanpa bisa terbendung. Mimiknya memancarkan kengerian, namun mulutnya tak bisa menghentikan ucapan yang teramat kontras dengan batinnya.

          Para pengunjung semakin menjauh dan memberikan jalan kala ia terus melangkah mundur. Lalu tubuh laki-laki itu membenturi meja dengan kuat, tepat saat kristal-kristal kinetoksis mulai menjalari kepalanya. Laki-laki itu pun meluncur, terjatuh, kepala serta lengan yang sudah terinfeksi virus hancur berkeping-keping. 

          Pekikan takut tak dapat ditahan lagi. Para pengunjung berpencar, berlari-lari tak karuan, berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Pintu auditoirium yang terbuka memberi kesempatan bagi beberapa di antara mereka untuk keluar dari ruangan ini. 

          "Penjaga, harap ditutup dulu pintunya!" perintah Bille melalui lencana BIU. "Kenapa bisa ada penyebaran wabah di sini? Bukannya semua sudah disterilkan? Apa penyihir terkutuk itu berhasil menggunakan kekuatan mereka?!"

          "Maaf, Pak ..." suara dari seberang sana tampak bergetar, "akses sistem inti di ruang pengoperasian BIU sudah diblokir, sehingga coretrax tidak berfungsi sebagaimana mestinya."

          Rahang Bille mengeras. Tangannya terkepal kuat.

          Komando secara bergantian terdengar dari lencana BIU. Karen pun memberi arahan pada perwakilan dari Bidang Pertahanan sembari bergerak cepat ke ruang persenjataan yang tersembunyi di balik pilar auditorium. 

          Dari kejauhan, ia melihat lampu gantung hendak meluncur jatuh, tetapi di bawahnya Rosalind terpaku tanpa bisa bergerak sedikit pun dengan arah mata tertuju pada korban kinetoksis yang sudah hancur itu. Kaitan lampu terlepas. Karen bergerak cepat, berlari, mengempaskan tubuh Rosalind dan dalam waktu yang sangat sedikit itu, lengan kirinya tertancap pecahan besar lampu yang jatuh dan hancur berkeping-keping. Ia mengerang, tetapi ini bukan waktunya meratapi rasa sakit. Tangannya menutupi darah yang keluar dari sayatan luka itu dan ia bangkit untuk kembali melanjutkan misi.

          Rosalind yang sudah berada di tepi, melihat kepergian Karen dengan nanar. Rasa bersalah serta terima kasih menelusupi dirinya.

          Karen berpapasan dengan Keyle sesampainya di ruang persenjataan. Temannya itu tampak sangat panik disertai napas terengah. 

          "Mana Rana?" tanya Karen, karena sebelumnya mereka pergi bersama.

          Keyle menggeleng resah. "Kami sempat berpisah, karena dia bilang ada urusan sebentar di luar. Tapi setelahnya aku cari-cari, tetap nggak ketemu." Ia melihat pangkal lengan Karen yang terluka dan matanya membulat kaget. "Karen, tangan kamu kena—"

          "Aku baik-baik aja. Kamu nggak perlu khawatir." Karen menggenggam tangan Keyle demi menenangkan sahabatnya itu. "Sekarang kondisi makin kacau dan luka seperti ini akan jadi hal yang wajar. Yang terpenting sekarang, kita ambil senjata untuk melindungi diri dan mereka yang butuh perlindungan, oke? Sambil kita cari Rana juga." 

           Keyle mengangguk-angguk. Mereka mengambil masing-masing Pedang Jenawi, busur serta anak panah, juga pistol model Desert Eagle Mark XIX sebagai senjata pertahanan terakhir jika keadaan makin genting dan terpojok oleh musuh. 

          Setelah mengobati luka dan membungkus dengan perban seadanya, Karen bergegas menuju lorong di belakang auditorium. Pilar-pilar berdiri kokoh di sebelah kiri, pada tiap peralihannya menampakkan kekacauan serta kepanikan pengunjung. Ia berjalan cepat, lalu berlari, sampai ke wilayah yang hanya sedikit disinari cahaya.  

          Langkah Karen terhenti kala melihat sesuatu yang janggal. Ia seperti melihat manusia, sedang bersembunyi dalam kegelapan di balik pilar. Karen melangkah pelan-pelan. Bersiap mengambil pedang di belakang punggung. Sosok itu bergerak pelan di tempat, terlihat seperti sedang memunggunginya. Kepala sedikit dikeluarkan dari pilar seperti sedang mengecek keadaan. Karen melirik ke balik pilar, arah yang ditatap sosok itu, dan ternyata yang sedang diperhatikan adalah prajurit BIU. 

          Karen tersentak setelah berjarak kisaran delapan meter darinya. Kali ini ia melangkah lebih cepat, segera membekap, dan menahan pergelangan tangan dari sosok itu yang tengah menggenggam parang. Tubuh ringkih nan kecil ini meronta saat Karen menariknya kuat hingga ke ruangan di balik dinding. Karen menutup rapat pintu. Sambil terus membekap, ia dorong si remaja laki-laki, lantas memelintir pergelangan tangan kala remaja itu hendak menghunuskan parang padanya. Ia merintih sakit dalam bekapan Karen. Parang pun terjatuh tanpa mengeluarkan bunyi karena lantai ruangan ini dilapisi karpet.

          "Kamu di pihak mereka ...?"

          Karen menatap tajam dengan penuh kemarahan. Sosok itu, Teddie, hanya bisa membalas tatapannya dengan ketakutan yang terpancar jelas. Teddie menggeleng putus asa. Matanya berair seperti akan menangis.  

          Perlahan Karen menjauhkan tangannya dari mulut Teddie. Tatapannya melunak. Tampak getaran kecil dari bahu anak itu, dan ia berspekulasi Teddie habis melakukan suatu hal terlarang atas suruhan entah siapa sehingga membuatnya begitu takut, membuatnya bersembunyi agar tak tertangkap prajurit BIU. Itu spekulasi yang paling masuk akal. Jika ditelisik dari tampilan pun tidak menunjukkan tanda-tanda seorang tamu undangan. Tubuh penuh keringat. Wajah serta pakaian lusuhnya terkoyak di sana-sini, juga ada bercak memar serta darah yang sudah mengental pada pelipis dan sudut bibirnya. Karen tak tega memarahi Teddie dengan kondisinya yang seperti ini. Tidak sebelum anak itu menjelaskan maksud kehadirannya—dan Karen berharap tak ada hal-hal yang tak ingin ia dengar dari penjelasan Teddie.

          "Kamu ngapain di sini?" tanya Karen dengan nada yang jauh lebih lembut dari sebelumnya. "Ada urusan apa di kampusku?"

          Teddie terperangah. Ia mengerjap sekali, tampak terkejut, lalu menaikkan pandangan untuk melihat keadaan ruang, memutar kepalanya mengamati sekitar. Tempat ini hanya ruang kosong sempit serupa gudang yang tak begitu difungsikan. Hanya terdapat beberapa senjata tradisional yang terpajang pada dinding. 

          "Kampus ... Kakak ...?" Ragu Teddie bertanya, tak yakin apakah Karen berkata yang sebenarnya atau tidak, meski dikatakan berbohong pun rasanya tak mungkin. Karen mengangguk pelan sambil bersedekap dan menelengkan kepala. Tampak kerutan pada kening saat tatapan Teddie kembali padanya dan berucap ragu, "Saya ...." Terdapat kegamangan pada bola mata Teddie. Ia menelan saliva, lantas menunduk. "Saya diculik. Pagi ini." Dadanya berdebar-debar saat melanjutkan. "Saya sempat curi dengar percakapan mereka. Dan tujuan mereka culik saya ... karena bongkahan kecil Kristal Velositi, tertanam di tubuh saya."

          Karen menegang. Keterkejutan membulatkan matanya. "Maksud kamu ...."

          "Cyboarg." Teddie mengangguk. "Mereka bilang saya cyboarg. Saya nggak langsung percaya, tapi mereka berhasil buktiin itu." Teddie meraih parang dekat kakinya yang semula dijatuhkan Karen. Ia arahkan ujung runcing parang itu ke punggung tangan kiri lalu kilap abu-abu berpendar di sana, membentuk persegi kecil. "Tiap cyboarg punya chip identitas yang tertanam di sini. Tanda-tanda keberadaan chip itu bisa diketahui setelah didekatkan dengan benda tajam." Ia jatuhkan lagi parang, lantas menekan pergelangan tangan di bawah bentuk persegi tadi. Seketika tangan kiri manusianya berubah menjadi logam. Keterkejutan Karen padanya tak hanya sampai di situ. Sekarang Teddie membentuk cengkeraman pada jemari logam lalu ia tekan wajah sambil menutup mata. Saat ia buka kembali, bola matanya terlihat seperti bulatan pada lensa kamera. "Sepertinya, saya diprogram untuk merekam sesuatu. Saya betul-betul baru tau semua ini. Betul-betul baru tau kalau saya seorang cyboarg." Terpancar kegelisahan dari penuturan Teddie.

          Karen bergeming. Tak percaya dengan apa yang dilihatnya—dengan apa yang baru saja diketahuinya. Ternyata Kristal Velositi bisa secara fleksibel memberikan kekuatan pada berbagai jenis materi, seperti kekuatan yang diberikannya pada organ tubuh logam milik Teddie, membuat organ tubuh itu seperti manusia pada umumnya. Bahkan si pemilik sendiri tak tahu ada susunan logam dalam tubuhnya. Dan itu berarti, orang yang menculik Teddie sudah mengamatinya sejak lama. Karen teringat dengan sekumpulan preman yang merundung Teddie di wilayah karantina Lamahang. Mungkin saja mereka punya keterikatan dengan si penculik ini.

          "Siapa yang culik kamu? Apa dia yang bawa kamu kemari?"

          Teddie menggeleng lemah. Ia berkedip, dan iris serta sklera matanya kembali seperti semula. "Saya sama sekali nggak tahu. Tapi sebelum saya dibawa ke sini, ada satu orang laki-laki, kayaknya sih bos mereka, suaranya berat tapi terkesan ramah dan dihormati oleh mereka. Sayangnya saat itu mata saya ditutup. Tangan saya sudah pasti diikat sedari awal. Dan saya ...." Teddie melirik ingin tahu reaksi Karen. Gadis itu menunggungnya melanjutkan ucapan dengan penuh harap. "Saya nggak familiar dengan suara bos mereka."

          Helaan kecil atas manifestasi rasa kecewa ditampakkan Karen. Teddie menggigit bibir, agaknya bersalah lantaran tak bisa memberikan banyak petunjuk. Lalu ia teringat masih ada informasi yang belum ia sampaikan dan berkaitan dengan pertanyaan Karen di awal. Ia belum menjawab pertanyaan itu. 

          "Aku dengar mereka mengincar bongkahan Kristal Velositi lain di sini."

          Karen tak begitu terkejut dengan pernyataan itu. Tentu saja sudah pasti banyak yang mengincar kristal itu bahkan Karen sendiri dijadikan mata-mata oleh TDH demi mendapatkan informasi tempat penyimpanan Kristal Velositi. Namun sayangnya, Pak Bille yang sangat memercayainya sekalipun tak mau memberitahu, dan ia amat lega dengan kenyataan ini.

          "Mereka mengincarnya dari seorang cyboarg."

          Bola mata Karen membeliak. Informasi Teddie kali ini membuatnya tertarik. 

          "Mereka bilang mau mengkomparasi kristal yang tertanam di tubuh saya dengan yang tertanam di tubuh cyboarg itu. Saya sudah diteliti di lab mereka, dan katanya yang saya punya ini sangat kecil, pengaruhnya minor. Jadi mereka bawa saya untuk diperjumpakan dengan cyboarg itu. Saya kira, mereka bawa saya ke tempat semacam lab yang lebih besar atau markas tersembunyi. Saya betul-betul nggak paham kenapa jadinya malah dibawa ke semacam pesta yang tadi saya lihat. Tapi ... sekarang kayaknya lagi kacau, ya. Apa ... gara-gara bom, yang saya ledakkan?" 

          Karen kembali melihat ketakutan di wajah Teddie. Ketakutan yang bercampur dengan rasa bersalah saat anak itu menunduk. Sebetulnya Karen sangat terkejut dengan pernyataan pertama dari informasi tadi—cyboarg dengan bongkahan Kristal Velositi tertanam di tubuhnya di kampus ini. Adanya cyboarg di kalangan mahasiswa BIU saja merupakan hal yang benar-benar baru ia ketahui, padahal sudah hampir tiga tahun menjadi pelajar di BIU dan sudah dua tahun ia menjabat sebagai ketua DKKM. Ia ingin bertanya agar Teddie menjelaskan hal ini lebih lanjut, tapi ucapan terakhir Teddie mengandung sesuatu yang ingin ia ketahui juga.

          "Kekacauan di sini bukan karena bom. Bahkan kita nggak tau ada ledakan."

          Teddie mengangkat wajah dan tatapannya seperti anak kucing yang butuh belas kasih. "Saya disekap dalam ruangan khusus di mobil mereka. Di sana ada sekotak granat. Kayaknya mereka lengah soal itu. Jadi saya gunain salah satunya buat kabur."

          Ruangan khusus dalam mobil. Karen mengulang pernyataan itu dalam hati. Berarti, Teddie dibawa menggunakan kendaraan besar tapi cukup sesuai untuk berada di acara formal, karena sudah pasti mereka bagian dari tamu undangan sehingga bisa masuk ke lingkup BIU. Atau, mereka hanya menyusup, berpura-pura menjadi tamu undangan.

          "Kamu ingat ciri-ciri mobil itu? Atau sesuatu yang bikin kamu mikir mobil itu punya perbedaan dengan yang lain, selain ruangan khusus di dalamnya?"

          Teddie merenung beberapa saat, mencoba menggali ingatan. Pasalnya saat itu ia tidak begitu memperhatikan apa pun. Ia sudah terlampau panik.

          Oh ... ia ingat satu hal.

          "Itu mobil yang sangat panjang. Ada lambang Kabupaten Buru di sisi mobil, juga lambang cengkih."

          Karen tertegun. Secara spontan ia kaitkan kedua lambang itu dengan yang juga sama tertempel pada sisi mobil pembawa cyboarg, yang ia lihat dua minggu lalu di Lamahang. 

          Cepat ia berpikir, menyatukan segala informasi, mengaitkan beberapa hal yang saling berhubungan. 

          Ia harus sesegera mungkin membuat strategi sebelum keadaan makin sulit diatasi. 

          "Kamu mau bantu saya?" Karen genggam lembut kedua bahu Teddie, menatap intens padanya. "Kita akan ikuti mereka sebelum mereka benar-benar pergi dari sini. Jangan khawatir, sekarang kamu nggak akan jadi korban. Kita yang memburu mereka dan kamu punya kekuatan untuk itu."




■□■

[Halo! Jangan lupa vote dan comment-nya, ya! Supaya saya tahu kalian betul-betul baca cerita ini. Saya juga sangat menerima masukan, saran, atau kritik yang membangun dari kalian ^^]

Continue Reading

You'll Also Like

179K 24.6K 74
Pada suatu ketika di dalam mimpi, sang putri tertidur panjang karena menusukkan jemarinya ke jarum pemintal. Jika di akhir cerita sang putri terban...
2.7M 221K 55
โ€‹Alexis pattinson dan Darrel Kneiling sudah bersahabat sejak kecil, hubungan mereka berubah menjadi sedikit lebih rumit ketika Darrel menyatakan cint...
33.7K 690 11
Motto atau semboyan Indonesia "Bhineka Tunggal Ika" tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Setengah bait dari kitab ini telah menyatuka...
5.9K 1.7K 67
Darr ... Suara ledakan mengagetkan para pekerja pelabuhan sore itu. Syahbandar berlari ke arah ledakan, wajahnya menampakan kekagetan luar biasa. B...