KATASTROFE

By AMr_writer

22.9K 3.4K 98

šŸ† Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... More

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
5 | Anggota Baru
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
18 | Ancangan [2]
19 | Goncang
20 | Intai
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
23 | Penyerangan
24 | Puncak Pertempuran
25 | Titik Awal [END]
ending notes

17 | Ancangan [1]

181 57 5
By AMr_writer

Rerumputan tampak berkilauan di halaman BIU yang luas. 

          Rusa-rusa berpencar mengendusi kualitas terbaik dari santapan mereka, sambil sesekali menyapa mahasiswa yang berlari-lari kecil atau hanya sekadar berjalan santai. Mereka mendekat, meminta untuk sekadar dibelai, atau melenguh berharap para manusia peka untuk memberi mereka sayuran panjang seperti wortel misalnya. Terkadang rusa-rusa ini bosan dengan rerumputan BIU meski kualitasnya selalu terjaga.

          Irene baru saja selesai memberikan empat buah wortel, masing-masing hampir sepanjang 100cm pada rusa betina yang sedang menyendiri di dekat pelataran pintu masuk Gedung I. Wortel-wortel itu ia ambil dari kebun dekat halaman. Ia elus kepala sang rusa yang menikmati sentuhan itu dengan memejamkan mata. Lalu, rusa melenguh, mengisyaratkan bahwa ia sudah kenyang lantas beranjak pergi. 

          Usai melepas perhatian dari rusa itu ia segera menyemprotkan handsinitizer pada kedua telapak tangan. Pandangannya melayang pada sekumpulan mahasiswa yang berbondong-bondong mengerubungi mading digital di dalam Gedung I, yang permukaan besarnya terlihat jelas dari luar karena pintu masuk utama yang terbilang raksasa terbuka amat lebar. Ada banyak bagian-bagian informasi terpajang di sana. Irene tak kuasa menahan rasa penasaran, jadi tungkainya dengan ringan melangkah menuju mading.

          Desas-desus topik utama dari mading itu terdengar sebelum penglihatan Irene mencapai secara jelas pemberitaan di sana. Terlalu ramai untuk lebih mendekatkan diri. Tapi ia sudah tahu, yang mereka ributkan saat ini adalah mengenai pesta perayaan ulang tahun BIU ke-45.

          Perayaan ... ulang tahun?

          Irene mengulang pernyataan itu dalam hati. Dadanya berdebar, teringat ucapan rektor tiga hari lalu, tepat setelah terjadinya hujan yang diawali dengan keabnormalan di langit Buru. Rektor menjawab pertanyaan yang sebelumnya tersimpan dalam benak Irene dan saat itu Irene mengira tak akan menjadi sepenting ini. Pendaran cahaya merah yang berkedap-kedip pada stiker pemberian rektor, merupakan sinyal tanda bahaya. Sang rektor sebelumnya luput memberitahu Irene jika stiker tersebut bisa mendeteksi energi negatif di sekitar pemakainya, hanya saja memiliki respon yang lambat, karena masih dalam proses pengembangan untuk fungsi tersebut.   

          Rektor menjelaskan untuk sementara waktu belum ada malapetaka yang terjadi pasca hujan abnormal itu. Irene masih selamat, masih bisa diamankan, tetapi sudah tidak bisa lagi dilepaskan dari perhatian. 

          Dan, tentu saja rektor menanyakan dengan siapa atau dengan apa Irene berinteraksi selama perjalan menuju Distrik 10. Kala itu Irene berkeringat dingin. Takut-takut menjawab jujur. Takut jika Ray dicurigai sebagai pembawa energi negatif itu. Meski demikian, rektor tentu sudah tahu jawabannya. Namun, tanpa diduga, sang rektor juga tidak percaya jika Ray mempunyai motif jahat. Tidak serta merta percaya. 

          Sejak saat itu ia mengerahkan tenaga prajurit BIU untuk melakukan penyelidikan secara ketat. Dan dalam jangka waktu satu hari, ditemui fakta bahwa terdapat penyusup dalam BIU. Penyusup ini bisa memanipulasi alat pemindai yang terpasang di berbagai sudut di sekitaran BIU. Oleh karena itu, rektor memberitahukan pada Irene bahwa ia memiliki rencana untuk memancing penyusup ini dalam waktu dekat, hanya saja tidak mengatakan seperti apa rencana tersebut, dan Irene sama sekali tidak boleh berpartisipasi. 

          Ternyata rencana itu adalah sebuah perayaan ulang tahun. Irene tidak begitu yakin. Tapi jika memang benar, ia tidak bisa membayangkan bagaimana atmosfer yang seharusnya diliputi oleh kebahagiaan, justru menjadi tempat pencarian orang yang berbahaya. Kenapa harus perayaan itu? Ia butuh penjelasan.

          Irene melirik ke sudut-sudut gedung. Laki-laki berbadan tegap terus mengawasinya dari jauh, dari saat ia memberi makan rusa-rusa di luar. Ia sebetulnya ingin mengacukan saja bersikap seperti biasa. Tapi kegamangan saat ini membuatnya terkekang.

          "Menurut aku sih justru bagus ada perayaan ini. Setidaknya mengingatkan kalau kita punya waktu berharga untuk senang-senang, rehat sebentar, daripada stres mikirin konflik terus."

          Irene menengok. Ia melihat beberapa mahasiswa mengenakan rompi sangkarut seperti Karen, dua di antaranya ia ketahui sebagai teman dekat Karen. Perkataan tadi diucapkan oleh gadis berkuncir kuda yang tubuhnya kira-kira setinggi Karen. 

          "Kenapa aku pikir lama-lama kamu jadi mirip sama aku ya?" Gadis dengan rambut panjang tergerai melewati bahu, memasang mimik tak senang pada temannya seraya berkacak pinggang. "Harusnya kan aku yang kegirangan sama pesta-pesta begitu. Tapi kalau mau diadain dalam waktu dekat ini kayaknya nggak tepat deh."

          Rana tersenyum memaklumi, berusaha memberi pengertian. "Key, sekarang ini kita lagi ada di situasi yang sulit, yang memaksa kita siap siaga setiap saat. Apa salahnya kalau kita tenangkan pikiran dulu di acara ini, bercengkerama santai? Lagipula, ini acara sederhana, bukan perayaan besar-besaran. Tentu akan sangat beresiko jika petinggi BIU memutuskan membuat acara yang seperti itu."

          Keyle terdiam sesaat. Lalu sudut-sudut bibirnya tertatik, tersenyum lega. Amat lega karena ia memiliki teman sepengertian Rana. "Kamu benar," ujarnya. Lantas ia menggamit lengan Rana, membawanya berjalan meninggalkan lobi. 

          Irene terus memperhatikan mereka yang beranjak memasuki elevator. Pikirannya kosong, sampai kemudian sosok rektor yang bertubuh tinggi tegap muncul dari elevetor lain yang terbuka.

***

          "Sayang," suara lembut Emola beresonansi dari holo barphone, "kamu harus patuh sama Pak Bille, ya. Jangan gegabah lagi dan jangan sampai bikin beliau makin marah." Ia tahu perkataan itu lebih seperti peringatan dari orangtua pada seorang yang nakal, yang jika diberitahu selalu membantah. Sebuah peringatan yang sangat tidak cocok dengan sikap Irene yang selalu manis. Dan, sebelum ini, bukanlah perbuatan Irene apalagi pemberontakan darinya yang membuat rektor BIU marah. Tetapi karena atas sebuah ketidaksengajaan.

          Saat ini Irene sudah kembali ke asrama sehingga mereka tidak bisa bertatap muka secara langsung. Irene tidak hanya kembali sebagai mahasiswa. Ia dikurung ketat seperti tahanan, diawasi oleh beberapa utusan rektor yang berjaga di luar kamarnya, di sudut-sudut asrama, dan beberapa akses menuju auditorium di Gedung I.  

          Irene mengeluhkan hal ini pada ibunya. Sengaja ia gunakan barphone untuk berkomunikasi saat ini karena jika memakai lencana BIU, khawatir perbincangannya diketahui rektor meski ia pun tak begitu yakin.

          "Bun," Irene memeluk lutut seraya menempelkan punggung pada dinding di atas tilam, "aku mau tanya." Ia menggigit bibir, ragu, menimbang-nimbang apakah ini waktu yang tepat untuk mengutarakan pertanyaan yang ia simpan sejak dulu. Pernah satu kali ia bertanya, tapi terasa ada ganjalan pada jawabannya. Apakah sekarang juga sama? "Aku mau tahu kenapa Pak Bille selalu memperlakukan aku seperti harta benda langka yang wajib dilindungi. Kenapa Pak Bille selalu memprioritaskan aku di atas yang lain, sampai-sampai ada yang beberapa kali mau mencelakaiku karena sepertinya iri atas sikap itu." Ia yang semula melihat ke bawah menaikkan netra ke holo barphone sehingga bersitatap dengan mata teduh sang ibu. "Memangnya, apa yang spesial dari aku?"

          Terefleksi kegamangan Irene pada barphone yang membuat Emola sangat ingin memeluknya. "Pak Bille sangat ingin punya cucu perempuan," dustanya untuk yang kesekian kali. Bibir dan matanya tersenyum hangat, berharap bisa mengurangi kerisauan Irene sejenak. "Pak Bille sudah menganggap ayah kamu sebagai anak sendiri meski hubungan mereka sebetulnya adalah antara atasan dan bawahan di pusat penelitian Namlea. Hubungan mereka juga sangat dekat, sedekat keluarga inti, jadi apa salahnya nganggap kamu sebagai cucunya. Bunda sudah sering bilang, kan?"

          Ternyata masih sama. Jawaban itu lagi. Irene mendesah kecewa dengan samar dan ia sudah nyaris frustasi. Senyuman Emola yang biasanya membuat ia tenang, kini tak mempan sama sekali.

          Dari luar terdengar hentakan tegas dan keras, seperti derap langkah sepatu delta yang dikenakan para penjaga BIU. Langkah yang terdengar cukup banyak itu menjauh. Kemudian diselingi deruman mobil tak jauh dari kamar asramanya.

          "Pak menteri datang!" teriak suara bariton di luar. "Sebagian ikut saya menyambutnya. Kita kawal sampai beliau masuk ke auditorium. Sebagian lagi tetap berjaga di sini. Jangan sampai pengawasan kalian longgar dari kamar D-105 itu."

          Serempak kata 'dimengerti' bersahutan setelah aba-aba tadi. Terdengar derapan langkah lagi, kali ini lebih rapat seperti sedang berlari. 

          "Kamu punya potensi yang besar buat menyelamatkan negara kita."

          Perhatian Irene masih tertuju pada suara-suara di luar. Ia sedang memperkirakan berapa jumlah mereka sekarang, apa-apa saja senjata yang digunakan oleh mereka yang tersisa ini, apakah ia bisa menerobosnya. 

          Pelan-pelan netra Irene menelisiki kamar mencari apa saja yang kira-kira bisa digunakan untuk misi penerobosan itu. Ia sudah tidak peduli dengan sebutan 'gadis manis dan penurut' lagi, karena sekarang yang ia butuhkan adalah keberanian untuk menghadapi masalah. Ia tidak mau menjadi pengecut lagi dengan berlindung di sini, sementara orang-orang tak berdosa di sana kemungkinan besar akan menemui bahaya. 

          Lalu matanya tertuju pada holo barphone lagi. Ah ... ia lupa masih sedang berkomunikasi dengan bunda. Dan ia terpaku. Irene baru tersadar, bahwa tadi bundanya mengucapkan kalimat yang terdengar asing. Kalimat itu terdengar sangat asing sampai ia sendiri tak yakin apakah sang bunda sedang berucap padanya atau tidak. Apakah frasa 'penyelamat negara' itu ditujukan untuknya atau tidak. Namun, Emola masih tetap terlihat sendiri di seberang sana, masih menujukan tatapan padanya dengan mimik seteduh langit sore. 

          Atau jangan-jangan sedang bercanda.

          "B-bun, tadi ...?" Sejumlah pertanyaan menggantung di udara. 

          Dari holo, tampak Emola meletakkan tangan di kedua sisi barphone sehingga terlihat seperti sedang menggenggam wajah Irene. 

          "Cuma itu yang bisa bunda bilang ke kamu. Ini bukan gurauan. Sikap Pak Bille yang selalu memperhatikan kamu, salah satu alasannya karena kamu memang spesial. Kamu punya kekuatan yang nggak dimiliki orang lain."

          "Tapi kenapa justru kenyataannya kontradiksi, Bun?" tanya Irene pelan seraya tersenyum miris. Justru pernyataan tadi lebih terdengar sebagai sebuah kekonyolan daripada jawaban sebelumnya. Setidaknya lebih masuk akal ketimbang mendeklarasikan bahwa Irene seorang penyelamat negara yang punya kekuatan khusus. "Kalau aku ... memang punya kekuatan itu, kenapa diperlakukan seperti orang lemah? Terus-terusan dilindungi. Terus-terusan diberi perhatian lebih padahal kami tak punya hubungan darah." Irene menarik napas panjang, lalu menghelanya pelan-pelan. "Bun, aku nggak akan menyakan hal ini lagi, kalau memang Ibu nggak mau ngasih tau jawabannya." Tapi aku tetap akan cari tahu dengan cara lain. Irene tersenyum simpul seakan sedang mengalah. Untuk saat ini ia biarkan diri bersikap selayaknya gadis yang patuh seperti biasanya, agar tidak menjadi beban pikiran sang bunda.

          Emola mengalihkan pandangan ke bawah. Rasa bersalah dan bingung berpadu dalam raut wajahnya. "Maafin bunda. Sekarang bunda betul-betul belum bisa kasih tau kamu lebih dari itu."

          Hantaman keras tiba-tiba terdengar dari luar. Lalu sepersekian detik berikutnya muncul suara ledakan di kejauhan, seperti bom, dan sedikit memberikan getaran pada dinding kamar Irene. Ia terhenyak sesaat. Para penjaga di luar berseruan saling memanggil, lantas derap cepat sepatu delta terdengar menjauh.

          "Sayang, itu suara apa?" Emola bertanya khawatir.

          Irene yang masih terkejut tidak serta merta menjawab. Ia telan saliva dengan gugup. Perlahan kakinya turun dari kasur, ditapakkan ke lantai, lalu melangkah mendekati jendela. Ia buka tirai demi memastikan keadaan di luar sana. Ada asap tipis putih yang membubung tinggi dari arah jembatan BIU. Irene menaikkan pandangan mengikuti arah asap yang beterbangan itu, takut dengan apa yang terjadi, kemudian menyadari sesuatu.

          "Sayang, tadi itu apa? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" Emola terus bertanya dengan nada khawatir dari barphone yang masih digenggam Irene.

          Sementara pemikiran Irene terfokus pada satu hal. 

          Para penjaga sudah tidak mengawasinya.

Continue Reading

You'll Also Like

69.8K 9.6K 39
Gris, mahasiswi Universitas Nusantara dianggap memiliki kepribadian unik oleh sahabat-sahabatnya. Dia suka memberontak, tidak tertib, tidak mau diatu...
5.1K 1.5K 64
"Apakah Ki Lurah ingat ini?" Kapten De Houtman mendekat kepada Lurah Bakti sembari merogoh saku celana. Dia memperlihatkan sekeping koin berwarna cer...
20.6K 8.2K 33
Tahun keduaku di SMA Cahaya Bangsa dimulai! Kupikir setelah terbebas dari The Queens, memenangkan Casa Poca, dan menemukan kekuatanku, hidupku di sek...
209K 49.5K 80
[Pemenang Wattys 2021 Kategori Fantasi dan Dunia Paling Atraktif] Ketika dunia telah lenyap bersama sejarah jauh tertimbun berselimutkan perairan tan...