KATASTROFE

By AMr_writer

23.1K 3.4K 102

šŸ† Pemenang The Wattys 2022 kategori Wild Card dan penghargaan "Dunia Paling Atraktif" Berlatarkan abad ke-22... More

meaning of the title
Prolog
attention
1 | Tempat Rahasia
2 | Universitas Pulau Buru
3 | Tamu Istimewa
4 | Penyambutan
6 | Menjelajahi BIU
7 | Peringatan
8 | Kelas Pertama
9 | Misi Rahasia
10 | Pengujian
11 | Kawasan Lindung - Lamahang [1]
12 | Kawasan Lindung - Lamahang [2]
13 | Pertolongan
14 | Perjalanan Pulang
15 | Eksplorasi [1]
16 | Eksplorasi [2]
17 | Ancangan [1]
18 | Ancangan [2]
19 | Goncang
20 | Intai
21 | Persepsi
22 | Kecamuk dalam Sunyi
23 | Penyerangan
24 | Puncak Pertempuran
25 | Titik Awal [END]
ending notes

5 | Anggota Baru

456 113 0
By AMr_writer

Syuuut ....

          TAK!

          Anak panah menancap sempurna pada lingkaran merah di tengah-tengah target. Jarak papan itu kisaran 70 meter dari posisi pemanah, dan tadi Karen melakukannya sambil melakukan aksi yang belum pernah diperlihatkan oleh pemanah mana pun. Ia berlari menyerong dari arah pintu. Melompat, membuat putaran di udara, dan saat berada di posisi atas, ia memanah dengan kecepatan angin tanpa terlihat, lantas mendarat dengan posisi berlutut.

          Keyle dan Rana di belakangnya terpaku atas aksi itu. Mereka bertepuk tangan dengan mimik kejut di wajah.

          "Sumpah, ini ... ini ...." Keyle seakan tak mampu melanjutkan ucapannya. Kemudian netra berbinar seolah habis melihat idolanya di depan mata. "Ini keren banget!" Sementara Rana masih termangu di sampingnya.

          "Kalian jangan terlena dengan betapa keren cara memanahku tadi." Karen memutar tubuh demi menghadap kedua temannya. Ia perhatikan satu per satu ekspresi mereka. Keyle dengan rambut lurus tergerai melewati bahu, mengenakan bandana yang menyingkap rambut dari dahi, tersenyum riang menatapnya. Sedangkan Rana, gadis berambut panjang yang juga dikuncir kuda seperti Karen namun tanpa poni, menatap Karen dengan mimik lebih kalem. Mereka sama-sama mengenakan sangkarut yang merupakan seragam khusus Fakultas Strategi Pertahanan.

          "Inti yang mau kutegaskan adalah, fokus," lanjut Karen. "Semua pekerjaan memang harus dilandasi dengan satu hal itu. Tapi dalam bidang pertahanan, khususnya panahan, kalau kalian nggak bisa mencapai titik fokus maka habis sudah. Kalian bakal mati di medan pertempuran."

          Keyle bergidik. "Kok pakai bawa-bawa mati sih, Ren?"

          Sudut bibir Karen tertarik. Tersenyum tipis. "Memangnya kamu kira masuk bidang pertahanan buat ngecengin cowok-cowok berotot doang?" Keyle tertegun seakan tertangkap basah. "Sebagai mahasiswa Bidang Pertahanan, kita dipersiapkan untuk jadi garda terdepan saat Indonesia dalam bahaya. Istilahnya, kita ini militer berbasis perguruan tinggi."

          Keyle meneguk saliva. Setelahnya ia melotot. "Aku setuju sama pernyataan yang terakhir." Kemudian pelipisnya terasa berkedut. "Tapi ... yang pertama itu ... itu ...." Selagi mengerucutkan bibir, kakinya menghentak. "Aku kan bukan Tisha! Enak aja ngatain kayak gitu!"

          Karen mengulum tawa. Ia paling suka kalau temannya ini sudah merajuk seperti anak kecil. Baginya itu hiburan tersendiri. Tak peduli gertakan Keyle, netranya mengarah pada Rana yang sedari tadi hanya diam. Sambil mengacungkan busur, ia berkata, "Ayo, Ran. Lanjut?"

          Rana mengangguk tanpa ekspresi. Ia raih busur serta sekotak anak panah dari meja kayu di pinggiran lapangan, lalu berderap menghampiri Karen.

          Keyle mendengus di tempatnya. Ia bersedekap dan tanpa sengaja ekor matanya menangkap seplastik roti di atas meja. Roti yang tadi dibawa Karen ke sini dan belum tersentuh. Ia terkikik licik. Kebetulan sekali perutnya sedang kosong. Ia ambil satu langkah ke sisi meja yang lain, melompat duduk ke atasnya, lantas menyambar roti yang tampak pasrah. Cinnamon bercampur raspberry memenuhi lidah dalam satu gigitan. Tidak buruk, gumam Keyle dalam hati, karena sebetulnya ia lebih menyukai roti dengan satu rasa saja—menurutnya lebih natural. Sesekali Keyle perhatikan penjelasan Karen pada Rana. 

          "Boleh minta tolong contohin lagi nggak, Ren? Pakai gaya pemanah yang paling dasar."

          Karen setuju. Menurutnya juga harus dicontohkan lagi dengan lebih detail. Maka ia raih satu anak panah dari punggung. Ia letakkan pada karet busur, menariknya, memfokuskan satu tatapan pada satu titik kuning dengan jarak 30m. Ia sudah siap melepaskan anak panah itu. Namun tetiba ....

          "KAREEENN!"

          Anak panah melesat tak tentu arah. Karen berjengit dan hampir-hampir saja ia turut terhempas, lantaran suara sekeras volume speaker paling prima tiba-tiba menghantami gendang telinganya. Sesaat kemudian ia tatap nanar anak panah miliknya yang jatuh ke rerumputan 10m di depan.

          "Waduh, baru kali ini lho aku lihat bidikan panah Karen meleset begitu." Tisha menggeleng-geleng seraya berdecak prihatin. Wajah polosnya sama sekali tak menunjukkan rasa bersalah. Ia tepuk-tepuk pundak Karen coba memberi peringatan. "Fokus, Ren. Fokus."

          Cepat Karen membalikkan tubuh. Tisha yang kecil nampak makin menciut dihunuskan tatapan setajam belati milik Karen. Rana yang tadi di sebelahnya, beringsut tanpa suara ke dekat Keyle, yang rela menahan gigitan roti di mulut. Keduanya saling tatap dalam diam seolah menyuarakan hal yang sama. Mampus. Mati dia!

          "Apa?" Hanya satu kata itu yang terucap dari bibir Karen, namun mampu membuat Tisha agak bergidik karena terdengar menyeramkan baginya.

          Tisha berdeham dan berucap ragu-ragu. Matanya yang bulat menatap layaknya hewan peliharaan yang sedang meminta makanan. "Bisa ... lebih lunak sedikit, nggak, Ren? Aku ke sini sebagai utusan Pak Bille lho."

          Sigap Karen mengeluarkan datscreen dan itu membuat Tisha sontak tergemap. Ia geragapan saat layar datscreen muncul dan alat itu mulai memindai wajahnya. "M-masa kamu sejahat itu, Ren?" Ia gerak-gerakkan telapak tangan di atas layar datscreen yang berupa hologram, memberi isyarat agar Karen menurunkan benda itu. "Aku betulan disuruh Pak Bille buat manggil kamu ke kantornya. Ini bukan pelanggaran lho."

          Lampu indikator pelanggaran memang tidak menyala pada datscreen. Namun tatapan Karen tetap sama—dingin dan menusuk. Yang ia permasalahkan bukan bohong atau tidak. Tapi ia malas memperpanjang masalah.

          Karen menutup datscreen, menyimpannya kembali. "Kamu mau tau pelanggaran apa yang udah kamu perbuat?" Ia geser tubuh Tisha dengan satu tangan hingga gadis itu menghadap Keyle dan Rana. "Coba tanya ke mereka."

          Sementara Tisha bertanya lewat mimik bingungnya, Keyle menggigit kasar potongan roti yang masih tersisa separuh. Netranya seakan menginterogasi gadis itu.

***

          Pintu menuju ruang rektor terbuat dari logam berlapis pualam, memberi kesan futuristik yang menyatu dengan alam. Di depannya, Karen membetulkan rompi sangkarut agar terlihat lebih rapi. Ia kebas apa saja yang sekiranya menempeli seragam serta tubuhnya. Ia pun memastikan lagi apakah pada sol sepatu boots masih tersisa sedikit kotoran atau tidak, karena tak mau sedikit pun mengotori lantai indah di dalam sana. Setelah cukup yakin, Karen mengetuk pintu tiga kali. Kotak sensor di samping engsel memindai keseluruhan tubuh Karen. Selepas bunyi bip, pintu pun terbuka, membelah jalan dari tengah.

          Karen melangkah tegap ke lantai yang seluruh permukaannya tertutupi karpet beludru. Halusnya bulu-bulu hijau dari karpet itu tetap dapat ia rasakan meski mengenakan sepatu. Dari pintu masuk ini, kantor rektor bak taman berselimut rumput-rumput segar. Lukisan pemandangan tiga dimensi di depan sana menambah kesan itu. Belum lagi bebatuan artifisial berjajar melengkapinya, sehingga air terjun pada lukisan itu tampak keluar secara magis.

          Sayup-sayup Karen mendengar suara rektor dari ujung barat ruangan ini, persis di mana meja rektor berada. "Sebetulnya saya enggan ngasih kamu hukuman. Selama ini kamu selalu nerapin sikap layaknya mahasiswa teladan."

          Netra Karen menilik ke arah sana. Di hadapan rektor seorang gadis tertunduk dengan kedua tangan yang dirapatkan di depan tubuh. Dua kursi terabaikan di sampingnya, karena gadis itu betah menopang tubuh dengan kedua kakinya. Gadis itu merespons ucapan rektor namun tak jelas terdengar. Hanya saja, dari getaran suaranya seakan menunjukkan ekspresi takut bercampur rasa bersalah.

          Bille melirik pada sosok jauh di belakang gadis itu. "Oh, kamu sudah datang?"

          Karen terkesiap. Ia tarik senyum seramah mungkin sebagai manifestasi respons dari sapaan rektor.

          "Tunggu sebentar, ya. Saya masih ada sedikit urusan."

          Setelahnya Karen melihat rektor menyerahkan bungkusan pada gadis yang masih berdiri itu. "Malam ini harus sudah bisa diambil. Sebisa mungkin besok sudah bisa dikembalikan ke yang bersangkutan. Saya percayakan ini ke kamu. Oke?"

          Gadis berperawakan setinggi Karen itu mengangguk. Ia ambil bungkusan tadi lantas meminta izin untuk undur diri. Matanya masih setia menatap ke bawah. Saat hampir mencapai pintu, ia sedikit menaikkan pandangan netra, lalu bertemu tatap dengan Karen yang memberinya senyum hangat. Tak ada sapaan yang terucap dari bibir Karen. Namun, Irene merasa mimik gadis itu seolah berkata, "Hai, kita ketemu lagi di sini." Ia yang pemalu turut tersenyum setelah netranya beralih ke sisi lain.

          Tak menunggu Irene menghilang di balik pintu, Karen sudah bergerak menghampiri rektor. Ia sedikit menunduk demi memberi penghormatan. "Permisi, Pak. Saya dengar Bapak cari saya?"

          Sang rektor menyengguk. "Silakan, duduk dulu." Ia membuka laci meja dan mengeluarkan sesuatu sambil menunggu Karen duduk di salah satu kursi di hadapannya. "Kamu tahu berita kota akhir-akhir ini?"

          Karen menerka-nerka. Ia tidak begitu sering membaca atau mendengar informasi terkini mengenai kota-kota di Pulau Buru ataupun dalam lingkup nasional, apalagi dunia. Ia lebih senang menghabisakan waktu dengan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuannya. Meski begitu, setidaknya sesekali Karen menengoki berita yang sekiranya penting—menurutnya—melalui mading besar pada lantai dasar Gedung I. "Tentang ... kerusuhan yang semakin melebar ke Distrik 10, Pak?"

          "Ya." Bille menyematkan jemari di atas meja. "Masyarakat yang berdemo ke kawasan pemerintahan makin bertambah. Salah satu tuntutan mereka selain mengenai subsidi bagi rakyat miskin, yaitu penyegeraan pengadaan vaksin sekaligus obat penawar virus kinetoksis. Tapi sayangnya ... kita semua tahu, sampai sekarang, titik terang untuk mendapatkan obat itu masih belum ada." Ia menghela napas sesaat. Terasa berat kala udara terembus keluar dari rongga hidung. Ia geser foto berukuran 5R berbalut bingkai kayu minimalis yang tadi dikeluarkannya dari laci ke hadapan Karen, memberikan akses pada gadis itu untuk menatap potret dengan jelas. "Kamu tahu siapa saja yang ada di dalam foto ini?"

          Tanpa sadar Karen sedikit memajukan tubuh. Netra mencermati dua orang pria muda yang terpotret di sana. Satu orang bertubuh kurus dan berkumis sedang duduk di kursi, pada hadapannya terhampar sebuah rancangan entah apa, wajahnya menoleh ke belakang, ke arah kamera. Sementara di sampingnya berdiri seorang pria bertubuh lebih subur dengan rambut ikal. Tersenyum sambil memegangi sesuatu di tangan.

          Karen menggeleng. Sama sekali tak mengenali dua pria itu. Wajah mereka begitu asing dan ia taksir foto itu diambil puluhan tahun yang lalu jika dilihat dari tone warna yang masih natural. Sekarang, kebanyakan foto menggunakan tone biru atau ungu pada objek apa pun.

          "Yang sedang duduk ini adalah Park Myung-Dae, pengusaha ternama Korea. Beliau sangat mencintai Indonesia dan berambisi mengekspor seluruh produk lokal ke banyak negara. Beliau adalah rekan sekaligus sahabat terbaik ayah saya, yang telah membantu membangun universitas ini. Berkat bantuannya pula, BIU bisa menghasilkan sumber daya manusia yang hebat seperti sekarang."

          Khidmat Karen mendengarkan. Ia baru tahu kalau pembangunan BIU ada campur tangan dari pihak Korea, apalagi berstatus sebagai sahabat dari si pendiri itu sendiri.

          "Kedua sahabat ini menutup usia dengan jarak yang berdekaran, hanya selang satu hari, setelah mengabdi sekian lama pada BIU." Bille melanjutkan penjelasan. "Demi meneruskan perjuangan mereka, hari ini, saya mendatangkan keturunan ketiga dari keluarga Park Myung-Dae. Dia yang nantinya akan membantu kita memberantas kinetoksis sekaligus ancaman luar penyebab datangnya virus tersebut. Ia memiliki kepandaian hampir setingkat Vian. Meski menjadi mahasiswa yang masuk melalui jalur khusus, saya harap dia bisa diterima dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan kalian."

          Karen sedang mencerna penuturan rektor. Tepat saat ia hendak menanggapi, seseorang menyela percakapan mereka. "Maaf, saya bikin Bapak nunggu lama, ya?" Sontak Karen memutar wajah ke belakang. Ia dapati seorang pemuda dengan stelan kaus hitam ketat, sedang memamerkan deretan giginya yang rapi. Pemuda itu baru saja keluar dari kamar kecil di sudut ruangan ini. Tak hanya deretan gigi yang dipertontonkan. Otot-otot lengan, perut, dan dada pemuda itu pun tampak jelas dalam balutan kaus yang ketat. "Saya pakai ini nggak apa-apa kan, Pak? Habisnya nggak ada baju ganti lain."

          Bille berpikir sejenak sebelum mengiyakan, "Ya sudah, tidak apa-apa. Toh kamu begini juga karena kesalahan mahasiswa kami." Ia persilakan Ray untuk duduk di samping Karen. "Ini ketua Dewan Keamanan dan Ketertiban Mahasiswa yang ingin bapak kenalkan ke kamu."

          Karen dan Ray bersitatap. Ray merasa ada keganjilan di mata Karen, seolah memandang rendah dirinya. "Kenapa?"

          Sebetulnya Karen tidak sedang mengintimidasi pemuda jangkung itu dengan tatapan. Hanya saja, kalau dilihat dari tampilan, pemuda ini tidak memiliki kemampuan yang pantas disandingkan dengan Vian, meski ia tahu seringkali segi fisik bisa menipu. "Salam kenal. Saya Karen." Ia julurkan tangan berusaha menyapa ramah.

          Ray tak serta merta menjabat tangan Karen. Ia telisik sebentar, lalu menyambut uluran itu sambil menyunggingkan sedikit senyum. "Ray. Salam kenal."

          Bille memperhatikan keduanya. Ia mulai bicara lagi, "Kalian sudah menjadi partner mulai hari ini. Karen, saya kasih kamu tugas menemani Ray berkeliling BIU selama seharian penuh. Kamu yang akan mengajarinya banyak hal mengenai BIU dalam satu hari ini."

          Seharian penuh? Frasa itu bergema di kepala Karen. Ia bahkan harus mengikuti tiga mata kuliah setelah jam istirahat ini berakhir. Ia hendak menyanggah, tapi sang rektor lebih dulu berujar, "Jangan khawatir. Saya sudah kasih surat dispensasi ke Pak Adeo."

Continue Reading

You'll Also Like

13.8K 544 10
Sweet candy,adalah girlgroup asuhan YG ENTERTAIMEN,yg sudah terkenal sebelum debut *Vote, Komen, Baca ,gratis lo*
845 129 29
Kumpulan puisi maupun fiksi mini mengandung unsur fantasi dan dongeng dalam rangka merayakan Halloween bersama @wga_academy
17K 2.7K 50
[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Setelah kiamat kedua, Makka---manusia berdarah campuran MESS---harus menemukan ibunya di sisi lain bumi-yang-baru sebelum...
61.3K 4.1K 32
diceritakan seorang gadis yang bernama flora, dia sedikit tomboy dan manja kepada orang" terdekatnya dan juga posesif dan freya dia Cool,posesif dia...