Hai, Guys! Aku kembali lagi(^^)
Happy reading (^^)
***
"Gue suka sama ... Aksa! Aksa Rian Putra, gue suka sama lo. Gue suka banget sama lo sejak tiga tahun lalu. Gue suka sama lo sejak kelas tujuh." Kayla membongkar rahasia yang ia simpan tiga tahun lamanya, kepada satu angkatan alumni SMP Bintang. Bahkan tepat membongkar rahasia tersebut di sebelah Aksa— sosok yang sejak lama ia suka.
Ivy dan Bening bersorak gembira. Akhirnya Kayla bisa jujur dan mengatakan segalanya. Akhirnya sebentar lagi Kayla akan mendapatkan kepastian, entah kepastian yang seperti apa, Ivy dan Bening pun sama sekali belum tahu. Bisa jadi Kayla akan jadian dengan Aksa, bisa jadi juga Aksa akan menolaknya.
Namun itu semua jauh lebih baik daripada Kayla harus menunggu sesuatu yang sama sekali belum pasti. Itu semua jauh lebih meyakinkan, walaupun Kayla akan sakit duluan jika ditolak, tetapi tak apa. Kayla pasti bisa melewati segalanya.
"Gimana sama lo, Sa?" tanya Bening dengan heboh, benar-benar heboh. Bening sangat menunggu masa-masa seperti ini. Saat Kayla sahabatnya mendapatkan kepastian.
"Nanti gue akan bicarakan lebih lanjut sama Kayla sendiri," jawab Aksa datar.
Jawaban Aksa benar-benar membuat semuanya bungkam. Apakah Aksa akan menolak Kayla? Apakah yang dilakukan Ivy dan Bening akan salah?
***
Ravin sudah bersiap untuk menjemput Ivy saat ini. Ia sudah selesai menyiapkan dirinya. Rencana hari ini adalah melunasi hutang dare.
"Mau ke mana, Nak?" tanya Sella kepada putranya.
"Ada janji sama temen, Bu. Ravin pergi dulu ya," pamit Ravin kepada Sella.
Sella mengangguk memberikan izin kepada putranya itu. "Hati-hati di jalan."
Ravin melajukan motornya menuju rumah Ivy. Kata Ivy, ia sedang sendirian di rumah karena orang tuanya sedang bekerja. Jadi Ravin tak perlu merasakan tidak enak karena harus meminta izin.
***
"Mau ke mana?" tanya Ivy kepada Ravin saat Ravin sudah sampai di depan rumah mewah. Dunia Ravin dengan dunia Ivy memang benar-benar berbeda.
"Lo maunya ke mana?" tanya balik Ravin.
"Emm ... ke taman aja deh," jawab Ivy sederhana. Ivy memang sangat menyukai taman, menurutnya taman adalah tempat untuk menenangkan diri, mengingat masa kecil, dan bersenang-senang.
Ravin tersenyum mendengar jawaban sederhana dari gadis di depannya. Gadis pandai yang sangat sempurna, menurut Ravin. "Ya udah, ayo naik. Gapapa 'kan kalau naik motor?" tanya Ravin memastikan.
"Santai aja kali, gue juga udah lama gak naik motor. Justru gue pengin banget naik motor, gak tahu kenapa rasanya kalau naik motor itu seneng banget." Benar-benar sederhana, walaupun sebagai anak dari dokter terkenal sama sekali tidak membuat Ivy menjadi gadis pemilih dan sombong. Ravin semakin takjub dengan gadis tersebut.
"Lo itu bener-bener sempurna tahu gak sih? Gue takjub banget sama lo, Vy."
Ucapan Ravin membuat Ivy mengernyitkan dahinya. "Apanya yang lo kagumin dari gue?"
"Lo itu pinter, gak sombong, baik, gak pemilih, lo itu istimewa," jawab Ravin dengan jujur.
Ivy terkekeh mendengar pujian Ravin. "Vin, lo kan gak tahu gue gimana. Gue itu pemalas, gue itu manja, gue itu gak ada sempurna sama sekali."
"Pemalas sama manja itu udah kodratnya cewek, Vy. Walaupun emang ada beberapa cewek yang mandiri. Lo tahu kenapa? Karena Tuhan menciptakan cowok untuk menjaga cewek, untuk mendampingi cewek, untuk memanjakan ceweknya. Cowok itu harus bekerja keras, dan cewek itu harus mendampingi. Oleh karena itu cewek dan cowok berjalan beriringan." Ravin mengatakan pendapatnya dengan sangat bijak. Jarang sekali seorang pria berpikir seperti itu.
"Cewek yang dapetin lo pasti beruntung banget deh, Vin."
"Cowok yang dapetin lo juga beruntung banget, Vy."
"Bisa aja lo! Ayo jalan, dari tadi gak jalan nih kita!" peringatan Ivy kepada Ravin karena sedari tadi mereka berbicara di depan rumah.
"Ayo, naik!"
***
Ravin dan Ivy berjalan beriringan memasuki taman. Terkadang canda tawa hadir melengkapi obrolan mereka.
"Lo sekolah di SMA Galaksi, Vy?" tanya Ravin langsung ke intinya.
"Iya," balas Ivy apa adanya.
"Jurusan?"
"MIPA."
Ravin tersenyum mendengar kata MIPA yang Ivy ucapkan. Entah mengapa, impian menjadi dokter tetap ada di benak Ravin.
"Cita-cita lo dokter?" tanya Ravin lagi.
Ivy tersenyum masam. "Sebenernya kalau gue boleh jujur, cita-cita gue bukan dokter. Tapi gue dipaksa jadi dokter."
"Dipaksa?" beo Ravin.
Ivy mengangguk. "Iya, orang tua gue dokter, bahkan bukan orang tua aja. Seluruh anggota keluarga besar gue dokter. Kami keluarga dokter. Jadi, mau gak mau, suka gak suka, kita harus jadi dokter. Peraturan keluarga itu mutlak hukumnya."
"Cita-cita lo sebenernya?"
"Akuntan, gue pengin banget jadi seorang akuntan. Gue pengin banget bertemu ribuan angka setiap harinya. Gue suka banget sama angka. Tapi sekali lagi, peraturan keluarga mutlak hukumnya."
DEG!!!
Ravin merasa takdirnya dengan Ivy tertukar. Ravin yang menyukai ilmu alam harus bertemu dengan angka, sedangkan Ivy yang menyukai angka harus bertemu dengan ilmu alam. Ravin yang ingin menjadi seorang dokter harus merelakan impian dan dipaksa menjadi akuntan, sedangkan Ivy yang ingin menjadi seorang akuntan harus merelakan mimpinya dan dipaksa menjadi dokter.
"Justru keberadaan lo yang gue harapkan, Vy." Kata-kata Ravin membuat Ivy bingung.
"Maksudnya?"
"Gue masuk ke SMK Satu jurusan akuntansi. Gue lahir dari keluarga yang sederhana, bisa makan cukup aja udah bersyukur. Impian gue jadi dokter, bisa membantu banyak orang, bisa menolong sesama, bisa memberikan yang terbaik buat masyarakat. Gue suka banget sama ilmu alam, tapi balik lagi ke kondisi keuangan keluarga gue. Keluarga gue gak mampu." Ravin menceritakan semuanya kepada Ivy.
Ivy merasakan kesengsaraan yang sama. Sama-sama dipaksa menjalani sesuatu yang bukan passion.
"Kenapa lo gak ambil kedokteran aja, banyak kok beasiswa di fakultas kedokteran," saran Ivy.
"Percuma, Vy. Keluarga gue gak mau gue nyusahin mereka, keluarga gue gak sanggup biayain semuanya. Mereka maunya gue jadi akuntan, gue kuliah di STAN supaya gak perlu keluar uang."
Ivy yang mendengar cerita Ravin langsung merasakan hal yang sama. "Sabar ya, Vin. Gue cuma bisa bilang sabar ke lo karena gue sendiri gak punya solusi untuk menyelesaikan masalah gue sendiri."
"Gapapa, Vy. Makasih udah mau dengerin."
"Sama-sama."
***
Ivy dan Ravin menghabiskan waktu mereka di taman, banyak hal yang mereka ceritakan satu sama lain. Entah getaran dari mana, entah perasaan dari mana, di situ Ivy merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Ravin. Ravin yang menghormati seorang wanita, Ravin yang berpikir dewasa, Ravin yang ceria, dan banyak kelebihan Ravin lainnya.
Kini kedua manusia tersebut sedang berjalan memasuki kedai mie ayam di dekat taman.
"Aku tuh udah lama gak makan mie ayam tau, terakhir pas SMP karena di kantin ada. Tapi kalo sekarang udah gak pernah karena di SMA gak ada," celoteh Ivy saat memasuki kedai tersebut.
"Lah kasian, padahal di SMK banyak banget yang jualan mie ayam, sampai aku tiap hari makan ini," ujar Ravin memberitahu. Entah semenjak kapan mereka mengubah panggilan lo-gue dengan aku-kamu.
"Suka pangsit gak?" tanya Ravin seperkian detik kemudian dengan membawa pangsit yang ia ambil dari meja sebelah.
Mata Ivy berbinar kala melihat makanan favorit yang sudah lama tidak ia makan. "Suka! Suka banget malah!"
"Lebih suka es teh atau es jeruk?" tanya Ravin lagi saat ingin memesan makanan untuk Ivy.
"Es teh manis aja deh," jawab Ivy.
"Jangan manis-manis, kamu ngaca aja udah manis banget."
Ucapan Ravin membuat pipi Ivy merona, ribuan kupu-kupu juga berterbangan di dalam perutnya.
"Apa sih! Gak jelas banget," ujar Ivy dengan menundukkan kepalanya, saat ini ia benar-benar merasa malu.
Ravin yang melihat Ivy menunduk langsung mengangkat kepala gadis itu dengan lembut. "Jangan nunduk, Princess. Nanti mahkotamu jatuh."
DEG!!!
Lagi-lagi Ravin berhasil membuat detak jantungnya tidak normal.
"Ravin! Buruan pesen makan sana!" perintah Ivy saat merasa tidak kuat dengan godaan pria di depannya.
"Oke, Vy."
Lima menit menanti akhirnya mie ayam dengan es teh yang menggugah selera berada tepat di depan Ivy.
"Makasih, Bu." Tak lupa Ivy memberikan ucapan terima kasih kepada ibu penjual mie ayam tersebut.
"Sama-sama, Neng."
Ravin sedang menambahkan sambal, saos, dan kecap di atas mie ayamnya. "Suka pedes?" tanya Ravin kepada Ivy.
Ivy tersenyum kecut mendengar pertanyaan tersebut. "Suka sih, cuma ya jaga pola makan sama kesehatan aja."
"Gak boleh sama orang tua ya?" Ivy mengangguk.
Ravin dan Ivy memakan makanan mereka dengan tenang, ditemani beberapa candaan kecil.
***
"Makasih ya, Vin." Kata terima kasih meluncur saat seharian penuh Ravin menemani harinya.
"Justru aku yang bilang makasih ke kamu, kan kamu yang nemenin aku jalanin dare," jawab Ravin.
"Ya udah, pulang sana."
"Selamat malam, Vy."
"Malam juga, Vin."
***
Hai, Guys! Selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam buat kalian semua yang baca part ini!
Semoga kalian semua enjoy, ya.
Gak usah panjang-panjang author notesnya, capek ngetik:( Intinya, semoga kalian semua tetap suka.
See you semuanya!
Xoxo,
Luthfi Septihana🌹