May The Flowers Bloom

By quirkyjean

9.6K 773 276

Karena suatu hal, Riani dikucilkan di sekolah dan dihantui tatapan orang-orang tiap melintas di depan mereka... More

1. Walking Alone
2. Erasing
3. Look at Her, Forget Her
4. Yonderly
5. Spring Will Come
6. Proceed
7. Play Button
9. The End and The Beginning
10. A Prisoner and Her Key
11. Obscurity
12. Agowilt

8. Spotless

273 45 23
By quirkyjean

 
[Juna]

Entah kenapa sejak kemaren, gue jadi sering ketemu Odelia. Mulai dari yang nggak sengaja papasan waktu gue kelar periksa, atau dia yang datang langsung ke ruangan gue. Saking seringnya datang, nyokap gue mulai notice dan nanya-nanya.

"Jun, itu temen kamu ya? Kok mama nggak tau?"

"Baru kenalan kemaren, Ma."

"Masa? Udah akrab gitu?"

"Emang gitu orangnya mudah akrab sama siapa aja."

"Ohhh," nyokap mangggut-manggut. "Cantik ya anaknya."

Gue nggak jawab, bukan karena gue nggak mengakui itu. Ya kali, dari awal nggak kehitung udah berapa kali gue bilang kalau Odelia tuh cakep. Tapi kalau ngaku, nyokap pasti bakal mikir yang enggak-enggak.

"Kamu naksir sama dia ya?"

TUH KAN BELUM AJA GUE NGOMONG.

Gue melengos, "Belum juga kenalan seminggu masa udah naksir-naksiran aja Ma."

"Ya kali aja," nyokap malah ketawa. "Kalau beneran juga gapapa kali, Jun. Mama kasian liat kamu gamon terus sama Riani."

Buset emak gue dapat gosip dari mana sih? Gue emang pernah naksir Riani, tapi itu dulu, dulu banget udah dari jaman dahulu kala sampai gue hampir lupa gimana rasanya. Gue langsung mencoba move on begitu sadar sebaik-baiknya hubungan gue sama Riani adalah sahabatan, nggak lebih dari itu. Dan sumpah, gue bersyukur banget karena move on-nya berhasil. Kalau enggak, berat gue mungkin udah turun sekilo tiap tahunnya karena ngeratapin nasib mulu.

"Sama Riani udah move on dari lama atuh, Ma. Juna sekarang lagi nggak naksir siapa-siapa."

"Tapi bentar lagi ada kan?"

"Kok mama ngedukung banget aku punya pacar? Biasanya orang tua apalagi nyokap tuh protektif kalau anaknya mulai pacar-pacaran."

"Mama kan beda dari yang lain."

Nggak heran ya kalau Riani sering bilang kalau gue tuh kepedean, orang sifatnya nurun dari nyokap sendiri.

Di tengah-tengah obrolan itu, pintu tiba-tiba diketuk. Lewat kaca yang terpasang di pintu, gue sama nyokap bisa tau kalau itu Odelia. Sebelum berjalan ngebuka pintu, nyokap nyempetin buat melempar senyuman penuh arti, yang bikin gue lagi-lagi melengos.

Odelia masuk, langsung nyengir lebar. "Siang, Tante."

"Eh, Odelia lagi. Cepet banget jam segini udah dateng, bukannya masih jam sekolah?"

"Gurunya lagi ada musyawarah gitu tante, jadi murid dibolehin pulang lebih awal, hehe."

Nyokap manggut-manggut, "Lagi nyari Juna kan? Pas banget, Juna dari tadi juga udah nungguin."

KAPAN GUE NGOMONG GITU SETTDAH EMAK NAPA GINI AMAT YE ISENGNYA.

Gue panik dan buru-buru menggeleng, sementara Odelia langsung ngelebarin mata. "Ah, yang bener tante. Jadi malu nih."

Mendadak jadi geli liat nih cewek akting kalem begini. Gue hampir aja mendecak, mencoba buat nggak nge-spill gimana aslinya tuh anak depan nyokap.

"Yaudah, ngobrol sama Juna dulu ya, kebetulan tante juga mau keluar. Eh, Odelia udah makan belum? Mau dibeliin sesuatu nggak?"

Cewek itu cepet-cepet menggeleng, "Nggak papa tante, nggak usah. Odelia tadi sebelum ke sini udah makan."

"Nggak usah sungkan gitu ih."

Mereka saling lempar cekikikan, bikin gue mengernyit geli. Setelah itu, nyokap beneran keluar, ninggalin gue berdua sama Odelia yang muka jaimnya langsung berubah 180 derajat jadi songong.

"Lo aslinya bolos kan, bukan ada rapat guru? Ngaku."

"Ck, biarin gue jaim napa sih. Biar di mata lo gue yakin image gue udah jelek, seenggaknya buat nyokap lo gue masih cewek baik-baik."

"Cih, dasar ular."

Odelia cuek aja nanggepinnya, cewek itu kemudian duduk di kursi, ngebuka hapenya dan sibuk di sana tanpa ngelakuin apa-apa.

"Ini ruangan gue napa mendadak jadi kayak hotel lo ya?" kata gue sambil delik.

"Kalau gue bisa duduk di sini ngapain di luar? Udah dingin, nggak ada temen pula. Bayangin cewek cakep kayak gue duduk bengong sendirian di rumah sakit, nggak cocok banget."

"Lo di rumah sakit ngapain sih emang? Jengukin siapa? Yang pasti bukan gue doang sih."

"Geblek," umpatnya, walau tetep aja tuh dijawab. "Bokap gue."

"Bokap lo sakit?"

"Kagak. Lagi part time jadi apoteker."

"Emang bisa?"

"Lo nggak lagi pura-pura bego kan, Juned?"

"Nggak."

Cewek itu membanting punggungnya ke sofa, "Capek ngomong ama lo sumpah."

Gue ketawa puas, "Becanda elah. Kalau boleh tau, bokap lo kenapa sampai dirawat?"

Odelia nggak langsung menjawab, gue jadi merhatiin lama, bagaimana keningnya berkerut seakan lagi mikirin sesuatu. Bentar, jadi overthinking gini, gue nggak nanyain sesuatu yang salah, kan?

Gue berdehem, "Kalau lo nggak mau jawab sih—"

"Overdosis obat."

"—hm?"

Odelia yang awalnya sempet duduk tegak, kini kembali nyenderin punggungnya. "Bayangin lo sering minum mabuk-mabukan, tapi di saat yang sama juga berurusan sama macem-macem obat psikiatri yang resepnya bukan dari dokter. Mustahil yang begitu nggak ada efek sampingnya."

Gue nelen ludah, belum siap denger cerita itu. Berbanding terbalik sama gue yang kaget, Odelia justru tenang, gue hampir nggak ngeliat gejolak emosi dari wajahnya sewaktu nyeritain hal itu. Justru aneh karena pertama, harusnya dia keliatan sedih. Kedua, gue kurang terbiasa liat dia kalem begini.

"Woi, ini lo..... nggak masalah nyeritain ini ke gue?"

"There's no reason to keep this as a secret."

"Tapi lo yakin gue bisa dipercaya?"

"Surprisingly, yes."

"You're truly remarkable."

Odelia mengalihkan pandangannya dari ponsel, beralih menatap gue. "Kenapa lo kaget gitu liat orang bisa terbuka?"

Gue ngegaruk belakang kepala. Tebakannya mungkin aja bener. Gue nggak tau kenapa bisa sekaget ini denger seseorang bisa dengan luwes ngomongin sesuatu yang buat orang lain bisa jadi hal yang paling mereka sembunyikan.

Mungkin... karena sebelumnya gue terbiasa sama Riani.

Riani itu cewek paling tertutup yang pernah gue tau. Dia jarang cerita tentang dirinya, bahkan ketika ditanya. Kadang, ada orang yang kelihatan nggak terbuka, karena memang nggak ada yang bertanya soal itu. Tapi bisa jadi ketika ditanya, di luar dugaan, dia bisa sangat terbuka. Ada juga yang kedua, yang memang memutuskan nggak bercerita banyak, dan Riani adalah tipe yang kedua. Nggak, bukan berarti gue membandingkan atau bilang itu sesuatu yang buruk, apalagi karena gue tau jelas alasannya apa. Tapi karena sekali lagi, gue terbiasa dengan hal itu.

Gue berdehem, mengontrol ekspresi. "Ya... biasa aja sih sebenernya. Tapi lo jadi ngingetin gue sama temen gue, ibarat kata nih, dia antonim dari sifat lo."

"Pendiem?"

"Kalau sama gue dia nggak pendiem sih."

Odelia manggut-manggut, "Ohhh. Temen lo cewek apa cowok?"

Gue hampir aja kesedak, "Kenapa malah ngelantur ke sana sih pertanyaan lo?!"

"Yha siapa tau kalau cowok, bisa bantu kenalin. Gue bosen jomblo."

"Dia cewek."

"Oh."

"Kalaupun cowok juga ogah dikenalin sama cegil."

"Maksudnya yang cegil nih siapa ya, Pak?"

"Elu lah, pake nanya."

Odelia tiba-tiba berdiri, bikin gue yang duduk di bangsal panik. Pengen lari, tapi baru inget kaki gue masih patah. Tapi kalau nggak lari, ntar nggak cuma kaki gue yang bakal patah.

"Apa? Kenapa? Ini gue lagi sakit loh ya mau ngapain lo? Hah?"

Tapi di luar dugaan, Odelia justru ngambil gelas di nakas dan minum. Abis nenggak isi gelas itu, cewek itu noleh ke gue. "Lo ngapain pasang pose mau tanding kayak atlet sumo gitu?"

"Kirain bakal dijambak."

"Lo beneran mikir gue cegil?!"

"Ya iyalah!!! Cewek mana yang ngasih nomor—"

"Bukannya gue udah bilang alasannya?!"

"Alasan lo tuh nggak masuk akal! Terus kepedean!"

Odelia melengos, kembali duduk ke sofa. "Harusnya kemaren gue cari alasan yang lebih bagus ya......"

"Hah?"

Bukannya ngejawab pertanyaan gue, cewek itu malah geleng-geleng, kemudian tiba-tiba membuka isi tasnya dan ngeluarin satu pack yoghurt dan meletakkannya di nakas.

"Lo lagi nggak ada restriksi diet atau apalah itu kan? Harusnya enggak," katanya. "Katanya yoghurt bagus buat tulang. Di sini ada kulkas mini kan? Jangan lupa yoghurtnya taruh di sana."

Saat gue masih bingung, cewek itu kembali merogoh tas, lalu ngeluarin sebuah kertas—semacam brosur atau sejenisnya—lalu ngasih lembaran itu ke gue.

"Itu nomor tukang urut," ucapnya sebelum gue sempet nanya. "Mungkin buat lo kedengeran aneh, tapi sumpah, gue nggak bercanda. Waktu kecil, saudara gue juga pernah patah tulang gara-gara manjat pohon. Bokap gue bawa dia ke tukang urut ini dan dia cuma butuh waktu tiga bulan buat sembuh."

"........ Kenapa lo tiba-tiba ngasih ginian?"

"Ck, biaya terapi di rumah sakit tuh mahal elah," balasnya, sambil mendecak. "Sebenernya pijat di sana juga nggak murah, tapi at least nggak semahal di rumah sakit."

"......"

"Ck, bukannya gue bilang lo nggak mampu buat bayar loh ya. Tapi—"

"Anjrit, gue nggak tau kalau lo seperhatian itu sama gue."

"—asu."

Odelia mendengus, lantas buang muka dan berbalik. Ekspresinya lucu, bikin gue tanpa sadar udah ketawa.

"Nggak gitu elahhhh," kata gue. "Gue kaget lo ternyata bisa kayak gini. Lagian gue nggak mikir yang aneh-aneh. Makasih loh buat yoghurt sama nomor tukang urutnya, jarang-jarang ada yang ngasih gue kayak gini."

Gue meraih yoghurt yang masih tersegel itu, mengambil dua, kemudian nyodorin salah satunya ke arah Odelia. "Lo mau nggak minum yoghurt sama gue?"

"Kenapa ajakan lo kedengeran aneh gitu sih?!"

"Perasaan gue ngomong ama lo serba salah mulu dah."

"Biasa aja ngasih yoghurtnya."

"Loh, salting?" gue jadi kepancing buat meledek. "Aneh banget dikasih yoghurt doang salting."

"Diem nggak?!"

Odelia mengambil yoghurt yang gue sodorin sambil buang muka dan minum dengan wajah bete. Kemudian cewek itu noleh kanan-kiri kayak lagi nyari sesuatu sampai kemudian frustasi sendiri.

"Elo sih!"

"Gue ngapain lagi anjir?????"

"Jangan ngomong dulu bisa nggak?!"

Gue langsung nurut, ngerapatin bibir dan diam aja merhatiin dia masih nyari sesuatu sampai kemudian di satu momen, Odelia kelihatan tersentak, ternyata nyari hape yang keumpet di sela-sela sofa.

"Lah, jadi—"

"Jangan lupa diminum yoghurtnya. Gue balik!"

"Kok balik—bentar woi!"

"Apa sih?!"

"Itu tas lu ketinggalan!"

Tanpa merespon kata-kata gue, Odelia langsung ngambil tasnya dan cabut keluar.  Gue awalnya bengong, lalu beberapa menit kemudian ketawa sendiri.

Gila ya, kok bisa ada orang selucu ini?

**

[Riani]

Aaron, Fadel, dan Evan ngabisin waktu dua jam di rumah gue setelah keributan itu.

Ada banyak percakapan yang terjadi sore itu, yang entah kenapa untuk pertama kalinya, nggak lagi bikin gue ngerasa aneh, seakan ngalir gitu aja. Lewat cerita-cerita yang tersampaikan, gue jadi tau kalau ternyata ada satu cewek yang sejak kelas satu selalu ditaksir Evan, tapi sampai sekarang sama sekali nggak ada kemajuan karena Evan terlalu malu buat nunjukin.

Selain Evan, Fadel juga lumayan banyak nyeritain tentang dirinya. Dari dia yang pernah nginap di rumah Aaron gara-gara diusir nyokapnya abis pulang clubbing, atau juga pernah nginap di rumah Evan karena Aaron udah muak nampung Fadel mulu, sampai di kelas sebelas dulu pernah masuk BK karena ngajak setengah temen kelasnya cabut mapel Kimia. Gue jadi nyimpulin, di antara mereka, Fadel yang mainnya paling jauh dan relasinya paling luas (bahkan dia juga kenal Jasper sama Juna).

Entah kenapa saat itu gue ngerasa mereka sengaja nggak membahas Alicia. Kalau tebakan gue bener, gue bakal berterima kasih karena itu bisa bantu gue ngalihin pikiran untuk sesaat. Walau tetep aja, begitu mereka akhirnya pulang, gue kepikiran.

Di satu sisi, gue masih khawatir sama apa yang bisa terjadi setelah ini. Gue bahkan nggak bisa ngebayangin bakal seperti apa wajah Lisia seandainya ketemu dia lagi, yang entah kapan, tapi pasti dalam waktu dekat. Nggak cuma karena gue sama Lisia satu kelompok dan kita sama sekali belum mulai ngerjain proyek market day, juga karena ini memang harus selesai secara personal.

Di sisi lain, meskipun ngerasa bersalah, gue juga lega di saat yang sama. Gue baru tau ternyata ngelampiasin apa yang selama ini dipendam tuh rasanya bisa seenak ini, seakan tubuh lo tiba-tiba jadi ringan dan lebih rileks—walaupun cara yang gue lakuin salah.

Saat ngelewatin kaca, gue sadar ternyata  gue juga dapat luka. Ada lengan kiri gue yang merah dan darah yang ngalir meskipun nggak banyak, dagu gue juga berdarah. Gue meringis, mikirin gimana caranya harus nutupin luka ini, apalagi luka di dagu yang kelihatan jelas. Gue beralih ke ruang tengah buat nyari keberadaan kotak P3K. Nggak ketemu. Gue jadi ke dapur nyariin mbak Nirna yang ternyata lagi masak.

"Eh, udah pulang ya temennya?"

Gue ngangguk aja. "Mbak, first aid biasanya ditaro di mana ya?"

Beberapa detik kemudian mbak Nirna juga notice luka di sepanjang lengan gue dan di dagu. Dia langsung matiin kompor, kemudian mulai menyusuri isi rumah. Emang, anehnya tuh mbak Nirna lebih hafal isi rumah ini ketimbang gue sendiri.

Nggak butuh waktu lama sampai mbak Nirna dapat kotaknya. "Sini-sini, biar mbak bersihin lukanya."

Gue nurut, sekarang duduk di meja makan di samping mbak Nirna yang lagi ngeluarin antiseptik sama betadine. "Ini dek Riani abis diapain sih kok sampai begini lukanya? Jahat banget astaga."

Gue cuma nyengir, "Berantem biasa kok mbak, ala-ala cewek."

"Tapi kok bisa sampe berantem gitu? Saya kira anak SMA berantemnya nggak main fisik lagi cuma pake mulut."

"Aku dulu ngiranya juga gitu, tapi ya ternyata enggak semua yang begitu."

"Emang berantemnya gara-gara apa sih?"

Gue diam bentar, jadi mikir harus pakai kalimat apa buat ngejelasin karena nggak mau kedengeran terlalu dramatis. "Ya... dia jahat... terus aku ngelawan, gitu-gitu."

Mbak Nirna geleng-geleng, kali ini dia ngeluarin kapas, "Kok bisa-bisanya sih ada yang jahat sama orang baik kayak dek Riani."

"Aku nggak sebaik itu kayaknya mbak, cuma lagi apes aja."

"Loh ya baik tau, kalau enggak, nggak mungkin saya betah kerja di sini. Ampe di awal saya kaget dek Riani kok baik banget, bos saya yang dulu marah-marah terus soalnya, hehehe."

Gue cuma meringis karena tetap aja, itu kedengeran berlebihan. "Makasih loh, mbak."

"Lo kenapa?"

Gue sama mbak Nirna tersentak, kita sama-sama noleh ke sumber suara dan mengangkat alis mendapati Kak Reihan udah berdiri di dekat counter dengan kening yang berkerut. Buset, sejak kapan dia pulang?

Mbak Nirna tiba-tiba berdiri, bikin gue noleh, "Waduh saya lupa belum lihat stok makanan minggu ini, ke storage dulu deh. Dek Riani jangan lupa besok dibersihin lagi ya lukanya!"

Gue pengen banget nahan mbak Nirna biar tetep di dapur, tapi dia keburu pergi sebelum gue sempet buka mulut. Diam-diam gue melengos, jadi aneh sama situasi canggung ini.

"Riani—"

"Gue nggak kenapa-napa."

"Kenapa ada luka?"

"Tadi abis jatuh."

Kak Reihan diam, meskipun nggak menghadap ke arahnya, gue bisa ngelirik dari ekor mata dia cuma berdiri dengan wajah datar di tempatnya. "Lo pulang jam berapa?"

Gue jadi inget lagi kabur kemaren dan baru pulang sekarang. Baru dua hari, tapi kenapa rasanya panjang banget ya? Bahkan gue ngerasa aktivitas gue satu bulan nggak lebih padat dibanding dua hari ini.

Gue noleh ke Kak Reihan, ngerapatin bibir. Jujur, gue bukannya ngarepin dia bakal bereaksi seperti apa, tapi tetep aja, orang-orang biasanya nggak sekalem ini ngelihat anggota keluarganya kabur dari rumah kan? Kecuali dia apatis.

Iya, gue mungkin udah dapet kesimpulannya.

"Jam empat."

Setelah diam beberapa saat, dia ngangguk pelan, akhirnya lanjut jalan menjauhi area dapur, paling juga ke kamar.

Gue juga mutusin buat ke kamar, daripada bengong gini. Gue melepas seragam dan menggantinya ke baju tidur kemudian rebahan, sampai tiba-tiba pintu kamar gue diketuk. Menghampiri pintu, nggak ada siapapun begitu dibuka—yang sempat bikin gue ngira barusan ulah setan yang lagi iseng karena kebetulan ini udah mulai masuk jam dinasnya—tapi gue nggak yakin. Mungkin mbak Nirna, tapi buat apa mbak Nirna tiba-tiba iseng?

Gue nggak mau ambil pusing, baru aja berniat nutup pintu lagi ketika gue mendapati satu kotak plester yang tergeletak di lantai depan pintu. Gue jadi noleh kanan-kiri. Oke, setan nggak mungkin sebaik ini. Gue mengambil kotak itu dan berjalan menuju kamar mbak Nirna.

"Eh, ada apa dek Riani?"

"Mbak yang naroh kotak plester depan kamarku ya?"

"Lah, emang plesternya masih ada? Ini saya dari tadi nyari nggak ketemu."

"Kalau bukan mbak yang naruh terus siapa?"

Gue sama mbak Nirna saling bertatapan.

**

Karena kejadian sore itu, Aaron memutuskan untuk menunda agenda tugas kelompok mereka, paling tidak sampai mereka menemukan solusi dari permasalahan Riani dan Lisia.

Sejujurnya, Aaron sudah memprediksi semuanya tidak akan berjalan mudah jika ia nekat menyatukan Riani dan Lisia dalam satu kelompok. Tapi cowok itu tidak menyangka, ketika prediksi itu benar, menghadapinya akan terasa sesulit ini.

Jika ia tidak menemukan solusi dalam waktu dekat, agenda kelompok mereka akan terus tertunda dan proyek market day tidak bisa dijalankan. Memikirkan itu saja sudah cukup bikin Aaron frustasi.

Tapi sekembali dari rumah Riani, cowok itu tetap memutuskan untuk mendatangi rumah Lisia, berharap temannya itu masih mau menyambutnya. Tentu saja, Aaron tidak sendiri. Ia membawa Fadel dan Evan, harap-harap dua cowok itu bisa bantu membujuk Lisia. Apalagi, Fadel adalah temannya sejak kecil dan kelihatannya paling mengerti apa yang dirasakan Lisia.

Begitu sampai di rumah Lisia, mereka mendapati motor Adhine masih terparkir di halaman depan. Mereka mengetuk pintu, mendapati sosok yang membuka pintu ternyata adalah ibu Lisia.

"Eh, Aaron, Fadel, sama Evan juga ke sini?" wanita itu melebarkan matanya. "Tadi Adhine dateng sama Lisia, pulang-pulang anaknya udah nangis tapi nggak mau cerita. Sebenernya ada apa ini?"

Ketiga cowok itu meringis. Setelah mendengar cerita Fadel, Aaron dan Evan tidak bisa lagi memandang ibu Lisia dengan cara yang sama. Padahal sebelumnya, dari luar, wanita itu selalu terlihat baik-baik saja.

Tapi Aaron tetap menjawab, "Lisianya di mana, Tante?"

"Di kamar, Ron. Sama Adhine," ibu Lisia menjawab. "Tapi ini ada apa sih, Aaron?"

Ketiga cowok itu diam. Tapi mereka sadar salah satu harus menjawab.

"Lisia lagi ada masalah gitu sama salah satu temen kita, tante... tapi nggak papa kita bakal selesain sekarang."

"Masalahnya apa kalau tante boleh tau?"

Tiga cowok itu saling bertatapan. Fadel tiba-tiba mengangguk, mengisyaratkan sesuatu yang langsung dipahami oleh Aaron dan Evan. Dua cowok itu kemudian pamit menuju kamar Lisia. Aaron sempat melirik, Fadel terlihat mengatakan sesuatu pada ibu Lisia.

Mereka mengetuk pintu, terdengar suara Adhine di sana. Begitu masuk, Lisia terbaring di kasurnya dengan posisi memunggungi mereka.

"Kalau lo ke sini mau ceramah, mending keluar aja."

Aaron menghela nafas, ia menarik kursi dan duduk. "Gue ke sini cuma mau nanya sesuatu."

"Gue nggak bakal jawab."

"Gimana perasaan lo sekarang?"

"Udah dibilang gue nggak bakal jawab."

Aaron berusaha untuk tidak mendecak, sementara Evan tersenyum meringis. "Yaudah, gue tebak aja. Lo pasti kaget karena orang yang lo kira lemah ternyata bisa bikin lo babak belur."

Lisia tiba-tiba bangkit dari posisi berbaringnya, dengan delikan menatap Aaron, "Jangan sok tau."

"Bukan sok tau, tapi emang tau." Aaron membalas tenang. "Kalau bukan, kenapa lo sampai kayak gini?"

"....."

Aaron menghela nafas, memajukan kursinya. "Gue udah denger ceritanya dari Fadel—"

"Ck, si ember goblok."

"Heh, mulut lo ya," Aaron melotot. "Dengerin dulu gue ngomong, jangan dipotong."

Kalau mode ketua kelasnya keluar, Aaron selalu kelihatan seram sampai Lisia kali ini memilih menurut, meski dengan penuh keterpaksaan.

"Gue nggak bakal nyalahin lo sepenuhnya buat tindakan lo ke Riani," ucap Aaron. "Tapi gue cuma penasaran sama satu hal. Lo sekarang ngerasa bersalah, kan?"

"Ck, apa sih."

"Nggak usah denial. You're the one who make that obvious."

"....."

"Orang yang setiap harinya ngerasa terancam gara-gara alasan yang konyol, ditambah di sisi lain juga bukan dia yang ngelakuin kesalahan..... lo sadar sama fakta itu kan?" Aaron menghela nafas, lantas melanjutkan. "Apa sebenernya yang bakal lo dapetin setelah mutusin ngelakuin semua ini?"

"......"

"Jawab pertanyaan gue."

Enggan menjawab, Lisia kali ini menunduk, mengubur wajahnya dalam tangkupan lengan.

"Nggak ada yang lo dapet selain perasaan bersalah kan?"

Masih dengan posisi menunduk, Lisia kali ini menggeleng. "Gue... nggak tau. Di satu sisi gue...... nyesel. Tapi di sisi lain—"

"Gue tau lo punya alasan sendiri, tapi bukan berarti dengan alasan itu lo bisa seenaknya," Aaron tiba-tiba menyela. "Apa yang lo rasain, apa yang bikin lo marah, rasa dendam lo, itu sesuatu yang harusnya lo selesain, bukan dilampiasin ke orang lain."

"....."

"Kalau memang nyokapnya bikin lo inget nyokap lo, cukup marah sama nyokapnya aja. Riani nggak salah apa-apa, dia sama sekali nggak ada hubungannya sama semua itu."

"....."

"Gue yakin Riani sendiri juga muak karena semua orang jadi mandang dia sebelah mata abis masalah itu, gue yakin dia juga nggak mau jadi kayak gitu," kata Aaron panjang lebar. "Dia juga tau kalau dia nggak salah, tapi karena perlakuan semua orang yang keburu nyalahin, dia jadi nggak bisa apa-apa. Tapi sekarang dia bisa ngelawan karena apa? Karena perlakuan itu udah keterlaluan."

"....."

"Gue... sebenernya pengen kalian tuh temenan," ucap Aaron, bikin Lisia tiba-tiba kembali mendongakkan kepalanya. "Lo selama ini selalu ngeluh cuma temenan sama cowok kayak gue, kayak Fadel, atau kayak Evan yang kadang nggak relate ama permasalahan lo yang cewek. Lo selalu pengen punya satu temen cewek kan? Biar kalian bisa punya space sendiri yang bisa kalian bahas sebagai cewek, biar lo lebih leluasa, biar lo lebih nyaman....."

"....."

"Gue mikir, pasti bakal seru kalau ada Riani. Jadinya kalau ada debatin hal-hal tentang cewek atau cowok, lo nggak debat sendirian lagi karena bakal ada Riani. Atau misal kita belanja, lo nggak sendirian lagi kalau mau datengin section barang-barang cewek," Aaron tersenyum tipis. "Mungkin di situasi sekarang bakal susah buat lo, tapi... gue masih berharap lo sama Riani bisa akur."

Aaron menghela nafas, kemudian berdiri, "Semoga lo nggak marah abis gue ngomong gini, sekali lagi, karena gue nggak sepenuhnya nyalahin lo."

"....."

"Gue cuma pengen lo coba sekali aja ngeliat dari sudut pandang Riani, apa yang dia rasain selama ini, dan mikir...... apa dia pantas dapat semua perlakuan itu."

"....."

"Gue tau gue udah ceramah jadi sekarang gue bakal keluar."

Aaron berbalik, berniat melangkah keluar sampai suara Lisia menghentikan langkahnya.

"Aaron."

"Hm?"

"Gue minta maaf."

Aaron tidak berbalik, namun sudut bibirnya kembali terangkat membentuk senyum tipis.

"Minta maaf sama Riani, bukan sama gue."




Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 42.1K 29
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...
633K 3.6K 12
Berisi cerita pendek dengan tokoh yang berbeda-beda! ⚠️Mature content with a sex, deep kiss, and vulgar words⚠️ ⚠️Setiap cerita bisa membuatmu sange...
309K 24.4K 21
Seorang Assassin bersama Alter ego yang bertransmigrasi ke dalam Novel, dan menjadi seorang Figuran. CERITA BL⚠️ Start: 10 Januari 2024 End:-
1.7M 89.5K 40
Dave tidak bisa lepas dari Kana-nya Dave tidak bisa tanpa Kanara Dave bisa gila tanpa Kanara Dave tidak suka jika Kana-nya pergi Dave benci melihat...