Ineffable

Par Ayyalfy

225K 28.9K 8.3K

Ineffable (adj.) Incapable of being expressed in words. . . Kisah cewek yang ditembak oleh pemilik hotspot be... Plus

Prolog
1 | Orang Ganteng
2 | Iklan KB
3 | Dasi
4 | Akrobatik
5 | Friendzone
6 | Bu Jamilah
7 | Adik Ipar
8 | Monyet Terbang
9 | Hotspot
10 | Bungkus!
12 | Mr. Sastra
13 | Mr. Sastra II
14 | Laki-laki Bertopeng
15 | Ice Cream
16 | Mamang Rossi
17 | Grup Sepak Bola
18 | Don't Go
19 | Bad Genius
20 | Pergi
21 | Dendam
22 | Bunuh Diri
23 | Berantakan
24 | Cinta Segitiga
25 | Memilih
26 | Hotspot 'Lagi'
27 | Andra
28 | Makna Cinta
29 | Ich Liebe Dich
30 | Bubble Tea
31 | Centang Biru
32 | 9u-7i > 2(3u-3i)
33 | Sundel Bella
34 | Couple Al
35 | Gelang Hitam
36 | Uncle Rafka
37 | Bolos
38 | Pak Moderator
39 | Kejutan
40 | My Lil Sister
41 | It's Only Me
42 | Tom & Jerry
43 | The Moon is Beautiful, isn't it?
44 | The Sunset is Beautiful, isn't it?
45 | Meant 2 Be
EPILOG
EXTRA PART I

11 | Putri Tidur

5K 701 163
Par Ayyalfy

Saran: Pake latar belakang warna putih ya membacanya:)

Happy reading, sayang❤️

• • •

ALFY

"Al, lo nggak apa-apa?"

Aku mendongak dan langsung bertemu tatap dengan Syifa yang barusan bertanya. Kepalaku menggeleng. "Nggak apa-apa. Kenapa emang?"

"Muka lo pucat."

Oh, soal itu. Aku tidak heran sama sekali. Bagi tim darah rendah, ini bukan hal yang aneh. Ditambah tadi malam aku bergadang sampai jam dua pagi, melewatkan sarapan, dan yang paling utama aku sedang tidak memakai pemerah bibir apapun.

Saat ini aku sudah ikut berbaris di antara semua murid SMA Yapita untuk mengikuti upacara senin pagi. Dari awal berdiri di lapangan, aku memang sudah mengeluarkan keringat dingin. Kepalaku juga berdenyut-denyut tak karuan. Dan saat sedang pusing-pusingnya, aku malah melihat seorang laki-laki sedang mengobrol dengan guru-guru perempuan di sana.

Pak Rafka mengobrol dan cekikikan tanpa beban. Apa dia tidak sadar kalau aku sedang memperhatikannya? Dan ... bisa-bisanya dia malah tertawa saat salah satu guru perempuan di sana mencubit lengannya?!

Astaga, apa begini rasanya punya pacar 3 G?

Ganteng, Genit, Gadir!

Beruntungnya kekesalanku teralihkan dengan intruksi yang menandakan upacara akan segera dimulai. Semua hiruk pikuk langsung tertelan, semua kembali pada barisan dan berdiri dengan sikap siap. Seperti biasa aku selalu berdiri paling belakang-nasib orang tinggi.

"Kak Alfy?"

Seseorang menepuk-nepuk lengan kiriku. Aku menoleh dan mendapati adik kelas yang tidak kutahu namanya itu sedang menatapku panik. "Iya?"

"Kakak bisa jadi dirigen buat paduan suara? Teman saya yang dapat tugas hari ini nggak masuk. Mau ya, Kak? Pleaseee."

Ekspresi memelas milik adik kelasku itu kontan membuatku meringis.

• • •

RAFKA

Ada yang salah dari penampilan pacar gue hari ini.

Gue tergugu ketika melihatnya keluar dari barisan dan berjalan ke tengah lapangan. Matanya sangat sayu dengan bibirnya yang pucat pasi. Gue pikir dengan keadaannya yang mengkhawatirkan itu dia hendak izin beristirahat ke UKS, tapi ternyata dia malah berdiri di antara murid paduan suara di sana.

Tidak ada yang bisa gue lakukan selain melihatnya dari jauh seperti ini. Posisi kami saling berseberangan dan terpisahkan oleh tiang bendera. Gue bertukar posisi dengan Pak Ahmad yang berdiri di pinggir, beruntungnya beliau tidak keberatan dan akhirnya gue bisa lebih leluasa mengamati Alfy. Diam-diam gue selalu melirik ke arahnya yang sepertinya dia sama sekali tidak menyadarinya.

Selama upacara berlangsung gue dibunuh rasa cemas bukan kepalang sambil mengucap doa agar semua rangkaian upacara segera selesai. Saat semua kepala tertunduk mengheningkan cipta, gue adalah satu-satunya pemilik kepala yang mendongak dan mengamati Alfy terang-terangan. Dia berdiri di tengah-tengah dan memimpin paduan suara dengan penuh profesionalitas. Semakin lama dia terlihat semakin pucat, namun dia masih dapat menjalankan tugasnya sampai lagu Indonesia Raya dinyanyikan.

Tiba saatnya penyampaian amanat oleh pembina upacara yang tidak lain adalah kepala sekolah. Kaki gue bergerak gelisah sambil terus melirik Alfy sesekali. Di samping gue ada Bu Cindy, bisa saja gue mengatakan keadaan Alfy padanya. Namun gue takut jika Bu Cindy berpikir kalau gue memperhatikan Alfy sedari tadi, yang bisa menimbulkan dampak buruk. Gue nggak mau hubungan gue dan Alfy diketahui penghuni sekolah. Itu nggak bagus buat citra Alfy di mata para guru yang notabenenya adalah murid berprestasi dan penuh teladan di sekolah.

Tapi, gue nggak bisa membiarkan Alfy terlihat menyedihkan di sana.

"Bu Cindy?" panggil gue pada akhirnya.

Guru perempuan itu menoleh dan menyahut pelan. "Ya, Pak?"

"Itu, saya lihat-"

Suara pekikan tertahan terdengar dari arah samping. Gue langsung menoleh dan mendapati tubuh Alfy sudah tergeletak tak sadarkan diri di lapangan upacara.

Tanpa pikir panjang lagi gue langsung berlari ke arah sana.

• • •

ALFY

Aku merasakan ada sesuatu yang menepuk pipiku berulang kali.

"Hei, Putri Tidur. Bangun, dong! Mau bangun sendiri atau mau dibantu pakai ciuman pangeran?" Aku mendengar suara seseorang yang tidak asing.

Kesadaranku tersentak saat mencium bau menyengat yang tertangkap indra penciumanku. Sontak aku membuka mata dan menegakkan punggungku sambil menutupi hidung dan mulut.

Laki-laki yang berdiri di dekat brankar itu ikut terbelalak kaget. Dia menggeleng-gelengkan kepala dengan panik. "Nggak, cuma bercanda, kok. Nggak nyium beneran! Suer!" ucapnya tergesa-gesa menjelaskan.

Masih menutupi mulut dan hidung, aku terkekeh samar karena ucapan laki-laki itu. Kepalaku menggeleng lemah. "Saya nggak suka bau minyak kayu putih," ucapku kemudian.

Pak Rafka menatap botol minyak kayu putih di tangannya dengan tatapan lega. Tanpa pikir panjang dia membuang botol itu dari tangannya. Wajah tengilnya sekarang menatapku dengan senyuman melebar.

"Kirain takut dicium," kekehnya.

Aku menyandarkan tubuh dengan rileks di kepala brankar. "Itu juga bener. Siapa yang nggak takut dicium sama cowok mesum?"

Pak Rafka terkekeh. "Mesum sama pacar sendiri masa nggak boleh?"

Aku hanya menghela napas. Tatapanku menyisir ruangan yang sekarang kutempati. Ini jelas-jelas ruang UKS. "Kok saya di sini?" tanyaku padanya.

"Kamu tadi pingsan, Alfy. Aku yang bawa kamu ke sini."

Mataku membulat. "Bapak yang bawa saya? Pake ... pake apa?"

"Pake gerobak yang biasa dipake Pak Enjun buat angkut sampah. Kenapa?"

Keterkejutanku semakin menjadi-jadi. "Serius?!"

Laki-laki itu tertawa. "Ya nggak lah!" Dia mengelus puncak kepalaku beberapa kali sambil memberikan tatapan hangatnya. "Kata Bu Ira darah kamu rendah banget, maag kamu juga mengkhawatirkan. Nggak sarapan pagi, ya?"

Aku mengangguk pelan.

"Gimana mau sayang sama pacar kalau sama diri sendiri aja nggak sayang?"

Eh?

"Istirahat di sini dulu, ya. Nanti Bu Ira bawain teh dan roti buat isi perut kamu. Aku mau balik ke lapangan. Nanti banyak yang curiga kalau tahu aku nggak balik-balik setelah bawa kamu."

Pak Rafka pun beranjak dari tempatnya dan meninggalkanku di ruang UKS seorang diri. Tidak, tidak sendiri, karena aku ditemani dengan riuhnya detak jantungku di dalam sana.

• • •

Roy datang membawakan ketoprak untukku dan ikut mendudukkan diri di sebelahku. Dia mengansurkan sepiring ketoprak yang sama sekali tidak menarik untuk disantap. Ketoprak itu terlihat pucat tanpa sambal.

"Nggak usah komen. Lo lagi sakit, jangan ngadi-ngadi."

Aku menghela napas kecewa. Meski senang juga karena memiliki sahabat yang begitu memperhatikan kondisiku. "Iya-iya."

Tanganku siap untuk menyendok ketoprak di depanku, namun aku mengurungkannya.

"Kenapa?" tanya Roy yang menyadari gerak-gerikku.

"Emangnya ada yang salah ya sama gue?" tanyaku pelan sambil menggerakkan mataku menunjuk pada sekitar.

Setidak peka apapun aku mencobanya, dari keluar kelas sampai duduk di kursi kantin, berbagai macam tatapan tertuju untuk mengintimidasiku. Seakan di mata mereka aku ini sebuah kesalahan yang tak seharusnya ada di sekitar mereka.

Roy mendongak dan ikut mengamati seisi kantin. Dia berdecak setelahnya. "Nggak. Nggak ada yang salah. Yang salah tuh mereka, iri sama nasib lo."

"Nasib gue?" Aku membeo.

"Iya. Lo pingsan saat upacara dan digendong Kak Rafka. Dimana letak mereka nggak iri?"

Aku mengerjap beberapa kali. Jadi, bukan pakai gerobak, ya?

"Abaikan, Al." Via membuka suara. "Irinya mereka nggak bikin lo rugi. Jadi, bawa santai aja. Kalau ada orang yang iri sama lo, itu artinya lo lebih hebat dibanding mereka."

Dimana letak hebatnya pingsan dan digendong guru? Atau mereka merasa kalah nasib karena biasanya selalu Pak Enjun yang menggotong siswi pingsan saat upacara?

Syifa mengacungkan dua jempolnya, mendukung ucapan Via. "Betul!"

"Kok kalian so sweet, sih?" Aku mengusap ujung mataku yang berair sambil menatap mereka satu per satu. "Gue seneng punya sahabat kayak kalian."

Mendengar ungkapan tulusku malah membuat mereka mengibaskan tangan dan menampilkan ekspresi jengah. "Cepet sehat deh lo, Al. Lo kalau lagi sakit jadi alay kronis," celetuk Roy mewakili yang lainnya.

Aku terkekeh mendengarnya.

"Nggak pa-pa, Bel. Yang digendong dia, yang di-chat tiap hari tetap lo, kok."

Tubuhku mendadak kaku kala mendengar celetukan itu. Aku berusaha menelan ketoprak di dalam mulutku dengan susah payah.

"Nah, hape lo getar tuh. Pasti pesan dari doi, kan?"

"Kalau Bela udah senyum-senyum sambil lihat hape, itu artinya dia dapet pesan dari doi."

Tanpa harus menoleh ke samping, aku sudah tahu bahwa meja di sebelahku ditempati oleh Bela and the geng. Aku tidak tahu mereka sengaja mengeraskan suara seperti itu atau memang begitulah cara mereka kalau sedang menggosip. Dengan suara keras sampai membuat orang sekelurahan mendengarnya.

Aku bisa saja memamerkan fakta yang sebenarnya untuk membuat mereka malu di depan semua penghuni kantin. Bahwa Pak Rafka itu pantas menggendongku ke UKS, bahwa Pak Rafka dan aku pantas untuk terlihat dekat karena kami memang berpacaran. Sayangnya aku tidak bisa sejahat itu. Lagi pula aku sudah menanamkan prinsip bahwa hubungan kami bersifat privasi. Bahkan sahabat-sahabatku saja tidak kuberitahu soal ini.

Tanpa sadar aku melirik ponselku yang tergeletak di atas meja. Aku merasa tidak percaya diri untuk memeriksanya. Aku takut kalau apa yang geng Bela katakan adalah benar dan tidak ada pesan yang aku dapat dari laki-laki itu.

Namun lima detik kemudian layar ponselku menyala. Pesan beruntun tanpa jeda menghujani ponselku, yang dikirim oleh pemilik nomor yang sama. Senyum di wajahku terbit.

Calon Imam:
Assalamu'alaikum, Calon Makmum♥
Gimana? Udah lebih enakan badannya?
Lagi di kantin, kan?
Kalau aku lagi ngopi nih sama Pak Enjun
Kamu jangan lupa makan yang banyak, ya
Karena untuk merindukanku juga butuh tenaga 😗
Saranghae ♥♥♥

Calon Imam send a sticker:

Alfy:
Wa'alaikumussalam, Calon mayit:)
Nyuruh makan aja tapi nggak nyuruh minum maksudnya apa?
Mau bikin aku mati?
Terus jadi bisa selingkuh sama si Belapotan, gitu?!

You send a sticker:



Calon Imam:
NGGAK GITU, YANG!
Itu nyuruh makannya udah sepaket sama minum
Eh, bentar
Cieeeeee ada yang udah pake aku-kamu
Cieeeeee ada yang cemburu
Jadi makin sayang uwuwuw ♥♥♥

Calon Imam send a sticker:

Kadang aku berpikir, yang menjadi pacarku itu laki-laki berumur dua puluhan atau bocah SD yang baru kenal Facebook, sih?

• • •

RAFLI

Berbagai makanan dan snack sudah tersedia di atas meja. Bukan makan malam biasa, acara makan malam kali ini diadakan di pekarangan belakang rumah. Tak jauh dari meja, tiga orang yang saya kenal sedang sibuk dengan alat pemanggang beserta asap-asap tipis yang tercipta di sana. Saya menghampiri mereka dengan membawa mangkuk berisi mentega di tangan.

"Disuruh ngambil mentega aja lama banget. Dasar lembek!" sungut Rafka sambil mengambil alih mangkuk di tangan saya.

"Kalau Kakak lembek, terus kamu yang ditolong Alfy dari preman-preman itu apaan namanya? Squishy?"

Rafka kontan mendengus yang membuat dua perempuan di sana tertawa.

"Kamu tuh jahil banget jadi kakak!" Ratna mencubit lengan saya pelan. "Kasihan Rafka nggak ada harga dirinya lagi tuh setiap kamu bahas masalah preman."

Saya mengendik acuh. Jika saja Rafka punya sedikit akhlak, saya tidak akan mengungkit masalah preman itu lagi. Tapi sikapnya itu kadang tidak mencerminkan seorang adik sama sekali. Dia lebih seperti musuh bagi saya.

"Utuk-utuk! Yang lagi ngambek." Alfy ikut menggoda Rafka yang sedang menampilkan wajah tertekuknya karena dijadikan bahan bulan-bulanan oleh kami. "Bibirnya kalau lagi manyun gitu malah beneran mirip squishy tau!"

Rafka mengempaskan jari Alfy yang menusuk-nusuk pipinya berulang kali. "Kamu jangan ikut-ikutan nyebelin kayak si Rafli deh, Al."

"Lho? Kenapa emang?"

"Kamu nggak nyebelin aja udah bikin gemes, apalagi nyebelin coba?"

Saya dan Ratna yang mendengarnya langsung berpura-pura melakukan adegan muntah. Rupa-rupanya bakat menggombal bisa turun temurun, ya? Malah sepertinya bakat menggombal Rafka kelewat abnormal dibanding saya.

Rafka yang tadinya cemberut langsung berubah semringah dan balas menggoda Alfy dengan gombalan-gombalannya yang lain. Berulang kali juga saya bisa menangkap keakraban mereka, entah itu Rafka yang terang-terangan mengacak-acak puncak kepala perempuan itu, atau Alfy yang tidak segan memukul lengan Rafka berulang kali.

Saya baru sadar hal itu. Mereka terlihat lebih dekat dari sebelumnya.

"Bantu aku nyiapin makanan yang lain, yuk!" ajak Ratna setelahnya yang membuat saya meninggalkan dua manusia itu di sana.

Satu jam kemudian semua menu sudah tersaji di meja makan. Kami menduduki kursi masing-masing dengan formasi saya dan Ratna bersebelahan, menghadap Rafka dan Alfy yang juga duduk berdampingan. Sudah lama sekali rasanya kehangatan seperti ini terjadi dalam keluarga saya. Rafka dengan segala niat berlebihannya, secara mendadak merencanakan acara makan malam bersama setelah berhasil mendekor pekarangan belakang rumah dengan sangat apik. Lampu-lampu kecil ia sebar di beberapa pepohonan di sini. Terdapat juga beberapa lampu dan lilin yang dijadikan sebagai penerangannya. Rafka telah menyulap pekarangan rumah menjadi restoran outdoor dalam waktu singkat.

Ratna mulai menyiapkan alat makan, namun dengan cepat Rafka menjedanya. "Eits, sebelum kita makan, gue mau ada pidato sedikit," ucap laki-laki itu.

"Apalagi sih, Raf, jangan yang aneh-aneh deh kamu," tampik saya.

Kepala Rafka menggeleng mantap. "Ini nggak bakal aneh, Kakakku tercinta. Karena gue mau kasih kabar menggembirakan buat lo sama Mbak Ratna."

Buat saya dan Ratna? Tentu saja saya langsung mengerutkan dahi. Ketika saya melirik pada Alfy, perempuan itu justru santai-santai saja dengan gelas sirup di tangannya.

"Jadi, acara makan malam ini adalah untuk merayakan hari jadian gue dengan Alfy yang udah berjalan satu minggu. Weekiversary lebih tepatnya."

Alfy tersedak minumannya dan Ratna hampir saja menumpahkan air dari gelasnya. Saya sendiri membulatkan mata karena ucapannya itu. Dia bilang apa tadi? Hari jadian? Seminggu?

"Kenapa? Kaget, ya?" tanyanya kemudian. Dia merangkul Alfy yang masih menatapnya tak percaya. "Gue sama Alfy udah jadian seminggu yang lalu."

Mata saya bergantian menilik Rafka dan Alfy dengan tatapan tak percaya. "Kalian pacaran?"

"Iya." Rafka menyahut tanpa beban. "Selangkah lebih dekat buat bikin Alfy jadi adik ipar lo."

Alfy melepaskan diri dari rangkulan Rafka dan mengomel setelahnya. "Kamu nggak ada bilang itu sebelumnya. Katanya ini perayaan karena kamu mau lanjut S2?"

"Itu juga salah satunya, sayang." Rafka cengengesan.

Tiba-tiba saja tenggorokan saya terasa kering. Saya berdeham dan menenggak habis air pada gelas di hadapan saya. Usai minum, saya berusaha menetralkan diri. "Kamu juga mau lanjut S2? Kenapa tiba-tiba banget? Dulu kamu bilang nggak minat untuk ambil S2."

"Setelah pacaran sama Alfy, gue sadar kalau cewek yang gue pacarin ini adalah makhluk cantik yang pintar akademik. Gue juga yakin Alfy bakalan lanjut kuliah setelah lulus SMA. Masa iya gue punya tingkat pendidikan yang setara sama calon makmum gue? Sebagai calon pemimpin yang baik, nggak ada salahnya kan kalau gue mengasah keilmuan lebih dalam?"

Yang Rafka bilang memang sangat rasional. Tapi, kenapa harus Alfy?

"Kalau gitu ..." Ratna mengambil alih suasana yang mulai memiliki atmosfer berbeda. "... selamat buat official-nya hubungan kalian. Dan selamat juga buat kamu, Rafka, karena mau lanjut S2. Tunggu apa lagi? Ayo, kita makan-makan!"

Kami pun melanjutkan acara makan malam ini. Tentunya dengan perasaan tak seantusias yang saya rasakan sebelumnya.

• • •

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Acara makan malam telah selesai. Rafka bahkan telah mengantar Alfy pulang. Kini saya dan Ratna sudah berada di dalam kamar kami, bersiap untuk beristirahat.

Ratna tengah duduk di depan meja riasnya. Mengoleskan sesuatu pada wajahnya yang saya tidak tahu itu apa karena terlalu banyak macam dan wujudnya. Entahlah, setelah menikah saya menjadi lebih tahu seribet apa makhluk bernama perempuan itu. Dari pagi sampai malam, mereka memiliki ritual beraneka macam untuk kebutuhan wajah dan tubuh mereka. Namun saya menyadari bahwa Ratna sedikit berlebihan sekarang. Dia menjadi lebih suka berdandan dari sebelumnya. Perempuan itu bilang bahwa itu bawaan bayi di dalam perutnya. Yang sampai sekarang saya tidak mengerti dimana letak korelasinya.

Saya sendiri tengah mendudukkan diri di atas ranjang dengan laptop di pangkuan. Ada beberapa tugas saya yang belum terselesaikan. Ini biasa terjadi setiap malamnya. Ratna akan tertidur lebih dulu dan saya menyusulnya di beberapa jam kemudian.

"Aku nggak nyangka kalau mereka betulan pacaran," celetuk Ratna setelah keheningan lama menyelimuti kami.

Saya menghela napas pelan. "Rafka udah biasa gonta-ganti pacar. Kenapa sekarang kamu heran dia pacaran?"

"Heran karena cewek itu adalah Alfy. Menurut kamu, apa Alfy menerima dia karena benar-benar punya perasaan?" tanya Ratna lagi masih sambil mematut diri di depan cermin.

"Perasaan seseorang nggak pernah bisa ditebak, Ratna."

"Kamu cuma perlu menjawab iya atau nggak, Mas. Sesulit itu, ya?" balas Ratna yang kali ini membuat saya menghentikan aktifitas mengetik.

Saya menatap punggung Ratna sesaat. Kenapa dia menjadi sangat sensitif? "Iya atau tidaknya jawaban aku, apa itu akan menjadi jawaban yang sudah pasti benar? Opini aku, adalah iya. Alfy menerima Rafka karena memiliki perasaan. Lantas mengapa?"

Ratna membalik badannya, menatap saya. "Kamu nggak tanya opini aku?"

Saya hanya mendiamkan pertanyaan Ratna itu. Dari nada bicaranya saya menemukan ada keanehan di dalamnya. Dan tidak lama kemudian dia menjawab sendiri pertanyaannya.

"Menurut aku, Alfy cuma jadikan Rafka sebagai pelarian. Dan kamu tentu tahu karena siapa pelarian itu."

Jawaban Ratna membuat saya terkejut. "Maksud kamu apa, Ratna?"

"Alfy pacaran dengan Rafka sebagai pelarian dia atas kamu. Mustahil lulusan S2 dengan predikat mahasiswa terbaik seperti kamu tidak mengerti ini, Mas."

Emosi saya sedikit tersulut sampai membuat saya bicara formal pada Ratna. "Sedangkal itu pikiran kamu tentang Alfy, Ratna? Sekalipun Alfy belum memiliki perasaan pada Rafka, bukan berarti itu ada hubungannya dengan saya, kan?"

Ratna meninggalkan meja riasnya. Dia mengambil gelas yang berada di atas nakas dan meminum air putih di sana sebelum lanjut bicara. "Lalu bagaimana dengan kamu, Mas? Apa alasan kamu sampai pernah melarang Rafka untuk dekat dengan Alfy? Apa itu juga nggak ada hubungannya dengan diri kamu?"

Saya terdiam. Ratna tersenyum melihat keterdiaman saya. "Apa sebagai istri aku salah jika bertindak jauh untuk masalah ini? Kamu tidak ingin Rafka dekat dengan Alfy, oke aku terima. Lalu sekarang aku meragukan Alfy atas Rafka namun kamu masih berlawanan denganku? Apa yang sebenarnya ada di pikiran kamu, Mas?"

Mulut saya masih bungkam. Hingga akhirnya Ratna meloloskan pertanyaan yang membuat saya menatapnya tak percaya.

"Kenapa kesannya kamu selalu membela dia? Apa bagi kamu kisah kalian itu belum selesai?"

Ratna semakin tidak terkontrol. Saya bergerak menutup laptop dan memfokuskan untuk mengamati apa yang sebenarnya menjadi penyebab Ratna hilang kendali seperti ini. "Kamu terlalu berlebihan, Ratna."

"Iya, aku berlebihan!" Ratna meninggikan suaranya. "Aku cukup kuat untuk tetap diam selama ini, Rafli. Tapi sekarang, aku akan bertindak egois jika diperlukan."

Saya bangkit dari ranjang, menghampirinya. "Apa maksud kamu?"

"Aku akan pastikan tidak ada Alfy lagi, entah itu di hidup Rafka atau pun kamu!"

"Biarkan Rafka hidup dengan pilihannya, Ratna. Kamu nggak berhak atas hidup dia," balas saya sambil berusaha menggapai pundaknya namun dia tepis dengan cepat.

Ratna mengambil ponselnya, memainkannya di depan saya. Sekilas saya bisa melihat ia mengirimkan pesan pada sepupunya yang bernama Bela, dimana sejauh yang saya tahu bahwa Bela belum lama ini pindah ke sekolah tempat Rafka mengajar. Sampai akhirnya saya menemukan titik terang. Kenapa Ratna sampai berbuat sejauh ini?

"Jangan bilang kamu meminta Bela untuk mendekati Rafka di sekolah?"

"Itu sudah lama berjalan, Rafli. Aku hanya meminta Bela untuk lebih serius melakukannya."

Saya benar-benar hilang akal atas sikap Ratna kali ini. "What's wrong with you, Ratna? Kamu sudah melewati batas. Kamu ingin membuat Rafka bernasib sama seperti kita? Bersama karena kehendak orang lain?"

Gestur Ratna sontak berubah. Saya bisa melihat ada genangan bening di ujung matanya. "Bersama karena kehendak orang lain?" tanyanya dengan suara bergetar. "Kamu masih menganggap kita adalah sebuah paksaan, Raf?"

Saya tersadar kalau yang saya ucapkan tadi benar-benar melukainya. "Ratna, saya-"

"Cuma kamu yang berpikir bahwa hidup kita sekarang adalah paksaan, Raf. Cuma kamu."

Ratna meninggalkan saya setelah saya melihat ada air mata yang jatuh setelah dia menyelesaikan kalimatnya.

• • •

TBC!

Kalau ada typo, tolong dikomentari ya biar Ayy tau:)

AWAS YA KALAU GA VOTE DAN KOMEN!

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

Because I'am Antagonis Par alberich

Roman pour Adolescents

8.6K 585 4
Daniel Setya Hermansyah. Seorang pembunuh bayaran dengan nama samaran 'Twinlight' mengalami transmigrasi ke dunia novel dan memasuki tubuh seorang an...
13.1M 849K 69
Cerita ringan untuk menemani karantina kalian. Start: 7 Mei 2020 End: 22 Juni 2020 [Masih suka update meskipun udah tamat] ❄❄❄ "Emang kalau saya mau...
130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
12.4K 547 22
Laura pikir, sudah tak akan ada lagi pengganggu kedua di hubungan tanpa statusnya pada Lingga. Nyatanya, kedatangan adik sepupu Lingga yang menyukai...