LOVEBIRD

By zahirra

1.6M 74.9K 2.2K

Apa jadinya jika seorang Guarnino Amandio pria berusia 39 tahun dan seorang pebisnis handal harus berurusan d... More

LOVEBIRD
Lovebird 1
Lovebird 2
Lovebird 3
Lovebird 4
Lovebird 5
Lovebird 6
Lovebird 7
Lovebird 8
Lovebird 9
Lovebird 10
Lovebird 11
Lovebird 12
Lovebird 13
Lovebird 14
Lovebird 16
Lovebird 17
Lovebird 18
Lovebird 19
Lovebird 20
Lovebird 21
Lovebird 22
Lovebird 23
Lovebird 24
Lovebird 25
Lovebird 26 (re-post)
Lovebird 27
EPILOG

Lovebird 15

46.8K 2.3K 107
By zahirra

Cerita ini hanya fiktif belaka, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat waktu dan peristiwa karena itu hanya kebetulan semata tidak ada unsur kesengajaan.

***

Nino POV

Aku tersenyum bahagia setelah menutup telepon dari Melati. Ya, hari ini Melati akan memberikan jawabannya, aku sudah tidak sabar ingin mendengar kata 'ya' meluncur dari bibirnya yang merah mengoda itu, aku tidak keberatan membayar berapapun untuk memcicipi bibirnya. Dengan cepat ku bereskan semua pekerjaan yang masih berserakan di atas meja dan memasukkannya ke sebuah lemari file lalu menguncinya. Ku cancel beberapa meeting hari ini dan menyerahkannya sama Julian.

Hari ini sepeetinya aku tidak akan kembali lagi ke kantor karena mungkin aku dan Melati akan melakukan kencan romantis atau ngobrol apapun  sambil makan, atau jalan-jalan di taman sambil bergandengan tangan dan berakhir dengan sebuah ciuman manis yang tidak akan pernah kami lupakan. Romantis sekali rasanya.

Ku cari Naomi di mejanya untuk memberikan beberapa pekerjaan tapi dia tidak ada di tempat. Sedang istirahat mungkin aku tidak terlalu peduli meskipun terkadang Naomi sering bertingkah aneh,  bagiku tidak apa-apa asal dia jangan sampai merugikan kantor dan kalau sampai itu terjadi, aku yang akan membuat hidup Naomi tidak tenang selama sisa hidupnya.

Akhirnya aku menulis pesan singkat di note memberi dia beberapa  pekerjaan dan menempelkan di atas meja kerjanya supaya dia membaca dan melakukan pekerjaan yang aku suruh.

Ku hampiri meja asisten pribadiku yang bernama Giri dan memberikan dia beberapa intruksi untuk menghandle semua pekerjaanku hari ini. Dia asisten yang sangat pintar dan cekatan tanpa di suruh dua kalipun dia sudah langsung mengerti dengan apa yang aku mau, itu sebabnya aku selalu puas dengan hasil kerjanya karena dia tidak pernah mengecewakanku dalam hal apapun.

Dengan tenang ku tinggalkan kantor dan menuju restoran jepang di ujung jalan untuk bertemu dengan Melati, aku sengaja mengajaknya makan dan bertemu di sana karena sepertinya Melati sangat menyukai makanan jepang setelah dia menghabiskan jatah makan siangku waktu itu.

***

Di sinilah aku duduk di private room, tempat yang sudah aku pesan sebelumnya karena tidak ingin ada yang mengganggu kebersamaanku dengan Melati apalagi melihat tatapan orang-orang yang ingin tahu.

Tidak sampai sepuluh menit aku menunggu, Melati masuk dengan diantar seorang waitress, dia datang dengan membawa sebuah kotak yang berukuran 30x40 centi meter, meskipun tidak terlalu besar tapi tetap saja Melati seperti kerepotan. Aku tersenyum, menghampirinya dan mengecup pipinya.

"Apa kabar sayang dan apa yang kamu bawa itu?" Melati tidak menjawab pertanyaanku dia malah membicarakan cuaca yang akhir-akhir ini sangat panas.

"Duduklah dulu, aku akan pesan minuman yang akan membuat kamu lebih baik."

"Itu yang aku harapkan." Jawabnya sambil meletakkan kotak yang di bawanya di kursi kosong di sampingnya. Sebetulnya aku sangat penasaran dan ingin menayakan apa yang di bawa Melati, tapi sepertinya Melati  enggan untuk memberitahuku apa isi di dalam kotak itu.

Dia kemudian mengambil sumpit yang sudah tersedia di atas meja dan menyaggul rambut panjangnya dengan menggunakan sumpit, tampaklah leher jenjangnya yang sedikit berkeringat. Melati mengusap lehernya dengan tangan kanannya sekilas dan gerakan itu membuat aku menelan ludah.

"Apa?" Tanyanya dengan memberikan senyuman yang membuat aku semakin meleleh.

Ku tatap Melati heran, dia tidak seperti biasanya. Biasanya Melati akan langsung melotot atau melemparkan sesuatu kearahku dengan mengeluarkan kata-kata ajaibnya. Tapi Melati yang aku lihat sekarang ini lain, dia lebih tenang dan selalu tersenyum --mungkin Melati sedang bahagia--.

"Apa kamu ingin mengatakan sesuatu?" Pertanyaan penuh selidik keluar juga dari mulutku karena rasa penasaran.

"Tentu saja aku akan mengatakannya tapi nanti setelah kita makan. Aku lapar sekali."
Yes, aku tersenyum, sudah tidak sabar untuk mendengar kata 'ya' dari mulut mungilnya. "Baiklah kita pesan makanannya sekarang."

Seperti biasa, kami berdua makan dengan membicarakan banyak hal dari mulai perkembangan Tydes, sekolahnya Fio, perekonomian negara ini sampai dengan virus ebola yang menyerang Afrika dan menjadi issue hangat dunia.

Aku semakin mencintai perempuan di hadapanku ini, dia beda dari  kebanyakan wanita yang aku kenal, dia baik, dia pintar, dia tidak pernah ribut dengan penampilannya dan terutama dia tidak menyukaiku, Melati membenciku dari pertama kali kita bertemu dan terus berlanjut sampai Dina sahabatnya melahirkan, kalau saja Dina tidak melahirkan malam itu mungkin sampai sekarang aku harus terus berjuang mengejarnya dan melakukan berbagai cara untuk bisa mendapatkannya. Harusnya aku berterima kasih sama mereka karena mereka jugalah aku dan Melati bisa benar-benar dekat.

Percaya tidak percaya, aku sampai lupa dengan kegiatanku selama ini karena terlalu asik mengejar Melati, aku tidak pernah lagi berpesta dan berkencan dengan wanita yang berbeda setiap malamnya bahkan aku tidak pernah meniduri siapapun lagi. Entahlah Melati seperti magnet yang setiap hari menyedot seluruh energiku untuk terus memikirkannya dan anehnya aku bisa melalui malam demi malam tanpa memikirkan hasratku.

"Mel." Mataku tidak pernah bosan manatap wajah cantiknya.

"Hmm." Jawabnya menatapku sekilas lalu kembali fokus mengaduk-aduk minumannya. Aku tersenyum dan memegang tangannya. Dia tersentak kaget dan sedikit gugup tapi tidak berusaha melepaskannya, dia membiarkannya.

"Ada apa?" Tanyaku penasaran. Setelah beberapa bulan mengenal Melati, aku tau betul perubahan suasana hatinya, aku tau kapan dia panik, kapan dia marah, gelisah dan sedih.

"Mel." Dengan sabar aku menunggu dia berbicara.

"Ehm, ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Jawabnya akhirnya, Aku tersenyum memaklumi kegelisahannya, kita berada di sini memang untuk membicarakan hal itu bukan.

"Baiklah, apa jawabannya?" Tanyaku langsung ke pokok.permasalahannya,

Melati diam beberapa saat dan menatapku ragu, ku remas jari tangannya bermaksud untuk menenagkannya, tidak gampang memang untuk menjawab 'ya' tapi setidaknya dia mau untuk mencobanya.

"Ehm....." Melati berdehem dan menarik napas. "Ak-aku....." Dia semakin gelisah. Dengan sabar aku menunggunya berbicara lebih lanjut.

Perlahan dia mulai melepaskan tangannya dari genggaman tanganku, aku menyipitkan mata menatapnya heran. Entah kenapa hatiku tiba-tiba saja merasa tidak enak, pirasatku mengatakan sesuatu yang buruk akan menimpaku.

"Maafkan aku." Bisiknya nyaris tidak terdengar.

"Maafkan aku, aku tidak bisa." Hancur hatiku mendengar kata penolakan darinya, kepalaku seperti di lempar batu besar, tiba-tiba saja aku merasa pusing dan tidak ingin mendengar apapun yang akan di katakan Melati selanjutnya.

"Aku belum siap." Melati menatapku dengan tatapan nanar.

"Maafkan aku Nino, aku tau kamu kecewa, tapi aku betul-betul tidak siap untuk di kecewakan, aku takut, terlalu takut untuk jatuh cinta. Maafkan aku, aku harap kamu tidak kecewa dan mengerti dengan keadaanku." Dengan cepat ku genggam tangan Melati, berusaha menyakinkannya bahwa cinta itu ada dan aku mencintainya melebihi mencintai diriku sendiri, aku siap berubah untuknya.

"Mel, beri aku kesempatan satu kali dan aku akan menunjukan padamu, bahwa aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Aku mencintaimu dan selamanya akan seperti itu." Melati menggelengkan kepalanya, dia tidak terlalu yakin dengan ucapanku.

"Beri aku waktu dan aku akan membuktikannya sama kamu."

"Maaf." Kembali Melati menggelengkan kepalanya. Aku mengerang frustasi.

"Apa yang harus aku lakukan untuk menyakinkan kamu?"

"Jauhilah aku."

"Mel."

"Terima kasih untuk semuanya." Melati menyerahkan kotak yang tadi di bawanya, dia lalu berdiri dan pergi begitu saja tanpa melihat kearahku lagi.

"Mel, tunggu. Kita bisa membicarakan ini, kita bisa membicarakan semuanya. Mel." Tapi percuma Melati malah berlari keluar sampai menubruk seorang waitress yang menghalanginya.

Sesaat aku diam karena shock dan setelah kesadaanku pulih, aku berlari mengejar Melati tapi tidak menemukannya, cepat sekali dia berlari dan menghilang. Aku berlari ke arah parkiran berusaha mencari mobilnya siapa tahu Melati belum jauh, tapi aku harus menelan rasa kecewa dia sudah tidak ada di sana, akhirnya dengan lemas aku kembali ke tempat semula tempat dimana aku dan Melati menghabiskan waktu beberapa jam untuk membicarakan semua hal. Aku duduk di kursi tempat Melati tadi duduk dan menatap kotak yang di berikannya, hadiah terakhir yang di berikannya sebelum dia pergi meninggalkanku.

Dengan enggan aku membuka kotak pemberiannya. Mataku terbelalak menatap isinya. Tidak di sangka ternyata Melati menyimpan semua bunga yang aku berikan selama tujuh hari penuh, dia telah berbohong dengan mengatakan berbagai macan alasan. Melati ternyata menghargai pemberianku. Tanpa sadar aku menitikkan air mata bahagia meskipun hatiku hancur karena penolakkannya. Ku ambil bunga melati yang telah layu, bunga pertama yang aku berikan untuknya, bunga yang sama dengan namanya tapi Melati tidak pernah menyukainya, Mataku beralih menatap kotak cincin berwarna biru, kotak yang aku berikan untuk Melati dua minggu yang lalu. Melati juga mengembalikan cincin yang sempat aku sematkan di jari manisnya lalu ku genggam kotak cincin itu dengan erat.

Berbagai kenangan mulai memenuhi pikiranku, dari mulai aku mendengar suaranya, bertemu dengannya di rumah sakit sampai kejadian dimana aku akan menciumnya dan di gagalkan oleh  Naomi. Aku tidak mungkin bisa melupakannya dan aku tidak yakin bisa menjalani hari-hariku tanpa Melati, setelah beberapa bulan bersama. Melati adalah obat buat jiwaku yang sepi, dia mampu membuat hari-hariku menjadi penuh warna, dia juga selalu bisa mengembalikan moodku yang buruk, dia bagaikan oase di padang yang gersang, dia selalu bisa membuat hari-hariku lebih menyenagkan.

Mel, kamu benar-benar keterlaluan telah meninggalkanku tanpa alasan yang jelas, aku mengerti dengan trauma yang kamu hadapi tapi setidaknya kita bisa mencobanya.Tolong berikanlah aku kesempatan untuk memperbaiki diri.

Lama sekali aku terdiam dan berpikir sampai akhirnya aku putuskan, aku tidak akan menyerah begitu saja, aku harus bisa mendapatkannya dengan cara apapun. Melati harus menjadi milikku.

***

"Hallo, Dokter Kinanti. Saya sudah siap Dok. Kapan saya harus berangkat? " Melati menelepon Dokter Kinanti dari toilet wanita di restoran yang sama dengan Nino,karena hanya tempat ini satu-satunya yang tidak mungkin di datangi Nino, Melati langsung berlari ke arah toilet wanita ketika Nino berusaha mengejarnya, dia bersembunyi di sana sampai benar-benar yakin Nino sudah pergi dan tidak mencarinya.

Melati menunggu jawaban dari Dokter Kinanti lawan bicaranya, dia menganggukan kepala seolah-olah Dokter Kinanti ada di depannya.

"Baiklah saya mengerti, apa malam ini saya bisa menginap di rumah dokter sebelum saya berangkat?" Melati tidak ingin di ketahui keberadaannya oleh siapapun, dia tidak ingin menemui siapapun sebelum berangkat, kalau hanya untuk pamit sama Ibu dan Bapak bisa di lakukannya besok sebelum dia berangkat.

"Baiklah terima kasih banyak Dok." ucapnya dengan tulus. "Satu lagi Dok, saya minta sama Dokter jangan memberitahukan kepada siapapun tentang keberangkataan saya." Rupanya Dokter Kinanti mengerti dengan keinginan Melati, karena tidak lama setelahnya Melati menutup teleponnya dan  sedikit tersenyum lalu  mengucapkan terima kasih.

Melati keluar dari dalam toilet dan bergegas kejalan raya untuk menyetop taksi, sengaja Melati tidak membawa mobil untuk menemui Nino karena dia tahu Nino tidak akan menerima begitu saja keputusannya dan Nino pasti mengejarnya sampai keparkiran. Beruntung, Melati tidak perlu menunggu lama karena ketika dia sampai di pinggir jalan sebuah taksi lewat di depannya. Dengan cepat Melati naik dan menyuruh sopir taksi mengantarkannya ke tempat tujuan.

***

Nino duduk di balik kemudi dan menatap kotak yang berikan Melati di sampingnya, lama sekali dia termenung dan berdiam diri, beberapa kali dia mengusap wajahnya dan menarik napas panjang lalu mengerang frustasi sampai akhirnya menelukupkan kepalanya di atas stir.

"Apa yang harus aku lakukan." Gumamnya pada diri sendiri.

Nino kemudian mengeluarkan ponselnya dan mencoba  menghubungi Melati sekali lagi, berharap ponselnya tidak di matikan. Tapi lagi-lagi Nino harus kecewa karena ponsel Melati tidak aktif, yang terdengar hanya suara operator.

Jalan satu-satunya untuk membuat Melati percaya padanya yaitu dengan membuktikan bahwa dia bersungguh-sungguh dengan ucapanya dan Nino pun  menjalankan mobilnya menuju apartement Melati untuk meyakinkannya.

Tidak perlu waktu berpikir untuk menyelesaikan dan membicarakan semuanya, Nino beberapa kali meminjit bel yang ada di pinggir pintu, di tunggunya beberap menit tapi tidak ada yang membuka pintu, dia mencoba sekali lagi hasilnya tetap sama tidak ada seorangpun yang membukakan pintu. Dengan kesal Nino menggedor pintu apartement Melati berharap Melati ada di dalam dan mau berbicara dengan dengannya. Tapi nihil, apartementnya tetap sepi malah ada beberapa orang tetangga yang membuka pintu apartementnya karena merasa terganggu.

Nino tidak patah semangat dia melanjutkan pencarian ke panti asuhan milik Melati siapa tahu Melati bersembunyi di sana. Melati tidak punya tempat persembunyian lain untuk menghindarinya selain apartement dan panti asuhan.

Pak Seno sangat ramah menyambut kedatangan Nino, dia bayak bercerita tentang Melati dan panti asuhan yang didirikannya. Sebelum akhirnya bertanya maksud kedatangan Nino ke panti ini, dengan singkat Nino menceritakan pertemuan terakhirnya dan menayakan keberadaan Malati.

"Sudah dua hari ini Melati tidak datang kesini." Jawab Pak Seno sedih. Nino terus memperhatikan raut muka Pak Seno mencari kejujuran di sana siapa tahu Pak Seno bersekongkol dengan Melati untuk membohonginya tapi sepertinya Pak Seno berbicara jujur, dia tidak tahu menahu Melati ada di mana saat ini.

"Kalau begitu, tolong hubungi saya Pak kalau Melati datang ke sini. Ada banyak hal yang sangat penting yang ingin saya bicarakan dengannya." Nino sudah tidak tahu lagi harus mencari Melati kemana.

"Kalian tidak sedang bertengkarkan?" Pak Seno menatap Nino lekat.

"Lebih dari itu Pak." Nino menjawab putus asa.

"Bisa tolong ceritakan apa yang terjadi." Pak Seno hanya ingin tahu apa yang terjadi dengan kehidupan asmara putrinya.

Nino menarik napas panjang sebelum akhirnya menceritakan semuanya dari awal sampai akhir tidak ada yang terlewat sedikitpun, termasuk tentang bunga pemberiannya yang di simpan Melati. Sementara itu Pak Seno mendengarkan dengan seksama sambil menganalisa semua penjelasan Nino.

"Melati pergi begitu saja tanpa mau mendengarkan penjelasan saya Pak." Ucap Nino di akhir ceritanya.

"Apa kamu tahu Melati punya trauma di masa lalunya."

"Ya, Fere pernah mencerita-kan-nya." Nino berbicara lambat-lambat karena dia teringat sesuatu. Fere, kenapa tidak terpikir olehnya untuk bertanya sama Fere, bukankah istrinya Fere teman baik Melati.

"Bersabarlah, menghadapinya. Melati butuh tempat untuk menenangkan diri dan berpikir. Kalau nanti dia datang ke sini pasti akan Bapak sampaikan semuanya."

"Terima kasih banyak Pak. Saya sangat mengandalkan Bapak."

"Ya, sama-sama."

Setelah berbasa-basi sedikit dengan Pak Seno dan pamit pulang  Nino memutuskan untuk menemui Fere. Tanpa membuat janji terlebih dahulu dengan Fere dia langsung mendatangi kantor Fere, beruntung  Fere sedang berada di tempat dan tidak keberatan untuk mendengarkan kegalauan hatinya.

"Jadi Melati pergi dan sulit di temui setelah kamu mengajaknya berkomitmen." Fere baru berkomentar setelah Nino menyelesaikan semua ceritanya.

"Ya, aku sudah mencarinya ke semua tempat yang biasa di kunjungi Melati tapi tidak menemukannya siapa tahu dia sekarang bersama Dina."

"Sudah beberapa minggu ini aku memang tidak melihat Melati menemui Dina, tapi aku coba tanya Dina dulu." Fere mengeluarkan ponselnya dan menelepon Dina.

Sesaat Nino mendengarkan dan menunggu Fere selesai berbicara dengan istrinya. "Bagaimana?" Tanyanya tidak sabar setelah Fere menutup teleponnya.

"Dina sekarang sedang berada di rumah Ibunya dan dia tidak bersama Melati, dia tidak tahu Melati dimana."

"Apa yang harus aku lakukan sekarang Re?" Nino menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa dan menutup mukanya dengan tangan.

"Sewa, seseorang untuk mencari keberadaan Melati."

"Caranya?" Nino berubah bego membuat Fere tertawa ngakak.

"Aku nggak nyangka ternyata wanita seperti Melati yang bisa merubah hidup playboy seperti kamu. Lihat diri kamu sekarang  baru beberapa jam Melati menghilang kamu sudah seperti ini" Fere melihat penampilan Nino yang kusut dan menertawakan otaknya yang sudah tidak bisa berpikir. "Bagaimana kalau Melati pergi berbulan-bulan."

"Pastikan aku tidak akan hidup." Jawab Nino asal.

"Jaga ucapan kamu di dengar malaikat pencabut nyawa, tau rasa kamu."

Nino dan Fere diam sesaat sampai Fere kembali membuka percakapan. "Bagaiman kalau kita sewa Mr. David. Dia informan handal, dulu juga aku memakai jasanya untuk mendapatkan Dina."

Sebetulnya Nino sangat tertarik untuk mendengar kisah cinta Fere dan Dina yang katanya sangat singkat itu, tapi dia tidak ada waktu untuk mendengarkan kisah bahagia seseorang sementara dirinya merana. "Apa dia bisa di andalkan?" Tanya Nino akhirnya.

"Ya, dia informan terbaik yang aku tau."

"Hubungi dia, aku tidak mau menunggu lebih lama lagi."

"Pasti."

***

Ternyata informan yang katanya informan terbaik itu tidak bisa membantu Nino sama sekali, meskipun sekarang sudah satu bulan tapi dia belum memberikan kabar apapun tentang keberadaan Melati, begitupun dengan Pak Seno, hampir setiap hari Nino meneleponnya hanya sekadar untuk menayakan apa Melati sudah menghubunginya atau belum dan jawaban Pak Seno selalu sama tidak ada kabar dari Melati. Itu yang membuat Nino frustasi dan putus asa sampai dia kembali ke kehidupan lamanya.

Nino menenggelamkan dirinya dalam pekerjaan dan lebih suka menghabiskan waktu luangnya dengan mengunjungi club-club malam tanpa memikirkan Fio dan Tydes kedua anaknya, dia sudah tidak peduli lagi dengan keberadaan mereka, hidupnya sekarang sudah tidak berarti lagi dia sudah hancur benar-benar hancur setelah Melati pergi meninggalkannya.

Dan Nino pun sebetulnya sudah malas untuk menjalankan perusahaannya, dia sudah tidak mau ngapain-ngapain lagi tapi dia tidak bisa meninggalkan perusahaannya begitu saja karena banyaknya orang yang menggantungkan hidup pada dirinya. Dia menjalankan perusahaan yang di bangunnya dengan susah payah semata-mata karena bentuk tanggung jawabnya sebagai pemilik perusahaan.

Seperti pagi ini Nino datang ke kantornya dengan mood yang sangat buruk, tidak heran hampir semua karyawan yang mendekat kena getahnya, Nino memarahi mereka semua tanpa alasan yang jelas, dia mengkritik cara berpakaian mereka, kebiasaan mereka sampai yang paling fatal adalah pekerjaan mereka, salah sedikit saja Nino langsung mancak-mancak dan mengancam akan memecat mereka sehingga tidak ada seorang karyawan yang berani mendekat.

Naomi pun tidak berani mendekat, setelah Nino memarahinya karena dia sibuk dengan kaca dan bedak di tangannya, Nino membanting pintu ruang kerjanya dengan sangat keras sampai Naomi dan Giri yang berada di balik mejanya terlonjak kaget. Tapi tidak berapa lama Nino membuka kembali pintunya dan menyuruh Giri masuk "Kamu, masuk keruangan saya!"

Giri menelan ludahnya, dia berdiri dengan menarik napas panjang dan melangkahkan kakinya masuk ke ruangan Nino yang dingin lebih dingin dari biasanya. Dia sudah siap dengan amukan Nino meskipun dia tidak tahu apa kesalahannya.

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" Tanyanya sopan teramat sopan sampai Nino muak mendengarnya.

"Susun dokumen yang ada di lemari file berdasarkan tanggal, bulan dan tahunnya. Saya mau istirahat." Perintah Nino membuat Giri mematung karena tidak menyangka atasannya menyuruhnya mengerjakan semua itu.

Merasa tidak mendengar jawaban sedikitpun Nino berbalik dan menatap Giri. "Kenapa? kamu keberatan. Kalau begitu berhenti jadi asisten saya!"

"Ti-tidak Pak, sama sekali tidak." Giri berjalan drngan gugup menuju lemari file dan berdiri di depannya, dia bingung harus memulai dari mana pekerjaan.

"Susun dari yang paling bawah." Teriak Nino yang sedang berbaring di atas sofa dengan menutup matanya menggunakan lengannya.

Giri tersenyum dalam hati meskipun atasannya itu tidak melihatnya tapi dia tahu kebingungan yang sedang di hadapinya. Giri berjongkok dan mulai mengerjakan apa yang di suruh Nino. Sebetulnya Nino atasannya itu orang yang baik sangat baik malah dia selalu menghargai semua pekerjaan karyawannya dan dia juga seorang atasan yang loyal tapi entah mengapa selama satu bulan ini atasannya itu berubah drastis, dia berubah menjadi orang yang pemarah, tidak pernah tersenyum dan selalu menyuruh karyawannya mengerjakan hal-hal yang tidak penting, seperti kali ini Giri di suruh Nino membereskan file yang sudah tentu bukan bagian dari  pekerjaannya.

Nino tersenyum sinis, dia mengangkat bibir atasnya sedikit, dia tahu pasti Giri tidak suka dengan apa yang di perintahkannya dan dalam hatinya Giri mengumpat panjang pendek. Tapi Nino puas dengan apa yang di lakukannya, setidaknya setelah marah-marah suasana hatinya menjadi lebih baik dan tidak terlalu memikirkan Melati.

Dengan berpura-pura tertidur Nino berusaha mengistirahatkan tubuh lelahnya karena semenjak Melati pergi Nino tidak pernah bisa tidur nyenyak, dulu ketika suara tangisan Tydes terdengar hampir setiap malam Nino tetap menikmatinya walaupun kurang tidur, tapi sekarang dia tidak pernah lagi bisa tidur menunggu kabar Melati yang entah berada di mana.

Tidur Nino terganggu ketika samar-samar terdengar suara nada dering ponsel yang tidak begitu familiar Nino meruncingkan pendengarannya sampai suara ponsel itu berhenti tapi tidak berapa lama suaranya kembali terdengar dan dengan cepat Giri mematikan teleponnya. Kembali suaranya terdengar membuat Nino naik pitam.

"KENAPA TIDAK KAMU ANGKAT.BIKIN PUSING SAJA!" Teriak Nino di dalam tidurnya.

Ini suara keempat yang terdengar dan kali ini Giri langsung mengangkatnya. "Ya, Hallo Mel. Ada apa?" Tanya bisik-bisik,

Nino mempertajam pendengarannya, ketika Giri menyebut 'Mel' yang artinya Melati dia langsung terduduk dan mendengarkan pembicaraan Giri.

"Iya, Melati di jemput sama Ibu saja dulu. Hari ini mas gak bisa banyak pekerjaan. Gak apa-apakan? besok mas janji mas pasti jemput Melati." Nino berdiri tanpa menghiraukan pusing di kepalanya dia menghampiri Giri dan merebut ponsel dari tangan Giri.

"Siapa kamu sebenarnya? kenapa Melati menghubungi kamu?" Dengan kesal Nino melempar ponsel Giri ke dinding sampai hancur berantakan.

Giri hanya melongo antara kaget dan tidak mengerti dengan apa yang di katakan atasannya, dia juga sempat menyayangkan ponsel barunya yang hancur di tangan Nino tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam ketakutan.

"MELATI-MELATI SIAPA?" Bentak Nino yang melihat Giri diam ketakutan.

"Di-dia adik saya Pak. Maaf kalau teleponnya mengganggu Bapak."

Nino mengusap wajahnya, dia sekarang sudah benar-benar gila, dia terlalu merindukan Melati, dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri ketika seseorang menyebut namanya. Tanpa sadar Nino  berjalan ke arah meja kerjanya dan duduk di kursi kebesarannya.

"Melati sudah membuat hidupku cukup berantakan." Katanya dengan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Maafkan saya Pak, saya tidak bermaksud membuat Bapak sedih."

"Tidak apa-apa, duduklah temani aku ngobrol. Dan tolong ceritakan adik kamu yang bernama Melati itu." Setidaknya rasa kangen Nino akan sedikit terobati kalau Giri mau berbagi cerita tentang Malati adiknya itu.

Giri sempat ragu, dia tidak percaya dengan apa yang di dengarnya tapi dia menuruti saja ketika atasannya menyuruhnya duduk.

"Berapa tahun umurnya?" Tanya Nino tanpa melihat Giri.

"Euhm, masih enam tahun Pak, baru masuk sekolah dasar." Tiba-tiba saja Nino tersenyum mengingat Melatinya, secantik apa Melati ketika berusia enam tahun?

"Kalau Melati kamu berusia enam tahun berarti selisih umur kalian."

"Sembilan belas tahun Pak, Ibu mengandung Melati ketika saya kelas tiga SMU."

"Ya,ya aku mengerti." Nino menganggukan kepalanya "Apa Melati kamu itu luar biasa?"

"Sangat Pak, sangat luar biasa. Dia anak yang ceria dan penuh semangat meskipun dia di besarkan tanpa seorang Ayah tapi Melati selalu optimis memandang masa depannya." 

"Apa ayah kamu?"

"Ya, Ayah kami meninggal tepat ketika Ibu mengandung Melati tiga bulan." Nino menatap Giri memintanya untuk menceritakan Ayahnya.

"Ayah saya meninggal tertabrak kereta api ketika dia berusaha untuk menyelamatkan seseorang yang hendak bunuh diri."

"Berarti Melati tidak mengenal sosok Ayahnya sedikitpun." Giri tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Tapi Melati masih punya saya Pak."

"Ya, Melati kamu lebih beruntung dari Melatiku, dia yatim piatu kedua orang tuanya telah meninggal. Bisa aku lihat fotonya?" Nino cukup penasaran dengan Melati yang lebih beruntung dari Melatinya.

"Maaf Pak, semua fotonya ada di ponsel yang tadi Bapak lempar." Giri menyesal karena tidak bisa memperlihatkan wajah Melati adiknya. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Ahh.....ya, saya baru ingat. Ada Pak di dompet saya." Buru-buru Giri mengeluarkan foto Melati yang sedang tersenyum menatap kamera dengan gigi ompongnya.

Nino mengambil foto Melati kecil dan menatapnya lekat. Apa Melatinya juga seperti ini ketika berusia enam tahun, rambut berponi dengan pipi chubby dan bergigi ompong.

Nino tersenyum dan mengeluarkan ponselnya "Melatiku seperti ini." Katanya dengan bangga dia memperlihatkan foto Melati yang sedang tertawa dan menampakkan giginya yang putih tersusun rapi.

"Wah, cantik sekali dia Pak." Giri terkagum-kagum melihatnya.

"Ya, Melati seorang Dokter. Dokter kandungan." Jawab Nino dengan sedih karena mungkin dia tidak akan bertemu lagi dengan Melatinya.

"Kalau di lihat dari fisik, dia sangat cocok dengan Bapak. Pak Nino dan Dokter Melati pasti akan menjadi pasangan yang sangat luar biasa."

"Tapi sayang dia sudah pergi. Malah sekarang aku tidak tahu dia berada dimana."

"Maafkan saya Pak, saya tidak bermaksud untuk membuat Bapak sedih."

"Tidak apa-apa. Setidaknya kangenku terobati karena ternyata kita berdua mempunyai Melati yang sama." Nino menarik napas panjang lalu tersenyum, hatinya mulai membaik setelah dia berbagi cerita dengan sesrorang tentang Melati.

"Oh, iya. Berapa harga ponsel kamu?" Tanyanya dengan mengeluarkan cek dari dalam lacinya dan menuliskan sesuatu di atasnya.

"Segini cukup. Aku harap cukup. Pake ini untuk membeli ponsel kamu yang rusak." Nino menyerahkan ceknya. Dengan sedikit ragu Giri mengambil cek yang di berikan Nino, mata Giri tidak berkedip ketika melihat nominal yang cukup besar tertera di sana. "Maaf Pak Nino ini terlalu besar, ponsel saya hanya tiga juta rupiah." Sedangkan di cek itu tertulis dua puluh juta rupiah.

"Maka simpanlah sisanya untuk masa depan Melati." Dengan tulus Nino memberikan uang itu untuk Melati adiknya Giri, Nino berharap Melati kecil akan seperti Melatinya tegar dan mandiri.

Mata Giri berkaca-kaca, dia hampir menagis dengan kebaikan bosnya. "Terima kasih banyak Pak. Pasti uang ini akan sangat bermanfaat untuk Melati."

"Sampaikan salam saya untuk Melati."

"Pasti Pak, pasti akan saya sampaikan dan saya doakan semoga Melati Bapak cepat kembali."

"Terima kasih. Ya, sudah sekarang kerjakan apa yang tadi aku suruh, kalau belum selesai jangan harap kamu bisa pulang cepat. Lemburlah."

"Baik Pak." Jawab Giri penuh semangat, dia pasti akan membereskan pekerjaannya dengan senang hati. Apalagi setelah melihat Nino yang terlihat lebih baik dari sebelumnya walaupun gurat-gurat kesedihan masih tergambar jelas di wajahnya.

"Ya, sudah tunggu apa lagi?" Nino menatap Giri yang belum beranjak dari duduknya, lalu Nino mulai mempelajari berkas yang sudah tiga hari ini berada di meja kerjanya. Moodnya sudah lebih baik setelah dia dan Giri membicarakan Melati meskipun dalam versi yang berbeda.

"Apa makanan kesukaan Melati kamu Giri?" Tanya Nino sambil membubuhkan tandatangannya kedalam berkas yang di pegangnya.

"Cokelat, Melati paling suka makan cokelat." Jawab Giri sambil berjonggkok menyusun file dari lemari bagian bawah.

"Melatiku lebih suka makanan Jepang." Nino berhenti sejenak dan tersenyum mengingat pertemuan terakirnya dengan Melati di restoran Jepang.

"Ibuku paling jago memasak makanan Jepang."

"Pastikan buatkan aku makanan itu setelah Melati kembali." Jawab Nino optimis bahwa Melati pasti akan kembali meski tidak tahu kapan.

***

Continue Reading

You'll Also Like

70.8K 6K 47
#Elemen Bima Sanjaya. #Kallana. BUCIN AREA!!! Ketika dua orang yang saling ingin membalaskan dendam di pertemukan. Dipersatukan oleh takdir dan keada...
6.4K 785 11
Terpaksa menikah dengan pria lebih muda, membuat Serena uring-uringan tapi tak bisa berkutik. Apalagi ini menyangkut nyawa seorang Ibu. Mau tak mau...
4.1M 124K 87
WARNING ⚠ (21+) 🔞 𝑩𝒆𝒓𝒄𝒆𝒓𝒊𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒘𝒂𝒏𝒊𝒕𝒂 𝒚𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒆 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 �...
4.4K 479 37
Selain orang tua, yang kumiliki adalah dia. Tidak ada yang bisa mengerti diriku sebaik dia. Tidak ada yang bisa melindungiku sebaik dia. Tidak ada ya...