Suami Bar-Bar Dokter Cantik

Por Aydhaa_Aydhaa

9.4K 1K 315

Mata bulat besar Nayla terbelalak. Merasakan hangat di bibirnya oleh pria tersebut secara lembut. Yasa seolah... Mais

Pertemuan Pertama.
Again
Keputusan Terakhir.
Kejutan Khusus!
New Father
Ikatan Tulus
Dilema ....
Kejujuran Itu Sulit ...
Serius?
Broken Heart
Masa Lalu Yang Kelam
Sick
Perlindungan
Lamaran
First Kiss
Siasat Sebenarnya
Namanya Juga Usaha
Love The Way You Are❤

Luka Lama

387 59 11
Por Aydhaa_Aydhaa

Spesial lagu buat part ini.😊

Pembukaan.

“Apa lo bisa ngerti perasaan gue, Nay? Di saat pernikahan kita udah di depan mata dan batal oleh orang lain. Gue ngerasain sakit yang gak beralasan. Di saat seharusnya gue bisa nolak permintaan lo, tapi gue selalu dateng lagi dan lagi sampe gue lupa bahaya apa yang ngehadang di depan. Menurut lo, apa artinya perasaan gue?”

Yasa menatap Nayla begitu lekat, bahkan wanita itu tak mampu membalas tatapannya walau hanya sedetik.

“Itu karena kamu terlalu baik. Kamu ngerasa punya tanggungjawab penuh atas kebahagiaan saya dan Vano.” Nayla masih tertunduk, dia terlalu sulit mengangkat wajah menjawab pertanyaan Yasa.

Ada banyak alasan yang bisa dikeluarkan oleh manusia. Dan Nayla belum menemukan alasan apa sehingga dia sendiri merasa sedih sekarang.

“Gue cinta sama lo, Nay.”

“A-apa?” Nayla tidak percaya kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Yasa. Pria itu kembali mendekat dan meraih kedua tangannya lagi begitu lembut.

“Gue tau. Bukan pertama kali gue ngerasain ini, mungkin lo adalah wanita kesekian yang jadi daftar cinta gue, Nay. Tapi yang gue lakuin sekarang berbeda, umur 30 taun udah bukan waktunya buat main-main. Gue mau kita serius ….”

“Gak mungkin. Perasaan kamu gak mungkin berubah sangat cepat. Kamu cinta Thea pasti udah tahunan! Jangan coba ngasih saya harapan lebih, Yas. Udah cukup saya menanggung penderitaan selama ini karena pria—"

“Gue tau!” Yasa mengeratkan pegangan saat Nayla mencoba menepis tangannya. Sebisa mungkin Yasa tidak ingin menyakiti perasaan Nayla … jika bisa. Namun, dia sadar diri. Manusia pasti selalu melakukan kesalahan.

“Apa karena gue bukan si makhluk astral, makanya lo gak percaya sama gue?” tanya Yasa.

“Bukan begitu, Yas.”

“Terus kenapa lo masih ragu? Gue tau, lo udah tau sifat asli gue kaya gimana. Gue juga sering bilang kalau gue pria kasar yang selalu seenaknya sendiri. Gue pantang diatur, gue bakal ngelakuin apapun atas kemauan sendiri.”

Nayla masih belum berani membalas perkataan Yasa padanya. Dia tertunduk, membiarkan hatinya mengambil alih. Mengambil keputusan apakah Yasa pria yang tepat untuk masa depannya kelak.

“Tapi gue udah janji buat ngerubah sifat buruk itu, ‘kan? Gue masih inget, Nay. Vano jadi saksinya, kalau gue bakal jadi suami yang baik supaya bisa ngebahagiain kalian. Lo gak tau seberapa jauh gue belajar buat semua itu, bahkan gue bela-belain nonton drakor tiap malem selama sebulan biar bisa romantis. Kalau orang tau, harga diri gue bisa nyemplung ke got. Tapi itu gue lakuin buat lo. Dan sekarang … sekarang gue sadar … jatohnya  jadi lebay. Sorry ….”

“Kenapa kamu minta maaf?”

“Mana gue tau!”

Nayla terkekeh kecil. Baru kali ini dia menemukan pria yang bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapi wanita.

“Belajar jadi orang lain tuh, susah. Dan setelah dipikir lagi, ngapain cape-cape jadi orang lain kalau ujungnya lo tetep suka sama gue? Mending jadi diri sendiri, ye, kan.” Yasa menyeringai nakal. Membuat mata bulat besar Nayla seolah ingin keluar karena marah.

“Jangan kegeeran! Siapa juga yang suka sama kamu?!”

“Kalo gak suka kenapa lo diem aja tadi? Lenapa lo gak nabok gue atau nendang tulang kering gue, huh?” tanya Yasa.

“Saya … saya ….” Nayla mengulum bibir, dia sendiri heran kenapa bisa reaksinya sangat lambat. Perlakuan spontan Yasa telah memudarkan kinerja otaknya dalam sekejap.

“Ya, udah. Gue pergi dulu. Jangan lupa tidur, biar gak nambah-nambah pasien di rumah sakit.” Yasa tersenyum.

Dia melangkah meninggalkan rumah Nayla sebelum wanita itu membalas ucapannya.

***

“Buset, dah, ni orang dari tadi gak pergi-pergi. Lagi ngapain si? Udah 4 jam lo duduk di sini. Gak tepos apa?” tanya Galang sekaligus menarik kursi untuknya duduk.

Sudah hampir empat jam Yasa berada di restoran milik Galang dengan beberapa map, buku juga laptop yang tergeletak di atas meja makan. Pria itu amat serius duduk di sana tanpa mempedulikan orang-orang yang hilir-mudik di dekatnya.

“Suka-suka guelah. Gue bayar duduk di sini, bukan ngutang,” jawab Yasa. “Jangan ganggu gue. Gue ini orang paling sibuk, setiap detiknya berharga.”

Yasa sesekali menyeruput kopi hitam miliknya. Minuman yang telah dua kali dipesan selama duduk di tempat ini. Pekerjaan yang dia kerjakan via online di hadapannya cukup menumpuk dan sangan menguras pikiran.

“Ck. Apa gue keliatan peduli?” ejek Galang. “Kata Thea, semalem lo pergi sampe pagi. Ke mana?” tanya Galang.

“Kepo ….”

“Nyesel udah nanya!”

“Hmmh. Jangan ngomong mulu! Gue salah ngitung ntar bisnis gue rugi!” protes Yasa yang kembali serius dengan pekerjaan di latopnya.

Tak berapa lama. Ada dua orang pria datang menghampiri meja Yasa, pria itu belum menyadari karena terlalu sibuk dengan urusan sendiri. Sampai Galang yang memutuskan menyapa mereka lebih dulu.

“Maaf. Kalian berdua siapa?”

“Saya ada perlu dengan Tuan Alan.”

“Tuan Alan?” Galang mengernyit, dia merasa asing dengan nama itu. “Tapi saya gak kenal sama orang yang Anda maksud.”

Yasa mengehntikan aktivitasnya. Sebab hanya orang tertentu yang tahu nama itu. Dan di sini, hanya David yang tahu. “Kalian ada perlu apa emang?”

“Tuan kami ingin bertemu dengan Tuan Alan. Jadi, saya harap Tuan Alan mau ikut dengan kami ke tempat yang sudah ditentukan.”

“Siapa tuanmu? David? Kalau emang dia, bilangin Tuan Alan gak sudi.”

“Ini permintaan Tuan Karl.”

Tap!

Yasa terkejut bukan main. Jantungnya seolah berhenti berdetak dalam sesaat mendengar nama itu disebut. Dia terdiam beberapa saat menimbang apakah ini hanya jebakan David atau bukan.

“Benarkah?”

“Benar, Tuan. Saya bisa menghubungi Tuan Karl lebih dulu jika Anda—”

“Gak perlu. Gue pergi sekarang.” Yasa merapikan semua barang di atas mejanya. “Gue nitip di sini. Awas kalo sampe ilang. Gue bisa bikin lo makan lewat idung,” ujar Yasa sekaligus menyerahkan barangnya di atas meja.

“Lo kalau ngomong seenak dengkul. Udah nyuruh gak pake permisi lagi! Lo kira gue babu lo apa?” protes Galang keras. “Lagian, emang lo mau ke mana? Nama lo Yasa, ‘kan? Yang mereka cari Alan, lo jangan pura-pura amnesialah sama nama sendiri.”

“Bawel banget si lo kaya emak-emak ngerumpi di tukang sayur!”

Yasa berdesis kesal. Dia meraih gawai yang tergeletak di atas meja, lalu berjalan lebih dulu dan diikuti dua orang yang mencarinya.

***

Yasa turun dari mobil yang membawanya ke sebuah hotel mewah di kawasan Jakarta. Dia tanpa ragu mengikuti dua orang di depan. Dia tidak peduli jika ini adalah jebakan David, karena Yasa punya 101 cara untuk mengakali orang itu.

Sesampainya di depan sebuah pintu kamar. Yasa masih berusaha tenang. Kedua orang tersebut belum berkata lagi. Mereka berjalan dengan tegap dan pasti menemui seseorang yang tengah duduk di sofa yang menghadap persis ke luar jendela.

Matahari telah hampir tenggelam hingga bisa terlihat jelas lampu-lampu jalanan ibukota mulai dihidupkan. Setidaknya, tempat padat penduduk ini tampak indah seolah banyak taburan bintang jika malam tiba.

“Kami sudah membawanya, Tuan.”

“Kalian boleh pergi.”

Suara serak nan berat itu terdengar familier di telinga Yasa. Jantungnya seakan berdegup cepat, seperti akan menghadapi kertas ujian nasional.

Sesekali dia menelan saliva yang terasa berat. Pria yang membelakanginya itu mulai berbalik setelah dua orang sebelumnya diminta pergi.

Mata Yasa menyipit. Menajamkan penglihatannya pada seseorang tang berdiri tepat satu meter jaraknya itu. Rambut mulai memutih, berkulit putih pucat dengan kacamata. Pria berusia lebih dari 60 tahun itu menguarkan senyumnya yang khas terhadap Yasa.

Daddy?”

Yes, my son.” Tuan Karl mulai melangkah perlahan. Dia segera meraih tubuh Yasa yang masih kaku menerimanya. “You’re still alive. Oh, God! Thank you very much. I thought i'd lose you forever.”

("Kau masih hidup. Oh, Tuhan! Terima kasih banyak. Kupikir akan kehilanganmu selamanya.")

Yasa terpaku, dia malah bingung harus bersikap bagaimana. Di satu sisi dia membenci ayahnya, di sisi lain, dia juga merindukan sang ayah. Dua alasan yang membuatnya sekaku ini. Padahal telah lebih dari 12 tahun mereka tak bertemu.

Daddy ….” Hanya kata itu yang mampu terlontar dari mulut Yasa. Dia lihat mata sayu ayahnya memerah setelah sedikit menangis. Yasa tahu, Tuan Karl sama sepertinya. Menganggap menangis adalah hal sia-sia, kecuali untuk orang yang paling berharga.

Are you okay? Kalu kelihatan kurus, Alan. Daddy pikir kau tidak menjalani hidup dengan baik.”

“Aku baik-baik saja, Dad. Cuma, aku tidak tau harus bersikap bagaimana. Ini … sudah lama sekali. Daddy bahkan terlihat—” Yasa menggantung kalimat, dia melihat kagum penampilan sang ayah yang masih terlihat sehat. “Luar biasa.”

Tuan Karl tersenyum lebar menanggapinya.

“Dari mana Daddy tau keberadaanku?” tanya Yasa.

“Sejak kepergianmu. Daddy selalu yakin kau masih hidup. Kabar kematianmu di Barcelona oleh David masih simpang siur, jadi daddy pikir itu hanya kabar bohong. Sebab daddy belum melihat jelas jasadmu di sana.”

Ucapan Tuan Karl membuat mata Yasa serasa memanas. Seketika menumpuk buliran air di sana, dia pikir sang ayah sudah tak mempedulikannya lagi. Ternyata dia salah mengenai itu.

“Jika kau masih hidup. Kenapa kau tak pulang, Alan? Daddy memikirkanmu setiap malam, daddy selalu dihantui penyesalan karena merasa gagal memegang janji kepada mendiang ibumu. Untuk itulah daddy terus mencari keberadaanmu selama belasan tahun. Daddy baru mendapatkan informasi kalau David baru saja menemui seseorang yang ciri-cirinya menunjukan bahwa itu memang dirimu,” kata Tuan Karl.

I’m sorry, Dad. Aku terpaksa, keadaan membuatku melakukan itu. Aku sungguh tidak bermaksud mengabaikan Daddy.”

“Apa masih karena David? Ayolah, Alan. Ibumu dan David tidak seperti yang kau pikirkan. Bahkan saat kau hilang di Barcelona, mereka berdua ikut mencarimu.”

“She is not my mother, Dad! Why do you keep saying that? Nothing can replace my mother’s position in this world!”
(“Dia bukan ibuku, Dad! Kenapa kau terus mengatakan itu? Tidak ada yang bisa menggantikan posisi ibuku di dunia ini!”) Yasa tak sengaja berteriak kepada ayahnya. Jujur saja, dia tetap tidak bisa menerima David dan ibunya—Sellyna Tan, sebagai bagian dari keluarga.

Sebab dia tahu persis kedua orang itu di belakang ayahnya. Tapi Tuan Karl selalu saja menutup mata dan telinga, lebih percaya istri tercintanya dibanding apapun. Itulah yang membuat Yasa muak.

Yasa mengambil napas dalam untuk menurunkan emosinya. Bagaimana pun Tuan Karl adalah ayah kandung yang harus dia hormati. Dan tidak bisa dihilangkan kasih sayang yang sangat dalam untuknya.

I’m sorry, Dad. Tidak seharusnya aku berteriak. Aku hanya terobsesi bicara jujur jika mengenai mereka. Percayalah padaku … they are not good people.”

“Kau mengecewakanku, Alan.” Suara Tuan Karl terdengar rendah. Namun, tidak mengurangi kekecewaannya. “Belasan tahun daddy berharap kebencian di hatimu hilang untuk mereka. Berharap bahwa daddy akan menemui dirimu yang berbeda. Tapi ternyata daddy salah, kau masih tetap sama. Kau masih lancang tidak bisa menerima wanita yang mengurusku selama dua puluh satu tahun.”

Tangan Yasa saling mengepal. Dia menyesal, kenapa ayahnya tak kunjung sadar. Hatinya sakit, karena selalu saja berada di posisi paling bersalah di mata sang ayah.

“Mereka mencoba membunuhku di Barcelona.”

“Jaga ucapanmu, Alan!” Tuan Karl mulai beranjak dari sofa dengan napas terengah-engah, dia tampak marah besar.

“Aku tahu, Dad. Walau aku menjelaskan ratusan kali, sampai ribuan kali. Daddy tidak akan pernah percaya padaku.” Yasa ikut beranjak dari tempatnya. Dia terpaksa mengambil jalan ini karena tidak ada cara lain.

Memang harus memakai cara cantik menyakitkan untuk membalikkan keadaan. Yasa tahu akan ada orang yang paling terluka di antara dia dan sang ayah. Tapi, ini lebih baik daripada dia harus melihat ayahnya sendiri mati perlahan dengan penyesalan.

“Aku masih menganggap Daddy sebagai panutanku. Yang menjagaku setiap saat dari bahaya dan membawaku di punggung saat mengelilingi kebun binatang saat aku masih kecil. Aku selalu bahagia karenamu,” kata Yasa.

Ingatannya seolah mengajak menyelam di masa lalu, ketika ayah ibunya masih utuh. Dia selalu merasa bahagia setiap hari, melakukan hal sederhana walau kesibukan Tuan Karl kadang membuatnya protes setiap malam.

“Aku bertahan selama belasan tahun demi hari ini. Di mana aku telah siap menghadapi semuanya tanpa lari dan sembunyi. Demi Daddy … demi kita. Aku akan mengembalikan semuanya seperti semula.”

“Apa yang akan kau kembalikan? Kau bahkan tidak bisa menghargai keputusan Daddy.”

“Ikutlah denganku. Tinggalkan semua yang ada di Jerman, karena aku akan membahagiakan Daddy dengan usahaku sendiri. Daddy pasti sudah tau semua informasi tentangku, ‘kan? Jadi, ikutlah denganku ….”

Tuan Karl hanya diam, dia benar-benar bungkam dan meyakinkan Yasa bahwa dia tidak ingin ikut dengan anaknya. Harapan yang ditebar Yasa sekarang musnah, dia gagal. Bahkan setelah jatuh bangun membangun bisnis yang digelutinya hingga kini.

Perih dan sesak saat dia bernapas, melihat wajah muram sang ayah masih bergeming tak ingin menoleh ke arahnya.

***

Keesokan harinya. Nayla pun dihadapkan dengan kesibukan yang sama. Pasien yang datang silih berganti dan membuat waktunya sangat tipis untuk beristirahat.

Sesekali gawainya berdering. Dua pesan dari Devano belum dia balas. Anaknya pasti menagih janji agar dibelikan Pizza jika pulang nanti.

“Ini pasien terakhir Bu Dokter.” Salah seorang perawat menyerahkan daftar nama pasien terakhir Nayla hari ini. Dia hanya tersenyum menjawabnya.

Wanita itu menarik napas. Menunggu seseorang datang membuka pintu.

Klek!

Seorang pria yang tampak familier di mata Nayla masuk begitu saja dan duduk di kursi seberang sang dokter. Nayla mengernyit, pria dengan sweater cokelat itu terlihat kusut.

Mata dan hidungnya kemerahan seperti badut. Rambutnya seolah tak bertemu sisir selama debulan. Pria itu tertunduk tak berkata apa-apa.

“Yas. Kenapa kamu ada di sini?” tanya Nayla.

“Gue mau numpang makan!” sambar Yasa cepat. “Ya, mau diperiksalah, Nay. Lo pikir ngapain gue ada di sini?”

Nayla menoleh ke sana-kemari. Satu perawat yang berada di dalam menatap mereka dengan penuh keingintahuan. “Teman Bu Dokter, ya?”

“Calon suaminya! Inget, ya. Bilangin juga sama semua cowok di sini, jangan ada yang berani deketin calon istri gue. Kalau enggak, gue sikat mereka pake sikat wc!” tegas Yasa.

“Apa-apaan si, ngomongnya begitu terus?! Cepetan tiduran dulu, biar saya periksa kamu!” Nayla tak ingin kalah tegas. Dia segera mengikuti Yasa untuk memeriksa kondisinya. Pria itu berdecak seraya membaringkan tubuhnya.

“Yas, kamu … tensi darah kamu tinggi. Dari kapan kamu sakit?” tanya Nayla.

“Cieee, yang lagi khawatir.”

“Yas, jangan bercanda. Hipertensi salah satu pemicu penyakit serius seperti jantung dan stroke. Bahkan kalau naik secara drastis akan mengakibatkan pembuluh darah kamu pecah.”

“Gue cuma sakit kepala doang dari semalem.”

Nayla terdiam sejenak. Wajah kusut Yasa terlalu jelas memperlihatkan apa alasan kenapa pria itu sampai begini. Dia pun duduk di tepi tempat Yasa terbaring.

“Kamu harus mulai peduli sama diri sendiri, Yas. Kamu gak perlu ke kelab malam dan ngabisin waktu semaleman sama alkohol kalau lagi ada masalah. Kamu bilang kita mau nikah, ‘kan? Itu artinya kamu gak sendiri. Mulai sekarang saya bisa dengerin semua masalah kamu, atau ngebantu kalau bisa.”

Nayla mengernyit saat melihat Yasa malah tersenyum sangat manis. “Kenapa kamu?”

“Calon istri gue bawel juga ternyata,” jawab Yasa jujur. Dia pun berusaha terbangun. “Gue gak ke kelab kok, tenang aja. Gue cuma gak tidur udah dua hari.”

“Bohong?”

“Dikitlah ….”

“Ini masalah serius, Yas. Apa kamu punya masalah?”

“Ada.”

“Apa?” tanya Nayla penasaran. Pria itu merogoh gawai di sakunya. Dia mengutak-ngatik gawainya sesaat kemudian menghubungi seseorang.

“Hai … Van! Lagi ngapain?” tanya Yasa di panggilan teleponnya.

“Lagi belajar ditemenin sama Oma. Papa sendiri lagi ngapain?” Suara Devano nyaring terdengar setelah Yasa mengaktifkan loudspeaker.

“Lagi kangen kamu. Vano mau ketemu papa, gak?”

“Mau! Mau banget malah! Papa kapan ke rumah?”

“Sekarang lagi di jalan sama Mama. Papa mau ke sana. Bilangin ke Oma, ya. Papa juga pengen ikut makan malem di rumah Mama.”

“Asik! Beneran, ya? Vano tungguin nih.”

Yasa menyetujui dan langsung mematikan panggilan teleponnya. Nayla sendiri teramat heran atas sikap itu. Padahal Yasa sendiri tahu ibunya tak merestui hubungan mereka.

“Kamu jangan nekat, Yas! Kamu tahu sendiri, ada kesalahan sedikit aja, Vano bisa dibawa lagi ke London sama Ibu! Beri saya waktu buat meluluhkan hati Ibu supaya bisa nerima kamu,” protes Nayla.

“Justru itu. Gue pengen nemuin nyokap lo lebih cepet. Karena semua orang yang udah maksa gue buat make cara sedikit keras. Gue bakal lakuin itu, buat lo sama Vano.”

“Apa sebenarnya rencana kamu, Yas?” tanya Nayla. Dia melihat sepertinya ada rencana Yasa yang tidak diketahuinya.

“Rencana gue cuma mau makan malem di rumah lo doang. Gue malu numpang makan mulu di rumah Thea. Lo kan calon istri gue, masa gue mesti minta-minta sama orang lain buat masak.”

Nayla mempertajam tatapannya pada Yasa. Dia sedikit tidak percaya, pria itu terlalu pintar dan sulit ditebak. Bisa melakukan apapun semaunya tanpa peduli pendapat orang lain.

“Jangan natap gue kaya gitu. Gue tau, gue ini ganteng. Gak bakal kadaluwarsa kegantengan gue sampe tua. Cepetan beresin barang lo. Gue tunggu di mobil lo.”

Nayla terpenganga melihat pria itu pergi begitu saja setelah memerintah seenaknya.

“Dia pikir aku gak ada kerjaan lain lagi apa? Aku pasti udah gila. Yah … aku pasti ketularan gila! Bisa-bisanya aku mau nikah sama dia?! Nayla, sejak kapan kamu kaya gini karena lelaki?!”

Bersambung.

Penutupan.

Kucel and the kumel. Yang katanya sakit kelapa eh kepala ....

Papaa Yasa lagi nerima job jadi bintang iklan shampo, Mak.😆Mayan, modal kawin ye.

Continuar a ler

Também vai Gostar

6.9M 342K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.2M 58.1K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
352K 1.2K 13
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
2.2M 165K 45
Karena kejadian tanpa kesengajaan di satu malam, Mima jadi harus kehilangan waktu-waktu penuh ketenangannya di kantor. Memergoki atasannya sedang ber...