Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH...

TsaryRJ tarafından

46.7K 3.3K 579

(Beberapa part dihapus untuk kepentingan proses terbit) [Teenfiction - Spiritual] Hanya kisah tentang 4 remaj... Daha Fazla

🌹 Cast 🌹
🌹 Cast 🌹
Chapter 1 : Sekolah Baru
Chapter 2 : Pertemuan Awal
Chapter 3 : Kejailan Fanny
Chapter 4 : Kenalan
Chapter 5 : Seleksi?
Chapter 6 : Problematika
Chapter 7 : Berulah Lagi
Chapter 8 : Berubah?
Chapter 9 : Kepanikan Salma
Chapter 10 : Tawaran Duduk
Chapter 11 : Pasti Bisa!
Chapter 12 : Sebuah Ide
Chapter 13 : Teman Baru
Chapter 14 : Olimpiade
Chapter 15 : Sebuah Fakta
Chapter 16 : Sebuah Fakta #2
Chapter 17 : Masa Lalu
Author Note's
Chapter 18 : Hukuman
Chapter 19 : Hukuman #2
Chapter 20 : Puncak Masalah
Chapter 21 : Jadi Temanku?
Chapter 22 : Kejujuran
Chapter 23 : Bertemu Bidadari
Chapter 24 : Bakat Terpendam
Chapter 25 : Starlight Band
Chapter 26 : Memulai Rencana
Chapter 27 : Apresiasi dari Kawan Lama
Chapter 28 : Kakak Pacaran, Ya?
Chapter 29 : Permintaan Maaf
Chapter 30 : Study Group
Chapter 31 : Tak Selalu Baik
Chapter 32 : Masa Lalu Naila
Chapter 33 : Kembali ke Jakarta
Chapter 34 : Serius Berhijrah
Chapter 35 : Sepasang Kincir Angin
Chapter 36 : Jas Hujan dan Kamu
Chapter 37 : Rencana Jahat
Chapter 38 : Pandai Berakting
Chapter 40 : Mengungkap Kebenaran
Chapter 41 : Fakta Lain Yang Terungkap
Chapter 42 : Harus Gercep, Dit!
Chapter 43 : Respon Gadis Itu
Chapter 44 : Jawaban Naila
Chapter 45 : Pilihan Yang Berbeda
Chapter 46 : Hari Kelulusan
Chapter 47 : Berkumpul Lagi
Chapter 48 : Kebenaran Terakhir
Epilog (END)
Pertanyaan
OPEN PO!!!

Chapter 39 : Rencana Pembalasan

414 46 13
TsaryRJ tarafından

SDA up lagi kawan-kawan!!

Jangan lupa tinggalkan jejak, ya ;)

Komen aja gaes, aku gak gigit, kok. Biar aku juga semakin kenal dengan pembaca2 setiaku :D

Krisar selalu terbuka, ya 😉

Selamat membaca ^^

***

Sebuah sepeda merah melaju di antara kendaraan bermotor. Bak setitik tinta di atas kanvas, sangat kentara perbedaannya.

Wajar, kebanyakan orang sekarang memilih kendaraan bermotor dengan alasan lebih cepat dan praktis. Tak memedulikan resiko polusi, mereka tetap menjalaninya.

Tapi hal itu tidak berlaku bagi sang pengendara sepeda merah, ia tetap melajukan sepedanya dengan tenang.

Ia melirik ke arah keranjang sepedanya. "Astagfirullah!"

Sedetik kemudian laju sepedanya terhenti.

"Astagfirullah, kok aku bisa lupa kasih ini, sih?" Ia mengambil sesuatu dibalik kantong plastik. "Aturan tadi sekalian aja."

Jika kalian bertanya apa itu? Itu adalah sebuah kotak makan berisi oseng jamur serta nasi.

Naila masih merasa bersalah atas sakitnya Adit, karena itu kemarin ia menanyakan ke Daffa, apa makanan yang disukai Adit.

Ia berniat membawakan makanan itu sekalian mengembalikan jas hujannya. Namun sekarang malah tertinggal di keranjang sepedanya.

Ia menepuk keningnya. "Naila-Naila, kok bisa lupa?"

Naila kemudian mengambil benda pipih dari saku roknya. "Telpon aja, deh."

Ia mencari sebuah kontak, dan berniat menekan tombol panggilan. Namun entah mengapa, ia malah jadi menekan tombol video call.

"Kenapa aku jadi video call, ya?" gumam Naila.

Dirasa sudah terhubung, ia memulai percakapan.

"Assalamualaikum, Dit."

"Waalaikumsalam. Ada apa, Nai?"

"Maaf ya, kalo aku pake video call. Gak tau kenapa tadi tiba-tiba kepencet."

"Kepencet? Terus lu gak ada urusan apa-apa gitu sama gue?"

"Gak, ini aku lupa tadi mau ngasih----"

Prangg!!

Seketika kamera video call hanya memperlihatkan langit biru disertai beberapa tiang listrik. Menandakan bahwa ponsel dari seberang sedang terjatuh.

Itu membuat Naila menjadi khawatir. "Halo? Adit, kamu kenapa?"

"Berisik!"

Suara siapa itu? Naila sama sekali tidak mengenalnya.

Prakk!!

Naila terperanjat. "Astagfirullah!"

Dan seketika panggilan itu berakhir, meninggalkan rasa khawatir di hati Naila.

Suara siapa tadi? Mengapa ponsel Adit bisa jatuh? Apa yang terjadi padanya? Semua itu adalah hal yang Naila pikirkan.

"A-aku harus balik kesana!"

Ia memutar arah, dan menjalankan sepedanya dengan penuh kekhawatiran.

.

.

.

.

.

Sesampainya di area makam ....

Naila menelusuri jalan di sekitar area makam, ia juga mencari di sepanjang jalan raya ke arah rumah Adit.

Nihil, ia sama sekali tak menemukan keberadaannya.

Ia menghentikan sepedanya. "Kamu dimana, sih?"

Naila berusaha mengingat-ingat keberadaan Adit melalui video call-nya tadi.

"Tadi yang aku liat cuma jalan biasa. Abis hapenya jatuh, yang keliatan cuma tiang listrik doang," gumamnya.

Ia kembali mengingat-ingat, dan tak lama ia teringat akan sesuatu.

"Oh, iya! Tadi sebelum hapenya jatuh, aku gak sengaja ngeliat lapangan kosong!"

Ya, sesaat sebelum ponsel Adit terjatuh, Naila melihat ada lapangan kosong.

"Inget-inget, Nai. Lapangan itu kayak gimana," gumam Naila.

Lapangan yang ia ingat adalah lapangan biasa, hanya saja kosong dan tidak ramai. Selain kedua ciri itu ia tidak mengingat apapun.

Ia menjentikkan jarinya. "Oh iya! Rumputnya kering!"

Senyumnya mengembang. "Dan cuma ada satu lapangan yang rumputnya kering kayak gitu."

Lapangan lama di sebelah pemukiman.

Naila kemudian bergegas mengayuh sepedanya, menuju tempat yang ia yakini terdapat Adit disana.

Semoga kamu gak kenapa-napa, Dit.

***

Lapangan itu menguning, tak seperti lapangan biasa. Suasana sepi juga sangat terasa disana.

Meski di sebelah pemukiman, warga disana enggan untuk pergi ke lapangan itu. Isu bahwa lapangan itu berhantu, membuat mereka takut untuk pergi atau sekadar melewatinya.

Namun, hal itu tak berlaku bagi Naila. Ia mengendarai sepeda merahnya dengan cepat kesana.

Sambil mengayuh, matanya berkeliling menelusuri area lapangan maupun jalan disana.

Dan tak lama, netra hitamnya menangkap sosok lelaki yang terkulai lemah di bawah tiang listrik.

"Ya Allah, Adit!" Ia bergegas turun dari sepedanya dan menghampiri lelaki itu.

Di sampingnya, juga terdapat ponsel yang sudah hancur. Naila mengambilnya.

Jadi karena ini panggilan tadi tiba-tiba langsung berakhir. Kok bisa hancur begini, sih?

Ia mengalihkan pandangannya ke Adit. "Dit, bangun!"

Adit tak menunjukkan respon apapun. Membuat Naila semakin khawatir dengannya.

"Ya Allah, lukanya banyak banget. Apa dia abis dipukulin, ya? Tapi sama siapa?" pikir Naila.

Naila menggeleng. "Apapun itu, sekarang harus telpon ambulans dulu!"

Untungnya Naila pernah belajar sedikit tentang nomor-nomor darurat, dan sekarang ilmu itu bisa berguna untuknya.

Ia menekan 118 di ponselnya.

"Halo, kami dari Rumah Sakit Gandaria. Ada yang bisa kami bantu?"

"T-tolong, kirim ambulans kesini! Darurat!"

"Oke, bisa dijelaskan alamat spesifiknya dimana? Dan bagaimana keadaan pasien?"

"Banyak luka lebam, dia udah gak sadarkan diri! A-alamatnya di ...."

Naila berpikir sejenak, sejujurnya ia juga kurang tau dimana ia berada.

"S-sebentar, saya cek di maps dulu."

Ia menyalakan GPS, dan membuka maps.

"D-di lapangan lama, deket kampung Cicidodol!"

"Oke, kami akan kirimkan ambulans kesana. Tunggu sebentar."

"I-iya."

Tut!

Panggilan pun berakhir.

"Oh iya! Aku juga harus kabarin pakdenya!"

Untung saja hari itu Pak Heri menyimpan nomor Naila, begitupun sebaliknya. Semua memang ada gunanya di waktu tertentu.

Ia mencari kontak Pak Heri dan menekan tombol panggilan.

"Assalamualaikum, Pak!"

"Waalaikumsalam. Ini Naila, kan?"

"Iya, Pak! Saya Naila!"

"Ada apa, ya? Tumben nelpon saya."

"I-ini, A-adit pingsan!"

"ASTAGFIRULLAH! KOK BISA?!"

"S-saya juga gak tau, Pak. Saya nemuin dia udah dalam keadaan pingsan dan banyak luka."

"Ya sudah, kamu dimana?! Saya akan segera kesana!"

"Er, Bapak lebih baik langsung ke Rumah Sakit Gandaria aja. Saya udah panggil ambulans soalnya."

"Oh, oke-oke. Saya akan segera kesana! Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Dan panggilan kembali berakhir. Jelas terdengar dari sana, Pak Heri sangat mengkhawatirkan keponakannya itu.

Naila kembali menatap Adit khawatir.

"Ya Allah, padahal kamu masih ceria tadi. Kok sekarang udah begini, sih? Apa yang terjadi sama kamu, Dit?" gumam Naila.

Ia menarik napas sejenak, sebelum melafalkan doa untuknya.

"اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ أَذْهِبِ الْبَأْسَ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِي لَا شَافِيَ إلَّا أَنْتَ شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقْمًا"

Tuhanku, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Berikanlah kesembuhan karena Kau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Kau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa nyeri. Aamiin.

Niu! Niu! Niu!

Dan tak lama, telinga Naila menangkap suara ambulans.

Sekarang, ia hanya bisa berdoa dan berharap, agar tidak terjadi apa-apa dengan temannya itu.

***

Bau obat menyeruak di tempat itu, dokter serta suster juga dengan cepat berlalu-lalang, mengurus para pasien di sana.

Di sebuah bangku panjang, terdapat seorang perempuan berhijab yang setia melantunkan doa.

"Assalamualaikum, Naila!" sapa seorang pria.

Naila menghentikan doanya. "Waalaikumsalam."

Ia kemudian menyalami tangan pria itu.

"Nai, A-adit ada dimana? Terus gimana keadaannya? Apa dia baik-baik aja?" tanya pria itu beruntun.

"Adit sekarang lagi diperiksa di UGD, Pak. Saya juga belum tau gimana keadaannya, karena dokternya dari tadi belum keluar," jawab Naila.

Tubuh Pak Heri melemas, ia langsung terduduk di bangku panjang tersebut. "Astagfirullah."

Ia menarik napas panjang. "Adit, Adit. Kenapa kamu bisa di UGD begini, sih? Tadi kan kamu janji abis pulang gak akan kemana-mana."

Naila mengelus punggungnya, berusaha menenangkan Pak Heri. "Kita doain aja, Pak. Mudah-mudahan Adit gak kenapa-napa."

Pak Heri hanya mengangguk kecil.

Tak lama, terdengar derap langkah cepat ke arah mereka. Lalu muncul empat remaja yang berlarian ke arah mereka.

Ternyata yang datang adalah Daffa, Kayla, Fanny, dan Salma.

"Assalamualaikum!" seru Daffa.

"Waalaikumsalam," jawab Naila. Sementara Pak Heri masih dalam kondisi termenung.

"N-nai, itu beneran Adit dipukulin?" tanya Daffa.

Tentu saja sebagai sahabat Adit, ia sangat shock saat mendengar kabar dari Naila.

Ya, Naila mengabari mereka di Study Grup melalui pesan. Dan saat itu juga mereka semua sepakat untuk langsung kesini.

"Aku gak tau, Daf. Tapi diliat dari lukanya, kayak luka abis dipukulin," jawab Naila seadanya.

"Astagfirullah. Terus, sekarang keadaannya gimana, Nai?" tanya Salma.

"Lagi diperiksa dokter di UGD. Kita doain aja semoga dia gak kenapa-napa," jawab Naila.

"Aamiin," balas semuanya bersamaan.

Tepat setelah mereka berdoa, seorang pria berjas putih keluar dari UGD.

"Apa ada keluarga dari pasien yang bernama Adit?" tanyanya.

Pak Heri langsung mengangkat tangannya. "S-saya Pakdenya, Dok!"

"Mari ikut ke ruangan saya," ajaknya lalu melangkah pergi begitu saja.

Pak Heri kemudian mengikutinya dengan cepat.

.

.

.

.

.

Sesampainya di ruangan dokter ...

Bau obat semakin menyeruak saja di ruangan ini. Namun disini lebih sepi dibanding di luar, tentunya karena ini adalah ruangan pribadi dokter.

Terdapat timbangan, sebuah ranjang lengkap dengan tirai untuk menutupinya, serta meja cokelat yang memilki tanda pengenal 'Dr. Ardiansyah Ksatria, Sp.DV'.

Pintu terbuka, dan menampilkan pria berjas putih diikuti oleh seorang pria paruh baya.

Pria berjas putih itu duduk. "Silahkan duduk, Pak."

Pak Heri mengangguk, dan duduk di hadapan dokter itu.

"Sebelumnya kenalkan, saya Dokter Ardi. Spesialis kulit dan kelamin di rumah sakit ini." Ia mengulurkan tangannya.

Pak Heri membalasnya. "Iya, saya Pak Heri, Pakde dari Adit."

Dokter itu tersenyum tipis. "Kalau begitu, saya akan bicarakan dulu luka yang dialami keponakan Bapak."

"Adit mengalami luka memar sedang, dilihat dari kulitnya yang membiru dan sedikit keunguan. Lukanya tidak memberikan efek besar, hanya saja ...."

"Hanya saja kenapa, Dok?"

Dokter Ardi menghela napas. "Hanya saja lukanya cukup banyak, dan beberapa juga mengalami luka yang berdarah. Dilihat dari jumlah lukanya, saya rasa dia habis dipukuli oleh banyak orang."

"Lalu, kenapa dia bisa sampai pingsan, Dok? Apakah parah?"

Lagi-lagi wajah tampannya mengukir senyuman. "Tubuhnya terlalu shock untuk menerima luka sebanyak itu. Dan apakah sebelumnya dia pernah demam?"

Pak Heri mengangguk. "Ya, sebelumnya dia sempat demam tinggi. Namun, beberapa hari ini sudah membaik."

"Saya rasa demam itu juga berpengaruh sampai dia bisa pingsan begitu. Tubuhnya yang sudah membaik, kembali lemah karena menerima pukulan sebanyak itu."

Jelas, raut wajah Pak Heri kembali khawatir.

"Bapak tenang saja, saya sudah melakukan penanganan pertama untuk lukanya. Saya sudah memberi perban di luka yang berdarah. Tapi saya rasa, ia masih membutuhkan rawat inap selama beberapa hari disini."

"Saya akan beri obat luar berupa krim vitamin K. Dan untuk obat dalam, akan saya beri paracetamol untuk meredakan nyeri sekaligus demamnya."

"Saya juga akan mengawasi perkembangannya sampai dia sembuh. Bapak jangan khawatir, ya," lanjut Dokter Ardi.

"Iya, Dok."

Pak Heri lalu teringat sesuatu. "Oh, iya. Untuk biaya rawat inap, apakah saya bisa memakai BPJS?"

Dokter Ardi mengangguk kecil. "Bisa, Pak. Lebih lengkapnya, Bapak tanya saja ke bagian administrasi."

"Oh, begitu, ya."

"Iya, Pak."

Pak Heri beranjak. "Ya sudah, saya kesana dulu, ya. Terima kasih banyak, Dok."

Dokter Ardi kembali tersenyum. "Sama-sama."

"Assalamualaikum," pamit Pak Heri.

"Waalaikumsalam."

Kemudian Pak Heri pergi dari ruangan itu dan bergegas menuju bagian administrasi.

***

Atas instruksi dari Dokter Ardi dan melalui koordinasi dengan pihak administrasi, Adit sudah dipindahkan ke kamar rawat inap tingkat 2. Sekarang, ia sedang diberi infus oleh perawat.

Teman-temannya masih setia menunggu Adit di depan kamar. Tentunya dipenuhi dengan rasa cemas.

Tringg!! Tringg!!

Di tengah kecemasan itu, ponsel Naila berdering. Ia mengambil dan mengangkat panggilannya.

"Assalamualaikum, Nai."

"Waalaikumsalam, Pak. Ada apa, ya?"

"Ini, Bapak mau minta bantuan. Tolong kalian jagain Adit sebentar, ya?"

"Emang Bapak mau kemana?"

"Saya mau ngambil beberapa berkas dulu di rumah, untuk mengurus BPJS Adit."

"Oh oke, Pak. Inshaa Allah kita bakal jagain Adit."

"Makasih, ya."

"Sama-sama."

"Oh iya, Adit kan bawa motor tadi, motornya ada dimana, ya? Tadi saya kesini make angkot soalnya."

"Tadi motornya diparkirin di belakang rumah sakit, Pak! Yang bawa pihak rumah sakit juga soalnya."

"Oh, oke-oke. Sekali lagi makasih, ya. Ya sudah, Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Tut!

Panggilan pun berakhir.

"Siapa yang nelpon, Nai?" tanya Kayla.

"Pak Heri, dia nitip Adit sebentar. Katanya dia mau ngambil berkas-berkas buat ngurus BPJS Adit dulu," jawab Naila.

Kayla hanya ber-oh ria, dan mereka kembali menunggu perawat selesai.

Krieett!

Pintu terbuka, dan menampilkan perawat yang membawa nampan kosong.

Daffa langsung menghampirinya. "Sus, apa kita udah bisa jenguk dia?"

Perawat itu tersenyum. "Sudah, tapi tolong jangan berisik, ya. Soalnya banyak pasien juga di dalam."

"Iya, Sus."

Tanpa menunggu lagi, Daffa langsung masuk ke kamar itu. Sepertinya kecemasan sudah tak bisa ditahan lagi olehnya.

"Terima kasih, Sus," ujar Naila.

Perawat itu mengangguk dan segera pergi meninggalkan mereka.

Para gadis pun menyusul Daffa, masuk ke kamar bertuliskan 'Cempaka II, No. 35' itu.

Terdapat beberapa orang yang dirawat juga di kamar itu. Wajar, ini adalah kamar tingkat 2, bukan tingkat 1 yang bisa memberi privasi.

Fasilitas kamar yang diberikan tergantung fasilitas BPJS yang digunakan. Karena Adit menggunakan BPJS tingkat 2, ia juga diberi pelayanan yang setara.

Disana ia terbaring, masih tak sadarkan diri.

"Ya Allah, Dit. Kemarin lu pingsan, sekarang lu masuk rumah sakit. Demen amat sih sakit-sakitan mulu!" kesal Daffa.

Tentu saja lelaki itu hanya bergeming, tak membalas ucapan Daffa.

"Udah, Daf. Mending kita baca-bacain surat-surat pendek aja, biar dia cepet sadar," ujar Naila.

Daffa mengangguk.

Mereka berempat melantunkan surat-surat pendek. Mulai dari Al-Ikhlas, sampai Al-Bayyinah.

"Ergghh ...."

Dan tepat setelah mereka selesai membaca Al-Bayyinah, Adit mengerjapkan matanya.

Sontak, mereka berseru, "Alhamdulillah!"

Adit memegangi kepalanya, lalu menatap mereka heran.

"Kalian siapa?"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Hening.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Dit, lu serius?" tanya Daffa.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Tapi boong!"

Lalu suara tawa keluar dari mulut Adit.

Teman-temannya menatap Adit datar, sementara ia masih puas tertawa.

"Muka kalian cengo banget asli! Hahaha!"

Daffa mencubit lengannya. "Ish, bercanda gak tau tempat!"

"Gue kira lu amnesia beneran, weh!" kesal Fanny.

"Tau! Gue kira bakal kayak di sinetron-sinetron gitu!" sahut Kayla.

Adit menghentikan tawanya. "Maaf-maaf."

"Gimana keadaan kamu, Dit? Masih sakit?" tanya Naila.

"Masih." Adit berusaha duduk. "Ssh, lukanya agak nyeri gitu."

"Udah-udah, gak usah duduk kalo masih sakit!" ujar Daffa.

"Gakpapa, gue pengen duduk aja," balas Adit.

Daffa memutar bola matanya. "Terserahlah." Ia lalu teringat sesuatu. "Eh, iya. Emang lu abis dipukulin siapa?"

"Pacarnya Laura," jawab Adit singkat.

"Dito?!"

Adit mengangguk.

"Jadi lu sampe bonyok begini cuma gara-gara mantan aneh lu itu?!"

Lagi-lagi Adit mengangguk.

"Kok bisa, sih? Lu ada masalah apa lagi sama dia?" tanya Daffa.

Adit menghela napas. "Gue juga gak tau. Kayaknya dia dendam sama gue gara-gara gue tolak permintaan balikan dia."

"Dia minta balikan sama lu?! Kapan?!"

"Iya, waktu gue istirahat di UKS. Tiba-tiba dia dateng dan nyerocos gak jelas. Ujung-ujungnya minta balikan, deh," jawab Adit.

"Maaf menyela, Dito sama Laura itu siapa? Dan apa hubungannya sama ini semua?" sela Naila, karena disini hanya ia yang tak tau siapa mereka.

Daffa pun menceritakan semuanya, mulai dari pacarannya Adit dan Laura di kelas 10, sampai Laura yang kembali minta balikan dengan Adit.

"Oh, begitu."

Kali ini Kayla yang bertanya, "Terus, lu mau diem aja gitu abis dipukulin begini?"

"Ya gak, lah!"

"Mau kita laporin ke polisi?" tawar Daffa.

"Jangan! Gue gak mau urusannya jadi panjang. Sebentar lagi juga udah mau UTS, kan."

"Ya terus mau lu gimana? Katanya gak mau diem aja!" kesal Fanny.

Adit tersenyum kecil. "Tenang aja, gue bakal bikin mereka ngaku sendiri di depan BK."

"Kamu udah ada rencana?" tanya Salma.

"Ada, dong." Lalu ia menatap teman-temannya. "Dan gue butuh bantuan kalian."

"Terutama lu, Nai," lanjutnya.

Teman-temannya saling berpandangan. Sementara Naila menaikkan kedua alisnya.

Apa yang direncanakan Adit?

***

Jangan jadi anak muda yang enjoy aja waktu muda, tapi lemah ekonomi dan rusak kesehatan saat tua karena kebiasaan buruk. - Mario Teguh















Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

2.6K 351 24
🏅Juara 2 event EAUN30H with Bougenville Publisher Cabang Bekasi 🏅 *** "Ketika namamu yang tidak tertulis di buku, ternyata sudah disandingkan denga...
4.6K 727 22
[TEENFICTION] "Lo udah gila ya?!" bentak seseorang yang berlari ke arahnya . "Lo tau nggak?! Di kuburan sana masih banyak orang yang ingin hidup lagi...
348 87 8
PERHATIKAN ⚠️ 1.Jangan plagiat. Pengarang/ pembuatnya tidak Ridha. Orang yang plagiat akan dituntut di dunia dan akhirat 2.Ilmunya tidak bermanfaat ...
11.3K 1.6K 33
Dari Kami; Gazlan & Azura. "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui." -Q.S Al-Mu'minuun : 114 Dalam...