“Delamsyah Danesh ....”
“Delamsyah Danesh ....”
“Delamsyah, gak ada?”
Seisi kelas secara serempak menengok pelan ke arah bangku ketiga pojok kanan, cowok penghuni bangku itu tampak sedang menerawang jauh. Entah karena budek atau roh dari cowok itu sedang bepergian, suara lembut sang wali kelas baru jadinya seperti tak terdengar.
Brukk...
“E-BANGSAT! SETTAN LO! APAAN, SI?!” sentak Delam, refleks mengumpat sembari menengok ke belakang, melirik sengit si tersangka yang baru saja menendang keras kursinya.
Semua hening ... terbuktikan mulut Delam itu, setara dengan sampah :).
Toni menggerakan bola mata ke arah depan, membuat Delam tersadar, dia sedang berada di dalam kelas dan kini seorang wanita paruh baya sedang menatapnya dengan senyuman lembut.
Delam mengembuskan napas lega, untung saja yang menjadi wali kelas barunya, terkenal sebagai guru yang paling baik.
“Mulutnya dijaga ya, Delam. Dan jangan melamun di dalam kelas.”
Delam tersenyum kikuk, merasa malu. “Iya, Bu. Maaf,” cicitnya.
Seisi kelasp un hanya bisa geleng-geleng kepala sambil berdecak-decak.
Plukk ...
Sebuah kertas yang diremas kecil, terlempar tepat ke mejanya.
‘Jangan ngelamun dulu bosku masih semester awal nih.’
Delam mendecih, melirik sekilas cewek di ujung sana, yang sedang duduk bersedekap memandangnya, dengan sebelah alis terangkat. Delam mendelik, tak banyak peduli, dia menengok ke belakang.
“Ton, abis ini jam kosong, kan, ya?” tanyanya berbisik agar tak terdengar bu Mima yang masih mengabsen.
“Kenapa? Mau cabut?” Temannya balik bertanya.
Delam memandang ke depan sekilas, memastikan wali kelas sedang lengah, lalu menengok lagi ke belakang
“Game online belakang,” bisiknya.
“Oke.” Toni menyahut dengan senang hati, mengacungkan jemari yang dibentuk bulat, mengisyaratkan ‘oke’.
--
"ARSEENNN!!!! TONI, BENO, DELAM, NIIH!!! MAU BOLOSSSS!!!!!"
Ketiga cowok yang berjalan perlahan di halaman samping kelas, langsung menoleh ke arah cewek yang mengintip mereka dari balik jendela, pasti cewek itu berpijak ke atas kursi karena jendela yang mengarah ke halaman samping itu lumayan tinggi.
"ANJ--" Baru saja Delam akan mengumpat, kepala Arsen nongol dari jendela yang di buka, si ketua kelas IPS 5 yang punya garis wajah tajam dan tegas. Tatapan matanya selalu memberikan aura pemikat membuat siapa pun hanya bisa diam dan tunduk.
“Mau pada ke mana lo bertiga?” tanya Arsen dengan nada bicaranya yang tegas.
Toni nyengir. “Itu, Sen, ngadem di sana, ” katanya seraya menunjuk asal halaman belakang yang ditanami rumput hijau, berbagai bunga, dan sebuah pohon beringin besar yang sering dijadikan akses murid-murid untuk mabal.
“Sejuk lo Sen di sana, lo mau gabung?” Kali ini Beno yang ikut memberikan cengiran lebar, mencoba beralibi seperti Toni.
Delam pun sejak Arsen nongol hanya menampilkan senyuman lebar. “Eh, mendingan kita ke kantin aja, yok. Laper dah, makan dulu,” ajak Delam sembari menepuk lengan kedua temannya.
Toni dan Beno langsung menoleh, menatap mata Delam, kemudian mengangguk-angguk semangat. “Eh iya, gue juga laper. Ayok-ayok laper banget nih gue,” seru Beno, sementara Toni masih nyengir, gigi udah berasa mengering.
“Senn, kantin dulu ya, laper kita. Mari, Sen,” pamit Delam dengan anggukan sopan seperti pada ketua RT, kemudian mereka bertiga bergegas pergi, berbelok ke arah koridor. Tapi sebelum pergi, Delam sempat melirik tajam Freya yang masih nongol memeletkan lidah di belakang Arsen. Jari tengah Delam meronta-ronta ingin diacungkan.
-
“Lo kenapa sih, Lam?” tanya Beno seraya meneguk soda kalengnya. Delam tak juga bergeming sejak tadi, sesampainya di kantin dia tidak memesan apa-apa hanya menidurkan kepalanya di atas meja, memandang ke samping melihat orang-orang yang berlalu lalang di luar kantin.
Toni melemparkan pilus yang hendak dia makan, tepat mengenai hidung mancung Delam, tapi tak juga membuatnya bergeming.
“Yaudah, biarinlah. Lagi gak ada orangnya," ucap Toni lalu mengalihkan pandang ke gerombolan anak kelas 1 yang baru memasuki kelas, jauh di depan sana.
“Heran gue, adek-adek kelas kok pada cakep-cakep amat ya, Ben,” katanya sembari menatap tak berkedip dengan mulut terus mengunyah.
Beno yang posisinya membelakangi arah pandang Toni, menengok ke belakang sekilas. “Ah, kalo menurut gue sih tetep kakel yang paling cantik-cantik. Apalagi yang kelas 12 IPA 1 noh, beuhhh ... udah cantik pada pinter lagi kan, sayang mau gue gebet gak kesampean," Beno mengakhiri dengan ratapan.
“Ya iya, cowok kelasnya aja ganteng-ganteng banget, anjir. Pada cinloklah mereka. Buat apa lirik yang lain. Gebetan gue aja jadiannya sama mantan ketua osis macem Zay anying, Zayn maliknya Trinity, gue mah apa.” Toni mendengus panjang, memang tidak ada kesempatan untuknya mengambil hati sang kakak kelas.
“Ck, lagian lo kalo sama Kak Bunga itu gak sinkron, Ton. Berat sebelah,” Beno berucap diakhiri tawa renyah. Toni melirik tak terima. Inginnya dia bisa menyangkal, tapi, yaa, bagaimana, dalam hati mengakui, emang berat sebelah. Bagaikan budak yang jatuh cinta pada sang putri raja.
Kakak kelasnya yang bernama bunga itu, tak berlebihan jika Toni ibaratkan seorang putri raja. Bayangkan saja, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih, wajahnya seperti bidadari, lakunya anggun, dan otaknya cerdas. Modelan wanita seperti itu mungkin memang hanya cocok dengan seorang pria bernama Zayyen, jelmaan pangeran. Si mantan ketua Osis, juara olimpiade, dan ketua tim basket yang pernah memenangkan pertandingan di tahap internasional. Semua siswi lupa cara bernapas jika melihat Zay. Sosok yang terlalu sempurna untuk menjadi manusia.
Beno melirik Delam yang masih tak bergeming padahal dia sengaja membahas tentang Bunga dan Zay yang biasanya selalu sukses membuat Delam berkomentar pedas.
“Lam, kalo lo mau ke game online, ayok dah. Kita jalan depan aja, pura-pura mau fotocopy, ” ajak Beno.
Toni yang juga menyadari Delam sangat aneh, hanya diam saja saat membahas Zay, mengangguk kuat. "Iya, Lam. Ayok dah, gue yang ngibul tar," ucapnya. Lama-lama khawatir juga dengan sobatnya yang satu itu, tapi Delam tetap tak bergeming sedikit pun.
“Ya, anjir. Kerasukan kayaknya, Ton.”
Toni memiringkan kepala melihat arah pandang Delam, pohon beringin yang tak begitu besar yang berada tak jauh dari kantin.
“Setan beringin,” celetuk Toni.
Beno langsung bergidik. “Gue harus manggil siapa nih, Ton. Si Abdul?” Mata Beno membulat, jadi takut. Mungkin Abdul, si ketua rohis yang terkenal pintar mengaji dan katanya bisa meruqiyah, bisa membantu Delam.
“Setan beringin situ gue denger-denger gak mempan dibaca-bacain sama si Abdul. Maunya sama keturunan Ahmad safi’i,” ucap Toni.
“Lah, di sekolah kita ada keturunan Ahmad safi’i?” tanya Beno. Toni mengedikan bahu.
“Mampus! Delam gak akan sadar. Gue panggil si Abdul dulu aja dah, sebagai pertolongan pertama.” Beno bangkit, mengangkat kaki kanan melewati bangku panjang. Dia bersiap lari untuk memanggil Abdul.
Benar-benar, kebodohan. Delam melirik, ingin menelan bulat-bulat kedua temannya yang bodoh itu. “Pada goblok lo bedua, ngomong yang kagak-kagak, anjir!” Delam langsung menegakan kepala, mengembuskan napas kasar.
Beno dan Toni menghela napas lega.
Delam mengeluarkan handphone hitamnya. “Mabar lah, ayok,” ajaknya yang langsung ditanggapi dengan gerakan cepat oleh Toni dan Beno, masing-masing mengambil handphone dari saku celana, langsung memencet aplikasi game moba.
“Gue ajakin Christ,” kata Toni. Diangguki oleh Delam. “Satu lagi Arsen."
“Ditolak sama Arsen mah,” kata Delam.
“Yaudah, Delfin aja." Toni ganti kandidat.
“Siapp,” Beno menyahut.
Room game sudah terisi penuh, Christ mengirim chat ....
Christopeuy: bikin Meta, nyok!
“Meta apaan dah ah?" gumam Beno seraya mengetikkan gumamannya.
Christopeuy: Semuanya MM, gue kemaren nonton di yutub seru.
CokolatDelfin: Lah bego kita maen di rank ini, legend gue taruhannya☹
Delam1999: Yaelah, cupu, kita kan squad gege, sans lah.
Delam tertawa songong.
“Gue mencium bau-bau kekalahan," ucap Toni. Ragu pada sesuatu yang diawali kesombongan biasanya selalu berakhir dengan kesengsaraan. Setelah acara berunding selesai, sesuai kesepakatan mereka semua menggunakan hero yang jenisnya sama, Meta-meta-an kalau kata Chris.
“Tenang, kan ada Beben.” Beno tersenyum miring dengan aura setan, percaya diri tinggi.
“Aahh, lo pake cheat, Ben. Pantes maen lo jadi bagusan, biasanya kan goblok,” celetuk Delam ringan dengan kepala mengangguk angguk.
Beno melirik, tak terima dibilang pake cheat. “Eh, Dolam! Lo yang pake cheat, ya?! kemaren beli lo dari si Didit!” sewotnya jadi emosi, Beno paling tidak terima pemfitnahan!
“EH, GUE BELI KUOTA YA DARI SIDIDIT, LO, ANJENG! JELAS-JELAS KEMAREN BELI!”
Toni melengos mendengar kedua temannya mulai saling berteriak. “Udah-udah, woi, ah! Kita tim, sesama tim jangan saling ngebacot,” katanya menengahi.
“Lam, udah lo diem!” sentak Toni begitu melihat Delam yang sudah membuka mulut akan mengeluarkan suara lagi. Membuat Delam mendengus, mengatupkan bibirnya kembali lalu fokus pada permainan yang baru saja dimulai.
Awalnya berseteru, tapi saat dalam permainan Beno dan Delam jadi bersekutu, bahu membahu saling membantu, menciptakan keharmonisan yang hakuku. Ahelah paan si Delam.
Diakhir waktu, permainan jadi semakin menegangkan karena lawan mereka sangat kuat, Delam yang tadinya ngebacot pun sekarang bungkam fokus sepenuhnya pada war.
"Astagfirullah, pacar nelpon," Beno bergumam pelan, beristighfar. Delam menoleh horror sekilas, lalu kembali fokus pada game.
“Balik, Beno anjengg!!!! Teleponnya matiin, gak osah diangkat!!!” seru Delam nyaring. Beno melirik, perasaan dia ngomong pelan, kok manusia satu itu denger.
Toni juga jadi melirik Beno. “WOI, BEN, AH! GOBLOK! BALIK CEPETAN! SI CHRIST MATI, NIH!" Toni ikut berteriak.
Handphone masih memperlihatkan layar yang menunjukkan panggilan dari pacar. Beno jadi bimbang, sang pacar pasti ngambek lagi jika teleponnya diabaikan apalagi jika dimatikan, tapi kali ini taruhannya rank sama bacotan teman-temannya yang terkecewakan. Beno malah diam saja memandangi handphone, membuat Delam semakin geram.
“BEN, ANJENG! GOBLOK! GUE MATIIN LO DI DUNIA NYATA!!!” teriaknya bikin geger seisi kantin.
“IYA, SABAR, ANJERR! INI GUE MATIIN!!!”
“CEPETAN, SETTANNN!!!!!”
Beno berdecak mematikan telepon dari Sofi. Berharap cewek itu bisa mengerti dan tidak menelepon lagi untuk beberapa menit ke depan. Mungkin tiga orang itu tidak sadar, kerusuhan mereka telah membuat penghuni kantin menghela napas, geleng-geleng kepala, sambil berbisik-bisik. Terutama mulut loudspeakernya Delam tuh yang menjadi bahan bisikan.
-----------------tbc----------------->>>>>>