Suami Bar-Bar Dokter Cantik

By Aydhaa_Aydhaa

9.4K 1K 315

Mata bulat besar Nayla terbelalak. Merasakan hangat di bibirnya oleh pria tersebut secara lembut. Yasa seolah... More

Pertemuan Pertama.
Again
Keputusan Terakhir.
Kejutan Khusus!
New Father
Ikatan Tulus
Dilema ....
Serius?
Broken Heart
Masa Lalu Yang Kelam
Sick
Perlindungan
Lamaran
First Kiss
Luka Lama
Siasat Sebenarnya
Namanya Juga Usaha
Love The Way You Are❀

Kejujuran Itu Sulit ...

375 55 29
By Aydhaa_Aydhaa

Pembukaan 🤗

"Papaaaa. Perut Vano sakit, Vano mau pulang. Pengen tidur di kamar, Vano nggak mau di sini. Di sini bau," kata Devano bersuara lemah. Dia menatap penuh permohonan kepada Yasa yang setia berdiri di samping tempat tidur pasien setelah Dokter memeriksanya.

Yasa terpaksa membawa Devano ke dokter terdekat karena anak itu tidak berhenti muntah saat menelan makanan yang diberikannya. Wajah Devano pucat, dia terus berkata akan ketakutannya terhadap kecelakaan yang menimpa seorang wanita di pinggir jalan hingga tewas.

Dokter mengatakan, Devano mengalami sedikit trauma setelah kejadian. Ingatannya akan banyak darah membuat perutnya mual dan muntah. Perlu pendampingan khusus serta pengalih perhatian agar Devano berhenti teringat kejadian tersebut. Dan Yasa merasa itu menjadi tanggungjawabnya penuh, karena dia anak itu sakit.

"Iya. Ayo, Vano bangun dulu. Papa anter pulang," kata Yasa seraya menggendong Devano dengan cepat.

"Saya kasih resep untuk mual dan demamnya, ya. Nanti Bapak tebus obatnya di depan. Semoga anak Bapak lekas sembuh."

Yasa tak menjawab. Dia meraih secarik kertas yang diberikan dokter lalu keluar untuk mendapatkan obatnya. Setelah menebus obat, Yasa kembali melangkah ke arah luar. Niatnya, dia akan mengantarkan Devano ke rumahnya langsung jika Nayla tidak datang menyusulnya ke tempat ini. Karena tadi dia sempat mengabari wanita itu tentang anaknya.

Akan tetapi, seorang wanita berambut hitam legam itu telah menunggu di luar. Yasa berusaha bersikap biasa ketika melangkah mendekati Nayla di sana.

Plak!

Yasa terdiam sejenak menerima tamparan keras di pipinya oleh wanita itu. Untung saja posisi Devano membelakangi Nayla, hingga dia tidak menyaksikan kelakuan ibunya.

"Astagfirullah, Nay! Kenapa kamu nampar dia? Apa salah Yasa sama kamu?" tanya Thea yang tiba-tiba datang dari arah belakang Nayla. Dia berhasil membuntuti kepergian Nayla sampai sejauh ini karena ingin bertemu orang yang sama.

Thea menahan tubuh Nayla yang menegang karena emosi. Namun, wanita itu masih bertahan dengan kemarahannya.

"Apa kamu belum puas bikin Vano sakit? Kenapa kamu belum pergi juga, huh? Pergi sejauh mungkin dari kehidupan Vano! Liat dia sekarang, apa ini yang kamu mau dengan menunda kepergian kamu," kata Nayla bernada sinis terhadap Yasa.

"Nayla! Kenapa kamu bicara kaya gitu sama Yasa? Itu kasar banget, Nay." Thea bersuara sedikit lebih keras kali ini. Dia tidak terima sekaligus bingung menghadapi situasi mereka berdua.

Galang dan Thea menunjukkan wajah heran saat Yasa menggendong anak kecil di tangannya. Seorang anak yang tidak mereka kenal, dan membuat mereka sulit menebak hal apa yang dihadapi Yasa dan Nayla.

Devano bergerak dan menoleh ke arah belakang. Dia sedikit mengernyit melihat Nayla di dekatnya dengan wajah marah.

"Lo tuh, kalau ngomong enak banget, ya. Maen jeplak aja, apa perlu gue sediain saringan buat mulut lo biar lembut dikit? Siapa elo berani ngatur-ngatur hidup gue? Lo samasekali gak berhak nentuin kapan gue pergi. Emangnya lo pikir gue mau kaya gini, hah? Coba ingetin siapa orang yang udah nyeret gue ke posisi ini? Kenapa? Lo udah kena amnesia sekarang?"

Nayla mengulum bibir, dia menahan kesal. Ada benarnya juga yang dikatakan Yasa. Tapi, Nayla sangat tidak mengerti kenapa dia marah terhadap Yasa sekarang. Dia hanya terlalu sedih melihat keadaan Devano karena keinginannya bersama Yasa.

"Mama kenapa nyuruh Papa pergi? Jadi Mama yang bikin Papa mau ninggalin Vano?"

Pertanyaan polos Devano memancing beribu pertanyaan di hati Galang dan Thea. "Ma-Mama? Nay ... dia--"

Nayla memijat pelipis sejenak. Dia lupa kalau tidak memberitahu tentang keberadaan Devano selama ini. Juga mengakui bahwa dia telah memiliki anak diluar nikah kepada mereka.

"Dia anakku," jawab Nayla singkat karena bingung harus memulai dari mana. Dia kembali melihat ke arah Devano yang berada di pelukan Yasa. "Ayo, ikut mama pulang. Biar mama yang ngerawat kamu di rumah."

Nayla mengabaikan ekspresi terkejut dua sahabatnya. Dia terfokus kepada Devano yang enggan beralih dari pelukan Yasa, anak itu menggeleng pelan. Menolak ajakannya. Membuat luka di hati Nayla semakin menganga karena menyadari Devano mulai ketergantungan Yasa.

"Nggak mau."

"Vano, ikut mama pulang!"

"Vano bilang nggak mau! Nanti Papa ninggalin Vano lagi. Kalau Vano pulang, Papa juga harus ikut pulang. Kalau nggak, Vano pengen ikut ke rumah Papa aja."

"Vano, kamu berani bantah mama? Selama ini mama yang ngebesarin kamu! Ngasih apapun yang kamu mau! Bukan orang ini!" Nayla bersuara keras, dia menarik tubuh Devano dengan paksa. Namun, tarikannya ditolak mentah oleh anak itu hingga hampir membuatnya terjatuh dari pelukan Yasa, dia tidak sengaja. Rasa bersalah hebat bersarang di dadanya melihat mata Devano berkaca-kaca.

"Mama jahat!" Devano menangis keras, baru kali ini dia mendengar suara Nayla sekeras tadi padanya.

"Lo apa-apaan, si? Kalau anaknya gak mau, jangan dipaksa! Jadi gini cara lo ngurus anak?" Yasa melepaskan pegangan Nayla pada Devano dan membenarkan posisi gendongannya. "Udah. Jangan nangis, masa anak cowo nangis mulu. Jangan nurunin harga diri, dong," kata Yasa sekaligus menyeka air mata Devano.

"Iya, deh. Enggak nangis."

Wanita itu menahan tangis, menyeka setetes air matanya dengan jemari pelan. Yasa tahu mereka ada dalam posisi sulit.

"Harus dengan cara apa supaya Vano lepas dari kamu? Tolong jangan memperumit keadaan. Kamu bilang gak mau ngasih harapan palsu ke anak saya, 'kan? Tolong kasih Vano ke saya, Yas." Nayla mengulurkan tangan, berharap Devano luluh setelah dia menurunkan suaranya.

"Papaaa. Ayo, cepetan pulang. Ke mana aja, deh. Asal Vano bisa sama Papa. Badan Vano lemes banget, pengen tidur."

Nayla tampaknya harus menelan kekecewaan lebih dalam. Penolakan halus Devano nyatanya menusuk tepat di hatinya. Anak itu memilih menyembunyikan wajah di ceruk leher Yasa demi menghindarinya.

"Gue tunggu di rumah lo, biar puas!" ucap Yasa menekankan. Dia membawa Devano masuk dalam mobil yang sejak tadi disewanya. Malas berdebat panjang dengan wanita itu di jalan.

Sedangkan Nayla sendiri hanya bisa menatapi kepergian mobil mereka dengan isak tangis. Dia sedih, Devano melupakannya demi seseorang yang baru ditemuinya kemarin siang.

Nayla merasakan usapan lembut di bahunya oleh Thea. "Biar aku anterin kamu pulang, ya. Aku khawatir kalau kamu bawa mobil sendiri dalam keadaan kaya gini," ujar Thea. Sesudah itu dia melihat ke arah Galang. "Kamu gak apa-apa kan, bawa mobil sendiri? Aku mau anter Nayla dulu."

"Iya, The. Aku ngikutin kalian dari belakang."

Thea mengangguk. Dia pun menuntun Nayla masuk ke mobilnya dan mengantarnya pulang.

***

Bug!

"Sakit! Dasar gak ada otak! Lo maen sleding tulang kering gue, emang lo lagi ikutan turnamen bola, hah?!" bentak Yasa keras setelah menerima tendangan di kakinya oleh Galang. Dia meringis, mengusap kasar tulang keringnya yang terasa pedih dan ngilu.

"Biarin! Biar lo sadar diri! Otak lo kan, ada di kaki. Bukan di kepala!"

"Sialan. Heran gue ni makhluk turun dari belahan bumi mana." Yasa mengumpat, dia kesal. Siapa lagi yang bisa menandingi ucapan super pedasnya kecuali orang ini. "Lagian, lo bedua kenapa hobi banget ngintilin gue? Pegih sono! Biar hidup gue tenang," kata Yasa setelah rasa sakitnya berkurang.

Dia duduk di sofa setelah berhasil membaringkan Devano di tempat tidur empuknya. Nayla masih berada di lantai atas, entah sedang apa. Thea telah pulang lebih dulu karena mendapat panggilan mendadak dari babbysitter yang menjaga Jonatha.

Mungkin saja Nayla sedang menemani Devano tidur atau bahkan menanyai kenapa anak itu kabur, masa bodoh. Yasa berpikir jika ini sudah terlanjur, kebohongan ini akan berlanjut setelah kedua sahabatnya mendengar sendiri Devano menyebutnya papa.

"Heh, itu pede turunin dikit bisa, gak? Ketinggian nanti jatoh kecebur got baru tau rasa. Nggak sudi gue ngikutin jin kayak lo. Yang ada lo bikin kita berdua susah, nyadar gak, kelakuan lo bikin istri gue nangis semaleman? Lo kalau mau pergi gak usah drama, sebelas dua belas hidup lo kayak sinetron. Gue aja gak pernah bikin dia nangis. Siapa elo berani bikin istri gue nangis? Seharusnya lo sujud sungkem ke gue sama Thea."

Yasa berdecih malas mendengar celotehan Galang. "Udah?"

"Apanya? Lo dengerin gue ngomong gak, si?!" Galang tampak kesal dengan ekspresi wajah Yasa yang meremehkannya.

"Oh, lo lagi ngomong. Gue kirain tadi yang keluar kentut."

"Dasar anak setan! Kelakuan lo ngajak gelud, hah?!"

Mata Yasa terbelalak lebar, dia melihat tubuh jangkung Galang dengan cepat menghampiri dan mencekik lehernya. Tanpa bisa dicegah, dia lengah dan hampir kalah tenaga.

"Eh, lo apa-apaan, si? Makhluk astral, kurang kerjaan!" Yasa berhasil menyingkirkan dua tangan Galang dari lehernya. Tampak jelas pria itu ingin balas dendam atas istrinya yang menangis semalaman sampai melakukan ini.

Yasa sampai terbatuk-batuk dibuatnya walau perbuatan Galang tidak serius. Namun, Yasa tidak mengira hal yang terjadi berikutnya di luar dugaan. Sesosok tubuh kecil cepat menyambar lengan Galang dan digigitnya kuat-kuat sampai Galang berteriak.

"Akh! Sakit! Sakit!"

"Om jangan nyakitin papanya Vano, ya. Gigit lagi, nih!" Devano berkata tegas pada Galang setelah melepas gigitannya.

Mata Galang membulat sempurna. Ingin marah, tapi gengsi. Karena yang di hadapinya anak-anak. "Buset, dah. Nih, anak serem amat. Hobinya gigit kayak vampir," gerutunya sangat pelan.

"Vano?!"

Teriakan Nayla yang turun dari anak tangga membuat dua pria dewasa itu menoleh.

"Vano jangan begitu. Ayo minta maaf sama Om," kata Nayla. Napasnya sedikit terengah karena mengejar larian Devano ke lantai bawah. Dia pikir anak itu akan tidur setelah mengeluh sakit di perutnya. Namun, Devano malah turun dari ranjang dan memilih berlari menyusul Yasa.

"Gak mau. Omnya aja galak sama Papa. Kata Mama orang Indonesia kalem-kalem dan baik. Kok, Om ini gak ada kalem-kalemnya sama sekali?"

"Omnya bukan orang dari Indonesia. Dia berasal dari planet Neptunus," sela Yasa yang disambut ekspresi Devano.

"Om ini alien?"

Yasa tertawa renyah mendengar ucapan polos Devano. Sedangkan Galang hanya bisa mengumpat dalam hati seraya duduk kembali di sofa.

"Jangan main-main, Vano. Kamu belum minta maaf sama Om Galang. Lihat, tangan Om Galang jadi merah gitu karena siapa? Mama gak pernah ngajarin kamu jahat sama orang lain. Ayo, minta maaf. Habis itu masuk kamar, istirahat," kata Nayla sekaligus berusaha membujuk Devano. Namun, anak itu malah menghampiri Yasa dan meringkuk di pangkuannya.

"Gak mau dua-duanya. Vano mau sama Papa, nanti Papa ninggalin Vano lagi kalau tidur duluan. Kalau Mama mau ngobrol, nggak papa, kok. Vano gak akan berisik. Vano mau tidur di sini," jawab Devano.

Nayla menghela napas pelan. Dia tahu usahanya gagal lagi membujuk Devano. Sekarang anaknya lebih berpihak kepada Yasa, Yasa, Yasa, Yasa. Tidak ada yang lebih penting selain Yasa di pikiran Devano sekarang.

Nayla ikut duduk di sofa, dia melirik ke arah jam di tangan. Masih ada waktu satu jam lagi sebelum dia pergi bekerja.

"Kenapa manja banget sama papa, sih? Katanya udah gede, berani. Tapi tidurnya di pangkuan papa mulu dari kemaren," kata Yasa. Dia mencubit gemas hidung Devano tanpa merasa tisi anak itu bergelayut manja padanya.

"Biarin. Daripada Papa pergi lagi ... wleee." Devano mencebik. Membuat Yasa semakin gemas dan mencubit kedua pipinya.

"Tadi nama kamu siapa?" tanya Galang pada Devano.

"Gak mau jawab pertanyaan dari Om Galak." Devano melirik sedikit sinis menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Galang, hingga pria itu hanya bisa menelan ludah.

"Vano, ngak boleh gitu," kata Nayla.

"Nggak apa-apa, Nay." Galang menyela, lalu kembali melihat Devano yang terus menempel nyaman di pangkuan Yasa. "Oh, namanya Vano. Vano kenapa, sih, suka sama Papa Yasa. Padahal dia gak ganteng kayak Vano, Papa Yasa juga pasti suka teriak-teriak sama Vano. Gak cocok sama Vano yang anak baik kaya Mama Nayla," imbuh Galang lagi.

Yasa mengulum senyum saat Devano menatap polos dengan mata bulat besarnya.

"Cuma Papa yang bisa bikin Vano seneng," jawab Devano.

"Vano. Tapi, selama ini kamu baik-baik aja, kan, tinggal sama mama sama Oma? Walau pun mama sibuk, mama usahain ada di rumah lebih lama buat Vano. Oma juga sayang Vano. Emang Vano gak seneng selama ini?" tanya Nayla setelah mendengar jawaban cukup mengejutkan dari anaknya.

Devano menggeleng pelan. "Nggak gitu, vano seneng, kok."

"Terus? Kenapa maunya sama Papa terus? Papa juga harus kerja, makanya Papa mau pergi. Jadi, Vano tinggal sama mama lagi, ya. Biarin Papa kerja lagi."

"Emangnya gak bisa, Papa kerjanya di Jakarta aja? Kenapa harus pergi jauh? Kalau Papa pergi, nanti kapal pulangnya? Emang Mama bisa jamin Vano bakal ketemu Papa lagi?"

Pertanyaan Devano sukses membungkam mulut ketiga orang dewasa di dekatnya. Sejujurnya, Devano adalah type anak yang sulit dibohongi. Dia akan mengejar apapun yang diinginkan hingga dapat. Sulit mengalihkan perhatian anak itu.

"Devano seneng tinggal sama Mama. Waktu tinggal sama Oma di London juga seneng-seneng aja. Tapi, cuma Papa Yasa yang bisa ngasih apa yang Vano mau. Dan Vano gak bisa dapet itu dari Mama sama Oma."

Nayla mengernyit. "Emang Vano mau apa? Papa Yasa ngejanjiin apa sama kamu, hmh? Apa yang Vano mau mama kasih. Kamu mau apa? Sebutin aja. Mau jalan-jalan ke Disney Land? Atau mau apa?"

Devano menggeleng lagi. "Vano udah punya semuanya. Kan, Mama sama Oma udah penuhi permintaan Vano."

"Terus apa yang gak bisa mama kasih buat Vano?"

"Mama sama Oma emang selalu ada buat Vano. Tapi, Vano masih ngerasa kesepian. Saat Vano ngajak kalian main, kalian selalu sibuk sama hape. Sampe lupa sama Vano, Vano maen apa-apa dibiarin sendiri. Vano sedih, Vano mau dianggap lebih penting kayak panggilan yang selalu masuk ke hape Mama," jawab Devano.

Mata Nayla berkaca-kaca. Dia mati kata, bingung sendiri memilih sanggahan yang pas bagi perkataan Devano barusan. Kejujuran anaknya mampu mengiris hatinya lebih dalam.

"Vano seneng main sama Papa. Soalnya Papa merhatiin Vano main apa, Papa juga gak pegang hape waktu sama Vano. Vano jadi nggak takut apa-apa lagi, soalnya ada Papa yang jagain," kata Devano. Dia tersenyum tipis ke arah Yasa dan mengarahkan lengan pria itu agar memeluknya.

"Kata Papa anak kecil gak boleh ngelakuin apapun tanpa ada orang dewasa yang nemenin. Tadi Vano nyesel udah lari dari Papa, makanya Vano jadi sakit. Maafin Vano, Pa. Vano nggak dengerin kata Papa."

Cukup sudah. Nayla tidak lagi bisa mengukur seberapa jahatnya dia terhadap anaknya sendiri. Merasa telah memenuhi kewajiban sebagai seorang ibu. Namun, ternyata dia tidak tahu apapun mengenai anaknya.

Dia sedikit menekan ujung jemarinya saat semakin dalam menahan tangis. Melihat tatapan tulus Devano untuk Yasa, sekarang dia lemah.

"Maaf. Aku harus ke belakang dulu." Nayla berpamitan sebagai alasan. Dia menatap ke arah langit-langit sebentar agar air matanya tak terjatuh di hadapan Devano. "Nanti kamu boleh tidur bareng Papa."

"Asik! Makasih, Ma."

Setelah kepergian Nayla ke arah dapur. Kini tinggal Yasa yang menangani Devano. Dia mencubit kecil hidung mancung anak itu sampai tersenyum kecut.

"Anak nakal," kata Yasa setelahnya.

"Vano nggak nakal!" Devano membantah cepat.

"Vano mau dengerin kata-kata om, gak?" tanya Galang.

Anak itu menoleh cepat dengan kernyitan di kening. "Apa?"

"Kalau Vano gak mau Papa yang katanya ganteng ini minggat lagi. Kenapa gak suruh aja Papa sama Mama kamu nikah? Biar Papa kamu lepas dari gelar raja jomblonya."

"Eh, Makhluk jadi-jadian? Maksud lo apa ngomong gitu?!" Yasa mula menangkap arah pembicaraan yang mulai menyimpang dari tujuannya sekarang. Melihat seringai licik sahabatnya, dia takut Devano akan terhasut.

"Raja jomblo?" Kernyitan Devano bertahan cukup lama. "Papa Raja beneran? Mimpin di daerah mana? Tapi kok, Vano gak pernah denger?"

"Hah? Huahahahaha ... sumpah ni anak lucu banget! Polosnya mirip sama lo kalau deketin cewek," ledek Galang dengan gelak tawa keras.

Yasa meredam amarah. Dia melihat Devano yang tidak peduli bahkan tidak tahu arti ucapannya sendiri.

"Jangan dengerin, Vano masuk ke kamar duluan. Ntar papa nyusul," kata Yasa.

"Tapi Papa janji gak akan pergi lagi, kan? Nanti Papa beneran nyusul Vano, ya."

Yasa mengangguk. "Iya. Papa janji. Udah cepet naik dulu, papa masih ada yang perlu dibicarain sama Om sama Mama sebentar."

Devano tersenyum tipis lalu beranjak dari pangkuan Yasa. Sebelum berangkat ke kamar, mulutnya tetap berceloteh menagih janji sampai Yasa mengulangi perkataannya sebanyak sepuluh kali.

Sesudah itu, Yasa kembali menguarkan senyum kecutnya pada Galang yang terengah setelah puas tertawa.

"Udah, 'kan? Sekarang mendingan lo pulang. Gak guna ada lo di sini, masalah gue gak akan selesai. Gue bisa ngurus ini sendiri tanpa campur tangan lo berdua," kata Yasa.

Galang tersenyum. "Dengan cara? Kabur ninggalin Jakarta lagi? Silakan, asal jangan ngarep satu hari nanti, lo dateng dan ngemis ke gue buat ketemu Thea atau siapa pun di tempat ini."

Yasa mengernyit. Biasanya makhluk tak kasat mata itu membalas perkataannya dengan pedas dan sengit, tapi dari nada bicaranya, kali ini Galang berusaha serius. Hanya saja, Yasa belum tahu ke mana arah pemikiran Galang.

"Maksud lo?"

"Jangan pura-pura pikun. Apa lo lupa sekarang lagi ngomong sama siapa? Apa perlu gue ingetin wanita yang lo suka?"

Yasa terdiam. Napasnya tertahan menyadari kebodohannya sendiri. Menyadari pria itu mulai mengutarakan isi hatinya yang mungkin saja menyakitkan bagi mereka.

"Saat Thea ngasih perhatian ke elo, apa gue berhak marah? Jelas-jelas orang yang dikasih perhatian Thea adalah pria yang mencintainya. Lo pikir gimana posisi gue? Gue harap bisa nolak saat Thea minta gue ambil bagian dalam semua urusan lo. Tapi apa? Sekarang gue ada di sini, 'kan?"

Yasa mengepalkan tangan di atas pahanya, dia berusaha meredam perasaan bersalah kepada pria itu.

"Lo bisa aja pergi ke mana pun yang lo mau. Asal jangan ngambil jalan yang salah buat memulainya. Sampai sejauh ini, makasih banyak karena lo udah ngejaga hubungan gue sama Thea. Tapi yang harus lo inget, gue gak bakal maafin orang yang ngelukai Thea. Termasuk elo yang udah dianggap kakak bagi Thea dan sahabat buat gue," kata Galang.

Yasa masih terdiam ketika Galang mulai beringsut dari sofa dengan wajah muram. Yasa tahu pria itu marah karena membuat istrinya frustrasi dan sakit. Jika saja Yasa boleh memilih, biarlah Galang memukuli tubuhnya sebagai hukuman. Daripada dia harus mendengar kejujuran Galang.

Kejujuran yang seolah memberinya tamparan keras, betapa dia telah melukai banyak orang tanpa disadari. Dan betapa Galang begitu peduli padanya selama ini.

"Tadinya Thea minta gue buat ngebantu lo sama Nayla dari masalah ini. Tapi gak ada urusan gue ikut campur ke urusan pribadi lo. Yang harus lo tau, Nayla adalah wanita baik-baik walau masa lalunya mungkin ngebuat dia dipandang sebelah mata oleh orang lain. Pikirin masalah lo baik-baik, setelah lo ngambil keputusan, gue bakal bantu ngasih pengertian ke Nayla kedepannya."

Setelah berkata demikian, Galang pergi meninggalkan Yasa yang masih berdiam diri di tempatnya.

***

Sekitar pukul 02:00 dini hari. Nayla terbangun ketika kerongkongannya terasa kering karena mimpi buruk. Sebuah mimpi dimana pria yang menghamilinya memilih pergi untuk mengejar wanita lain ketimbang bertanggungjawab atas kehamilannya dulu.

Nayla sungguh tidak ingin mengingat itu sebenarnya, tapi mimpi itu selalu datang tanpa diundang dan terus membuka luka lama. Apalagi melihat wajah Devano yang menyerupai pria itu.

Sebelum pergi ke dapur, Nayla mengecek gawai di samping tempat tidur. Terdapat beberapa pesan di sana, dari David. Pria itu menghubunginya lagi setelah Nayla kabur dari makan siang mereka.

"Nay?"

"Apa kau sudah pulang?"

"Kuharap besok kau bisa meluangkan waktu di jam makan siang."

"Aku akan ajak Vano."

Nayla menutup gawai, meletakkan kembali benda itu di tempatnya tanpa ingin membalas pesan David. Dia sedikit malas berurusan dengan David.

Dia pergi ke dapur setelah memastikan kondisi Devano baik-baik saja di kamarnya. Sampai detik ini, Nayla terlalu malu mengakui bahwa kesalahannya sangat besar. Dia pikir telah mampu membahagiakan Devano seorang diri, tapi ternyata salah. Perhatian yang diberikannya selama ini, belum cukup untuk anaknya.

Brak!

Nayla terkejut setengah mati mendengar dentuman pintu tertutup di arah pintu utama rumahnya. Langkah cepat diambil Nayla karena khawatir rumahnya dimasuki maling.

"Kamu?" Nayla mengernyit. Tampak seorang pria yang dikenalnya selama beberapa hari terakhir tengah berjalan sempoyongan dengan wajah kusut dari arah pintu.

Pria itu tersenyum polos mengetahui perilakunya ketahuan sang pemilik rumah. Dan itu mengerikan bagi Nayla.

"Kamu mabuk?" tanya Nayla.

"Engh?" Yasa mengernyit. "Dikitlah."

Nayla mengempas napas kasar ketika Yasa berjalan melewatinya begitu saja. Sampai dia menarik lengan pria itu hingga berbalik penuh.

"Berani kamu kembali ke rumah saya dalam keadaan begini?! Kamu pikir kamu siapa bisa keluar masuk rumah saya seenaknya?!" bentak Nayla keras.

"Kenapa? Sensitif banget si kayak ulet bulu," jawab Yasa santai. "Gue cape, pengen tidur. Minggir."

"Tunggu! Yas--"

"Akhh ...."

Nayla sedikit kaget mendengar ringisan sekaligus gerak-gerik tak nyaman pria itu di tangannya setelah dia tarik paksa. Dan Nayla baru menyadari ada cairan merah pekat di tangannya sendiri setelah menyentuh Yasa.

***

"Saya pasti sudah gila." Nayla mengutuk diri sendiri saat tangan dan hatinya tidak bekerja sama mengusir Yasa dari rumah ini.

Padahal, tadi kemarahannya sudah sampai kepala dan akan meledak mengucap kasar pria yang sudah lancang masuk rumah dalam keadaan mabuk. Tapi, hal itu runtuh karena luka yang cukup dalam di tangan Yasa.

"Kenapa kamu liatin saya kaya gitu? Ayo, cepetan buka jaket kamu supaya bisa saya obatin lukanya!" perintah Nayla sedikit keras saat pandangan Yasa tak pernah lepas darinya. Apalagi ditambah senyuman pria itu yang dirasa mengerikan.

Yasa menurut saja, dia membuka jaket dan meletakkan itu di sampingnya. Dia lantas mengulurkan lengan sampai Nayla bisa melihat jelas lukanya.

"Yas, ini ...." Perkataan Nayla tertahan, bukan hanya luka baru yang menjadi titik fokus matanya. Melainkan bekas luka lain yang cukup banyak memenuhi lengan pria itu. Tidak, Nayla baru menyadari kedua lengan Yasa hampir penuh bekas luka lama.

"Dasar urakan. Kamu pasti sering berantem selama hidup kamu, makanya lengan kamu penuh luka kaya gini," kata Nayla seraya memulai mengobati Yasa. Dia terpaksa memberi beberapa jahitan karena lukanya cukup dalam dan terus mengeluarkan darah.

Nayla tidak berani bertanya dari mana asal luka baru ini.

"Kenapa lo bisa nyimpulin gitu? Emang lo tau dulu gue kaya gimana?"

"Keliatan aja. Dan saya gak mau tau kehidupan kamu dulu, pasti cuma dihabiskan sama hal gak penting."

Nayla sejenak melihat ke arah Yasa. Pria itu masih saja tersenyum dan pandangannya pun belum teralih, membuat degup jantung Nayla berpacu cepat menghadapi senyuman itu. Dan akhirnya Nayla menyerah dan memilih meneruskan mengobati luka Yasa.

"Berhenti senyum dan mandang saya kaya gitu. Saya gak akan terpengaruh. Kalau bukan karena Vano, kamu udah saya usir malam ini juga," ucap Nayla.

"Lo tau gak--"

"Saya gak mau tau."

Yasa terkekeh kecil. Kemudian menaruh dagunya di telapak tangan yang lain demi melihat Nayla.

"Dulu waktu gue kecil. Saat gue ngelakuin kesalahan, gue sering dipukulin pake kayu. Dan salah satu cara menghetikan pukulan itu adalah tersenyum. Makanya gue selalu senyum waktu dipukulin, sampe mereka bosen dan berhenti sendiri."

Gerakan tangan Nayla terhenti, melihat senyuman Yasa berubah arti.

"Dan sekarang gue baru nyadar kalau itu jadi kebiasaan. Saat gue dapet luka apapun, gue selalu pengen senyum." Yasa tertawa renyah.

Nayla segera menyelesaikan pekerjaannya. Menyadari pria di dekatnya sudah tak lagi berpikiran jernih dengan pengalihan rasa sakit yang dialaminya. Tawa Yasa terdengar menyakitkan di telinga Nayla.

Atau jangan-jangan semua luka ini didapat Yasa dari ....

"Berhenti ngelakuin itu. Kalau kamu ngerasain sakit, kenapa gak bilang aja? Kenapa kamu gak jujur sama mereka dan diri sendiri?"

Tawa Yasa menipis. Nayla melihat jelas bagaimana kerapuhan seorang Yasa dari banyaknya air mata yang jatuh. Dan Nayla benci saat pria itu masih saja tersenyum disaat menangis.

Hari-hari yang dilewati Yasa sewaktu dulu pasti sangat berat sampai melahirkan pribadi yang cukup keras sekarang. Pantas saja Yasa selalu mengatakan jika seorang lelaki pantang menangis. Karena dia memang tidak pernah menangis dalam keadaan sadar untuk hal apapun.

Hanya dalam keadaan begini pria itu jujur.

"Setiap orang punya cara menghentikan rasa sakit. Jangan menahannya sendiri, kamu masih punya orang-orang yang siap mendengar dan mengurangi rasa sakit kamu. Atau ... kamu lagi punya masalah berat sekarang?"

Yasa membalas tatapan Nayla dengan wajah sendu, dia hanya menggeleng pelan.

Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 347K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _π‡πžπ₯𝐞𝐧𝐚 π€ππžπ₯𝐚𝐒𝐝𝐞
1.2M 5.1K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. πŸ”žπŸ”ž Alden Maheswara. Seorang siswa...
16.8M 731K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...