Darkpunzel

By artfad

3.9K 497 517

Rapunzel dikurung di kastil karena memiliki keajaiban pada rambut pirangnya, sedangkan Fiora dikurung di ruan... More

01. Rapunzel; Fiora
02. Sebuah Rencana Kecil
03. Kebebasan Sementara
04. Pertolongan Nyata
05. Lembaran Baru Fiora
06. Ketakutan dan Trauma
07. Juni Astina
08. Hal yang Disukai
10. Juni Astina (2)
11. Sagita Bella
12. Alasan Hilangnya Juni
13. Redupnya Harapan
14. Mimpi yang Ditakuti
15. Sagita Bella (2)
16. Pertemanan Sejati
17. Juni Astina (3)
18. Merekatkan Serpihan
19. Ravin Cakrawala
20. Perasaan Rumit
21. Sosok yang Sama
22. Penghujung Penantian
23. Tenggelam Kesalahan
24. Bukan Rapunzel
25. Fiora; Rapunzel
-00-

09. Cukup Berteman

115 17 11
By artfad

Fiora menghembuskan napas. Juni benar-benar membolos seharian penuh. Ia membereskan barang-barang untuk pulang ke rumah. Pergerakan Fiora terhenti. Gadis itu termenung. Apa ia akan terus seperti ini, membiarkan Riki bersikap seenaknya, setelah begitu banyaknya prestasi, yang sudah Juni capai susah payah. Walau baru sebentar mengenal gadis berkepang dua itu, Fiora menyadari akan kecerdasan Juni mengenai tiap-tiap pelajaran sulit. Fiora kembali mengingat, bagaimana nasihat Erina untuk segera mengambil keputusan paling baik yang ada dalam hati.

Setelah mengambil keputusan dengan mempertimbangkan segala sebab-akibat. Gadis bernetra coklat itu menutup resleting tas, menaruh di atas meja. Lalu berjalan menelusuri koridor dengan sengaja meninggalkan barang di kelas, akan sangat merepotkan bila Fiora membawa tas untuk berdebat dengan Juni nanti. Ya, Fiora memutuskan berselisih dengan Juni habis-habisan, dibanding membiarkan sikap Juni berubah semakin memburuk. Pendidikan Juni menjadi tak tentu arah. Fiora tidak menginginkan hal tersebut. Juni adalah salah satu temannya, maka, Fiora berhak memberi pendapat baik untuknya.

"Tenang aja Kak Riki, aku bakalan bantu Kakak sebisa aku. Asal Kakak sama aku, aku nggak papa." Langkah Fiora berhenti di pintu kelas dua belas IPS tiga. Fiora mencengkram jemari kuat, setelah ocehan Juni terdengar di telinga. Bagaimana mungkin, Juni berlaku begitu baik, padahal sudah diperlakukan tak manusiawi? Fiora berjalan menghentak, ia menghampiri tempat Juni, bersebelahan dengan Riki yang menyandarkan wajah di atas meja. Lihatlah, bahkan visual Riki Irwana tidak setampan atau sekeren yang orang-orang bicarakan. Suara Fiora meninggi. "Juni, kenapa kamu mau-mau aja kayak gini?" Menarik napas, Fiora menyambungkan, "Kamu harus sadar kalau kamu cuma dimanfaatin sama kakak kelas brengsek ini!" serang Fiora emosi.

Juni berdiri, berjalan sedikit agar bisa berhadapan langsung dengan Fiora, dan leluasa mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran. "Aku udah bilang nggak usah berlagak sok tahu!" sembur Juni tak kalah tinggi. "Apa urusan kamu peduli sama hubungan aku sama Kak Riki!" ketus Juni menatap tajam, tanpa gentar.

Kuku-kuku Fiora memutih ketika Fiora menguatkan kepalan tangan. Fiora mengerutkan kening, alisnya terangkat, senyum mengejek terukir samar. "Hubungan?" tanya gadis itu bernada sarkas. "Kamu bilang hubungan! Hubungan macam apa kayak gini, Juni?!" Meski Fiora tahu, trauma Istari akan membayangi tubuh dan pikirannya, ketika Fiora mendengar bentakkan, Fiora berusaha menahan rasa gemetar sekuat tenaga, karena, Fiora menyadari, ini menyangkut masalah teman baiknya. "Hubungan yang aku tahu adalah kamu cuma disuruh-suruh sama dia!" jerit Fiora menaikkan suara. Napas Fiora tersengal, irisnya berkilat terang.

Riki mengangkat wajah dari lekukan tangan, terlihat terganggu akan sikap mendadak Fiora yang datang dan langsung meninggikan suara. Riki menyorot tidak tertarik perselisihan dua perempuan di depan kelasnya itu. Lagipula, Riki sudah bisa memperkirakan apa akhir dari pertengkaran mereka berdua. Ia menyorot Fiora kasihan menggunakan sorot merendahkan, seperti biasanya bila bertemu dengan orang yang akan kalah.

Kali ini, giliran Juni yang menatap penuh ejekkan, matanya memincing. "Kamu ngomong kayak gini karena iri 'kan sama aku?" Tepat ketika Fiora mendengar hal itu, iris coklatnya membulat sempurna. Bagaimana mungkin Juni bisa saja memikirkan hal yang lebih masuk akal mengenai kekhawatiran Fiora pada gadis itu, dibandingkan berspekulasi keirian semata.

Fiora meremas kain rok abunya menggeram, "Kamu bilang apa?" tanya Fiora masih dengan ketidakpercayaan.

Juni kembali berteriak, "KAMU NGOMONG KAYAK GINI KARENA IRI 'KAN SAMA AKU!" berang gadis terkepang dua itu, menunjukkan rasa amarahnya terbakar. Juni menunjuk dadanya sendiri melanjutkan ucapannya, "Kamu iri sama aku yang punya hubungan spesial sama kakak kelas, karena kamu sadar, kalau orang buruk rupa kayak aku nggak pantes dapet perhatian lebih." Kedua mata Juni berkaca-kaca, poni depan gadis itu bergerak tertiup angin. Juni menyorot nanar. "Karena aku... buruk rupa, 'kan?" sambung Juni menekan kalimatnya.

Fiora menggeleng, kedua tangannya bergetar akibat efek bentakan Juni yang masih terngiang dalam benak. Fiora menggigit bibir menahan gejolak trauma yang datang pada waktu tidak tepat. Sekian kali, Fiora meremas jemari mencoba tegar. Ia membuka suara setelah keheningan merayapi. "Aku nggak mungkin pernah mikir kayak gitu, Jun. Bahkan dalam mimpi sekalipun, nggak pernah."

Juni terkekeh, ia mulai meluapkan segala emosi. "Ya! Aku tahu kamu iri sama aku karena orang berpenampilan 'kayak' aku nggak mungkin bisa disukain sama orang!" maki Juni, tanpa mempedulikan sekujur tubuh Fiora bergetar entah karena apa. Memangnya Juni peduli apa pada gadis itu. Fiora hanyalah orang asing yang bersikap seolah-olah paling mengenal Juni Astina. "Seumur hidup, aku nggak pernah ngerasain perasaan cinta kayak orang-orang, dipuji, terus dibilang cantik, aku sama sekali nggak pernah ngerasain itu semua! Orang kutu buku kayak aku nggak mungkin bisa ngerasain hal-hal menyenangkan kayak orang-orang!" Juni menarik nafas, menyorot sengit. "Fiora, kamu udah terlahir cantik walau berpenampilan seperti orang desa. Tapi coba lihat aku! Aku buruk rupa!" Gadis terkepang dua dengan kontak lemsa hitam itu menjerit. "Aku buruk rupa!"

"Juni!" sela Fiora membentak agar Juni mau melihat ke arahnya, dan menghentikan segala ocehan tak baik yang keluar dari bibir gadis itu. Fiora mengusap wajah gusar yang sudah dipenuhi air mata berlinangan. Ia menyorot sendu. "Berhenti ngomong buruk tentang diri kamu, Jun," ujar gadis itu lemah. "A... apa pantes orang berpendidikan kayak kamu diperlakuin layaknya pembantu?" tanya Fiora dengan tanpa jerit ataupun teriakan. "Kamu temen aku, nggak seharusnya kamu mikir sedangkal itu. Aku cuma nggak mau kamu ambil langkah yang bikin kamu nyesel."

"Kamu tahu apa Fi!" protes Juni memotong ucapan Fiora naik pitam. "Kamu sama sekali nggak tahu apa pun, nggak usah berlagak sok tahu seolah kamu tahu tentang aku!"

"Kamu sendiri bahkan nggak pernah ngasih tahu gimana keadaan kamu biar aku ngerti semua perasaan kamu!"

"Terus kalau aku udah nyeritain semuanya, emangnya kamu bisa bantu aku? Apa kamu bisa ngubah semua yang ada di masa lalu aku?!" pekik Juni mengerang. "Kamu nggak akan pernah ngerti, gimana rasanya dijauhin karena penampilan, dipandang rendah karena buruk rupa, dan nggak dihargain pendapatnya setelah sadar kalau yang ngomong adalah orang 'kayak' aku!" Juni meracau mengulang kalimat sama. "Kamu nggak akan pernah ngerti perasaan aku, Fiora."

Fiora mengambil napas, ia mengusap wajah kalutnya berulang kali menenangkan diri, sesekali Fiora meremas rok, lalu menggigit bibir setiap mendengar jawaban Juni. Fiora tak bisa menutup kemungkinan bahwa dirinya baru mengenal Juni beberapa hari, tetapi, sikap Fiora seolah sudah mengenal gadis berkepang dua itu selama puluhan tahun. Dari lubuk hati paling dalam, Fiora ingin sekali membantu Juni, sadar betapa menderitanya Juni di masa lalu, hingga membuatnya keras kepala seperti ini, membuat Fiora harus berhati-hati dalam segala hal tindakan dan ucapan. Juni adalah teman pertama Fiora. Teman pertama yang tidak menjauh setelah Juni melihat betapa anehnya Fiora ketika itu. Teman pertama yang menukar nomor telfon dan memberi Fiora kue kering. Bagaimana bisa, Fiora membiarkan Juni berjalan ke arah yang salah?

Air mata Fiora berjatuhan, mengalir membasahi sekitaran pipi. "Kalau kamu diperlakuin seburuk itu kenapa kamu nggak berubah Juni?" Fiora menggigit bibir, menunjukkan kebiasaan gelisahnya, ia melanjutkan. "Aku tahu, nggak gampang ngomong kayak gini. Tapi kamu bisa berubah. Kamu bisa berpenampilan lebih rapih, lebih percaya diri dan nggak usah pikirin apa yang orang-orang bilang. Karena itu jauh lebih baik dibanding kamu ngebiarin dia manfaatin kamu." Fiora mencoba menorehkan senyum tulus meski terlihat agak memaksa, akibat kondisi mereka berdua. "Pasti ada orang yang mau nerima kamu apa adanya. Kamu orang yang ceria, gampang antusias dan cerdas, terus apa lagi yang kurang?"

Isakkan kecil lolos begitu saja dari bibir Fiora, wajah gadis itu terlihat memerah sebab air mata terus berjatuhan. Fiora menyambungkan suaranya, dengan sesegukkan. "Makannya ayo pulang bareng aku, kayak dulu lagi. A-aku... a-aku bisa bantuin kamu, Oma pasti tahu caranya ngubah penampilan. Tolong... jangan sama dia," Fiora menunjuk Riki menggunakan ekor mata. "Dia bener-bener nggak baik buat kamu, Jun."

Juni mengusap air mata cepat, kedua tangan gadis itu mendorong bahu Fiora kasar. "Aku muak denger semua omongan kamu, aku nggak peduli, aku dimanfaatin apa nggak itu urusan aku!" Juni melanjutkan. "Jadi nggak usah ikut campur urusan aku dengan ngasih semua saran sok baik, karena, aku tetep sama pendirian aku!" imbuh gadis berkepang dua itu. "Kita bahkan baru kenal, aku sendiri pun nggak pernah nganggep kamu temen aku, makannya sekali lagi nggak usah ikut campur urusan aku!"

Netra Fiora dapat menemukan langkah Juni yang mundur menjauh disertai Riki yang kini sudah berdiri di samping gadis berkepang dua itu. Riki mencemoh Fiora melalui tatapan remeh seolah lelaki itu sudah menduga bahwa Juni akan memilih lelaki itu, dibanding Fiora yang berstatus teman dekat---karena memang begitu bukan perkiraan yang sudah Riki tebak?---Fiora mengepal kedua tangan merasa kalah akan peruntungannya, sekujur tubuh gadis itu bergetar, disertai air mata yang tiada berhenti mengalir. Lalu, saat sadar, Juni sudah pergi bersama Riki yang tersenyum mengejek meninggalkan Fiora seorang diri. Padahal, bukan ini yang diinginkan Fiora. Sama sekali bukan seperti ini. Tangis Fiora pecah, ia tersedu dengan posisi ambruk berlutut ke arah lantai. Dari dulu sampai sekarang Fiora memang selemah itu. Fiora menyembunyikan wajah di lekukan tangan.

Tanpa disadari Fiora sendiri, ada sepasang mata hitam memperhatikan pergerakkan gadis itu, di tengah pertengkarannya dengan Juni. Ravin memalingkan wajah, ia menyorot tanpa sinar, tak ada keinginan untuk menghampiri ketidakberdayaan Fiora. Ekspresi yang ditunjukkan Ravin bahkan tanpa riak. Ia memandang tak acuh. Ravin lebih memilih melanjutkan perjalanannya menuju atap sekolah untuk merokok dibandingkan merepotkan diri membantu masalah si gadis berkepang satu.

Warna senja memantul masuk dari jendela kelas, Fiora berusaha berdiri, mengingat bahwa dirinya meninggalkan tas di dalam kelas. Berjalan tertatih, Fiora menuruni tangga, menelusuri koridor memasuki sebelas MIPA dua. Karena terus menundukkan kepala akibat air mata yang tiada berhenti keluar, membuat Fiora tak memperhatikan jalan dengan benar, alhasil gadis itu menubruk seseorang ketika akan masuk ke kelas. Fiora mengangkat wajah, menemukan Bella yang sedang memegang ponsel berwajah sedih. Mereka saling menatap, dan sadar bahwa mereka berdua sama-sama sedang menangis. Selanjutnya hubungan pertemanan mulai hadir antara keduanya. Karena, pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain.

Bella tidak pernah menyangka, pertemuan mereka yang amat singkat telah membuat gadis itu tertarik pada suatu hubungan asing yang disebut pertemanan dekat. Tak hanya Fiora, Bella pun memiliki masalah yang tak kalah runyam untuk dikatakan secara gamblang. Maka, mereka berdua seolah sengaja dipertemukan oleh takdir. Layaknya semesta ingin memberi pelajaran pada mereka bahwa hanya dengan berteman saja bisa menguatkan diri mereka satu sama lain.

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 876K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
593K 28K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.9M 91.5K 40
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
2M 328K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...