Darkpunzel

By artfad

3.9K 497 517

Rapunzel dikurung di kastil karena memiliki keajaiban pada rambut pirangnya, sedangkan Fiora dikurung di ruan... More

01. Rapunzel; Fiora
02. Sebuah Rencana Kecil
03. Kebebasan Sementara
04. Pertolongan Nyata
05. Lembaran Baru Fiora
07. Juni Astina
08. Hal yang Disukai
09. Cukup Berteman
10. Juni Astina (2)
11. Sagita Bella
12. Alasan Hilangnya Juni
13. Redupnya Harapan
14. Mimpi yang Ditakuti
15. Sagita Bella (2)
16. Pertemanan Sejati
17. Juni Astina (3)
18. Merekatkan Serpihan
19. Ravin Cakrawala
20. Perasaan Rumit
21. Sosok yang Sama
22. Penghujung Penantian
23. Tenggelam Kesalahan
24. Bukan Rapunzel
25. Fiora; Rapunzel
-00-

06. Ketakutan dan Trauma

154 22 11
By artfad

Fiora menggigit jemari telunjuknya resah, kekhawatiran berlebih memenuhi pikiran Fiora, hingga terasa mencekik sistem pernapasan. Tubuh Fiora terliputi rasa cemas, kening gadis itu berkerut was-was. Dengan penuh kekalutan Fiora tidak tidur dari jam tiga, sampai, lima pagi, merawat oma-nya yang tiba-tiba terserang demam. Kedua tangan Fiora kembali mengganti handuk kecil dari kening Erina lagi.

Semalam maupun kemarin-kemarin, Erina masih terlihat baik-baik saja, Fiora pulang ke rumah, disambut penuh suka cita, dimasakkan berbagai olahan makanan yang tidak pernah Fiora rasakan sebelumnya. Tepat ketika jam memasuki pukul tiga pagi, saat Fiora menginginkan untuk mengambil air mineral menuntaskan rasa haus, rintihan Erina terdengar. Apa yang paling buruk dari kesendirian? Kehilangan seseorang yang amat dicintai.

Dan Fiora tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang sudah, menumbuhkan, rasa percaya diri dalam benak Fiora hingga disayangi sampai sedemikian rupa. Oma tidak akan pernah meninggalkannya, oma tidak akan pernah meninggalkannya. Terus seperti itu benak Fiora berbicara, layaknya sebuah mantra ampuh untuk mengobati perasaan tidak tenangnya.

Erina terlihat sudah tua, kulit berkeriput, rambut putih, juga tenaga yang tak terlalu kuat. Bagaimana jika Erina benar-benar meninggalkan Fiora? Fiora mengusap air matanya kelewat cepat, membiarkan rasa nyeri ringan di kelopak, ketika, gadis itu menghapusnya kasar. Jika Erina benar-benar meninggalkan Fiora, titik terang Fiora akan pergi, harapan gadis itu akan sekarat lalu berubah menjadi keputusasaan. Fiora akan patah.

Gadis berambut hitam panjang itu kembali mengganti handuk Erina, berposisi duduk di samping ranjang, tanpa mempedulikan kram dan kesemutan di kedua kaki. Netra coklat Fiora tak pernah beralih dari objek sang oma, seolah jika Fiora berpaling beberapa detik saja, Erina akan tiba-tiba pergi, menghilang, bahkan mati meninggalkan Fiora dengan segala mimpi buruk yang ada.

"Fi."

Iris Fiora membulat, ia segera menggenggam telapak tangan Erina kuat-kuat. Oma tidak akan pernah meninggalkannya. Suara hati Fiora mengulang kata sama. Tubuhnya bergetar. "Oma... Oma nggak papa?" desak Fiora kacau. Air mata menetes, mengalir melalui sudut kelopak membasahi pipi dan berakhir jatuh.

Kerutan Erina semakin tercetak jelas ketika perempuan tersebut menorehkan senyum kecil menenangkan. Bagaimana mungkin saat sedang demam begini, oma-nya masih memaksa tersenyum? Erina berujar lirih, "Kamu... nggak... sekolah?" Bahkan neneknya tersebut masih saja mengkhawatirkan pendidikan si cucu.

Fiora menggeleng, membalas parau, "A-aku nggak mau sekolah." Isakkan kecil Fiora terdengar. "Aku nggak mau sekolah, Oma."

Erina menyorot lembut, ia berusaha menggerakkan tangan untuk menghapus air di pipi si cucu, walau terasa sulit, Erina tetap mencoba melakukannya, meski dengan sentuhan lemah. "Oma udah nggak papa. Kamu harus sekolah, Fi." Fiora menggeleng, Erina segera menyela. "Tolong, Oma mau kamu sekolah." Senyum Erina terbentuk tulus, ia melanjutkan, "Tolong ya bunga-nya Oma."

Fiora sesegukkan, dia bilang Fiora adalah bunga. Tangis Fiora pecah. Gadis beriris coklat itu mengerang, "Uhh," Ia menelan saliva. "Oma... beneran nggak papa?" Erina mengangguk menanggapi, pertanyaan yang sama, diajukan Fiora.

Tak ada pilihan lain, akhirnya Fiora menyetujui permintaan neneknya tersebut, cepat-cepat membersihkan diri, berpakaian dan bersiap kilat di kamar Erina, karena, masih merasa harus mengawasi neneknya itu. Rumah Erina cukup dikatakan besar jika hanya ditinggali dua orang. Tiap kamar memiliki kamar mandinya sendiri, termasuk kamar sang oma.

Sesaat ketika Fiora berusaha menyisir rambut, Erina memanggil. "Fi, sini, Oma yang nata rambut kamu." Fiora menggeleng, tidak ingin merepotkan. "Aku bisa sendiri, kok."

Erina mencoba bergerak agar dapat bangun dan duduk bersandar, Fiora yang melihat hal itu dari bayang cermin, segera menghampiri, dan membantu Erina. Karena hal itu juga, mau tidak mau, Fiora harus mengalah membiarkan Erina mengepang rambut Fiora, seperti kemarin.

Sejujurnya, waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh tepat. Fiora memperkirakan perjalanannya bisa memakan waktu lima belas menit. Dan bila Fiora mencoba berlari memburu waktu sekalipun, tetap saja, Fiora akan dianggap terlambat memasuki kelas.

Menghembuskan napas sejenak, Fiora menelan saliva mempersiapkan diri dengan segala konsekuensi yang nanti diterima. Berjalan mengambil secarik kertas catatan lalu menulis nama, Fiora dapat melihat tiga guru mengawasi gerak-geriknya. Menelan saliva sekali lagi, Fiora menyalami satu per satu guru kemudian berjalan menuju kelasnya sendiri. Setelah mengetuk, Fiora mendorong pintu, bertuliskan, sebelas MIPA dua, selanjutnya guru pengajar dan seluruh penghuni kelas menyorot objek yang sama: Fiora. Oh ini pertama kalinya Fiora merasa malu, dalam artian buruk: terlambat.

"Jam berapa sekarang?" Pertanyaan bernada menyindir itu, membuat Fiora merinding. Fiora meremas jemarinya gelisah. "Jam... tujuh... tujuh kurang sepuluh menit, Pak." Suasana berubah hening. Guru berpakaian batik itu, merupakan guru yang mengajar pelajaran biologi. Suaranya keras dan tegas, displin, juga cukup galak. Sayangnya, Fiora belum pernah mendapatkan pengalaman belajar dengan guru tersebut kemarin-kemarin.

"Kamu tahu apa kesalahan kamu di pelajaran Bapak?" Fiora menunduk, mengangguk pelan. "Ma-maaf...." Penghuni kelas masih tak mengeluarkan suara, seolah semua murid takut bila menimbulkan suara kecil saja. "Keluar dari pelajaran Bapak!" Fiora mengangguk, cepat-cepat berjalan keluar kelas mengikuti titah sang guru yang bernada tinggi.

Telapak tangan Fiora berkeringat, wajah gadis itu berubah pucat, kakinya mendadak tremor. Tidak. Tubuh Fiora bergemetar seperti ini bukan karena gurunya, tidak bukan seperti itu, sama sekali bukan seperti itu. Tetapi, karena sekilas bayangan Istari membentak menggerayangi seketika, tepat saat guru biologi bertitah. Tubuh Fiora menggigil, bibirnya tergigit. Peluh membasahi, Fiora menahan setengah mati degupan jantung menggila, yang, berdetak seolah menyakiti tulang rusuknya. "Aku... aku... nggak akan dipukul," gumam Fiora menenangkan diri. Bibirnya kembali tergigit lebih kuat hingga warna merah menyelingkupi. "Nggak... p-pasti nggak... uhh... nggak... karena di sini nggak ada Bibi."

Bel pelajaran ketiga berbunyi, Fiora berhasil menguasai diri, dari semua memori hitam, yang memaksanya untuk terus mengingat. Seolah ada pisau berkarat, yang akan menusuk jantung Fiora kuat-kuat, agar gadis itu selalu terbayangi masa lalu dengan rasa sakit. Meski begitu, kini tubuh Fiora berangsur membaik, wajah dan sikapnya, sudah seperti orang normal pada umumnya. Fiora menarik napas, lalu menghembuskannya kembali. Tidak apa. Fiora bisa menjalani semua ini. Pikir gadis itu positif.

Pak Reno selaku guru biologi keluar, menghampiri Fiora yang berdiri, ia menyorot lembut. "Lain kali, kamu jangan terlambat lagi di pelajaran Bapak ya?" Ternyata gurunya adalah orang yang baik, Fiora mengangguk sembari tersenyum. Sebuah perasaan lega hinggap di hati. Memberitahu Fiora bahwa tak selamanya, keadaan selalu memberi Fiora hal buruk.

Meski Fiora sudah dihukum tidak mengikuti dua jam pelajaran. Gadis terkepang satu itu tetap harus menjalani hukuman lain, yaitu, membersihkan kelas diawasi oleh guru kesiswaan, Pak Karsan. Beruntungnya, Fiora sudah terbiasa menyapu, jadi gadis itu tidak terlalu menganggap beban hukuman kedua ini. Sembari guru kesiswaan mengawas di luar pintu, Fiora menyapu area belakang yang terisi rak buku kecil berdebu, dengan beberapa sampah kertas berserakkan dan... Fiora terdiam, baru menyadari bahwa kursi paling belakang, masih terisi seorang siswi, yang kini sedang tertidur di atas kedua lengan terlipat.

Fiora mendekati sosok itu, tangannya sudah terulur bergerak untuk membangunkan, namun, niat tersebut diurungkan ketika Fiora menyadari satu hal: pergelangan tangan gadis itu tertutupi plester. Netra Fiora bergerak menjelajahi wajah teman sekelas yang belum dikenalinya, kulit pucat, kelopak besar dengan kantung mata menghitam, bibir tak berwarna, juga kerutan di kening. Wajah itu... entah mengapa membuat Fiora tidak tega membangunkannya. Seolah Fiora sedang mengaca, pada sosoknya yang dulu. Fiora lebih memilih melanjutkan pekerjaannya dibanding membangunkan si gadis asing.

"Ya ampun Fi! Kamu ngapain?" Juni memasuki kelas, saat Fiora sudah mengerjakan setengah pekerjaan. Gadis terkepang dua dengan kacamata minus itu, berjalan menuju tempat duduk yang setiap hari dirinya pakai.

"Dihukum, kamu ngapain?" jawab Fiora sembari mengamati Juni, yang sedang membungkuk mengobrak-abrik kolong mejanya. "Ini ada yang ketinggalan. Terus, pengawas kamu mana?" Fiora mengerutkan kening, mengapa Juni malah menanyai pengawas jelas-jelas... loh sebentar... Fiora mengerjap, tersadar bahwa Pak Karsan, menghilang begitu saja tanpa suara.

Fiora segera menyahut, "Tadi ada, beneran!" Juni mengangguk mengerti, tangannya menaruh benda ketinggalan ke dalam tas, agar aman, ia membuka suara. "Tadi aku abis dari perpustakaan, mau pulang bareng?"

Ditanyai seperti itu, Fiora tersenyum membalas, "Nggak perlu, aku nggak mau kamu repot."

Fiora kembali menyapu lantai, ia dengan telaten membersihkan semua debu, yang terlihat di matanya. "Fi." Juni memanggil membuat Fiora menoleh ke arah gadis itu, yang kini sedang berdiri menjulang menghalangi cahaya lampu memegang sebuah sapu yang sama seperti milik Fiora. Iris Fiora membulat. Tubuh Fiora mendadak dikuasai tremor hebat. Fiora memundurkan langkah, menelan saliva gelagapan.

"Fi? Nggak papa, aku mau bantu kamu, barisan mana yang belum kamu bersihin?" Juni mencoba mengulang pertanyaannya. Akan tetapi gelagat Fiora, malah semakin, tidak terlihat seperti biasanya. Fiora berkeringat dingin, pupilnya membesar, lalu menggelap dan ketika sadar Juni seolah berubah menjadi Istari yang sedang memegang sapu, bersiap, untuk memukul. Langkah Fiora memundur. Tubuhnya terserang serangan panik, disertai rasa menggigil.

Kening Juni mengerut, gadis terkepang dua itu menyorot Fiora khawatir. "Fi?" Seakan tuli, sistem pendengaran Fiora berubah kacau, tak bisa membedakan mana suara alam bawah sadarnya, dengan suara yang sebenarnya memang seharusnya terdengar. Tanpa pikir panjang, secara spontan sebagai sifat alami yang dimiliki manusia, Juni mendekati Fiora lalu mengguncang kedua bahu gadis itu. "Fi!" panggilnya lagi lebih keras.

Fiora menggeleng, pupilnya kembali berubah normal, seolah baru tersadar, gadis beriris coklat itu segera menepis kedua tangan Juni kasar. Fiora berjalan terburu-buru menyelesaikan pekerjaan tertundanya. Juni tidak boleh mengetahui kekalutan yang dialami Fiora. Juni sama sekali tidak boleh tahu. Tetapi mengapa Juni terlihat tidak menyerah? Lagi-lagi Juni menghampiri Fiora dengan kecemasan yang khas.

"Fi, kamu nggak papa? Badan kamu sampe gemetar kayak gitu, aku bantuin ya?" Juni mengajukan pertolongan tulus, tetap bukan hal itu yang diinginkan Fiora sekarang.

Fiora bergumam tanpa mau membalas sorot mata Juni. "Nggak usah," ujar Fiora rendah.

"Nggak papa biar kamu cepet pulang makannya aku bantu---" Pembicaraan Juni tersela oleh suara Fiora yang keras kepala. "Nggak usah!" parau Fiora mengulang kalimat.

Naik pitam dengan sikap Fiora yang bagi Juni sangat kekanakkan, Juni menaikkan suara. "Kamu kenapa sih?"

Fiora mengangkat wajah dengan air mata berlinang. "AKU BILANG NGGAK USAH!" raung Fiora menjerit. Napas Fiora tersengal, satu isakkan lolos terdengar, sapu pegangan Fiora jatuh, Fiora meremas rok abunya kacau, ia kembali mengulang kalimat sama dengan nada putus-putus. "A... aku...."

Suara Juni berubah parau, "O-oke," Kini, giliran Juni yang memundurkan langkah. "Apa... aku segitu udah ganggu kamu kah?" Juni tersenyum paksa, lalu tanpa di duga, gadis teman sebangku Fiora itu pergi begitu saja, keluar dari kelas meninggalkan Fiora seorang diri. Bunyi sapu terjatuh yang sebelumnya dipegang Juni terdengar, Fiora menggigit bibir kemudian mengerang frustasi, tidak, padahal bukan itu maksud Fiora, bukan yang seperti itu!

Sepuluh menit waktu untuk Fiora menenangkan diri, ia berjalan tertatih menelusuri koridor, kepalanya tertunduk, merasa lelah akan semua hal yang terjadi hari ini. Gadis itu menghentikan langkah, ketika suara seorang guru yang dikenalinya sedang mengomeli seseorang. Fiora mengangkat wajah menemukan guru kesiswaan yang seharusnya mengawasi Fiora, sedang memarahi pemuda yang mirip dengan Ravin.

Kaki Fiora berhenti bergerak, alih-alih Fiora melangkah ke gerbang untuk pulang sekolah, tubuhnya malah bergerak secara refleks, tanpa diperintah mengikuti Ravin, yang kini malah ke tempat tidak diketahui Fiora, seusai dimarahi guru kesiswaan. Firasat Fiora mengatakan akan ada hal tidak baik setelah ini.

Mereka mulai menaiki tangga menuju ke atas. Fiora ikut menghentikan langkah ketika Ravin sudah berhenti di puncak tangga, mengarah ke atap sekolah. Pemuda itu, sepertinya, masih tidak menyadari keberadaan Fiora yang mengikutinya. Terbungkam, netra coklat gadis itu dapat melihat punggung berseragam Ravin bergerak tertiup angin. Iris Fiora membulat saat Ravin mengeluarkan rokok dan pematik, untuk ia sematkan di bibir.

Uuh... tidak... Fiora mengepal kedua tangan, kening Fiora berkerut dalam, setelahnya, seperti sebelum-sebelumnya, tubuh Fiora bekerja spontan, bibir Fiora bergerak, membuka suara dengan intonasi aneh. "Rav."

Fiora dapat melihat Ravin menoleh, asap rokok berkeliaran menutupi sebagian wajah lelaki itu. Tubuh Fiora bergetar tertahan, menyaksikan wajah Ravin berubah murka, menyorot tajam lalu membuang rokok, dan menginjaknya kuat. Ravin seolah membenci kehadiran Fiora yang datang membututinya begini. Kemuakkan menggrogoti hati lelaki itu, hingga membuat Ravin berjalan ke arah Fiora kemudian menubruk bahu Fiora kasar.

Fiora melakukan kesalahan dengan tanpa sadar membentak Juni, mengakibatkan celah peluang bahwa Juni akan menjauhinya---tidak mau berteman lagi dengannya. Lantas sekarang pemuda yang mirip Ravin itu, bahkan, menubruk bahu Fiora secara kasar---tidak mempedulikannya. Bagaimana jika yang dikatakan Istari benar adanya, bahwa Fiora merupakan anak terkutuk pembawa sial, bagaimana jika memang itu kenyataannya, bagaimana jika benar-benar begitu?

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 97K 43
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
722K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
1.3M 118K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
696K 9.4K 24
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+