Suami Bar-Bar Dokter Cantik

By Aydhaa_Aydhaa

9.4K 1K 315

Mata bulat besar Nayla terbelalak. Merasakan hangat di bibirnya oleh pria tersebut secara lembut. Yasa seolah... More

Pertemuan Pertama.
Again
Keputusan Terakhir.
Kejutan Khusus!
New Father
Ikatan Tulus
Kejujuran Itu Sulit ...
Serius?
Broken Heart
Masa Lalu Yang Kelam
Sick
Perlindungan
Lamaran
First Kiss
Luka Lama
Siasat Sebenarnya
Namanya Juga Usaha
Love The Way You Are❤

Dilema ....

349 54 16
By Aydhaa_Aydhaa

"Mau apa lagi? Ini masih pagi, ya. Saya sibuk, gak ada waktu buat ngeladenin nyinyiran kamu," kata Nayla saat matanya tertuju kepada sesosok tubuh jangkung yang berdiri di samping kulkas.

"Yaela, lo kalau ngomong udah kayak gledek nyamber pohon. Gue diem aja udah kena, apalagi kalau kata-kata mutiara gue keluarin semua? Asal lo tau, semua omongan gue berbobot. Gak kosong dan anti hoax."

Nayla terkekeh geli. "Anti hoax? Apa kabar orang yang katanya sehat semalem?"

"Acieee, yang udah mulai perhatian sama gue. Gue tau, kok. Udah, lo gak perlu lagi jaim-jaiman sama gue."

"Dih ... tau apa kamu? Jangan geer, deh," kata Nayla seraya memiringkan senyum. "Minggir, saya mau lewat."

Dia memosisikan sarapan di meja makan dan pria itu mengikutinya bagai anak yang menunggu disediakan makanan oleh ibunya. Cengiran tengil Yasa setelah menggoda cukup mengganggu bagi Nayla, entah siasat apa lagi yang akan dilakukan pria itu nantinya.

Sedangkan, Yasa yang baru saja selesai mandi melangkah ke arah dapur karena indra penciumannya yang tajam menangkap wewangian menggiurkan dari arah sini. Aroma dari cumi-cumi dan daging ayam menusuk hidungnya dari kejauhan.

Dia melihat Nayla yang berada di dapur bersama satu orang asisten rumah tangga. Wanita itu sibuk, tangannya seolah sudah fasih atas apa yang harus dilakukan. Yasa tersenyum, dalam pikirannya, Nayla sudah lebih dari pantas sebagai seorang istri dan ibu. Pasti beruntung sekali pria yang menikahinya nanti.

"Vano di mana, Bi?"

"Den Vano--"

"Masih tidur dia. Udah, jangan dibangunin," sela Yasa saat Nayla bertanya kepada pengasuh Devano.

"Gimana bisa jangan dibangunin? Kamu mau anak saya jadi pemales, gitu?" protes Nayla.

"Terus lo maunya dia lari-larian sampe jatoh pas liat gue pergi kayak kemaren?"

Pertanyaan yang dikembalikan Yasa sukses membuat Nayla bungkam. Cukup masuk akal juga, dan pastinya Yasa melimpahkan penuh alasan setelah kepergiannya.

"Ya, udah. Cepetan dimakan. Biar kamu cepet pergi dari rumah saya."

Yasa mencebik. Dia rasa mulai terbiasa dengan omelan-omelan dokternya yang kelewat pedas dan jujur. Dia pun segera menyendok nasi beserta lauk ke piringnya tanpa menunggu siapa pun lagi karena dia harus cepat pergi. Lumayan, di apartemen tidak ada stok makanan dan dia malas membeli di luar.

"Kenapa malah ngelamun?" tanya Nayla. Pria itu terdiam setelah melahap satu suapan ke mulutnya.

"Masakan lo hambar. Gak ada rasanya." Yasa berbohong. Padahal, dia berhenti karena baru kali ini dia memakan masakan rumah yang sangat enak, cita rasa dengan bumbu kuat dan meresap ke dalam makanan.

"Ck. Masih untung saya sediain makan. Bukannya terima kasih."

Yasa tak peduli dengan perkataan wanita itu. Bahkan dalam sekejap, satu porsi nasinya sudah hampir habis. "Biar lo seneng. Gue makan lagi," kata Yasa seraya menambah nasi beserta lauknya lebih banyak.

Nayla tersenyum geli saat memerhatikan cara pria itu makan. Sangat lahap sekali sampai habis dua piring penuh. "Katanya hambar. Lahap banget makannya," ejek Nayla kemudian.

"Gue harus ngehargain tuan rumah. Makanya gue makan banyak."

"Iya, Mr. Gengsi."

***

Yasa bersiap hendak pergi dari rumah Nayla pagi ini. Saat dia lihat jam di tangan, waktu masih menunjukkan pukul 08:00. Masih ada waktu ke apartemen untuk mengemasi pakaian dan berangkat ke Makassar.

Dia berencana tidak akan pernah kembali lagi ke Jakarta. Dia tidak ingin menyiksa diri lebih lama melihat kebahagiaan Thea dan Galang di depan matanya langsung. Wanita itu sudah bahagia, dan dia juga berhak mencari kebahagiaan lain. Walau dia tidak tahu kapan waktu kebahagiaan itu datang.

Untuk saat ini, menjaga jarak dari Thea adalah pilihan terbaik. Menjaga keharmonisan hubungan wanita itu, juga menjaga keinginannya dari alkohol. Pelarian itu hanya sementara, dia berpikir alkohol bisa membuat Thea menghilang dari pikirannya. Tapi ternyata tidak.

Yasa menoleh saat mendengar usikan kecil Devano di tempat tidur. Wajah polos anak itu membuatnya sedikit tersenyum. Dia senang bisa mengenal bocah selincah Devano, dan dia yakin, akan ada waktu saat Nayla mengungkapkan siapa ayah kandungnya kepada bocah ini satu hari nanti.

"Kerupuk bantet. Makasih buat satu hari kemaren, lo bikin gue lupa sama kegalauan gue." Yasa bergumam begitu pelan seraya membenarkan poni Devano. Dikecupnya sebentar kening bocah itu sebagai tanda perpisahan.

Sesaat setelah sampai di luar kamar, dia melihat Nayla tergesa-gesa turun dari lantai dua. Dengan pakaian putih dan rambut hitam panjangnya yang digerai, entah kenapa wanita itu tampak menarik di mata Yasa.

"Buru-buru amat. Mau ke mana?" tanya Yasa basa-basi.

"Bukan urusan kamu."

Yasa berdecih. Diikutinya Nayla sampai di depan mobil hitam yang terparkir di depan rumah. Wanita itu menoleh lagi memasang wajah geram.

"Kenapa kamu ngikutin saya? Katanya mau pergi. Pergi sana!" usir Nayla.

"Loh. Kenapa jadi lo yang sewot! Lo pikir harga 60 juta sebanding sama dua piring sarapan gue, hah? Lo itu sekolah tinggi-tinggi tapi gak bisa ngitung."

"Iya, terus kamu mau apa lagi?! Saya lagi buru-buru."

"Anterin gue pulang."

"Apa?" Nayla mulai dibuat pening. Padahal dia sedang terburu-buru saat ini. "Nggak bisa. Saya harus pergi."

"Eh, bentar dulu." Yasa menahan lengan Nayla yang ingin membuka pintu mobil. "Anterin gue dulu. Abis tu, terserah lo mau ke mana. Gue anggep hutang lo lunas karena gue mau pergi. Kurang baik apa coba gue?"

"Saya harus ke rumah Thea. Tadi Galang hubungi saya, katanya Thea sakit. Kamu tetep mau pulang atau berenti ngoceh dan ikut saya ke rumah Thea?"

Perkataan Nayla membuat napas Yasa terjeda dalam sesaat, dia kaget. Satu kabar yang paling tak diinginkannya selama ini. "Oke. Terserah lo." Tanpa basa-basi, Yasa masuk ke dalam mobil Nayla sebelum wanita itu mengizinkannya masuk.

Nayla sendiri hampir terbiasa dengan kelakuan pria ini, seenaknya sendiri, bicara asal jeplak, dan sulit diatur. Dia membiarkan Yasa duduk di sebelahnya, Nayla mendadak menangkap gelagat aneh dari pria ini.

Wajahnya tampak murung dan sedikit gusar. Dia tak berhenti menekan ujung jemarinya seraya menatap kosong ke luar kaca mobil.

"Tumben sepi. Kehabisan obat? Atau masih gengsi ngaku sakit?" tanya Nayla.

Yasa terdiam. Sungguh aneh sekali, luar biasa makhluk itu tidak mengeluarkan kata-kata mautnya setelah disindir. Butuh sekitar dua puluh menit untuk sampai ke rumah Thea. Karena memang kota Jakarta di pagi hari adalah waktu tepat untuk kesibukkan masing-masing.

Setelah sampai di pekarangan rumah mewah milik sahabatnya, Nayla bergegas keluar dari mobil. Membiarkan pria itu bergulung dengan pikirannya sendiri.

Nayla disambut keramahan dari Galang, pria jangkung yang dikenalnya lebih dari delapan tahun itu begitu siaga di rumah karena istrinya sakit.

Mereka berdua lantas menuju lantai dua rumah. Tempat di mana Thea berada di kasur besarnya dengan wajah pucat dan murung. Dilihat dari dekat, kedua mata wanita itu sembap seperti telah menangis cukup lama.

"Ada apa? Aku rasa ini bukan lagi soal sakit. Cuma sedikit demam dan darah rendah, aku yakin gak cukup buat bikin mata kamu bengkak kaya gitu." Nayla bertanya sekaligus memeriksa keadaan Thea. Sedikit demam, dan kebungkaman wanita itu menambah penasaran di hati Nayla.

"Galang nyakitin kamu? Bilang sama aku."

Thea menggeleng pelan dan enggan menjawab pertanyaan darinya. Pria jangkung yang duduk di samping kaki istrinya yang menjawab.

"Mana ada. Dia aja yang kelewat galau," jawab Galang.

"Galau? Kenapa?"

"Siapa lagi kalau bukan gara-gara si jin tomang. Si tukang kelayapan sama bikin rusuh itu beneran pengen gue jitak kalau ketemu."

Nayla mengernyit heran.

"Mas, bisa gak sih, kamu nganggep masalah ini sedikit serius. Aku khawatir sama Yasa. Bukan tanpa alasan, 'kan? Gimana aku gak stres mikirin keberadaan dia sekarang ada di mana setelah polisi nemuin motor dia jatuh ke jurang." Thea mulai terisak. Dia menutup wajah dengan lengan menekan seberapa keras dia menangis.

Nayla mematung. Yasa? Ah, iya. Dia belum meberitahu siapa pun mengenai kejadian yang menimpa mereka kemarin. Motor Yasa yang jatuh ke jurang pun dibiarkan begitu saja dan belum ada laporan ke pihak mana pun. Pastinya, penemuan bangkai motor Yasa di jurang telah sampai ke telinga mereka oleh polisi.

"Tapi belom ada keterangan resmi juga, 'kan, tentang kematiannya. Jadi kamu jangan terlalu khawatir, The. Manamungkin jin kayak dia mati gitu aja. Kawin aja belom, kalau dia mati mau kawin sama kuntilanak? Mana mau dia," kata Galang sekenanya.

"Mas Galang!" Thea berteriak keras. Dia mendadak terbangun dengan masih menangis. "Tolong berhenti nganggap ini bercandaan. Kalau emang Yasa masih ada, kenapa hapenya sulit dihubungi? Kenapa dia gak minta tolong aku setelah dia kena musibah kaya gini?"

Nayla masih terdiam. Bingung harus mulai menjelaskan dari mana. Apakah dia harus jujur kalau dia yang telah menabrak motor Yasa?

"Terakhir dia bilang gak mau ketemu aku lagi seolah-olah dia bakal pergi jauh. Kalau aku tau kejadiannya bakal kaya gini, seharusnya aku langsung cari dia kemarin. Aku mau tanya apa salahku sampai dia gak mau ketemu sama aku? Kenapa dia tiba-tiba berubah padahal semuanya baik-baik aja."

Yasa menyandarkan kepala di balik dinding saat Thea berkata sedemikian rupa tentangnya. Perih dan sesak, dia merasa bersalah kenapa harus ada kejadian semacam ini. Karenanya Thea sakit, apa dia sudah keterlaluan?

Tidak.

Seharusnya ini menjadi jalan bagus untuknya pergi lebih jauh lagi. Akan lebih baik jika Thea tidak tahu kenapa alasan dia menjauhinya. Bodoh sekali jika sampai perasaannya bocor ke telinga wanita itu. Yasa bukanlah sejenis perusak hubungan orang yang dia cintai. Sudah cukup dia yang terluka, Thea akan menangis sesaat, kemudian akan membaik seperti semula.

Seperti itulah posisinya. Seberapa penting dirinya di kehidupan Thea, masih kalah jauh jika dibandingkan Galang.

Yasa mulai melangkah menjauh dari kamar Thea. Hatinya mencoba kuat, untuk bertahan hidup tanpa cinta seperti biasa bukanlah hal sulit baginya. Sampai dia melewati di ruang keluarga, langkahnya terhadang oleh bocah kecil berambut cokelat gelap yang tengah mengedot susu ditemani pengasuhnya.

"Omas!" teriak Natha dengan polos. Mungkin maksudnya Om Yas.

Yasa nyengir garing. "Ni bocah ngomong maen gelondong aja, horang ganteng gini dipanggil Omas. Udah dibilangin panggil Om Yas. Omas ... Omas, nama om bukan Omas, Nathaaaa."

Dia lantas meraih tubuh mungil Natha dengan mudah. Anak itu tertawa kecil dan masih betah mengedot susu yang hampir habis setengahnya.

"Omas."

Yasa berdecak. "Ck. Omas lagi. Iya, kenapa, huh? Kangen, ya, sama Om? Ah, lemah. Baru berapa hari gak ketemu udah kangen." Yasa mencubit kecil hidung mancung Natha gemas.

"Main eta bau. Papa beiin."

"Hah?" Yasa melongo. Berusaha menyerap perkataan Natha yang sulit dimengerti baginya. Dia baru sadar setelah Natha menunjuk kereta mainan besar yang dibelikannya kemarin siang.

"Ih, enak aja. Itu om yang beliin buat kamu, bukan Papa. Papa kamu pelitnya sampe ke ubun-ubun, beda sama om yang baik hati dan gak sombong ini," kata Yasa kemudian.

Dia tersenyum seraya mencium kecil setiap sudut wajah anak itu. Ah, dia pasti sangat merindukan Natha nantinya. Bocah kecil yang selalu dapat menghiburnya setiap kali berkunjung ke rumah ini.

Sementara itu, Nayla mulai duduk di sebelah Thea yang sudah hampir tenang di pelukan Galang yang sudah mengambil posisi sejak tadi. Dia tidak tega, seharunya dia memberitahukan perihal kejadian kemarin pada Thea. Nayla jadi merasa bersalah atas peristiwa ini.

"The. Aku minta maaf sama kamu, semuanya salahku ...," kata Nayla berat.

Mata Thea mulai melirik ke arahnya. "Maksud kamu?"

Nayla menelan saliva dalam-dalam. Takut Thea marah. "Se-sebenernya, aku yang nabrak motor Yasa." Dia menunduk setelah berkata.

Tidak bisa membalas tatapan kaget kedua pasang mata terhadapnya. Thea lantas keluar dari selimut dan memegang kedua bahunya.

"Bilang sama aku kalau kata-kata kamu tadi bohong," ujar Thea tak percaya.

"Nay. Kamu beneran orangnya?" tanya Galang juga.

Sedikit tekanan di bahunya membuat degup jantung Nayla dua kali lebih cepat. Apalagi dia tahu Yasa telah dianggap keluarga oleh mereka. Jadi, wajar saja bila mereka marah dengan pengakuan ini.

"Aku gak sengaja! Rem mobilku agak blong pas lewat di turunan. Dan aku juga syok waktu itu--"

Perkataan Nayla terpotong saat tangisan Thea kembali membuncah kembali. Mungkin dia syok siapa orang yang melakukan semua itu terhadap Yasa. Nayla pun mencoba menenangkan Thea lagi untuk menjelaskan semuanya.

"Aku minta maaf, The. Semuanya salahku kenapa gak jujur dari awal sama kalian. Aku pikir karena Yasa baik-baik aja, jadi aku lupa ngabarin kalian."

"Apa kamu bilang?" tanya Thea.

"Yasa baik-baik aja. Kemarin dia nginep di rumahku karena nuntut ganti rugi dan emang ada sedikit masalah. Sekarang dia juga ada di luar, gak tau kenapa dia menolak ikut masuk waktu aku ngajak dia."

Thea langsung menghapus air matanya. Di melihat ke arah pintu yang terbuka lebar, berharap seseorang masih berdiri di sana. Thea segera turun dari tempat tidur dan berjalan cepat ke luar kamar.

"Yasa!"

"Ck. Dasar jin abal-abal. Belom tau sledingan gue kali," kata Galang yang membuntuti langkah istrinya.

Nayla membuang napas pelan, dia lega. Tergantung mereka akan memaafkannya atau tidak. Dia sudah jujur, dan sekarang urusan dengan Yasa juga sudah selesai. Tinggal bagaimana memilih kata yang tepat untuk menjelaskan kepada Devano nantinya.

Nayla merogoh gawai dalam tas saat dia mendengar dering panggilan. Dia melihat nomor rumah yang memanggilnya.

"Iya, ada apa?"

"I-itu, Bu. Sa-saya cuma mau bilang ka-kalau--"

"Kenapa, sih, Bi? Bicara yang bener."

"Den Vano hilang."

Nayla terhenyak. Pikirannya kacau balau sekaligus mendengar kabar itu. "Apa? Bagaimana bisa hilang?!"

"Sa-saya tidak tahu--"

"Bagaimana bisa tidak tahu?! Bibi gimana, sih? Saya mercayain Vano supaya dijaga, bukan buat dia hilang kaya gini." Nayla menutup panggilan. Dia bergegas menyusul Galang dan Thea di luar.

Dia sangat yakin, hilangnya Devano karena anak itu mencari Yasa. Dia tidak pernah menyangka pengaruh Yasa akan begitu besar terhadap Devano sampai melakukan hal nekat begini.

Sesampainya di lantai bawah, Nayla mendapati Galang dan Thea yang tengah ribut kecil. Tak ada Yasa di sana, bahkan di luar sekalipun. Tampaknya pria itu telah pergi dari rumah ini.

"The. Apa kamu tahu alamat rumah Yasa? Aku butuh alamat rumahnya," kata Nayla cepat dan bernada panik membuyarkan pertengkaran mereka.

"Buat apa?"

"Ini penting, The. Aku butuh alamatnya sekarang. Please ...."

"Nay. Kalau ada apa-apa bilang sama aku. Aku bisa nganterin kamu ke tempat tinggal Yasa kalau kamu mau. Aku juga ada urusan sama dia."

"Ini urusan pribadiku, Thea."

Thea mengernyit saat Nayla menyodorkan sebuah buku kecil dan pulpen kepadanya. Tanpa tahu tujuan Nayla, Thea menurut. Ditulisnya alamat lengkap tempat tinggal Yasa selama di Jakarta. Nayla bergegas masuk dalam mobil setelah mendapatkan alamatnya, dia pergi.

Membuat pasangan suami istri di belakangnya juga bersiap hendak menyusul.

***

Yasa yang telah sampai di apartemen miliknya bisa bernapas lega. Semua barang miliknya telah rapi dalam koper. Tiket sudah dipesan, sekarang hanya tinggal menunggu mobil yang dipesannya lewat aplikasi datang. Masa bodoh dengan jam keberangkatannya yang masih lama, daripada dia keburu ketahuan Thea, lebih baik dia pergi duluan.

Yasa mengenakan jaket yang tergolek di kasur. Tak lupa mengenakan earphone, sebuah lagu yang sering dia dengarkan sedikit mengalihkan kesedihannya sekarang. Dia pun berjalan ke arah pintu setelah semuanya siap.

Klek!

"Hai, Papaaaa."

Brak!

Yasa spontan menutup pintu kembali ketika melihat penampakan sosok tubuh bocah kecil di depan pintunya. Wajah yang begitu familier di ingatannya itu membuat degup jantungnya berpacu lebih cepat.

"Gue pasti lagi mabok!" Yasa mencubit kecil lengannya sendiri, terasa sakit. Menyadarkan dia bahwa yang dilihatnya bukan halusinasi. "Sakit begooo!"

Yasa kembali membuka pintu. Berharap sosok itu sudah menghilang atau dia salah lihat orang. Tapi, ternyata sosok kecil itu masih berdiri tegap di depan pintu. Dengan membawa tas di punggung beserta celengan ayam yang dipeluknya, senyum lebar Devano begitu mengerikan di mata Yasa.

"Eh, Kerupuk bantet! Kenapa bisa ada di sini?!" tanya Yasa bernada sedikit keras pada Devano.

"Vano pengen liat Papa. Abis Papa lupa gak pamitan dulu sama Vano kalau mau pergi," jawab Devano polos.

"Yaelah, ni bocah ngapa, ya. Eh, kamu ke sini sama siapa? Sendiri?" tanya Yasa. Dia tidak melihat siapapun di samping Devano, bocah itu sendirian di depan pintu. "Kalau sampe Mama kamu tau. Mau jadi apa telinga Papa nantinya, huh? Mau dibikin kayak opak gosong dengerin omelan mama kamu? Anak kecil gak boleh pergi tanpa ada orang dewasa yang nemenin. Itu bahaya, Kerupuk bantet. Udah dibilangin berapa kali, jangan ngelakuin apa-apa sendirian juga. Itu telinga apa pajangan? Gak denger papa bilang apa kemaren?"

Yasa memulai omelan mautnya kepada Devano. Akan tetapi bocah itu seolah tidak peduli dan malah mengeluarkan tawa kecilnya.

"Vano denger, kok. Vano ke sini gak sendiri. Tadi dianterin satpam rumah Vano ... hehehehe. Tapi sekarang udah Vano usir. Kan, udah sampe di rumah Papa."

Perkataan polos Devano berhasil membuat pening di kepala Yasa bertambah. Padahal dia sudah tenang akan pergi, mau bagaimana jika sudah begini?

"Maaf, ya. Vano semalem buka-buka hape Papa tanpa izin. Vano tau Papa bakal pergi gak bilang, jadi Vano bisa jaga-jaga kalau Vano punya alamat rumahnya Papa," kata Devano. Anak itu menengok sebentar ke arah koper dan tas ransel yang dibawa Yasa.

"Hemh. Pinter, ya. Maaf kamu telat!" Yasa menarik kopernya keluar dan segera mengunci pintu. Dia tidak ingin membuang waktu, sebelum ada banyak orang yang mungkin akan datang ke tempat ini.

"Papa mau ke mana? Kok, bawa koper segala?" tanya Devano. Dia membuntuti Yasa saat pria itu melangkah menyeret kopernya.

"Pergi."

"Ke mana?"

"Jauh."

"Vano boleh ikut, nggak? Vano bawa baju ganti sama tabungan Vano biar gak nyusahin Papa."

Langkah Yasa terhenti. Bocah itu mengikutinya tanpa henti sampai bisa dia lihat peluh di pelipis Devano. Napasnya sedikit terengah, Yasa mengenyampingkan kopernya dan berjongkok di hadapan Devano.

"Papa mau kerja. Kamu nggak bisa ikut, Vano. Sekarang papa anterin Vano pulang, ya."

"Tapi Vano janji nggak akan nakal."

Yasa menghela napas berat. Melihat wajah polos penuh harap Devano padanya, dia tidak tega. Entah kenapa, sebenarnya dia itu type pria kasar dan tidak pernah berbicara normal lembut pada siapa pun. Tapi dia lemah terhadap anak kecil.

"Kalau kamu ikut papa, emang kamu tega liat mama sedih? Ntar kalau mama kamu nangis gimana? Lelaki sejati itu haram bikin nangis wanita, apalagi mama sendiri. Selama ini, kan, kamu tinggal sama mama. Mama sama Oma ada nemenin kamu, mereka sayang kamu, mainan kamu juga banyak. Mereka pasti bisa ngebahagiain kamu lebih dari papa, Vano," jelas Yasa seraya mengusap puncak kepala Devano.

Devano memeluk erat celengan ayamnya. Wajahnya tertunduk lesu, Yasa menyadari perkataannya mungkin saja melukai anak itu. Namun, Yasa tidak tahu harus dengan cara apa agar Devano melepasnya dan berhenti berharap.

"Vano--"

Devano menyingkirkan tangan Yasa kali ini. Dia tidak mau disentuh dan mundur selangkah menghindari. Dan hal itu pula, seolah ada cubitan kecil menyakitkan di hati Yasa saat melihat wajah murung Devano.

"Papa nggak tau apa-apa soal Vano."

Setelah bicara, Devano berlari cepat meninggalkan Yasa yang masih berjongkok di tempatnya. Perih mulai menggerayangi hatinya, sedikit banyak Yasa memahami perasaan Devano sekarang. Namun, dia berusaha menyangkal itu sejak tadi karena keinginannya untuk pergi dari tempat ini.

"Van! Vano!" Yasa beranjak, dia segera menarik koper dan menyusul larian Devano yang cepat sekali menghilang dari pandangannya.

Sampai di luar. Yasa tidak menemukan ke mana arah anak itu pergi. Dia kehilangan jejak dan dilanda panik. Khawatir akan keselamatan Devano. Apa anak itu tahu arah jalan pulang? Atau dia pergi ke tempat lain. Yasa sulit mengira sejauh mana kekahwatirannya.

"Devano!" Yasa berlari kecil seraya menyusuri setiap sudut jalan. Kendaraan ramai lancar di jalan besar memancingnya ke arah sana.

Pandangannya mendadak berpusat pada kerumunan orang di tepi jalan. Ramai sekali, bahkan terdapat mobil truk yang mengalami kerusakan di bagian kaca oleh warga sekitar. Tampaknya mereka marah akibat ada kejadian kecelakaan di sana.

Tanpa berpikir panjang, Yasa berlari ke arah sana. Pikiran dan hatinya kacau balau oleh keadaan. Disingkirkannya satu per satu orang yang berkerumun menutupi korban di jalanan aspal itu. Khawatir Devano yang tergeletak di sana.

"Vano?" Mata Yasa membulat, bukan Devano. Sesosok mayat tertutup koran bekas itu orang dewasa. Darah di mana-mana, membuat perasaan Yasa campur aduk tentang anak itu.

Pandangannya tak henti menyapu sekeliling. Begitu pun langkahnya teratur menyisir jalan. Sampai dia melihat penampakkan sepatu kecil di belakang mobil jeep. Yasa tahu Devano ada di sana.

Dia berjalan cepat. Semakin dekat dan melihat keseluruhan tubuh Devano yang meringkuk kecil di aspal, celengan ayamnya terguling persis di sebelah. Mata bulat besarnya yang tertutup membuat Yasa panik bukan main.

"Vano? Vano masih bisa denger papa? Van?" Yasa meraup tubuh Devano dengan cepat. Anak itu lemas tak bertenaga lagi.

"Badan Vano lemes banget, Pa. Vano takut ...."

Yasa menerka Devano pasti melihat kejadian kecelakaan tadi di depan matanya.

Satu detik kemudian, tubuh Devano telah berada di pelukan Yasa. Tanpa merasa berat sedikit pun atau mengomeli anak itu seperti biasanya. Dia merogoh gawai dalam saku jaket dan memberitahukan posisinya kepada sopir mobil yang dipesan sejak tadi.

Lagi-lagi rencananya hanya tinggal sebuah rentetan kalimat dalam pikiran. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi di waktu berikutnya.

Bersambung.

Penutupan
🌹
🌹
🌹

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 34.5K 28
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
588K 25.1K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
2.8M 200K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
298K 15.7K 26
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...