Darkpunzel

By artfad

3.9K 497 517

Rapunzel dikurung di kastil karena memiliki keajaiban pada rambut pirangnya, sedangkan Fiora dikurung di ruan... More

01. Rapunzel; Fiora
02. Sebuah Rencana Kecil
03. Kebebasan Sementara
04. Pertolongan Nyata
06. Ketakutan dan Trauma
07. Juni Astina
08. Hal yang Disukai
09. Cukup Berteman
10. Juni Astina (2)
11. Sagita Bella
12. Alasan Hilangnya Juni
13. Redupnya Harapan
14. Mimpi yang Ditakuti
15. Sagita Bella (2)
16. Pertemanan Sejati
17. Juni Astina (3)
18. Merekatkan Serpihan
19. Ravin Cakrawala
20. Perasaan Rumit
21. Sosok yang Sama
22. Penghujung Penantian
23. Tenggelam Kesalahan
24. Bukan Rapunzel
25. Fiora; Rapunzel
-00-

05. Lembaran Baru Fiora

155 23 25
By artfad

Ada sebuah kehidupan baru, yang patut disyukuri, bagi orang-orang, menjadi murid sekolah umum, bukanlah, suatu hal mewah, hingga, dapat membuatmu bahagia, layaknya, baru saja mendapatkan hadiah kesukaan. Tetapi, bagi Fiora, menjadi murid sekolah umum, adalah, hadiah terindah seperti sebuah hal mewah yang patut disyukuri adanya.

Fiora berjalan memasuki ruang bertuliskan sebelas MIPA dua, seusai guru mengenalkan dirinya sebagai wali kelas itu, menyebut dirinya, untuk memperkenalkan diri. Rambut Fiora terkepang satu, dengan, panjang mencapai tulang ekor, tertiup udara segar pagi. Netra coklatnya, menatap, satu demi satu, teman-teman sekelas, yang, memperhatikan sikap Fiora di depan. Fiora tersenyum disertai semburat merah samar di pipi, memperkenalkan diri, asal, juga ucapan permohonan untuk mau berteman dengannya. Lalu, segalanya terasa menyenangkan bagi Fiora.

Tepat kemarin, setelah Fiora berhasil dibawa ke rumah utama Kusuma, oleh sang oma, Fiora diberi pakaian baru berwarna cerah, juga diobati semua luka yang ada di tubuhnya. Ada perasaan hangat yang mengalir di dalam benak Fiora, nyaris, selalu merasa asing, oleh perlakuan lembut Erina. Rambutnya, ditata sedemikian rapih, kulitnya diberikan perawatan khusus, agar, bekas luka si gadis menghilang, dan wajahnya dikecup sayang penuh pengertian. Fiora tak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu. Akan tetapi, bersama Erina, Fiora percaya bahwa semua sikap kelembutan neneknya itu, mirip seperti kedua tangan sesosok ibu ketika merawat anak.

Selanjutnya, Fiora malah menangis terisak, ia segera menutupi wajah, karena, merasa dirinya, bersikap terlalu berlebihan. Namun yang terjadi setelahnya, Erina menyentuh kedua telapak tangan Fiora, mencoba untuk membuka dan melihat ekspresi haru yang tercetak jelas di sana. Ia berujar menenangkan. "Oma bakalan nyoba hapus semua kenangan buruk yang udah Tari kasih ke kamu, ngasih hal-hal indah sampai kamu lupa kalau kamu pernah disiksa. Maka dari itu...." Jeda, Erina memeluk tubuh Fiora kuat, "Nggak papa kalau kamu mau nangis, itu bukan sikap yang buruk. Oma nggak masalah jadi tempat untuk nyeritain semua hal-hal sedih di benak kamu." Dan perkataan itu sudah lebih dari cukup. Sangat cukup, sehingga menumbuhkan perasaan dicintai yang membuat Fiora merasa dirinya berharga telah lahir di dunia.

Fiora mengikuti perintah guru, melangkah menuju kursi nomor urut tiga di barisan dekat jendela, yang mengarah, ke kebun belakang. Fiora duduk bersama gadis berkepang dua, dengan, kacamata minus. Pelajaran pertama ialah matematika minat. Fiora membuka tas, dan mengambil buku tulis, untuk mencatat penjelasan guru perempuan yang mengaku wali kelasnya barusan.

Ahh, mungkin perlu sedikit penjelasan, mengenai, tempat dan sekolah Fiora kali ini. Rumah utama yang dimaksud Fiora untuk ditinggali bersama oma-nya, ialah, rumah yang berada di Desa Jangkar dekat perbatasan kota. Tempat yang biasa ditinggali Erina seorang diri menghabiskan sisa umurnya. Karena, sekolah ini pun terletak lebih mencondong ke desa, membuat sekolah ini, tidak terlalu dikenal orang kota, sekolah yang masih kumuh fasilitasnya, beserta guru, yang, tidak sebanyak sekolah kota pada umumnya.

Fiora menulis tanggal di atas sebelah kanan, pandangannya menerawang, ia tertegun oleh memori, yang, menariknya, mengingat, ketika semalam Istari mengetuk paksa rumah Erina begitu gaduh. Fiora saat itu terbangun paksa, mendengar pertengkaran, yang, dikeluarkan, Istari dan Erina. Ia memilih mengintip di balik kamar.

Istari berteriak, memarahi Erina, akibat, sikap yang seenaknya mengambil hak asuh Fiora. Pertingkaian memanas, setelah, Erina menampar Istari, kemudian, meninggikan suara sama besarnya untuk mempertanyakan mengapa Istari dengan tega menyakiti keponakannya sendiri.

Fiora menggigit bibir, iris coklat gadis enam belas tahun itu, terpaku, menyaksikan bagaimana Istari menangis, mengucapkan, bahwa, penyebab kematian Lina, ialah, adanya Fiora di dalam kandungan kakaknya. Istari mengungkit masa lalu, menceritakan betapa brengseknya Fairuz memperlakukan Lina semena-mena, lalu, menyalahkan Erina, sebab, sudah melakukan perjodohan, isakkan demi isakkan terdengar di bibir Istari, wanita berambut sebahu itu, mengepal kedua tangan menyalurkan semua kekalutannya.

Betapa gelisah dan resahnya Fiora, hingga menyebabkan keterbungkaman, tubuhnya bergeming. Tidak sesuai dugaan, Erina berujar berkebalikkan, dengan, perkiraan Fiora, dirinya malah mengatakan, bahwa, Fiora merupakan berkat dari Tuhan yang khusus dikirim untuk keluarga Kusuma, melalui, rahim Lina Salsika. Napas Fiora tersendat, ia menelan saliva. Tanpa sadar irisnya telah basah oleh air mata. Ia dapat melihat kekalahan perdebatan Istari, dan, pergi dari sana, dengan, wajah tidak percaya oleh pernyataan Erina yang barusan terdengar. Fiora benar-benar dicintai dengan tulus....

"Hei." Fiora mengerjap, lamunannya hilang, tergantikan suasana hening kelas, yang sedang, mendengarkan guru menjelaskan materi. Fiora menoleh, mendapatkan teman sebangkunya berusaha memanggil dirinya berulang kali. Fiora menyahut, "Apa?"

Gadis berkacamata itu, memiliki iris hitam, bentuk wajah mungil terbingkai poni, dan, beberapa helaian di kedua sisi telinga. Ia berujar ragu. "Aku kehabisan tinta pulpen, boleh pinjem punya kamu?" Oh pulpen, Fiora mengangguk, mengambil tempat pensil pemberian neneknya, lalu, memberikan alat tulis yang diminta. "Um, nama kamu?" Dia kembali bertanya, membuat Fiora menoleh kedua kali. Ingatan lama terkenang, di mana seorang lelaki juga pernah menanyai nama Fiora.

Fiora menorehkan senyum simpul. "Tadi di depan kan udah." Fiora dapat melihat keterkejutan teman barunya yang seakan malu. Ia memalingkan pandangan, namun tetap berucap, "Oh iya ya?" tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Fiora tersenyum geli, merasa kasihan jika terus mempermainkan teman barunya, Fiora menjawab, "Fiora, kamu?" Dan Fiora baru tahu bahwa teman sebangkunya bernama, "Juni Astina," jawabnya membalas senyum Fiora hingga terlihat manis.

Fiora melanjutkan kegiatan tertunda: mencatat. Ia mengerutkan kening, saat, merasa, beberapa angka dan tulisan tak terbaca di papan tulis, sehingga, membuatnya harus memincingkan mata, lalu kembali, menggerakkan jemarinya menyalin. Ternyata, tidak buruk juga bersekolah umum seperti ini, pikir gadis berambut hitam terkepang satu itu.

Kemudian, bel istirahat berbunyi setelah pelajaran keempat berakhir, Fiora membuka bekal buatan Erina, berbinar, ketika nasi goreng dan telur ceplok menyambutnya. Gadis itu melahap bekal senang. Berbicara tentang bekal, Juni juga sama seperti Fiora, memilih menghabiskan istirahat untuk makan di kelas.

Dua gadis yang sama membawa bekal menghampiri meja Fiora, gadis terkepang satu itu mengangkat wajah penuh tanda tanya. Salah satu berambut pendek dengan poni dijepit memecah keheningan. "Kita ikutan gabung ya?" tanyanya yang diangguki Fiora ramah.

Juni menyahut, "Iya, biasanya juga kalian gabung sama aku, nggak izin."

Gadis satunya yang berkacamata seperti Juni ikut menjawab. "Ih kan ada anak baru, Jun!"

Fiora tersenyum melihat interaksi mereka bertiga, yang, baru pertama kali dirinya rasakan. Mereka berdua duduk di kursi depan, menghadap meja Fiora, diam-diam, Fiora memperhatikan wajah teman barunya, satu demi satu.

"Eh kenalin, aku Mika. Nah temen aku yang hadapan sama temen sebangku kamu yang pake kacamata ini namanya Utami." Gadis berambut pendek dijepit itu memperkenalkan diri, Fiora mengangguk menghapal satu per satu nama mereka dalam ingatan. "Nggak perlu ngasih tahu nama, aku udah tahu tadi di depan. Nama kamu Fiora kan?" Lagi, Fiora mengangguk tersenyum. Mika tampak terlihat, seperti, gadis yang banyak bicara.

Kini perbincangan diambil alih oleh Utami. "Jadi Fi, dulu tempat kamu itu sebenernya didudukin sama yang namanya Binar. Orangnya pendiem banget, jarang senyum juga, tahu-tahu baru satu bulan dia pindah, tiba-tiba udah pindah lagi. Makannya sampingnya Juni kosong." Ahh ralat, nyatanya Utami juga sama banyak bicaranya. Pantas saja mereka terlihat sangat cocok. Fiora mengangguk mengerti. "Oh gitu."

Juni memakan nasi beserta wortel ke dalam mulut, melirik bekal Fiora ia berucap, "Aku mau cobain bekal kamu dong, Fi."

Fiora mengiyakan. "Ambil aja." Tanpa banyak bicara, Juni segera mencicipi nasi goreng beserta telur dari bekal Fiora senang. "Enak banget, siapa yang buat bekal kamu?" tanya Juni memasang wajah penasaran. Sorot Fiora berubah, pandangan matanya melembut seketika. "Oma aku," katanya dengan bangga.

Utami berkomentar menyadari perubahan ekpresi yang ditunjukkan Fiora, "Kamu sayang banget ya sama Oma kamu?" Mika segera menyela cepat penuh emosi. "Iyalah, Tam. Emangnya kamu nggak sayang sama nenek kamu. Hah?" Juni maupun Fiora tertawa. Utami cengengesan. "Sayanglah, Ka!" Benar, Fiora memang sangat menyayangi oma-nya. Satu-satunya orang yang dapat membuat Fiora merasa disayangi, juga dicintai.

Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi, setelah, usainya pelajaran terakhir yaitu bahasa inggris. Fiora menuju koperasi, untuk diberikan seragam yang akan digunakan rabu, kamis, jumat. Selanjutnya, melangkah ke perpustakaan, dipinjamkan sepuluh buku paket yang tentunya berguna di kelas. Suasana langit berubah menjingga, menandakan sudah pukul setengah empat sore. Fiora berjalan pelan-pelan menelusuri koridor membawa beban berat. Tangannya, juga, menggenggam kantung plastik berisi seragam. Netra coklat si gadis, menjelajahi tiap-tiap hal yang bisa dirinya lihat. Ruang kelas diisi beberapa orang, lapangan yang tidak terlalu ramai, karena, adanya klub sekolah, dan sedikitnya murid-murid berlalu-lalang.

"Rav, mau ya nanti malam dinner sama aku?"

Fiora menghentikan langkah, refleks, gadis itu menggigit bibir, ia mengikuti asal suara, yang berada, di balik dinding dekat pintu kelas sepuluh. Gadis berkepang satu itu terdiam, matanya menyorot intens, pemuda yang kini sedang mengurung tubuh gadis berambut hitam bergelombang dengan bando berwarna soft. Fiora menelan saliva. Bentuk rambut yang sama, garis rahang, hidung juga mata yang sama. Jantung Fiora berdetak keras. Kaki Fiora tepat berdiri tidak jauh dari mereka, tanpa melakukan persembunyian.

"Ketemu orang tua kamu?"

Fiora dapat mendengar suara berat khas lelaki pada umumnya, jemari Fiora berkeringat. Lelaki yang ada di sana itu apa benar-benar dia? Tapi bagaimana mungkin, Ravin yang diketahui Fiora, tinggal di pusat kota, sehingga pasti bersekolah juga, di kota. Fiora menahan ringisan, selagi, pemuda yang mirip Ravin itu begitu dekat wajahnya, dengan perempuan berbando itu.

"Kalau kamu belum siap, kita ke restoran aja di kota. Aku bawa supir, kok."

Fiora meremas jemari berkeringatnya, ia mengerutkan kening, hatinya terasa panas dan ingin cepat-cepat memastikan apakah lelaki persis Ravin itu memang benar-benar Ravin Cakrawala. Maka, tanpa disadari Fiora sendiri, suaranya mengudara, memanggil nama Ravin menggunakan nada kacau aneh. "Rav."

Tepat saat itu, dua orang yang sedang berdekatan tersebut, menoleh, menatap ke arah Fiora terganggu, terutama perempuan berambut bergelombang yang terlihat kesalnya bukan main. Fiora menggigit lidahnya gugup, ia terdiam memandangi wajah yang mirip Ravin yang, oh ayolah, itu benar-benar mirip sekali. Bagaimana mungkin bisa semirip ini? Mengabaikan pandangan menusuk dari si perempuan. Iris coklat dan hitam itu menubruk beberapa detik. Fiora memalingkan wajah, bergerak gelisah, mata itu memang benar-benar mata sama, yang membantu Fiora pertama kali, bisa merasakan langit malam berbintang, empat tahun lalu, di umur dua belas tahunnya.

"Rav, kamu kenal dia?"

Tersadar oleh lamunan, Fiora bisa melihat pemuda berambut hitam itu, menoleh menatap si perempuan. Kini, tangan yang digunakan untuk mengurung kekasihnya, sudah bersembunyi di saku celana abu-abu. Ia berujar tak acuh. "Nggak." Dan balasan suara si lelaki seketika membuat Fiora tercekat mematung. Jadi bukan Ravin yang itu?

Meski otak Fiora mengatakan bahwa pemuda di depannya ini sama sekali bukan Ravin yang Fiora kenal, namun, hati Fiora malah mengatakan hal sebaliknya. Rasanya menyebalkan sekali.

"Aku juga nggak percaya kamu kenal sama perempuan kayak gitu, sih. Nah sekarang, kita harus ke kota. Supir aku udah nungguin."

Mereka pun berlalu, berjalan melewati Fiora. Angin berhembus meniup tubuh Fiora, perlahan, membuat Fiora harus cepat-cepat sadar, bahwa, mungkin perkiraannya salah mengenai pemuda yang begitu mirip Ravin tersebut. Dia pasti bukan Ravin yang itu. Fiora mencoba meyakini kesimpulannya sendiri.

Fiora memilih melanjutkan perjalanan pulangnya, melangkah menelusuri koridor untuk melewati gerbang.

"Fi!" Suara teriakkan memanggil, mengakibatkan Fiora menoleh, baru menyadari, bahwa langkahnya, sudah setengah jalan menuju rumah Erina. Fiora tersenyum menatap Juni yang menghampirinya, warna senja kesorean menyirami wajah mereka berdua. "Kamu lewat sini juga?" Ditanya seperti itu Fiora mengangguk. "Kamu kenapa baru pulang jam segini?" Kini Fiora yang bertanya, karena, merasa aneh bisa bertemu gadis berkepang dua itu.

Juni membalas, "Aku tadi di perpustakaan. Setiap pulang sekolah aku pasti ke tempat itu. Emang kamu nggak lihat aku ya?" Perpustakaan yang dimaksud di sini ialah ruangan berisi buku yang luasnya minimalis, sehingga, akan terlihat jelas siapa saja yang berkunjung. Fiora menggeleng. "Maaf," lirihnya bersalah, sebab, tidak menyadari keberadaan Juni, karena, terlalu fokus pada buku pinjaman.

Juni tertawa, gadis berkacamata berwatak ceria itu berucap ramah, "Kok minta maaf, nggak papa, Fiora." Fiora mengangguk. Setidaknya, Fiora bersyukur, di hari pertama sekolah, ia sudah memiliki teman baru yang baik.

Continue Reading

You'll Also Like

7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
802K 130K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
533K 87.7K 30
βœ’ λ…Έλ―Ό [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
1.8M 128K 49
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...