Sahabat Dunia Akhirat [SUDAH...

By TsaryRJ

46.6K 3.3K 579

(Beberapa part dihapus untuk kepentingan proses terbit) [Teenfiction - Spiritual] Hanya kisah tentang 4 remaj... More

🌹 Cast 🌹
🌹 Cast 🌹
Chapter 1 : Sekolah Baru
Chapter 2 : Pertemuan Awal
Chapter 3 : Kejailan Fanny
Chapter 4 : Kenalan
Chapter 5 : Seleksi?
Chapter 6 : Problematika
Chapter 7 : Berulah Lagi
Chapter 8 : Berubah?
Chapter 9 : Kepanikan Salma
Chapter 10 : Tawaran Duduk
Chapter 11 : Pasti Bisa!
Chapter 12 : Sebuah Ide
Chapter 13 : Teman Baru
Chapter 14 : Olimpiade
Chapter 15 : Sebuah Fakta
Chapter 16 : Sebuah Fakta #2
Chapter 17 : Masa Lalu
Author Note's
Chapter 18 : Hukuman
Chapter 19 : Hukuman #2
Chapter 20 : Puncak Masalah
Chapter 21 : Jadi Temanku?
Chapter 22 : Kejujuran
Chapter 23 : Bertemu Bidadari
Chapter 24 : Bakat Terpendam
Chapter 25 : Starlight Band
Chapter 26 : Memulai Rencana
Chapter 27 : Apresiasi dari Kawan Lama
Chapter 28 : Kakak Pacaran, Ya?
Chapter 29 : Permintaan Maaf
Chapter 30 : Study Group
Chapter 31 : Tak Selalu Baik
Chapter 33 : Kembali ke Jakarta
Chapter 34 : Serius Berhijrah
Chapter 35 : Sepasang Kincir Angin
Chapter 36 : Jas Hujan dan Kamu
Chapter 37 : Rencana Jahat
Chapter 38 : Pandai Berakting
Chapter 39 : Rencana Pembalasan
Chapter 40 : Mengungkap Kebenaran
Chapter 41 : Fakta Lain Yang Terungkap
Chapter 42 : Harus Gercep, Dit!
Chapter 43 : Respon Gadis Itu
Chapter 44 : Jawaban Naila
Chapter 45 : Pilihan Yang Berbeda
Chapter 46 : Hari Kelulusan
Chapter 47 : Berkumpul Lagi
Chapter 48 : Kebenaran Terakhir
Epilog (END)
Pertanyaan
OPEN PO!!!

Chapter 32 : Masa Lalu Naila

471 56 5
By TsaryRJ

Assalamualaikum, aku update lagi nih! Semoga kalian suka ya ❤

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen, karena itu semangatku untuk menulis 😉

Saran dan kritik selalu terbuka 😊

Selamat membaca!!

***

Flashback 3 tahun yang lalu ...

"Makasih ya, Nai," ucap seorang siswi sembari mengambil bukunya dari tangan Naila.

"Iya, sama-sama."

"Lu baik banget deh mau ajarin kita yang gak pinter-pinter amat," ujar yang lainnya.

Naila tersenyum. "Alhamdulillah, kalo itu bisa membantu."

Kali ini Naila dengan ikhlas mengajari beberapa temannya yang tidak paham matematika.

Beberapa dari mereka bubar, namun ada seorang siswi bername-tag Sherin datang menghampirinya.

"Sst, Nai," bisiknya.

"Apa?"

"Lu mau gak kerjasama dengan gue?" tanyanya.

Naila mengernyit. "Kerjasama apa?"

"Gue sama temen-temen gue ada bocoran soal buat ujian nanti. Cuma kita gak tau apa jawabannya."

Naila terdiam, masih menyimaknya.

"Nah, lu kan pinter nih. Lu jawab deh soal-soal itu, nanti lu boleh make juga tuh soal. Sama-sama untung, kan?" 

"Astagfirullah!" seru Naila membuat beberapa murid melihat ke arah mereka.

Sherin menaruh telunjuknya di depan mulut Naila. "Sssttt, jangan kenceng-kenceng. Nanti pada tau."

"Kamu ini, bisa-bisanya ngasih kerjasama kayak gitu ke aku," ujar Naila mulai memelankan suaranya.

"Ck, kenapa sih? Kan sama-sama diuntungkan. Kita dapet jawaban, lu dapet soalnya."

"Tapi itu namanya curang, dalam Islam perbuatan itu gak boleh."

Sherin memutar bola matanya malas. "Yaelah, Islam melulu. Sesekali curang gakpapa kali."

Naila menggeleng. "Gak, maaf aku gak bisa terima tawaran kamu. Aku gak mau curang di ujian nanti."

"Yaelah, Nai. Ayolah, masa gak mau sih? Nanti kalo ulangannya susah gimana?"

Naila tetap pada pendiriannya. "Gak, aku tetep gak mau. Lebih baik aku dapet nilai jelek, tapi hasil jujur. Dibanding nilai bagus, tapi hasil curang."

"Dan sebaiknya kalian juga gak ngelakuin hal curang kayak gitu," lanjut Naila memperingatkan.

Ekspresi Sherin mulai tampak kesal. "Dasar sok suci! Bilang aja kalo lu emang gak mau ngasih jawabannya ke kita! Dasar pelit!"

Lalu Sherin pergi meninggalkannya, membuat Naila terheran dengan perilakunya itu.

"Astagfirullah," ujarnya sambil menggelengkan kepalanya.

***

Setelah pulang sekolah ...

"Oh, jadi dia gak mau bantuin kita?" tanya seorang siswi sambil meminum sekotak susu vanilla.

"Iya, Dar. Padahal udah gue bujuk dia, masih aja sok-sok suci."

Siswi yang dipanggil Dara itu melempar kotak susunya asal. "Cih, dasar! Berani-beraninya dia nolak tawaran kita!"

"Kita, The Rich Girl pantang ditolak orang lain! Dan dengan gampangnya dia nolak tawaran kita?!" lanjut Dara geram.

Mereka adalah sekumpulan siswi yang menamakan dirinya The Rich Girl.

Sesuai namanya, mereka adalah anak-anak dari orang kaya. Dan Dara sendiri adalah anak dari donatur sekolah yang ia tempati sekarang.

"Bener-bener tuh orang, harus kita kasih pelajaran kayaknya!" timpal seorang siswi bername-tag Nanda.

"Gue setuju! Tapi apa yang harus kita lakuin buat bales dendam ke dia?" tanya yang lainnya.

"Nah, itu dia gue juga gak tau Vi," balas Nanda.

Siswi bernama Via itu memutar bola matanya malas. Lalu ia menoleh ke arah lapangan sekolah.

"Eh gaes, liat tuh si Naila lagi pulang naik sepedanya."

Mereka menoleh ke arah yang sama. Dan benar, tampak Naila yang sedang menjalankan sepedanya keluar gerbang.

Dara tersenyum miring. "Ayo kita ikutin dia."

Mereka langsung menuju ke depan sekolah untuk menaiki mobil Dara.

"Ayo, Pak. Ikutin anak yang naik sepeda itu!" perintah Dara.

"Siap, Non," balas sang supir lalu mulai mengikuti Naila dari belakang.

"Kok dia masuk ke persawahan gini, sih?" tanya Nanda.

"Tau ya, aneh bener pulang sekolah malah masuk ke sawah begini." balas Sherin.

"Udah, kita liatin dulu aja," ujar Via.

Sepeda Naila terhenti di pinggir jalan, ia segera turun dan menghampiri sang Ayah.

"Eh, itu dia nyamperin siapa? Bokapnya?" tanya Dara.

"Mungkin," jawab Nanda.

Tak lama, Naila mengambil sabit dari tangan Ayahnya dan mulai menyiangi rumput-rumput liar disana.

Dara tersenyum miring. "Wah-wah, jadi selama ini dia cuma anak buruh tani doang?"

Yang lainnya membalasnya dengan tertawa.

"Tau, gue kira dia minimal anak pegawai. Atau seenggaknya petani yang punya lahan, ternyata cuma buruh tani. Kasian amat," timpal Via.

"Dan dengan lagaknya, dia nolak tawaran kita. Bener-bener," geram Sherin.

Dara tiba-tiba menyeringai. "Tenang aja gaes, gue ada rencana."

Nanda mengangkat salah satu alisnya. "Rencana apa?"

"Sini," ajak Dara agar mereka mendekat.

"Jadi gini ...."

Mereka mengangguk paham dan sesekali tertawa mendengar rencana Dara.

"Gimana? Bagus, kan?" tanya Dara.

"Wah, gila sih! Lu bener-bener jahat. Tapi gue suka, haha," balas Sherin.

"Iya, Dar. Mantep banget, dah!" timpal Via.

Dara tersenyum miring melihat Naila yang sedang berbahagia membantu sang Ayah.

"Kita tunjukkin ke dia, kalo dia udah ngelakuin kesalahan besar dengan main-main sama The Rich Girl."

Yang lainnya tertawa jahat mendengar hal itu.

***

Hari yang dinantikan sudah tiba (mungkin juga tidak), yakni hari pertama ujian bagi siswa-siswi di SMP Subang 3.

Semua siswa memiliki persiapannya masing-masing, ada yang santai saja, ada yang menyiapkan contekan, dan ada pula yang belajar.

Naila termasuk yang ketiga, kali ini ia sedang belajar di kelasnya. Beberapa temannya yang tidak mengerti, bertanya kepadanya. Dan Naila dengan senang hati akan menjawabnya.

Tak lama, dua orang siswi mendatangi Naila.

"Misi, gue mau ngomong sama anak itu," ujar Dara membuat yang lainnya menepi seketika.

Naila menatapnya intens. "Ada apa kalian kesini?"

"Udah, ikut aja," ucap Sherin dengan senyuman yang misterius.

Naila berpikir sejenak.

Kok firasatku gak enak ya? Apa jangan-jangan...

Astagfirullah! Jangan suudzon, Nai. Batin Naila.

"Oke," jawab Naila akhirnya.

Dara tersenyum. "Yaudah, ayo ikutin kita!"

Naila beranjak dari kursinya dan mengikuti langkah mereka.

Sementara itu, di kursi belakang tampak seseorang menyeringai sambil melihat kepergian Naila.

***

"Udah sampe!" seru Dara ketika mereka telah sampai di suatu tempat.

"Kalian ngapain bawa aku ke----arghhh!!" 

Dara dan Sherin tertawa melihatnya.

"Kasian deh, yang kesandung tali! Hahaha!" ejek Sherin.

Ya, Naila tersandung tali tipis yang membuatnya terjatuh.

Naila membenarkan posisinya. "Kalian apa-apaan, sih?! Ngapain kalian bawa aku ke belakang sekolah kayak gini?"

Dara dan Sherin hanya tersenyum miring dan tak membalas.

"Kalo emang kalian gak ada urusan, aku mau balik ke kelas. Assalamualaikum." Lalu Naila berniat pergi dari sana.

Namun tangan Dara menghadangnya. "Siapa bilang lu boleh pergi?"

"Lu gak boleh pergi sampe urusan kita selesai!" seru Dara.

Naila menautkan alisnya. "Urusan apa?"

"Cih, pura-pura lupa dia," sinis Sherin.

"Astagfirullah, aku emang gak tau!"

"Kemarin lu nolak tawaran Sherin, kan?" tanya Dara.

"Iya, emangnya kenapa?"

"Emangnya kenapa? Lu udah nolak The Rich Girl! Kita gak pernah ditolak sebelumnya, dan lu berani-beraninya nolak tawaran kita!" geram Dara.

"Astagfirullah, itu emang perbuatan yang salah, itu curang! Allah gak akan ridho!" balas Naila ikut berteriak.

"Halah! Gak usah sok suci lu! Ini bukan pesantren, yang apa-apa harus bawa agama terus!" balas Dara.

"Dimanapun dan kapanpun, agama itu tetep harus dijalanin, Dar. Gak cuma di pesantren doang," jawab Naila mulai memelankan suaranya.

"Udahlah Dar, anak ini gak bakal ngerti kalo cuma pake mulut. Langsung hajar, aja!" seru Sherin memprovokasi.

"Bener juga kata lu, nih anak emang harus dikasih pelajaran langsung."

Kemudian Dara pergi ke arah kebun, mengambil segenggam tanah, dan langsung melemparkannya kepada Naila.

"Astagfirullah!"

Naila menatap Dara kesal. "Dar! Kamu ini apa-apaan, sih?!"

"Oh, Sher. Masih kurang katanya!!" seru Dara pura-pura tak mendengar Naila.

"Oke, bos!" Sherin mengikuti langkah Dara, dan melakukan hal yang sama kepada Naila.

Naila terperanjat lagi. "Astagfirullah!"

Mereka berdua lalu tertawa, puas melihat Naila yang sudah kotor itu.

"Kan lu ini anak petani, pasti udah biasa kan kotor-kotoran kayak gini?" tanya Dara.

"Bukan petani, Dar. Tapi buruh tani," ralat Sherin.

"Oh iya, lu kan cuma anaknya buruh tani. Upss," ejeknya lagi.

Naila terdiam, rasanya ia ingin menangis sekarang.

Ya Allah, apa salahku sama mereka sih? Apa aku salah dengan bersikap benar?

"Tapi gue bingung loh, sama bokap lu. Kok bisa ya, dia berani sekolahin lu di sekolah kota kayak gini sedangkan dia aja cuma buruh tani?"

Naila mengepalkan tangannya, ia tak suka mendengar sang ayah diejek seperti itu.

Ia juga kerap beristigfar untuk menenangkan diri.

"Kira-kira lu tau gak, Sher?" lanjut Dara.

"Wah, gue gak tau Dar. Yang pasti sih, dia nekat banget," balas Sherin ikut mengejek.

"Hm, bener juga. Oh! Atau jangan-jangan dia ngutang lagi ke sekolah ini, makanya nih sekolah kagak maju-maju."

"Masuknya ngutang, anaknya belagu banget! Hahaha," sahut Sherin.

Naila sudah tidak bisa menahan emosinya lagi, ketika mendengar hal itu. "Cukup!"

"Cukup kenapa? Yang kita omongin bener, kan? Kalo bokap lu itu cuma buruh tani yang nekat!" ejek Dara lagi.

Oke, tampaknya kesabaran Naila sudah habis. Ia langsung melayangkan satu pukulan ke pipi Dara. "Gak usah banyak omong!"

Pukulan tersebut membuat Dara sampai terjatuh. Ia terdiam, tampaknya masih kaget menerima hal itu.

"Lu apa-apaan, sih?! Main pukul-pukul aja!" seru Sherin tak terima.

"Kalian duluan yang mulai ngatain ayahku!" balas Naila.

"Tapi yang kita omongin itu bener, kan?! Kalo bokap lu emang nekat!" balas Sherin tak mau kalah.

Ucapan Sherin kembali memancing emosi Naila, lalu ia juga melayangkan pukulan kepada Sherin.

Dara beranjak dari posisinya. "Nih, anak bener-bener ngajak ribut! Sini gue pukul lu juga!

Dara berniat membalas pukulan Naila, namun tangan Naila langsung menahannya.

"Kalian boleh mengejek aku, tapi kalian gak boleh mengejek orang tuaku, apalagi sampe menghina pekerjaan mereka!" seru Naila lalu ia mendorong Dara hingga membuatnya kembali terjauh.

"Dar, kita harus lapor ke guru BK!" ujar Sherin.

"Iya, ayo!"

Lalu mereka berdua pergi dari sana dan langsung menuju ruang BK, meninggalkan Naila sendirian.

Tiba-tiba Naila langsung ambruk ke bawah.

"A-astagfirullah, a-apa yang udah aku lakuin tadi?" Ia menatap kedua tangannya. "A-aku udah mukul mereka, tangan ini udah berbuat dosa, Astagfirullah."

Air mata mulai membasahi pipinya. "Ya Allah, hamba sudah kalah dengan emosi hamba sendiri. Maafkan hambamu yang lemah ini Ya Allah, maaf."

Tak berselang lama, di tengah tangisannya itu. Kedua murid tadi kembali dengan guru BK serta beberapa murid yang menatap tajam kepadanya.

***

"Tapi saya mukul mereka ada alasannya, Bu!" bela Naila.

Kali ini, untuk pertama kalinya Naila masuk ke ruang BK. Dan berurusan langsung dengan Bu Lita, guru BK di sekolah itu.

"Apa alasannya?" tanya Bu Lita.

"Mereka mengejek orang tua saya, Bu! Mereka juga mengejek pekerjaannya, sebagai buruh tani, ya saya tidak terima, Bu!" jawab Naila.

"Bahkan mereka juga lempar tanah ke saya, Bu! Liat seragam saya sampe kotor kayak gini!" lanjutnya.

"Bohong!" sela Dara.

"Kita gak pernah ngejek dia, Bu! Dia bohong!" serunya lagi.

Naila mengernyit. "Bohong? Kamu yang bohong, Dar!"

"Gak lu yang bohong!" balas Dara.

"Stop! Kalian jangan bertengkar kayak gini! Saya pusing dengernya! Coba Dara, jelaskan apa alasan kamu bisa bilang bahwa Naila berbohong?" pinta Bu Lita.

"Dia itu bohong, Bu. Kita berdua gak ngejek orang tuanya, malahan kita ngasih tau hal yang bener sama dia. Ya kan, Sher?"

Sherin mengangguk. "Iya, Bu. Kita tadinya pengen ngasih tau kalo nyontek itu perbuatan curang. Eh, dia malah emosi dan mukul kita, Bu. Ya, sebagai pembelaan diri, kita dorong dia. Eh, gak sengaja jatuh ke kebun."

Naila terkejut. "Gak, Bu! Mereka itu bohong! Justru mereka yang pengen nyontek dan maksa-maksa saya buat bantu mereka, Bu!"

"Diem! Ibu harus denger cerita dari kedua sisi!" seru Bu Lita membuat Naila terdiam

Ia beralih ke Dara dan Sherin. "Apa kalian punya bukti bahwa Naila ingin mencontek?"

Mereka mengangguk.

"Ayo, Bu. Kita ke kelasnya, coba kita cek isi tas dia," ajak Dara.

Kenapa dia suruh cek isi tasku? Bukannya gak ada apa-apa disana?

Bu Lita menghela nafas. "Oke, ayo kita ke kelasnya sekarang."

Lalu mereka pergi ke kelas Naila, diikuti oleh beberapa siswa yang penasaran.

Sesampainya disana, Bu Lita langsung menyuruh Dara untuk menggeledah isi tas Naila. "Coba kamu cek isi tas Naila!"

Dara mengangguk dan segera menggeledah isi tas Naila.

Tak ada barang apapun yang mencurigakan, namun tiba-tiba Dara menemukan sesuatu yang aneh.

Ia mengeluarkannya. "Ini apa, Bu?" tanya Dara.

Bu Lita mengambilnya. "Sebuah kertas?" Lalu ia membukanya, dan sangat terkejut ketika melihat isinya.

Ia menatap Naila marah. "Apa-apaan ini?! Berani-beraninya kamu bawa bocoran soal ke sekolah?!"

Sontak, baik Naila maupun semua yang ada di kelas itu sangat kaget.

"A-astagfirullah! Tadi itu gak ada di tas saya! Saya gak tau kenapa soal itu bisa ada di tas saya, Bu!" ujar Naila.

"Halah, gak usah pura-pura lu! Jelas-jelas soal itu ada di tas lu, masih mau ngelak aja!" seru Dara.

"Aku gak ngelak, Dar! Aku emang gak tau kenapa bisa ada benda itu di tas aku!" balas Naila tak terima.

"Cukup!" sela Bu Lita.

Ia menoleh ke arah Naila. "Ibu bener-bener kecewa sama kamu, Nai. Ibu kira kamu anak yang baik dan solehah. Ternyata kamu sama aja kayak anak-anak yang lain."

Rasanya Naila ingin menangis saja sekarang. "G-gak, Bu. Naila gak kayak begitu."

"Bocoran soal adalah hal yang tidak bisa ditoleransi oleh sekolah. Jadi untuk sementara, kamu dilarang untuk ikut ujian akhir semester ini!" ujar Bu Lita memutuskan.

Naila membelalakan matanya. "T-tapi, Bu---"

"Gak ada tapi-tapi! Besok juga, saya akan panggil orang tua kamu untuk berdiskusi dengan pihak sekolah. Bisa jadi, kamu akan dikeluarkan dari sekolah."

Deg

Kalimat terakhir Bu Lita sangat menusuk hati Naila. Bahkan, ia sudah tak mampu berkata-kata lagi.

"Sekarang lebih baik kamu bereskan buku dan segera pulang," ucap Bu Lita.

Naila terdiam, ia sama sekali tak membalas.

"Ya sudah, saya permisi. Assalamualaikum." Lalu Bu Lita pergi dari kelas itu.

Sedetik kemudian, Naila langsung terduduk. Air mata yang ia tahan, mulai mengalir di pipinya.

Bahkan, ia sudah tak peduli dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan oleh para siswa disana. Ia hanya memikirkan bahwa dirinya terancam dikeluarkan dari sekolah.

Sementara itu di luar kelas, tampak beberapa orang siswi melakukan tos kecil.

"Rencana kita berhasil, gengs," ujar salah satunya.

"Dan sekarang dia bakal dikeluarin dari sekolah, hahaha!" timpal yang lainnya diikuti oleh tawa mereka semua.

***

Keesokan harinya, Naila hanya bisa berdiam diri di rumah. Menunggu hasil keputusan diskusi antara orang tuanya dengan pihak sekolah.

Jujur, sangat tanggung jika ia dikeluarkan sekarang. Karena setelah ujian akhir semester ini, hanya butuh satu semester lagi baginya untuk memasuki jenjang SMA.

"Ya Allah, ayah sama ibu kok lama, ya? Semoga aja aku gak dikeluarin dari sekolah, Aamiin," ucapnya sambil menunggu di ruang tamu.

Orang yang dinanti pun datang. "Assalamualaikum."

Naila langsung berdiri. "Waalaikumsalam."

Lalu ia menghampiri keduanya. "Gimana, Yah, Bu? Aku gak dikeluarin dari sekolah, kan? Mereka ngasih aku kesempatan kedua, kan?" tanya Naila beruntun.

Ayah dan Ibunya saling berpandangan dengan tatapan yang sulit diartikan.

Ia menarik-narik tangan keduanya. "Ayo, Yah, Bu. Jangan diem, aja!"

Sang ibu langsung memeluknya. "Maafin Ibu, Nak. Maafin, Ibu."

"Maafin kenapa, Bu?"

"Ayah sama Ibu gagal mempertahankan kamu disana," ujar sang Ibu.

Naila membelalakan matanya. "J-jadi artinya aku dikeluarin?"

Ayahnya mengelus punggung Naila. "Iya, Nai. Maafin kami, kami gagal."

Bagai petir di siang bolong, ia sangat tak percaya dengan berita tersebut. "Haha, Ayah bercanda kan? Gak mungkin aku dikeluarin!"

"Gak, Nai. Ayah gak bercanda, itu semua benar! Sekali lagi maafin Ayah," balas sang Ayah lalu memeluk putrinya itu.

Tak lama, air mata kembali menghiasi pipinya. Ia menumpahkan semua kesedihannya di pelukan sang Ayah.

"T-tapi raport Naila masih ada hasilnya, kan?" tanya Naila sedikit berharap.

Ayahnya mengangguk. "Iya, tadi Ayah minta kepada pihak sekolah untuk tetap mengisi raport kamu. Alhamdulillah, mereka setuju."

"Ya, meski raport kamu cuma diambil dari ulangan-ulangan harian yang kamu ikutin," lanjut sang Ayah.

Secercah harapan terpancar dari wajah Naila. "Alhamdulillah, setidaknya nilai raportku gak bener-bener kosong."

Ibunya juga tersenyum. "Iya, Ibu juga ikut seneng."

"Kira-kira aku masih bisa lanjut sekolah, gak?" tanya Naila.

Ayahnya berpikir sejenak. "Mungkin untuk lanjut ke SMP kamu udah gak bisa, karena sekarang bukan tahun ajaran baru. Dan pasti pendaftaran belum dibuka."

"Terus aku langsung lanjut SMA gitu?"

Ayahnya mengangguk. "Iya, kamu langsung ke SMA. Dan harus ikut tes, karena kamu gak punya ijazah."

Naila teringat sesuatu. "Yah, kalo aku nanti SMA. Aku pengen masuk MAN aja ya."

"Kenapa, Nak?"

Ia mengingat kejadian kemarin. "Aku pengen belajar agama lebih dalem lagi, karena aku sadar ternyata imanku masih rendah banget."

"Ya sudah, kalo kamu mau masuk MAN nanti Ayah carikan. Ayah  senang putri Ayah punya niat yang baik," jawab Ayahnya.

"Ibu juga senang," balas sang Ibu.

Naila sedikit ragu, namun akhirnya ia bertanya, "Yah, Bu, kalian percaya kan kalo Naila gak ngelakuin hal itu?"

Keduanya tersenyum.

"Tentu saja, sayang. Kita percaya kalo kamu gak ngelakuin itu. Bahkan, meski satu dunia mengatakan kamu bersalah, kami akan selalu percaya sama kamu," jawab sang Ibu.

Tak berbasa-basi, Naila langsung memeluk mereka. Sambil berkali-kali mengucapkan terima kasih.

***

Selama 6 bulan tersebut, Naila hanya belajar dari rumah. Ia juga membantu Ibunya di rumah, dan sesekali membantu Ayahnya di ladang.

Beberapa kali ia juga mendengar desas-desus tentang dirinya. Namun, ia berusaha untuk tak mempedulikannya.

Lagipula, selalu ada keluarga yang menemaninya dan memberi semangat.

Ia mendaftar di MAN Sukasari 1, pihak di sekolah itu sempat meragukan kemampuan Naila karena raportnya yang sebatas semester 1.

Tapi ia dapat mematahkan keraguan tersebut dengan berhasil di tes. Ia juga mendapat nilai tertinggi di tes itu.

Disana, ia memperdalam ilmu agama, dan berusaha untuk melatih emosinya.

Hingga suatu hari ...

"Nai, kamu dipanggil sama Kepsek, tuh!" ujar temannya, Hanum.

"Ada apa, Num?"

Hanum mengedikkan bahunya. "Entah, aku juga gak tau."

"Yaudah, aku kesana dulu ya. Assalamualaikum." Lalu Naila bergegas pergi ke ruang Kepsek.

"Waalaikumsalam."

Tak lama, ia pun sampai disana. "Assalamualaikum." 

"Waalaikumsalam," jawab Bu Widya selaku Kepsek di sana.

"Ada apa ya Ibu manggil saya?"

Bu Widya tersenyum. "Naila, kamu ini anak kebanggaan sekolah. Banyak prestasi yang kamu cetak disini, dan Ibu sangat bangga akan hal itu."

Ia menghela nafas sebelum melanjutkannya lagi. "Tapi Ibu harus ikhlas melepas kamu."

Naila mengernyit. "Melepas? E-emang saya mau dikeluarin?" tanyanya sudah takut duluan.

"Gak, justru sebaliknya. Kamu dapet beasiswa ke SMA Nusa Jaya di Jakarta! Selamat ya!" ujar Bu Widya.

Senyum Naila merekah, ia tak percaya akan mendapat kabar bahagia seperti ini. "Alhamdulillah, Ya Allah!"

Setelah itu, ia memberitahu kedua orang tuanya. Dan mereka sangat bangga dengan kabar itu.

Ia pun merantau ke Jakarta, berusaha untuk melupakan masa lalunya yang kelam itu.

Flashback End.

***

Jika kamu mampu bersabar pada saat dirimu marah, maka hal itu dapat menghindarkanmu dari ribuan penyesalan di masa yang akan datang. - Ali Bin Abi Thalib

Continue Reading

You'll Also Like

5.6K 1.3K 19
"Aku selalu merindukan langit, tapi aku tak yakin bisa meninggalkan orang-orang yang kusayang di bumi" -Ghaza Asyiqos Sama' "Untukmu perindu langit...
47K 711 5
Ada seorang suami istri yang menyelidiki tentang kasus tersebut
962K 93.2K 51
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
4.6K 727 22
[TEENFICTION] "Lo udah gila ya?!" bentak seseorang yang berlari ke arahnya . "Lo tau nggak?! Di kuburan sana masih banyak orang yang ingin hidup lagi...