Darkpunzel

By artfad

3.9K 497 517

Rapunzel dikurung di kastil karena memiliki keajaiban pada rambut pirangnya, sedangkan Fiora dikurung di ruan... More

01. Rapunzel; Fiora
03. Kebebasan Sementara
04. Pertolongan Nyata
05. Lembaran Baru Fiora
06. Ketakutan dan Trauma
07. Juni Astina
08. Hal yang Disukai
09. Cukup Berteman
10. Juni Astina (2)
11. Sagita Bella
12. Alasan Hilangnya Juni
13. Redupnya Harapan
14. Mimpi yang Ditakuti
15. Sagita Bella (2)
16. Pertemanan Sejati
17. Juni Astina (3)
18. Merekatkan Serpihan
19. Ravin Cakrawala
20. Perasaan Rumit
21. Sosok yang Sama
22. Penghujung Penantian
23. Tenggelam Kesalahan
24. Bukan Rapunzel
25. Fiora; Rapunzel
-00-

02. Sebuah Rencana Kecil

281 37 19
By artfad

Kota, memiliki berbagai macam tempat yang mempunyai masing-masing nama. Fiora bertempat tinggal di Jalan Merdeka, samping jalan kecil yang dilalui beberapa kendaraan, dekat taman kanak-kanak berbukit rendah. Suhu udara masih terasa lebih dingin, karena belum tertampaknya sang matahari. Menarik napas sebentar, Ravin melanjutkan pertanyaan yang membuatnya penasaran. "O-oke Fiora, nama aku Ravin Cakrawala. Terus, apa itu rambut?" Ravin dua belas tahun itu terdengar benar-benar bertanya. Pemuda tersebut seolah murni, diliputi rasa penasaran besar. Fiora mengangguk sebagai jawaban.

"Nah, ayo main sama aku di luar." Ia mengajak, membuat Fiora tersenyum ceria, menyadari satu kenyataan, senyum gadis itu memudar sedih.

"Nggak boleh."

"Hmm?"

"Aku nggak boleh main ke luar, Ravin." Fiora menjawab, irisnya meredup, membayangkan ketika bibinya tahu bahwa dirinya membiarkan orang asing masuk ke dalam kamar. Fiora bukan hanya dipukul, ia juga tidak akan diberi jatah makanan. Fiora bukanlah anak kuat yang bisa bertahan akan semua sikap yang diberikan Istari untuknya. Sebisa mungkin, Fiora memilih menghindar, menjauhi masalah, dan menuruti ucapan wanita berambut sebahu itu.

"Kenapa?"

Fiora memindahkan Pascal dari tangannya ke lantai, netra coklatnya sekilas berkilat, namun, dengan cepat Fiora menyembunyikan ekspresi sedih. Bagi gadis itu sendiri, memberitahu masalah Istari bukanlah perbuatan baik. Meski, Istari sering kali memperlakukan Fiora dengan buruk, bukan berarti, Fiora bisa menutupi fakta bahwa, bibinya-lah yang sudah merawat dan mengurusinya sejak kecil.

Fiora memeluk lutut, membiarkan keheningan menyelimuti suasana mereka. Mengambil napas sebentar, Fiora mengangkat kepala, tepat saat itu, iris mereka saling menubruk. "Apa kita bisa hindari pertanyaan kayak gitu?" Ada nada parau yang terselip di sana. "Kalau kamu? Kenapa ingin sekali main sama aku?"

"Aa," Ravin mengangguk, lalu menjawab jenaka, ketika suasana mulai berubah kaku. "Aku seneng sama perempuan cantik." Singkat, padat juga polos, Ravin mengumbar senyum. Fiora mengangguk mengerti, entah dirinya harus bangga, atau tidak, dengan pujian tak langsung yang dilontarkan Ravin. Ahh, mungkin, Fiora harus mengingat, bahwa lelaki dua belas tahun di depannya ini, bisa jadi merupakan lelaki yang akan tumbuh menjadi lelaki penggombal di masa depan. Tak sengaja melirik jam dinding, Fiora menyorot tidak enak. Pukul enam kurang sepuluh menit, sisi teratas matahari mulai muncul di bagian timur memberi pancaran rona kemerahan, menandakan pagi telah tiba. Suhu ruangan berubah menjadi lebih hangat.

"Aku harus sekolah, Ravin."

Ravin melepas sapuannya pada punggung Pascal, ia menjawab, "Terus?"

"Kamu harus pergi, guru aku nanti dateng. Kalau dia tahu kamu di sini, dia pasti mengadu pada Bibi." Benar, guru privat Fiora merupakan suruhan Istari agar memberi tahu mengenai tumbuh kembang gadis berambut hitam itu dalam hal belajar, termasuk, saat Fiora melakukan hal aneh: membiarkan orang lain masuk, misalnya.

"Kamu sekolah juga?" Ya ampun, dari sekian banyak pertanyaan, kenapa Ravin malah bertanya suatu hal yang jelas-jelas sudah dirinya ketahui jawabannya. Fiora mengangguk gugup. "I-iya."

"Aku juga sekolah," sahut lelaki murah senyum itu kemudian. Umur Ravin sama seperti Fiora, menginjak dua belas tahun. Sama-sama disekolahkan pada pertengahan pertama.

Mengerjap. "Oh?" Fiora belum menguasai diri dan menumpahkan segala pertanyaan untuk Ravin. Namun, tanpa diduga, Ravin menegakkan tubuh, ia menaikkan kedua alis, layaknya orang dewasa yang sedang menggoda wanita di jalan. Fiora mengerutkan kening ikut berdiri. "Besok kita main lagi ya cantik," katanya masih dengan rayuan yang entah diajari oleh siapa. Benar-benar anak itu.

Fiora mengangguk setuju, kedua matanya berbinar senang. "Hm!" Sorot Fiora mengamati sikap Ravin yang pergi, turun dari jendela menggunakan kayu bawaannya. Fiora menyadari, kamarnya memang hanya berlantai dua, akan tetapi, cukup sulit digapai oleh seorang anak macam Ravin Cakrawala. Fiora tak bisa menahan rasa bahagia, ia senang sekali, sudah memiliki teman seperti Ravin yang mau menemani kesendirian gadis itu. Dengan hati-hati, Fiora menutup dan mengunci jendela, menyimpan kunci di bawah bantal, kemudian tersenyum lebar, mengangkat Pascal berputar-putar.

Esok pagi pun menjelang. Sama seperti sebelumnya, Ravin datang tepat sebelum matahari menampakkan pantulan kemerahannya. Suhu ruangan masih terasa dingin. Fiora membuka jendela, menyambut kedatangan teman barunya itu. Ia tahu, betapa dengan adanya Ravin mengajak jalinan pertemanan, membuat Fiora menikmati hari-hari di kamar dengan kesendiriannya, meski masih adanya sesosok Istari dan bergantinya guru privat, Fiora sudah merasa amat cukup.

Senyum Fiora tertoreh hangat, Ravin datang, mengenakan kaus putih, bergambar kartun pria gemuk, berkumis tebal dengan pakaian merah-biru mengenakan topi berhuruf. "Nih, kemarin aku beli gado-gado, karetnya aku simpen, buat kamu." Ravin berujar, memulai perbincangan sembari menyodorkan karet bawaannya. Fiora menatap bingung, lalu Ravin segera menjawab cepat. "Buat ngiket rambut kamu." Barulah Fiora mengerti. Dengan tanpa banyak berbicara, segera saja ia mengambil karet dari tangan Ravin lalu mengikat rambut kehitamannya asal.

"Fi, kamu nggak mandi?" Ahh benar-benar jujur dan apa adanya. Selesai mengikat rambut, Fiora menyorot serius. "Mandi kok." Senyum simpul terukir, Fiora meneruskan. "Bibi ngasih baju ke aku emang hampir sama semua." Ravin terlihat mengangguk, mengingat satu hal, lelaki itu mendadak menatap sekitar entar sedang mencari apa. "Pascal mana?" Oh, ternyata lelaki itu menanyakan, hewan bawaannya kemarin. "Aa," Fiora segera berdiri, lalu mengambil Pascal di atas meja dekat lampu tidur. "I-ini," katanya menghampiri Ravin. Lelaki itu segera memainkan hewan tersebut.

"Kamu yakin nggak mau main sama aku di luar?" Fiora termenung, tentu saja gadis beriris coklat itu, menginginkan bisa bermain ke luar. Jangankan bermain, Fiora amat bahagia, bila bisa menginjakkan kaki di bagian-bagian tanah berbeda warna dan bentuk itu. "Satu kali, cuma satu kali aja kamu nggak ngikutin perintah Bibi kamu." Ravin berujar, menyadarkan Fiora dari lamunan si gadis yang sedang berfikir. "Mungkin setelah itu, Bibi kamu bakalan marah, tapi kamu bisa dapet pengalaman yang nggak terlupakan."

Tentu, Istari akan memarahinya, memukul, mengumpat. Fiora menyadari resiko yang ia ambil, bila tidak mengikuti titah Istari yang mengekang. Namun, sampai kapan? Ia memang pasti dihukum, tetapi, Fiora tidak akan pernah mengetahui, bagaimana rasanya berada di luar sana. Di lain sisi, pula, Fiora amat ketakutan, oleh perasaan trauma yang sudah diberikan Istari. Fiora menatap Ravin ragu. "Kalau kamu tahu, gimana sikap Bibi sama aku yang...." Fiora terdiam tak berani melanjutkan kata-katanya.

"Yang mukul kamu? Yeah," Ravin mengambil benda kecil bertuliskan obat merah, ia---ketiga kali memberi Fiora sesuatu lagi. Fiora menatap Ravin tidak mengerti, bagaimana bisa lelaki itu tahu mengenai luka-luka Fiora?

"Mami selalu ngobatin aku pake ini." Ravin menyunggingkan senyum, menunjuk obat merah, sembari menaruh Pascal ke lantai berhenti memainkannya. "Kalau kamu setakut itu sama Bibi kamu, ya udah, kita nggak perlu keluar."

"Aku mau!" potong Fiora menjerit, sadar suaranya meninggi, Fiora merapatkan bibir gugup. Gadis itu menghela nafas. "Aku mau, Rav, aku mau banget, tapi aku juga takut." Fiora memejamkan mata, memeluk tubuhnya sendiri gemetar. Ia terlempar pada memori menyakitkan, yang membuat sekujur tubuh gadis itu, tak semulus anak-anak seusianya. Dia dipenuhi luka benda tumpul di kulit, goresan, juga banyaknya warna kebiruan. Gadis itu akan menangis, memohon kemudian meminta maaf. Begitu lemah dan tak berdaya dalam kuasa keegoisan seorang dewasa.

"Aku takut, Rav," parau Fiora bersuara rendah. "Aku takut," ulangnya lagi dengan linangan air mata. Ravin membungkam. Jam dinding menunjukkan pukul enam tepat. Pancaran kemerahan, mulai memantul membias cahaya jendela. Ravin berdiri, menegakkan tubuh. Sebelum benar-benar pergi, Ravin menyempatkan menaruh obat merah bawaannya di lantai. Tanpa mengucapkan salam perpisahan, dan ungkapan penghiburan. Fiora larut dalam kesedihannya sendiri.

Selama hidupnya, Fiora tak pernah memiliki keinginan besar, harapan gadis berambut panjang itu, hanyalah asa sederhana yang menginginkan, tak lagi dipukul oleh Istari. Maka, ketika ditanya, apakah ia mau menjalani kebebasan di luar? Tentu saja, jawabannya iya. Tetapi, tetap saja rasa tremor itu, selalu menghantui, setiap kali, Fiora mencoba lebih keluar menjauhi batas aman.

Ika selaku guru pembimbing, membawa sejumlah buku dan latihan soal. Beruntunglah, sebelum Ika datang, Fiora terlebih dahulu menutup jendela. Mencoba tetap berkonsentrasi mengikuti pelajaran, seperti hari-hari sebelumnya. Selesai pada sekolah privat, Fiora kembali ke rutinitas yang sama, membaca buku besar pengetahuan alam yang membahas tentang anatomi tubuh.

Matahari mulai menanjak ke atas kepala, memberi bayang pada benda-benda, hingga tampak terlihat lebih pendek. Suhu pun berubah menjadi lebih panas. Pintu kamar terbuka, menampilkan sesosok Istari yang berjalan ke arah gadis itu. Fiora menelan saliva, menahan degupan jantung berdentum. "Kamu ngapain?" Merupakan pertanyaan pertama yang diajukan Istari, sembari membawa nampan berisi nasi dan lauk-pauk.

Fiora mengangkat wajah, menahan gemetar. "Ba-baca buku?" jawab Fiora, malah menggunakan nada bertanya.

Istari menaruh makan siang di atas laci, kedua tangannya terlipat di depan dada, memincing, menatap Fiora penuh curiga. "Rambut kamu diapain?!" tanya Istari menaikkan suara satu oktaf. Fiora berjengit, menyadari bahwa ia belum melepas ikatan rambut yang diberikan Ravin padanya. Fiora gelagapan segera melepas ikatannya, menunduk, meremas seprai ranjang berkeringat dingin. "Ma-maaf," cicitnya pelan.

"Siapa yang ngasih kamu ikatan rambut?!" Jengkel dengan Fiora yang menjawab menggunakan gumaman, Istari naik pitam. "Siapa?!" Fiora memejamkan mata menahan tangis. Fiora yang paling tahu, dirinya tidak pernah dibelikan ikatan rambut agar lebih terlihat rapih.

"A-aku nemu Bi, d-di-di bawah---" Pukulan pipi terdengar. Ia kehilangan keseimbangan, berakhir tersungkur, yang beruntungnya, di atas kasur. Fiora menggigit bibir. Hanya dengan satu pukulan, sudah cukup membuat sekujur tubuh Fiora gemetar hebat, layaknya memiliki phobia berlebih terhadap suatu hal. Istari mengepal kedua tangan. "Sudah aku bilang berapa kali jangan pernah panggil aku Bibi, sialan!" Fiora mengangguk cepat, air mata menggenang di bawah kelopak. Istari memundurkan langkah, menggerakkan kaki, melangkah ke luar kamar tanpa berbicara.

Tengah malam menjelang, tepat pukul dua belas. Fiora terbangun oleh---sekali lagi---bunyi ketukan di jendela. Mengernyit, terasa seperti dejavu, gadis berambut hitam itu menghampiri jendela menyibak tirai. Irisnya membulat, merasakan kehangatan menjalar di hati saat melihat Ravin berada di sana, Ravin menggerakkan bibir, berbicara 'buka jendelanya'. Fiora segera menoleh ke arah pintu memastikan tak ada tanda-tanda bibinya terbangun. Mungkin, memberanikan diri, tidak akan terjadi apa-apa. Untuk kali ini saja 'kan. Benar-benar untuk kali ini saja. Fiora menelan saliva. Kakinya bergerak ke ranjang, mengambil kunci, di bawah bantal. Sedikit gemetar, Fiora membuka jendela.

Ravin bergerak ke arah lemari Fiora, tangannya, mengambil banyak setel pakaian dan berakhir mengambil selimut. Fiora terdiam---menunggu apa maksud Ravin berlaku seperti itu. Lalu, Ravin menaruh semua pakaian Fiora di ranjang dan menutupinya membentuk timbunan. Rencana ini agak aneh, namun, bisa untuk dicoba. Mengelabui Istari menggunakan tumpukkan pakaian, yang seolah-olah terlihat seperti Fiora, bila bibinya tersebut, tak sengaja terbangun dan menyadari ketidakadaan si gadis.

Fiora menoleh menatap Ravin tidak yakin, namun, lelaki itu mengangguk dengan penuh kesungguhan, Ravin berbisik pelan. "Cuma sebentar," katanya kemudian. Kesempatan seperti ini mungkin tidak akan pernah datang lagi dalam kehidupan Fiora, hanya untuk kali ini, Fiora marapalkan kalimat sama, untuk menenangkan jiwanya sendiri. Hanya untuk kali ini, benar-benar hanya untuk kali ini saja. Fiora mengangguk, memantapkan diri, bergerak keluar dari sana dengan celah jendela terbuka.

Angin dingin berhembus, meniup Fiora seolah menyambut keberaniannya. Kaki Fiora menginjak tanah setelah tangga terakhir, senyum lebar terukir dengan rasa menyenangkan yang menggelitik di telapak kaki. Oh apakah ini rasanya berada di luar? Jantung Fiora berdegup keras, ia berjalan pelan-pelan sembari merentangkan kedua tangan. Ravin menyusul di belakang membawa Pascal. Fiora menoleh, binar cerah terpampang di wajahnya, yang seringkali terlihat sepi. Hamparan langit hitam dengan jutaan bintang, serta segala aroma menyenangkan yang tercium di hidung. Jujur saja, Fiora benar-benar melupakan resiko, jika Istari mengetahui pelanggarannya. Hal itu bisa dipikirkan nanti, bukan?

Continue Reading

You'll Also Like

13.3M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
2.4M 446K 32
was #1 in paranormal [part 5-end privated] ❝school and nct all unit, how mark lee manages his time? gampang, kamu cuma belum tau rahasianya.❞▫not an...