To Be With You (Slow Update)

By FefeFanixiamo

549K 44.6K 1.8K

Yuvanka Maharani adalah seorang mahasiswi semester lima yang juga seorang foto model. Niat terbesarnya melaku... More

To Be With You
Prolog
2. Pemotretan untuk Katalog Why High
3. Semakin Mesra-Semakin Sakit
4. Bruno
5. Model Baru
6. Unexpected Moment-1
7. Unexpected Moment-2
8. Nge-date?
9. Gosip
10. Ternyata
11. Manwhore
Pemberitahuan
12. Penolakan
13. Tuhan... Aku butuh dispensasi!
14 A. April Hilang
Part 14 b
15. Langkah Pemulihan
16. Hati Sekuat Baja
17. Apa Kalian Punya Hati?
Cecuap
18. Haruskah Percaya?
19. Dari yang Lain
Sekilas tentang Bab Selanjutnya
20. Di Balik Lensa
21. Akhir untuk Menuju Awal (Bag. 1)
22. Dia Kembali
23. Akhir untuk Menuju Awal (2)
24. Berita Buruk
25. Rahasia
26. Ingin Mencoba
27. Mendekat
28 A. Interogasi
28 B. Interogasi
29. Konferensi Pers
30. Cemburu
31. Titik Terang
32. Teror
33 A. Terkuak
33B. Terkuak
34. Berakhir
Cast
35. Pertemuan Kembali
Epilog
LDR (Chat)
Dirty Chat
Hello
KELANA

Part 1. Hari Sial?

18K 1.4K 21
By FefeFanixiamo

Wake up! Wake up!

Aku mengerang mendengar nada alarm dari ponsel. Ah, harusnya aku tak perlu memasang alarm hari ini kalau saja tak ada pergantian jadwal kuliah – semenjak  bergabung dengan agensi model, aku selalu memilih kuliah siang –. Dengan mata masih terpejam, kuraih ponsel dan segera mematikan alarm. Mungkin aku bisa tidur kembali –paling tidak sepuluh menit –sebelum mandi. Baru saja mata terpejam, aku mendengar bunyi alarm dari kamar sebelah menjerit. Sepuluh detik… tiga puluh detik… satu menit… Argh!! Kenapa si pemilik alarm tak juga mematikannya? Mau tak mau aku, aku harus bangun dan mandi.

Mandi selama dua puluh menit ternyata cukup ampuh untuk menghilangkan rasa kantuk. Aku merasa segar dan mataku sudah terbuka sempurna. Sekarang, jam menunjukkan pukul setengah tujuh  pagi, jadi aku masih mempunyai waktu untuk mengisi perut. Lagi-lagi makanan pertamaku  sepotong roti dan susu UHT, rasanya aku lupa terakhir kali makan nasi saat sarapan? Minggu lalu? Bulan lalu? Tahun lalu? Berbeda sekali dengan di rumah, saat bangun tidur, masakan Ibu sudah terhidang di meja. Kalau di kost, jam enam pagi tempat makan masih jarang yang buka.

***

Morning shock is here!

Seharusnya aku berangkat kuliah lebih awal atau lebih telat, atau sekalian saja tak kuliah hari ini. Bayangkan saja, baru melangkahkan kaki di kampus, aku sudah melihat pemandangan yang cukup menyesakkan dada. April turun dari mobil Yoga! Pagi-pagi saja, sambutannya sudah seperti ini, bagaimana dengan nanti? Oh, how I wish I don’t meet April today! Okay, focus Yuva! Abaikan saja mereka, pura-pura tak melihat, dan lanjutkan perjalanan menuju kelas! Tapi sekeras apapun usahaku untuk mengabaikan mereka, tetap saja aku masih bisa mengingat jelas saat Yoga membukakan pintu untuk April, April yang membelai mesra pipi Yoga, mereka yang tertawa cekikikan… ahhhh, lupakan! Lupakan!

“Yuva!”

Baru saja aku mau menuju kelas, Bruno sudah menginterupsi langkahku dan dengan seenaknya menaruh lengannya yang besar di pundakku. Ck, dasar gorilla! Segera kusingkirkan lengannya – mengantisipasi agar tak jadi bungkuk.

“Tumben sekali lo beramah tamah?” selorohku sarkastik.

“Tumben sekali gue lihat Yuva di kampus pagi-pagi?”

Kuputar mataku saat mendengar balasannya. “So, what’s up?

Bruno mengangkat bahunya acuh dan tersenyum padaku. “Nothing! I just wanna say hi.

“Ck! Jangan bilang lo menjadikan gue target selanjutnya karena April sudah jadian dengan Yoga!”

Mata Bruno seketika berbinar dan senyumnya semakin lebar. Gila!

“Woaa, kalau tahu lo sepintar ini, harusnya gue ngincar lo dari awal ya?”

What? Mana mau aku dengan laki-laki semacam Bruno yang terlalu lama pendekatan. Bisa-bisa aku jadi basi seperti April. “Mimpi saja lo!” Tanpa menunggu balasannya lagi, aku segera masuk kelas.

Bruno benar-benar gila! Bagaimana bisa dia semudah itu melupakan April? Apa jangan-jangan selama ini dia memang hanya iseng dengan April? Dasar laki-laki! Makin lama, makin jarang yang baik!

Pikiran tentang Bruno dan segala keanehannya segera kulenyapkan saat dosen memasuki kelas. Hah, benar-benar on time! Untung saja, tadi aku tak berangkat mepet seperti biasanya saat ada pergantian jam kuliah pagi, bisa mati aku!

Setengah jam pertama, aku bisa mengikuti perkuliahan dengan baik. Satu jam pertama, mataku sudah mulai mengantuk. Setengah jam kemudian, aku benar-benar mulai berkhayal kalau saja di sini ada bantal dan ada yang menawariku untuk tidur. Astaga, menahan kantuk sama susahnya dengan bergaya di depan kamera Yoga. Sekarang kursi kayu bahkan sudah terasa nyaman seperti ranjang putri kerajaan yang mewah.

Saya tidak suka ada yang tidur di kelas saya!”

Aku tersentak! Astaga teriakan itu… Aku tak peduli itu ditujukan untuk siapa, selama dosen tak menunjuk ke arahku, aku tak akan merasa. Yang jelas, suara menggelegar tadi sukses membuat mataku melotot seketika dan melenyapkan puing-puing rasa kantuk.

The best thing about tonight’s that we’re not fighting

Could it be that we have been this way before

Baru saja aku bernapas lega karena dosen sudah tak mempermasalahkan soal kantuk  mengantuk, detik selanjutnya jantungku lansung kelonjotan. Oh damn, orang bodoh mana yang lupa mematikan ponsel saat kuliah? Matilah kau setelah ini, Pak Beni pasti murka! Tapi seperti tersentak dan dihempaskan pada kesadaran penuh, aku tahu bahwa orang yang akan mati adalah diriku sendiri. God, dering itu berasal dari ponselku. Dengan segera kuacak-acak isi tas untuk mengeluarkan benda sialan itu, walaupun aku tahu bahwa semua itu akan berujung sia-sia.

***

Biasanya aku mendengar istilah “kebohongan satu mengikuti kebohongan-kebohongan yang lain”, tapi ini aku mengalami “kesialan diawal, membawa kesialan yang lain sampai akhir”.

Kurang sial apalagi aku hari ini? Mendapat kuliah pagi, melihat April diantar ke kampus oleh Yoga, dan terakhir ditendang keluar dari kelas. Mungkin aku salah makan kemarin, atau aku kualat karena mengumpat Yoga dan April? Menyedihkan!

“Gue nggak pernah lihat lo di kampus pagi-pagi?” Yoga duduk di sebelahku dengan tenang. Tangannya memegang sepotong sandwich yang sudah digigit dan tangan kirinya memegang kopi panas dalam gelas berlabel kafe dekat kampus.

“Bukan urusan Anda, kan?” balasku dengan acuh.

Yoga sepertinya terkejut melihat reaksiku, tapi ia segera dapat mengembalikan ekspresinya kembali normal. “Nggak perlu terlalu formal, Yuva.” Ia menggigit lagi sandwich-nya sebelum melanjutkan bicara. “Jadi lo sudah berapa lama kenal sama April?”

Oh, jadi tentang April. “Sejak masuk kuliah, jadi hampir tiga tahun. Dia orang pertama yang nyapa gue waktu itu,” jawabku singkat.

Yoga menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Matanya terpejam dan aku dapat melihat rasa lelah di wajahnya. Ah, ini jarang sekali terjadi. Biasanya dia selalu tampil prima dan menawan bak cassanova. Tapi aku juga tak heran, berprofesi sebagai fotografer pro yang telah terkenal pasti membuat jam terbangnya padat, apalagi mengingatnya yang seorang perfeksionis, makin menambah betapa lelahnya ia dalam memotret.

“Kenapa?” tanyanya tiba-tiba.

“Apa?” tanyaku balik.

“Lo memperhatikan gue.” Astaga, bagaimana bisa dia tahu kalau aku memandanginya dari tadi?

“Siapa juga yang memperhatikan lo?” elakku dengan nada sedikit sewot, yang selanjutnya langsung kusesali. Harusnya aku bisa menjaga suaraku agar terdengar normal saja.

Ia membuka matanya dan terkekeh. Mengubah posisi menjadi menghadapku, masih disertai dengan wajah menyebalkannya. “Jadi setelah lo amati, gue termasuk ganteng atau jelek?” tanyanya kemudian, dan sekarang sudah ketahuan kalau dia tak mempan dengan elakanku.

“Untuk seorang Prayoga Lynn Wijaya pasti nggak butuh pendapat orang lain mengenai hal itu, karena dia mempunyai kadar percaya diri yang overdosis.” Desisku sarkastis.

“Berarti, lo memasukkan gue ke dalam kategori ganteng.”

Aku memutar mataku. Terserah dia sajalah! Dia memang jauh dari kata jelek, bahkan aku juga jatuh cinta padanya sejak satu tahun yang lalu waktu memulai karir sebagai model.

“Yuva, lo tahu kenapa bisa jadi model  setahun yang lalu?” Tanya Yoga tiba-tiba, sesaat setelah senyumnya reda. Woa, ini benar-benar gila! Ia bahkan seperti punya koneksi dengan apa yang aku pikirkan.

“Memangnya kenapa?” tanyaku dengan nada tak tertarik. Yang aku tahu, aku dulu diterima menjadi model karena waktu mengantar April pemotretan untuk produk minuman, dan  salah satu model wanitanya berhalangan hadir. Dalam waktu yang mepet, pilihan jatuh padaku, kemudian aku memilih untuk menekuni dunia modelling untuk menambah uang saku.

Tatapan Yoga  makin lekat, tangannya bahkan sudah terulur untuk meraih daguku. Astaga… astaga… astaga… apa yang akan dia lakukan? Jantungku rasanya mau copot!

“Lo sadar nggak sih kalau mata lo berbicara?”

“Huh?” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Otakku rasanya tak mampu mencerna apapun jika ia berbicara dengan jarak sedekat ini. Semoga saja April tidak sedang berada di dekat-dekat sini.

“Mata lo seperti gambaran dari apa yang lo rasakan, mereka berbicara lebih baik dari yang biasanya ditunjukkan oleh mata orang lain.”

Kurasakan sentuhan lembut Yoga di kedua mataku. Ini benar-benar membuatku kaku seketika. Rasanya seluruh system yang ada pada tubuhku tak bisa bekerja dengan selayaknya. Tuhan tolong aku… jantungku sudah mulai salto!

“Gue nggak pernah tahu itu,” gumamku.

Yoga menarik kembali tangannya dan merubah posisi menjadi bersandar kembali. “Gue tahu lo bukan model pro seperti April atau yang lain, kasarnya amatiran lah. Tapi lo punya nilai plus di mata lo.”

“Mungkin gara-gara itu gue nggak ditendang keluar sama agensi. Ah, gue tahu lah gue payah!” Aku memilih menghindari tatapan Yoga dengan memalingkan wajahku ke arah lain.

“Itu alasan gue lebih keras waktu memotret lo. Mata lo berbicara, Yuva, dan gue tahu ketika lo dengan setengah hati melakukan pemotretan.”

“Tapi lo memang selalu ingin sempurna kan? Lagipula, gue memang nggak sepenuh hati jadi model.”

Yoga melotot kepadaku. “Ya gue memang perfeksionis, dan gue nggak suka motret model seperti lo!”

“Memang lebih baik gue dipotret sama fotografer lain.” Rutukku yang kali ini membalas tatapan tajamnya.

Suasana di antara aku dan Yoga benar-benar tak terduga. Bagaimana bisa kurang dalam setengah jam aku duduk dengannya, tapi suasana sudah berganti berkali-kali. Dan kini, suasana yang meliputi kami bisa dikatakan tegang seperti senar yang sebentar lagi putus.

“Hai, sayang…”

Tak ada yang menyadari kapan April datang. Gadis itu tahu-tahu sudah melayangkan kecupan di pipi Yoga tanpa merasa tak enak karena ada aku di sini. Benar-benar menyebalkan! Haruskah pasangan ini selalu melakukan PDA dimana-mana?

“Hai, Pril. Sudah selesai kuliahnya?” Yoga mendekat pada April dan memeluknya sebentar. Oh how sweet they are!

“Sudah! Jadi kita ke café kakak kamu?” Tanya April dengan nada manja. Dan… sejak kapan dia menjadi seperti itu?

“Oke.” Perhatian Yoga kemudian teralih kembali padaku. “Lo mau ikut?”

Aku sempat melongo. Siapa yang menyangka Yoga akan menawariku untuk bergabung? Aneh! Harusnya ia senang hanya akan berdua saja dengan April tanpa mengajak orang lain. Tapi biar bagaimanapun aku masih dalam tingkat kewarasan, aku tak mau begitu saja membiarkan hati dan mataku terluka dengan melihat mereka bermesraan.

“Gue ada kuliah sebentar lagi, jadi nggak bisa. Tapi terima kasih buat tawarannya.”

***

Kesialanku masih terus berlanjut di sini.

Aku tak tahu apa dosaku dan salahku kepada dua senior cewek yang sedang menatapku garang. Bisa-bisanya mereka menarikku saat berada di toilet dan mengunciku di salah satu bilik bersama dengan mereka. Apa tak ada tempat yang lebih baik dari… toilet? Aku benar-benar ingin muntah.

“Jadi lo temennya si April itu.”

“Ada apa?” tanyaku dengan nada santai, tapi mungkin yang ditangkap oleh dua senior ini adalah nada meremehkan karena setelah mengatakannya, salah satu dari mereka langsung menjambak rambutku.

“Belagu ya lo?” Aku tahu cewek ini namanya Kyla karena dia pernah menggencetku waktu ospek. “Nggak usah pakai kekerasan, Von!” Perintah Kyla pada temannya yang dipanggil Von.Von for telephone maybe.

“Salah saya apa, Kak?” Mati-matian kubuat nada sesopan mungkin. Beruntung rasa sabarku bisa dikatakan panjang, kalau tidak, aku mungkin malah akan mengutuk dua senior ini agar tak kunjung lulus.

“Bilang ya sama temen lo yang perek itu, jauhi Yoga!” Seru Kyla.

Kalau beberapa detik lalu aku masih bisa bersabar, tapi tidak sekarang! Aku tak terima ada yang menjelekkan temanku! Meskipun aku kesal dengan April, tapi bukan berarti aku membencinya. Tak boleh ada yang mengatai temanku, apalagi di depanku seperti ini!

“Lo siapanya Yoga? Ada hak apa lo atas dia?” balasku yang kini menantang. Kupandangi Kyla dan temannya si Von itu dengan bergantian.

“Voni jangan pakai kekerasan!” Kyla mencekal tangan temannya –yang ternyata bernama Voni –saat hendak menamparku.

“Ini bocah mulai kurang ajar sama kita, Kyl!” Voni menempeleng kepalaku dengan seenakku.

“Kenapa kalian nggak bilang langsung saja sama April? Nggak berani karena April anak pejabat  kampus ini? Terus kalian pikir gue akan bilang ke April? Cih, nggak penting!” Mereka sempat terkejut dengan perkataanku. Mungkin mereka kira aku tak akan melawan karena di kampus tak banyak polah jika dibanding April, tapi mereka salah! Memangnya apa yang harus kutakutkan? Status mereka yang senior? Ck, itu sama sekali tak berpengaruh!

Continue Reading

You'll Also Like

6.8M 81.4K 12
SUDAH TERBIT (SEBAGIAN PART TELAH DIHAPUS) Faira selalu merasa tangguh, hebat dan bisa bertahan pasca badai perceraiannya. Namun, apa jadinya ketik...
1.2M 246K 49
Rukma Asmarani bermimpi menemukan seorang lelaki yang baik, melahirkan anak, lalu jadi keluarga paling bahagia di dunia. Namun, seperti takdir yang e...
551K 20.4K 31
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Satintail By Nano

Paranormal

71K 7.1K 31
Bisakah aku memohon padamu untuk tidak bertindak selayaknya angin? Jangan seperti angin yang mudah datang dan mudah pergi Karena aku takut seperti i...