May The Flowers Bloom

By quirkyjean

9.5K 739 239

Karena suatu hal, Riani dikucilkan di sekolah dan dihantui tatapan orang-orang tiap melintas di depan mereka... More

2. Erasing
3. Look at Her, Forget Her
4. Yonderly
5. Spring Will Come
6. Proceed
7. Play Button
8. Spotless
9. The End and The Beginning
10. A Prisoner and Her Key
11. Obscurity

1. Walking Alone

3K 172 32
By quirkyjean


Prolog

Tiga bulan yang lalu

Sejujurnya, gue nggak pernah berencana akan menjadikan area belakang gudang olahraga sebagai lokasi favorit.

Nggak banyak yang mendatangi tempat ini selain penjaga sekolah yang cukup berani hanya untuk melakukan agenda bebersih rutin tiap satu minggu. Itu pun cuma sebentar, karena dari gedung yang nyaris terbengkalai ini, nggak banyak bagian yang perlu ditangani selain tumpukan debu.

Mudah berasumsi gudang olahraga angker, kalau melihat lokasi dan kondisinya. Dan memang, kebanyakan cerita horor yang beredar nggak jarang menyebut tempat itu. Tapi sumpah, gue nggak punya waktu dan energi yang cukup buat khawatir soal hantu. Kalaupun gudang olahraga memang seram, gue yakin orang-orang masih jauh lebih seram.

Karena itu, di jam istirahat, gue selalu menghindari kantin dan memilih mendatangi gudang olahraga. Kantin terlalu ramai dan semakin banyak orang, semakin banyak pula tatapan buruk.

Rute menuju gudang olahraga hanya satu, dan bagian terbaiknya, nggak banyak cctv yang menjangkau gudang olahraga sehingga gue nggak perlu ketahuan atau repot meladani seandainya ada pertanyaan soal alasan mendatangi tempat yang paling nggak terekspos itu.

Begitu sampai, di luar dugaan, ada seseorang yang duduk sendirian di sana. Terselip sebatang rokok yang masih menyala di jarinya sementara si pemilik menunduk. Gue menelan ludah, berharap ini bukan hari yang sial karena ketemu cowok di tempat yang sepi biasanya nggak akan berakhir bagus.

Cowok itu menegakkan kepala begitu menyadari keberadaan gue. Ekspresinya berubah dalam sesaat dan langsung panik. Nggak, harusnya ini bukan mengejutkan seandainya bukan Jasper yang berada di sana, lebih mengejutkan lagi, karena gue bisa lihat dengan jelas matanya sembab dan merah. Gue tahu Jasper dikenal di mana-mana bahkan oleh mereka yang punya banyak catatan hitam di ruang BK, tapi dia nggak terlihat cukup nakal untuk merokok diam-diam di sekolah.

"Eh, loh?" cowok itu masih gelagapan dan langsung ngumpetin rokoknya ke belakang dan mengusap dengan kasar kedua matanya. "Temennya Jun—maksud gue, Riani?"

Gue terlalu kaget untuk menjawab, melihat reaksi gue, Jasper makin kebingungan dan menoleh kanan-kiri, bergumam, hingga kemudian mengeluarkan lagi sebatang rokok yang tadinya dia simpan dengan ragu-ragu.

"Anu—mau rokok?"

"Lo..... ngapain?"

Jasper diam sesaat, menurunkan tangan yang tadi sempat dia naikin buat menawarkan rokok. Dia lebih tenang kali ini, sempat menatap gue sekian detik sebelum berdiri dan mendekat. Dari jarak ini, gue bisa lihat dengan jelas. Gue yakin dia bener-bener habis nangis.

Tapi... kenapa?

"Those words are mine, lo ngapain di sini?"

"You definitely know the answer."

"Gue nggak bakal tanya kalau tau."

Gue menggigit bibir, kemudian menghela nafas. Jasper masih bertahan dengan wajah penuh tanda tanya ketika gue memutuskan untuk berbalik, berniat melangkah pergi dari sana.

"Eh, eh Riani! Mau ke mana?!"

Bukan seruan barusan yang bikin gue berhenti, melainkan pergelangan tangan gue yang tiba-tiba ditahan. Gue menoleh, nggak bisa menahan diri untuk nggak melempar delikan ke arahnya.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," ucapnya. "Harus ada alasan kuat kenapa lo datangin tempat beginian di antara sekian banyak lokasi yang lebih bagus di sekolah."

"Kalau gitu lo juga harus punya alasan yang kuat buat tau soal ini."

"Karena gue..." Jasper berhenti, genggamannya perlahan melonggar. Cowok itu diam untuk waktu yang cukup lama dan kesempatan itu segera gue gunakan untuk menepis lengannya.

"Kita nggak sedekat itu buat ngomong soal ini. Gue mungkin juga nggak bakal ngomong sama lo seandainya kita nggak ketemu di sini," kata gue, berusaha kelihatan biasa aja. "Gue bakal anggap semua ini nggak terjadi, silahkan lanjutin apapun yang lo lakuin sebelum gue datang."

Kemudian gue berbalik, setengah mati berharap Jasper nggak menahan kali ini. Tapi sialnya, untuk dua kali, cowok itu menghampiri. "Nggak usah, gue aja yang pergi. Lo kayaknya lebih butuh tempat ini daripada gue. Iya nggak?"

Gue menggeleng, Jasper malah nyengir. Gue masih mematung di tempat saat cowok itu tiba-tiba bersuara, mengusap bagian belakang kepalanya sesaat. "Oh iya, Riani. Lo bilang bakal anggap ini nggak terjadi. Lo bakal pura-pura lupa kan?"

"....."

"Tolong pura-pura lupa juga... kalau lo liat gue nangis."

***

Gue pernah denger seseorang bilang, aktivitas di sekolah mendadak intens ketika lo berada di tahun ketiga, mendekati masa-masa akhir menjelang lulus. Semua kegiatan menulis, ngerjain tugas, atau bahkan tidur pun jadi lebih berarti karena masa-masa itu nggak terjadi dua kali.

Masa-masa ketika lo kewalahan menyiapkan berbagai macam praktek bersama teman sekelas, mau itu praktek sains di laboratorium, praktek untuk tugas seni, ataupun praktek memasak yang selalu jadi agenda rutin di mapel kewirausahaan. Atau ketika melakukan sesi foto untuk buku tahunan, foto bersama wali kelas untuk yang terakhir kalinya, foto di kelas yang bertahun-tahun ditempati untuk terakhir kalinya, atau foto bersama teman sekelas sebagai anak SMA untuk terakhir kalinya.

Nggak, gue bilang begitu bukan karena kelulusan sudah di depan mata, masih lama, semester satu baru berjalan tiga bulan. Gue cuma penasaran... seperti apa perasaan antusias dan sendu menjelang tamat, seperti apa perasaan ketika lo mendadak kepingin sekolah lebih lama karena nggak mau berpisah terlalu cepat. Gue nggak pernah mengerti perasaan itu, karena selama ini, satu-satunya yang ada di pikiran gue ketika memasuki tahun ketiga adalah pada akhirnya bisa lepas dari tempat yang menyesakkan itu.

Gue berharap gue bisa antusias, tapi mengharapkan hal-hal seperti itu cuma bakal bikin gue jadi bahan tertawaan. Karena itu, setiap ada agenda kelas tiga yang berhubungan dengan kelulusan, gue selalu menghindar.

"Sendiri?"

Gue mengangguk, lantas buang muka, berusaha nggak melihat bagaimana raut Aaron—si ketua kelas—yang prihatin. I hate that. I'm not pitiful, I don't need sympathy.

"Gue bisa."

"Praktek kelompok dikerjain berkelompok, bukan sendiri."

"Gue... bisa sendiri."

"Ini bukan masalah lo bisa atau bukan."

Gue menarik nafas, memaksakan diri menatap ke arah Aaron. "Gue tau, tapi gue bisa apa kalau semua orang keberatan satu kelompok sama gue selain ngerjain sendiri?"

"Nggak semua," pandangan Aaron masih sama. "Lo belum tanya gue."

Gue menggigit bibir, kemudian bertanya dengan ragu, "Lo yakin temen sekelompok lo bakal setuju?"

"Gue udah tanya, dan mereka setuju."

"Bener-bener... setuju? Nggak ada paksaan?"

Aaron mengangguk, tapi gue yakin dia bohong. Gue menoleh ke arah kumpulan orang yang sedari tadi melirik ke arah gue, dan langsung mengalihkan wajah mereka. Tapi gue nggak punya pilihan lain selain setuju.

"Thanks."

Gue sebisa mungkin mengabaikan tatapan semua orang yang sesekali masih berdiskusi soal pembentukan kelompok, lalu pamit keluar kelas. Aaron nggak bicara apa-apa lagi setelah itu. Begitu keluar kelas, udara yang tadinya kerasa sesak, pelan-pelan melega, walau belum sepenuhnya.

Di luar, lapangan dipenuhi oleh anggota futsal yang lagi latihan. Beberapa duduk di tepi lapangan untuk istirahat, dan Juna salah satunya. Ah, oke, juga ada Jasper, tapi siapa peduli. Juna masih sibuk ngibasin bajunya saat sadar gue sudah berada di tepi lapangan, dia melambai beberapa kali sebelum kemudian berlari menghampiri gue.

"Mau balik nih? Tapi gue masih latihan."

Alih-alih merespon ucapannya, gue justru mundur, panik kalau-kalau keberadaan Juna di dekat gue bakal jadi pusat perhatian. "Lo demen banget mancing perhatian ya??? Gue udah bilang, jangan begitu, orang-orang bakal ngeliatin!"

"Riani—"

"Lo lupa kalau gue udah cukup disinisin?"

"Riani, denger—"

"Gue nggak bisa nyamperin lo di sekolah kalau—"

"Riani, bentar," gue berhenti ngomong ketika Juna tiba-tiba memegang kedua pergelangan tangan gue, menatap gue lurus. "Gue juga bilang kan, don't give a damn. Kalaupun memang bener mereka sinis, gue yakin mereka cuma mampu sebatas itu. Ah, macem-macem juga gue percaya lo berani buat jambak satu-satu. Iya kan?!"

"Jangan ngomong seolah semuanya semudah itu."

Tatapan lurus Juna perlahan berubah, cowok itu menurunkan tangannya, berganti mengacak rambut gue sambil menarik satu senyum. "Iya gue tau, tapi gue juga serius anjir. Mereka nggak bakal berani selama lo punya sobat kayak gue. Lo lupa kita temenan berapa lama? Sebelas tahun!"

Menghela nafas, gue memilih mengangguk. Seandainya nggak ada Juna, gue nggak yakin gue punya alasan buat bertahan di sekolah ini. Sama Juna, gue bisa ngelupain sebentar semua masalah-masalah yang bikin kepala gue kerasa berat.

Seperti yang dibilang, gue sama Juna udah kenal lama banget, hampir dua belas tahun, dan kalau lihat gimana glow up-nya tuh cowok sekarang sampai cukup bikin dia punya antrian degem yang menunggu di-notice, nggak bakal ada yang percaya kalau dulu, dia cuma anak ceking yang hobi nyemplung selokan setiap hujan turun deres, bocah emo yang hobi posting foto jamet di facebook seolah dia adalah cowok paling good looking sedunia, cowok yang kalau jalan, semua orang ditegur sama dia nggak peduli mau itu anak muda atau orang tua.

"Jadi gimana? Lo mau balik sekarang?"

"Iya," gue mengangguk. "Lo lanjut latihan aja, nggak papa kalau nggak bisa nganterin. Gue ngantuk, mau tidur."

"Pulang sama siapa?"

"Menurut lo?"

"Nggak, nggak, jangan sendiri," Juna menggeleng dua kali, tiba-tiba menoleh ke arah tempat duduknya tadi sambil bersorak.

"WOI, JAS—"

"Goblok, lo ngapain?!"

"Jangan pulang sendiri, pulang sama Jasper aja," Juna menjawab. Ketika gue melirik, sosok Jasper sudah beranjak, mulai mendekat ke arah sini.

"Kenapa gue harus pulang sama dia?!"

"Ya... karena nggak ada yang nganterin lo? Toh kalian udah kenal juga. Dan lagi, gue percaya Jasper."

"Mending gue ngesot sampai perempatan Dahlia daripada harus pulang sama dia!"

"Duh, kenapa lo panik sih?!" Juna geleng-geleng. "Gue nggak bisa biarin lo pulang sendiri ya, Riani. Terakhir gue biarin, lo nyasar gara-gara ketiduran! Lo lupa gimana abang sama bokap lo panik sampai hampir neleponin polisi sekota cuma buat nyariin lo?"

"Gue nggak bakal ketiduran kali ini!"

"Lo baru aja bilang lo ngantuk."

"Itu cuma—ck," gue frustasi, sementara Jasper makin mendekat. "Bukannya dia juga futsal? Dia harusnya juga latihan kan?"

"Yang wajib latihan sampai sore itu pemain inti. Jasper bukan pemain inti."

"Ya elah."

"Emang kenapa sih???" Juna memandang gue nggak habis pikir. "Lo naksir Jasper ya? Makanya lo nggak mau nebeng gara-gara salting?"

"Ngaco!"

"Ada apa nih ribut-ribut? Gue boleh ikutan???"

Nafas gue tertahan begitu mendengar suara Jasper barusan. Sial, beribu-ribu sial. Bahkan gue nggak peduli lagi seandainya ada yang ngelihatin karena terlalu panik.

"Anterin Riani pulang ye, gue masih latihan."

Gue melempar tatapan tajam ke arah Juna, "Nggak us—"

"Nganterin siapa?" Jasper nanya lagi, kali ini mengarahkan telunjuknya ke arah gue. "Oh, nganterin lo? Siaaaap!"

"Gue bisa jalan kaki," gue menyela.

"Kalau Riani jalan kaki lapor gue, Jas."

"Siap, Ndan."

"Jun—"

"Gue tinggal ya, ntar kalau udah nyampe rumah chat gue!"

Memberi dua tepukan pada bahu gue jadi hal terakhir yang Juna lakukan sebelum berlari kembali ke lapangan untuk melanjutkan latihan.

Gue menarik nafas, menatap sekilas ke arah Jasper. "Gue bakal pulang sendiri, jangan kasih tau Juna."

"Alias nyuruh gue bohong?"

"Fuck off," gue berjalan mendahuluinya tanpa berpikir dua kali. Anehnya, Jasper nggak menahan atau bahkan mengikuti. Nggak, itu bukan aneh, justru bagus. Gue melirik ke arah lapangan, Juna sibuk main bola, dia nggak bakal sadar.

Sampai di gerbang, tanda kemunculan Jasper belum terlihat. Gue berjalan secepatnya berharap bisa sampai di halte terdekat yang sayangnya berjarak cukup jauh. Jalan ini memang bukan jalan utama, tapi bukan berarti nggak dilewati bus trans.

Lima menit berlalu, gue semakin jauh dari sekolah. Yah, harusnya Jasper nggak bakal tau kan? Tapi baru aja mikirin itu, gue ngerasain ada sebuah motor yang mendekat.

"Lo cocok masuk atletit menurut gue, jalannya cepet banget!"

Gue kaget, hampir aja loncat, sementara Jasper cengar-cengir dari motornya. Cowok itu kini melapisi baju latihan dengan sebuah jaket dan di punggungnya tersandang sebuah tas.

"Btw Riani, ini mungkin info nggak penting, tapi gue cuma mau ngasih tau. Bohong itu..... bukan gue banget. Lo mungkin terbiasa bohong, tapi gue nggak. Karena gue nggak bisa bohong, gue nggak mungkin bilang ke Juna kalau gue biarin lo jalan kaki kecuali gue lagi kepengen cari gara-gara."

"....."

"Since he's my friend, and you're his main thang, jadi ya..... semoga lo dapat kesimpulannya."

"....."

"Bisa naik sekarang nggak? Kaki gue pegel nih."

Gue nggak mengatakan apapun selain lanjut jalan kaki, semoga itu bisa jadi jawaban. Sialnya, Jasper mengikuti kali ini dengan melajukan motornya pelan, bikin gue mendecak, terutama ketika cowok itu malah bersenandung.

"Where is the love that I felt for you uuuuu."

"....."

"So long agoooo."

Orang gila.

"I don't know, baby I don't know. You must know nanana I love you sooo."

"....."

"But now I know, nana na nana againnn. Oooh no, oooh no, nanana na nanana to me—"

"Kalau nggak hafal lirik bisa diem aja nggak sih?!" gue reflek menoleh ke belakang, nggak bisa tahan untuk nggak frustasi denger nyanyiannya.

Ekspresi Jasper yang tadinya sok menghayati berubah bingung, "Loh kepancing?"

"Ck."

Gue semakin mempercepat langkah, hampir mirip setengah berlari sekarang. Gue menoleh ke belakang, cowok itu malah lanjut nyanyi di tempatnya. Gue sanksi nggak ada yang ngira dia waras dengan bernyanyi di tepi jalan begitu.

"Bodoamat dah, yang penting pul—"

Gue cepat menoleh ke depan, kaget begitu sadar gue baru aja nabrak seorang laki-laki dengan penampilan berantakan khas anak jalanan. Begitu gue mendongak dan termundur, dia justru tersenyum lebar.

Mampus.

"Aduh, makanya kalau jalan tuh hati-hati, liat ke depan," dia tiba-tiba maju. "Ntar jatuh bahaya loh, kan sayang cantik-cantik gini kalau lecet."

"M-maaf, nggak seng—" gue menahan nafas saat laki-laki itu tiba-tiba meletakkan lengannya di bahu gue.

"Iya, sayang. Nggak papa."

"K-kalau gitu bisa lepas—"

"Nanti dulu. Emang mau ke mana sih, cantik? Buru-buru amat."

Gue menelan saliva. Gue harus lari, tapi kaki gue berasa tertancap di tanah, terutama ketika melihat dia nggak sendirian, melainkan bersama komplotannya yang kompak cekikikan dan melempar ledekan.

"Waduhhhh!"

Itu suara Jasper yang baru turun dari motor. Untuk pertama kalinya suara itu nggak menyebalkan dan lebih terdengar seperti pahlawan. Gue menatap Jasper, cowok itu hanya melirik sekilas dengan ekspresi datar, kemudian kembali menatap ke arah para preman yang kembali bersorak.

"Ada urusan bang??"

"Ada, hehe," Jasper nyengir, mengarahkan dagunya ke arah gue. "Cewek di samping abang, itu pacar saya."

"Cantik banget pacarnya, buat gue aja nggak bisa???"

"Yeee lu mah bang, nggak bisa gitu! Yang kayak dia tuh susah dapetnya!"

"Justru itu, buat gue aja, lu cari yang lain!"

Jasper masih merespon dengan cengar-cengir santai seakan ini bukan apa-apa, cowok itu menoleh kanan-kiri, menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Waduh, kalau ribet gini..."

Gue tersentak, hampir aja teriak begitu Jasper secara tiba-tiba melayangkan tinjunya ke arah laki-laki yang berdiri di samping gue. Posisinya segera oleng dan rangkulannya pada bahu gue terlepas. Untuk sesaat mereka kaget, dan kesempatan itu langsung digunakan Jasper untuk menarik tangan gue.

"Naek buruan!!!"

Semuanya terjadi dalam sekejap, motor Jasper melaju kencang membelah jalanan, gue terlalu kaget untuk protes soal cara mengemudinya yang ekstrim dan pasrah seandainya mati di tengah jalan.

Gue melirik ke belakang, mereka mengejar. Gue spontan menepuk bahu Jasper berkali-kali, "Mereka di belakang!!! Lo bisa lebih cepet lagi nggak sih???"

"Ini udah paling cepet! Kalau kecepatannya di atas ini, gue bisa kena tilang!!!"

"Mending kena tilang daripada ketangkep sama mereka!!!"

"Terus ngerelain duit gue tiga ratus ribu ke tangan polisi?! Lo lupa polisi di sini pada licik semua?!"

"Gue yang bayar!!!"

Melirik ke belakang, komplotan preman itu masih terlihat, gue kembali menghadap ke depan, "Buruan!!!"

"Beneran nih lo yang bayar tilangnya?!"

"Bisa nanti aja nggak bahasnya?!"

Gue nggak tau apa karena gue semakin mendesak atau dia percaya gue bakal turun tangan seandainya kami ditilang karena berkendara di atas kecepatan, yang jelas beberapa saat kemudian Jasper melajukan motornya lebih cepat. Gue menoleh ke belakang sekali lagi, mereka masih terlihat, tapi jauh. Beberapa mulai berhenti karena lelah. Meski begitu, gue menghembuskan nafas lega.

"Mereka masih di belakang nggak?"

"U-udah nggak keliatan."

Gue bisa dengar dengan jelas Jasper juga menghela nafas panjang. Cowok itu memelankan laju motornya dan kembali ke kecepatan normal. Beberapa menit kemudian, dia menepi, berhenti di depan sebuah warmindo yang nggak terlalu ramai.

Gue turun dengan ekspresi bingung, "Gue nggak tau kalau rumah gue udah ganti jadi warung."

Jasper malah ketawa, "Coba lebih lucu lagi, kalau berhasil gue bakal pertimbangin buat naksir lo."

Amit-amit.

"Gue nggak ngelucu."

"Yang barusan itu lucu, buat gue."

Gue melengos, melipat kedua tangan. "Kenapa lo ke sini? Gue belum setuju."

"Pertama, gue laper. Kedua, lo laper."

"Sok tau."

"Ntar ketemu bau indomie juga tumpah tuh iler," Jasper menyahut santai, masih dengan cengiran. "Udah, ikut aja. Lo yakin lo nggak kelaparan abis dikejar preman-preman tadi?"

Sedetik kemudian, perut gue langsung keroncongan. Sial, dia bener. Beruntung nggak kedengeran, karena kalau iya, gue bisa mampus jadi bahan ledekannya.

"Oke."

"Gengsi amat, yang kayak lo nih biasanya tipikal jomblo menahun."

Gue baru aja ingin membalas, tapi mengurungkan niat itu begitu melihat tangan Jasper yang gemetar ketika kami baru saja duduk setelah selesai memilih menu.

"Tangan lo... gemeteran?"

Jasper kelihatan kaget, lalu dengan cepat memasukkan tangannya ke dalam saku. Dia nyengir lagi, "Biasa ini mah kalau abis—"

"Itu keringat lo juga banyak, di dahi, di leher juga ada—damn, are you okay?"

Gue nggak tahu kenapa tiba-tiba melakukan ini, tapi yang pasti, gue reflek mengambil tisu yang terletak di meja, menyapukannya pelan ke wajah Jasper yang berlumuran keringat. Cowok itu nggak mengatakan apa-apa selagi gue menyapukan tisu di wajahnya.

Gue tahu dia selesai olahraga, tapi keringatnya nggak sebanyak ini sebelumnya. Apa karena karena perkelahian tadi? Atau karena tempat ini panas?

"Riani."

"....."

"Lo dari deket gini makin cantik ya."

Gerakan gue reflek terhenti, tersadar cuma tersisa sedikit jarak dari wajahnya. Spontan, gue mundur, meremas tisu menjadi bongkahan lalu buang muka. Reaksi itu bikin Jasper langsung ketawa, untuk sejenak bikin beberapa pengunjung lain menoleh.

"Lagian panik banget," katanya. "Harusnya gue yang tanya, lo nggak papa kan? Lo nggak diapa-apain sama mereka selain yang tadi kan?"

Ragu, gue tetap menggeleng, bikin ekspresi Jasper lega seketika.

"Lo bilang kalau bohong itu bukan lo banget," kata gue, menunduk sambil bacain menu. "Tapi lo bohong ke preman-preman tadi."

"Gue nggak bilang gue nggak akan bohong," Jasper menjawab sambil menarik satu senyum miring. "Kadang lo terpaksa harus berbohong di situasi tertentu, salah satunya yang tadi."

Gue mendelik. Gaya banget nih orang ngomongnya.

"Yah... walaupun nggak mempan juga sih," dia melanjutkan. "Mestinya gue tonjok lima kali aja ya tadi daripada negosiasi?"

"Kalau lo tonjok lima kali, kita nggak bakal sempat kabur."

"Bener juga. Kalau gitu gue simpen tinjunya buat next time."

"Sinting, nggak usah aneh-aneh."

"Kenapa enggak? They deserve that. Enak aja megang-megang cewek, gue berani taruhan itu daki di tangannya masih lebih tebel dari dompet gue."

"Bentar. Kenapa lo kedengeran peduli gini?"

"Eh—nah! Itu indomie-nya udah sampai!" Jasper tiba-tiba berseru sambil menerima pesanan. Cowok itu kini sibuk meracik indomie dengan menambahkan banyak kecap, sedikit sambal dan saos.

Gue menatapnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Entah kenapa, gue kembali teringat reaksi yang hampir sama ketika pertama kali ngomong sama Jasper di belakang gedung olahraga hari itu.


***


"Hebring anjir abis makan indomie!" itu ucapan pertama yang keluar dari mulut Jasper selesai menuntaskan seporsi makanan penuh dosa itu. "Emang bahagia tuh sederhana ya, sesederhana bisa makan makanan enak."

Iye dah.

"Btw, rumah lo di mana?"

"Deket rumah Juna. Gue yakin lo pernah ke rumah Juna."

"Siap," Jasper manggut-manggut, kemudian melepas jaketnya. "Btw pakai jaket gue, berharap aja semoga nggak bau keringat. Tapi nggak bakal sih ya, soalnya gue wangi. Kalaupun iya, itu masih lebih mending daripada masuk angin."

"Ogah. Mending gue masuk angin."

Jasper menatap gue, lantas tersenyum miring, memakai kembali jaket yang tadi dia ulurin. Cowok itu kali ini menyerahkan helm, masih dengan ekspresi yang sama. "Safety first, right? Atau lo mau bilang mending—"

"Ck, iye gue pake!"

Senyuman Jasper tertarik makin lebar kali ini. Bagian paling kampret, karena gue bisa membaca dengan jelas aura tengil di sana. Sumpah, jari tengah buat Juna yang bikin gue harus terlibat sama cowok ini.

"Woi, pegangan. Ke mana aja boleh," dia bilang begitu saat gue menaiki motor. "But for your information, pegangan di pinggang gue sejauh ini paling aman."

Gue mengabaikan celetukan sampah itu, "Jangan bilang lo mau ngebut?!"

"Sayangnya, tebakan lo bener."

Memang orang gila.

Gue menarik nafas dalam, berpegangan pada behel motor, amit-amit pegangan ke pinggang Jasper.

Motor melaju dan gue udah bersiap dengan tangan yang berpegangan dengan kuat, tapi nggak, motor Jasper nggak melaju cepat seperti dugaan. Justru pelan, pelan banget malah, saking pelannya sampai kayuhan sepeda pun mungkin terasa lebih cepat.

"Baru sampai rumah gue besok subuh kalau gini caranya."

"Nggak usah protes. Siapa tadi yang nggak mau pakai jaket?"

"Astaga—gue bukan anak kecil yang kena kena angin dikit langsung tumbang!"

"Lo emang bukan anak kecil, tapi lo kena angin dikit langsung tumbang."

"Jangan sok tau."

"Sok tau apanya yeuuu, Juna yang cerita ama gue."

"Emang kampret tuh orang."

"Nggak usah ngatain Juna," katanya, entah kenapa lebih terdengar seperti meledek. "Ini motor gue, jadi suka-suka gue mau bawa pelan atau cepet.

"....."

Jasper ketawa, berhenti sejenak, melepaskan jaketnya lagi, "Kalau lo mau cepet, pakai jaketnya."

"Lo bener-bener nggak bisa terima penolakan ya?"

"Iya, kayaknya."

Tai.

Gue menerima jaket yang dia ulurkan dan memakainya. Sesuai ucapannya, jaket itu wangi, gue nggak mencium bau keringat sama sekali, justru bau parfum yang samar namun menggelitik indra penciuman. Untuk sesaat, gue lupa sama sekitar cuma buat mencari keberadaan wangi parfum itu.

"Kok diem? Jaket gue enak banget ya? Elo sih, dibilangin nggak percaya."

"Nggak. Bau keringat."

Jasper tertawa renyah, "Gue anggap yang barusan bohong."


***


"Ini di mana? Ini bukan jalan rumah gue."

"Somewhere,"

"Hah?"

"Only we know..."

"Nggak lucu."

"Gue lagi nggak ngelucu."

"Tinggal jawab aja ini ke mana bisa nggak sih?"

"Shelter kucing."

"Shelt—apa?!

"Shelter kucing, tempat penampungan—"

"Gue tau shelter apaan! Kenapa ke sana?"

"Pengen aja."

"Gue nggak mau ikut."

"Iya tau."

"Terus?!"

"When I was young, I'd listen to the radio..."

"Ck, lo bisa nanti aja nggak nyanyinya?"

"Waitin' for my favorite songs, when they played I'd sing along, it made me smile..."

"Seenggaknya jawab dulu!"

"Those were such happy times and not so long ago... I wondered where they'd gooone..."

"Jasper!"

"Apa sih ah? Galak banget gue perhatiin dari tadi kayak debt collector aja."

"My patience is nearly at its limit, kalau lo masih bercanda—"

"Kata siapa gue bercanda?" Jasper menyela ucapan gue, nadanya terdengar sedikit serius kali ini. "Gue serius ngajak lo ke shelter kucing. Di sana biasanya nggak menerima kunjungan umum, tapi gue kenal cukup dekat sama pemiliknya, jadi bisa langsung ke sana tanpa mesti proses perizinan dulu."

"Gue nggak peduli lo dapat izin atau enggak, gue nggak mau ikut."

Jasper berhenti, mengambil beberapa detik untuk diam.

"Ya udah."

Sumpah, nih orang kenapa nggak ketebak begini sih tingkah lakunya?

"Cuma itu?"

"Gue harus bilang apa lagi coba? Maksa lo biar ikut? Nggak mungkin."

"Lo maksa gue pakai jaket lo tadi."

"Yang itu sih lain cerita."

"Nggak, sama aja."

"Beda."

"Terserah."

"Ah, baru segitu udah nyerah."

Ponsel gue berbunyi, bikin gue lupa untuk sejenak sama Jasper. Peneleponnya Kak Reihan, bener-bener di luar dugaan kalau inget telepon dari dia cuma datang paling sering satu kali dalam seminggu. Kalau Kak Reihan telepon, biasanya dia bakal ngomongin sesuatu yang penting.

"Siapa tuh? Pacar?"

Gue nggak menjawab, langsung mengangkat telepon. Entah kenapa, ada perasaan ganjil yang menyerang gue tiba-tiba.

"Halo—"

"Ke rumah sakit sekarang, Juna kecelakaan."




s t a r r i n g

Park Chayeoung as Riani

Jung Jaehyun as Jasper

Koo Junhoe as Juna

And many more

Anyway, welcome!

[an • Feb 11th]

Hai hai, dengan Jean di sini!

Sebelumnya, gue nggak yakin ini kabar baik atau kabar buruk, mungkin ada beberapa pembaca yang tau, cerita ini dulunya berjudul 'Confusion' dengan dua karakter sentral bernama Jefry dan Rose. Tapi karena beberapa alasan, termasuk karena setelah dibaca ulang, alurnya berantakan dan beberapa chapter nggak nyambung, gue memutuskan buat merombak kembali cerita ini, mulai dari mengganti judul, tokoh, sampai alur (walau yang ini nggak banyak).

Karena itu, gue minta maaf seandainya ada yang kecewa sama perubahan ini. Gue nggak tau 'May The Flowers Bloom' bakal kayak apa ke depannya, tapi, I'll try my best!

Mungkin cuma itu sih, semoga bisa konsisten buat nulis setelah ini. See you di chapter depan!

(((Sengaja post tanggal 11 biar pas ama tanggal ultah))) (((telat sih)))

Continue Reading

You'll Also Like

590K 44.4K 60
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...
81K 1.7K 8
"Papah disini aja temenin Jennie"ucap Jennie tepat di depan bibir Lisa yang terdiam mematung. "Uhh punya menantu agresif banget astaga"ucap Lisa lalu...
156K 169 5
21+