Wanita Cadangan โœ“

By Es_Pucil

322K 14.9K 1.2K

17+ | ROMANSA || SELESAI ๐Œ๐ž๐ง๐ข๐ค๐š๐ก, ๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐๐ข๐ฆ๐š๐๐ฎ ๐ญ๐ข๐ ๐š ๐ฃ๐š๐ฆ ๐ค๐ž๐ฆ๐ฎ๐๐ข๐š๐ง, ๐ฌ๐ข๐š๐ฉ๐š ๏ฟฝ... More

Trailer
Prolog
- 01
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 10

- 09

16.1K 1.2K 136
By Es_Pucil

Napasku sesak, memaksa untuk tersadar dari alam mimpi. Terasa di dadaku ada yang menekan. Keadaan gelap, membuatku sulit untuk mengidentifikasi benda apa itu. Sekilas saat aku sentuh, terasa keras tapi ada sisi yang lembut. Panjang, dan ... berbulu.

Shit. Aku memikirkan sesuatu.

Ponsel aku raba di atas meja, menyalakannya sehingga cahaya di layar bisa memberikan penerangan.

Benar dugaanku. Ini kaki Revan. Selimut aku singkap. Tampaklah wajahnya berdampingan di kakiku.

Dasar manusia aneh! Aku memaksa memindahkan kaki Revan ke bagian kasur yang kosong. Lalu kembali berbaring untuk melanjutkan tidur. Tak lupa, selimut ditarik hingga sebatas leher.

Saatnya tidu--shit. Kakinya dengan santai berada di atas lenganku, sementara jempolnya menyentuh hidungku. Bau! Argh!

Terlalu pagi untuk marah-marah sebenarnya. Namun, aku tidak bisa mentolerir sikap Revan ini. Secara paksa, kakinya aku banting ke kasur. Namun, tetap terulang. Bahkan, kini kakinya menghantam tulang pipiku.
Oh Tuhan!

"Bangun, Revan! Bangun!" Aku melepas bantal yang pengganjal kepala hanya demi menggunakannya untuk memukul Revan. Dia sama sekali bergeming, dan malah menekan tubuhku dengan kakinya.

Manusia sialan.

"BANGUN!" teriakku. Selimut ditarik Revan hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sialan, kakinya masih sangat menyebalkan.

Okey. Tarik napas, lalu embuskan dengan pelan. Marah pagi-pagi bisa menimbulkan banyak kerutan dini.
Kaki Revan aku biarkan di perutku. Jika sebelumnya kesal, kini aku tersenyum saat mengusapnya hingga lutut. Turun lagi ke betis, dan menarik kasar beberapa rambut pendek di sana.

"SALWA!"

Bersama dengan pekikan Revan barusan, kakinya menendang kuat hidungku hingga terasa begitu perih. Kami sama-sama meringis.

Revan bangun, juga aku. Kami sama-sama mengusap bagian yang sakit. Aku tidak terima, langsung memukul kakinya itu.

"Kaki kamu itu sama nyebelinnya kayak kamu. Ajarin sana biar nggak ganggu orang lagi tidur. Mana nendang hidung lagi! Sakit tau!" pekikku.

"Siapa suruh tarik bulu kaki. Lebih sakit itu, Salwa!"

"Halah! Makanya, cukuran sana! Jadi cowok kok jorok banget."

"Kaki laki-laki memang begini. Kalau mulus, ya itu kaki perempuan!" Dia mengelak. "Lagian, lebih kurang ajar lagi kaki kamu. Sembarangan saja tindis aset orang. Ajarkan sopan santun sana!"

Aku semakin kesal saat dia berusaha melimpahkan kesalahan padaku.

"Yang nyuruh kamu tidur kayak gitu siapa coba?"

"Kan kamu yang tidak mau tidur sama saya. Saya tidak mau di sofa. Sempit."

"Tapi tetep aja, Revan, ini satu ranjang!" Aku kepalang gemas dengan manusia satu ini.

"Karena kamu tidak suka saya, dan saya malas berdampingan sekaligus mengalah sama kamu, ya makanya saya begini."

"Alasan! Pindah sana. Ganggu banget sih pagi-pagi."

"Kamu saja."

Revan menarik selimut dan berbaring dengan nyamannya.

"Kamu yang pindah. Kamu kan cowok. Masa lembek banget sih?"

"Kan kamu istri saya, seharusnya kamu yang mengalah."

"Revan ...."

"Sayang ...."

Aku memukul Revan dengan bantal karena panggilannya itu. Membuat dada menghangat sementara di sisi lain aku tahu, ada sayangnya yang lain tengah menunggu di rumah.

"Ya udah!" Aku mendapat ide baru. Bantal guling Revan aku ambil paksa meski dia melawan sebentar, pun bantal guling milikku. Dua benda itu dijadikan sebagai pembatas antara tempatku juga Revan.

"Kamu atau aku sama-sama nggak boleh lewat perbatasan ini sedikitpun. Kalau ada yang melanggar, harus bayar 500 ribu per sekali melanggar. Gimana?"

"Baik!"

"Deal!" Kami berjabat tangan tepat di atas perbatasan.

Aku berbaring membelakangi Revan. Kembali terpejam, dan masuk ke alam mimpi.

***

Berjalan dengan tubuh ditutupi jaket milik Revan itu sangat tidak menyenangkan. Di belakang badan tegap Revan, aku seperti anak kecil yang tenggelam dalam jaket seraya mengikut pada sang papa.

Sialan memang dia.

Karena alasan 'pakaianku terlalu tipis', dia berhasil membuatku terlihat memalukan seperti ini.

Seandainya bukan karena ingin membeli perlengkapan khusus wanita, aku malas keluar dari hotel.

"Van, tungguin!" teriakku kesal.

Aku tahu dia mendengar, tetapi tampak malas walau sekadar sedikit berbalik untuk menanggapi panggilanku.

Melalui ekor mata, aku melihat sebuah toko yang menjual barang-barang kebutuhanku. Karena jengkel atas sikap cuek Revan, aku tanpa memberitahukan dia berputar masuk ke dalam toko.

Biarkan saja dia cemas mencariku. Sekarang, aku hanya perlu menemukan pembalut dan segera pergi dari sini.

Sambil mencari-cari barang yang aku maksud, sesekali aku melirik ke luar toko karena memang bagian depannya terbuat dari kaca tebal. Senang rasanya mendapati Revan di luar sana kelimpungan saat melihat ke belakang dan aku tidak ada.

Astaga. Dia juga masuk toko.

Aku segera bersembunyi di balik rak-rak tinggi. Sekali-kali, mengecek keberadaan Revan.

Dia ke arahku. Sebuah ide melintas di kepala. Aku terkikik bahkan walau baru membayangkannya. Suara sepatu mengetuk lantai terdengar mendekat. Aku tebak adalah Revan. Aku menunggu dengan jantung berdebar.

Satu ... dua ... tiga ...!

"BOM!" Aku berteriak kencang. Namun, hanya tatapan datar Revan yang aku temui, membuatku merasa kecewa karena gagal membuatnya terkejut.

"Oke!" Revan menepuk bahuku. "Kita ulangi lagi, ya?"

Dia mundur beberapa langkah ke belakang. Sementara aku tanpa berpikir panjang langsung kembali ke tempat persembunyian. Menghitung dalam hati dengan detak keras dalam dada.

Satu ... dua ... tiga ...!

"BOM!"

Revan melompat mundur ke belakang dengan wajah terkejut sambil memegang dadanya. Aku terbahak melihatnya--ah bukan, tetapi menyadari aksi konyol kami.

"Kamu gaje, Van!" Aku mengatur napas di sela-sela aksi menertawakan diri sendiri. Setelah reda, aku berjalan di depannya masih mencari-cari.

Dia tidak mengatakan apa pun. Bahkan aku sering mengira bahwa Revan pergi untuk membalasku. Namun, tidak. Dia setia mengekor sampai aku puas mengelilingi toko dan berakhir dengan menenteng dua buah kantongan berwarna putih.

"Langsung balik ke hotel?" Aku merotasi badan saat menanyakan itu, dan menemukan Revan sibuk dengan ponselnya. "Revan?" Mimik serius di wajahnya menularkan rasa cemas pada diriku.

"Ayo!" serunya kemudian. Langkahnya bahkan cepat menuju mobil. Aku bingung, tetapi tetap mengikuti Revan.

Sesampainya di hotel, dia segera membawaku masuk dengan menyeret lenganku. Bahkan, sedikit membanting setelah kami di kamar.

"Saya harus pulang sebentar. Adelia butuh saya ...."

Mengetahui alasannya tadi begitu khawatir, bahagia yang semula terasa, kini menguap begitu saja. Sampai, bibir begitu kaku untuk sekadar tersenyum menghormati keputusannya.

"Okey," jawabku lesu.

"Mungkin nanti malam atau besok saya pulang. Selama saya tidak ada, kamu jangan pernah keluar kamar. Paham?"

"Okey."

"Mau saya bawakan apa kalau pulang ke sini?"

"Nggak perlu."

"Salwa?"

"Iya, Revan. Pergi aja. Nanti Adelia makin meriang nungguin kamu nggak pulang-pulang. Sana!" Aku mengusir kasar.

Dia berlalu, meninggalkan rasa tidak ikhlas padaku. Mataku terus memandang punggungnya hingga menghilang dari balik pintu.

Kenapa begitu berat ditinggalkan? Serasa ada yang tidak ikhlas dalam diriku.

Namun, tidak bisa aku pungkiri. Saat Revan berusaha membuatku tertawa dengan cara konyolnya yang pura-pura kaget, di situ aku merasa berbeda.

Entah perasaan apa.

Yang jelas, aku mulai takut sekarang.

Takut jika perasaan yang berusaha aku tekan dalam dada, kembali menguar seperti saat hari pernikahan.

Aku takut kecewa lagi.

***

Suara air mengalir dari kamar mandi membuatku terbangun seketika dari tidur. Tingkat waspada meningkat. Perasaan khawatir memuncak. Sementara Revan belum pulang.

Aku ingin bangun segera, tetapi urung saat menyadari ada sesuatu yang aneh di kakiku. Noda hitam. Berbentuk garis-garis--bukan, tapi nominal angka.

ʀᴘ. 500.000 ᴅɪʙᴀʏᴀʀ ᴄᴀꜱʜ.

Begitu tulisannya. Bersama sebuah garis panjang yang melintang. Aku belum menggerakkan kaki sedikitpun, sambil terus mengingat-ingat.

500 ribu? 500 ribu cash?

Astaga.

Aku terpekik saat menyadari sesuatu. Kakiku melewati perbatasan dengan ranjang bagiannya Revan. Sialan.

Jadi ... Revan yang ada di kamar mandi sekarang?

Meski sedikit kesal pada diri sendiri dan juga pada ingatan Revan yang tajam, aku pun merasakan kelegaan besar saat tahu Revan benar-benar pulang ke sini. Padahal sebelumnya, aku tidak ingin berharap banyak dia bisa menepati janji.

"Baru sadar?"

Aku segera berbalik, menemukan Revan tengah memperbaiki posisi handuknya. Kepalaku kembali berpaling ke arah lain. Dalam hati aku merutuk dia yang suka berpenampilan seperti itu.

Ya, seperti itu. Mengenakan handuk dengan posisi terlalu bawah. Padahal, aku tidak tertarik sama sekali, tetapi produksi liur semakin banyak. Aku sampai kewalahan menelannya.

Sebisa mungkin, aku mengatur napas dengan baik. Itu hanya Revan ... hanya Revan. Kenapa harus segugup ini?

Setelah merasa tenang, aku merasa perlu melanjutkan tidur. Tubuh merotasi berputar, dan ....

Astaga!

Wajah sialan Revan berada lima senti di hadapanku. Aku hampir terjungkal karena kaget. Saat tawa menyebalkannya terdengar, aku melemparinya bantal sambil menggeram. Leluconnya benar-benar garing. Aku hampir jantungan. Revan mengelak dengan baik, bahkan menangkap setiap lemparanku dan membalas balik.

Dia ikut naik ke atas ranjang, menyerangku berulang kali dengan bantal empuk di tangannya. Sial, karena posisiku mendadak terjepit di kepala ranjang. Aku terus mencoba melawan, Revan tetap menyerang.

Mendadak, kegiatan seru itu berhenti saat menyadari jarak wajah kami begitu dekat. Bahkan napas hangat Revan dapat aku rasakan. Entah karena aku terlalu terhipnotis pada mata cokelatnya, sehingga tubuhku menjadi kaku.

Dering nyaring dari ponsel menghentikan acara tatap-tatapan tersebut. Aku memperbaiki posisi, sementara Revan meraih ponselnya. Dia sedikit menurunkan hapenya ke atas paha, sehingga aku bisa melihat nama yang ada di layar.

Tentu saja. Istri kesayangannya. Adelia.

"Ngapain harus balik sih, kalau dia masih pengen sama kamu?" tanyaku, seraya memperbaiki anak-anak rambut yang menjuntai ke wajah.

Revan memilih bungkam, mengesot turun dari ranjang. Dia menjauh untuk mengangkat teleponnya. Sekitar lima menit. Lalu dia kembali lagi padaku.

Suasana kembali canggung. Dia lagi-lagi menjadi dingin.

"Kalau kamu berat tinggalin Adelia, mending kamu balik aja, Van. Aku bisa tinggal sendiri kok di sini. Nanti kalau waktu bulan madu mau habis, baru deh kamu balik lagi ke sini. Nanti masalah Mama, biar aku yang urus," usulku, yang sontak membuat mata elangnya tertuju padaku.

"Ide bagus."

Seharusnya aku bahagia dia mendengarku, tetapi jujur saja. Aku merasa berat menerimanya keputusanku sendiri.

"Tapi saya tidak mau mengikuti ide kamu," lanjutnya.

Aku tercenung.

Bersambung ....


Okey, tengkyu pencerahannya :)

Aku nggak bakalan bikin target lagi. Tapi aku bakalan nulis kapan pun aku mau:)

Sip dah.

Es_Pucil
Wkwkwk aja dah:v

Continue Reading

You'll Also Like

549K 21.1K 46
โš ๏ธ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ โ€ผ๏ธ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
7.2M 351K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
786K 50.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...