Fathiya x Labuhan Hati Antara...

By Shireishou

676K 35.2K 10K

[18+] Bijaklah Memilih Bacaan. Fathiya merasa, kekecewaan bertahun yang lalu telah merenggut semua tawa. Rasa... More

Prakata + Prolog
Bab 1 - Kunci Hati
Bab 2 - Hati yang Terikat
Bab 3 - Menjahit Kenangan
Bab 4 - Sahabat Setia
Bab 5 - Kepedihan Masa Lalu
Bab 6 - Masa Lalu Bahagia
Bab 8 - Lupa Ganti Judul Bab
Bab 9 - Sayap Tak Mengepak
Bab 10 - Bahagia yang Pura-Pura
Bab 11 - Dua Keluarga
Bab 12 - Penantian Fathiiya
Bab 13 - Mahar Istimewa
Bab 14 - Lelaki yang Kembali Hadir
Fathiya - 15 - Debar di Dada
Fathiya - 16 - Kebencian yang Mulai Hadir
Fathiya - 17 - Planet Bekasi
Fathiya - 18 - Perhatian Keduanya
Fathiya - 19 - Umpatan yang Menyambar
Fathiya - 20 - Kekangan yang Melukai
Fathiya - 21 - Bulol Akut
Fathiya - 22 - Pengakuan Jujur
Fathiya - 23 - Seiring Sejalan
CLBK - 24 - Pertarungan Dua Pria

Bab 7 - Pernyataan Gila

22.4K 1.9K 352
By Shireishou

Dapat 100 vote, up lagi Ahad [3x seminggu]. Kalau enggak, sampai jumpa Jumat

[vote awal 1,85k jadi 1,95k]

KISAH SEBELUMNYA

"Siapa namamu?" Pemuda itu tersenyum. "Aku pan kudu balikin kotaknya."

"Fathiya. Fathiya Khairinnida, kelas 10-6."

"Aku Lintang. Lintang Pradisya, kelas 11-IPA-3."

Untuk berubah, maka roda hati yang berkarat harus bisa kembali berputar.


"Kak Lintang benar-benar peka pada kondisiku yang lagi nge-drop waktu itu." Fathiya menyeruput es kelapanya perlahan. Setiap mengingat masa lalu, ada sedikit ceria menyisip. Itulah waktu ketika luka pedih yang sangat besar itu itu belum tercipta.

Lintang tersenyum lembut. "Ya, gimana nggak peka? Mukamu dulu udah kayak vampir saking pucatnya."

Fathiya berusaha menahan tawa. Logat Betawi itu sudah memudar. Mungkin di Bekasi, suasana Betawi masih jauh lebih kental daripada di Depok. Entahlah. Yang pasti, cara bicara Lintang sekarang jauh lebih tenang dan berwibawa.

"Bukankah justru kamu lebih peka dengan membawakanku nasi goreng?"

"Ya habisnya, suara perut Kak Lintang nggak nyante sama sekali."

Mereka tersenyum lebar bersama. Untuk beberapa waktu, keduanya membiarkan aroma daging dan kaldu mi mampir ke indra penciuman. Memberikan jeda napas pada kenangan yang menyeret mereka ke nostalgia masa silam.

"Omong-omong ..." Kalimat Lintang tertahan sejenak, "sekarang pindah ke Depok? Sama keluarga?" Pria itu berusaha tersenyum meski jantungnya berdentam keras.

"Enggak. Aku ngekos sendirian di sini. Papa dan Mama masih di Bekasi, kok."

Lintang tak bisa memercayai pendengarannya. Pria itu mengamati wajah Fathiya yang masih sama seperti dulu. Tetap cantik seperti ingatannya. Hanya saja, tawa lepas tak lagi hadir menghias. Apa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya? Karena nyaris mustahil wanita seperti Fathiya belum dilamar atau setidaknya ditaksir pria.

Namun, melihat reaksi Fathiya yang gusar sembari memilin bros dagunya, membuat Lintang merasa ada sesuatu yang disembunyikan wanita itu. Apakah tidak apa-apa jika dia bertanya sekarang?

"Maksudnya, kamu belum menikah?"

Dengan berat hati Fathiya mengangguk. Denyut sakit itu kembali menyerap ke dalam sanubari. Ah, sungguh dia tak ingin hidup terlarut dalam rasa sesak itu terlalu lama. Namun, ternyata otak dan hati tak bisa disinkronisasi semudah itu.

Ujian wanita dengan semua perasaan yang selalu mampu melemahkan logika dan nnnalar di kepala.

Sejenak Lintang memikirkan pertanyaan mana yang hendak diajukan dari ratusan keingintahuan yang mendadak bermunculan di kepala.

"Pacar pun belum punya?" Lintang kembali bertanya.

Fathiya melengkungkan bibir ke atas sedikit. "Mana ada. Aku kan nggak pernah mau pacaran."

Bibir tipis Lintang membentuk huruf O penuh kelegaan. Debar jantung yang kini dirasa masih sama seperti yang dulu menyapa ketika memandang wanita di hadapannya. Degup bahagia, juga keinginan untuk selalu membuat wajah itu tersenyum riang.

"Lah, Kak Lintang sendiri udah punya istri hebat yang mendukung untuk berbisnis bareng, kan?" Wanita itu berusaha mengubah topik. Sejenak Fathiya bisa menilai ada yang berubah dari ekspresi Lintang. Sebuah rasa kini terhalang senyum hambar yang dipaksakan.

"Aku mana sempet mikirin nikah. Aku masih fokus bisnis kedai ini melanjutkan usaha Almarhum Bapak." Ada embusan napas terdengar. "Lagi pula, aku masih belum bisa melupakan cinta pertamaku."

Kali ini jantung Fathiya seperti diempas dari ketinggian.

"Kamu beneran belum ada calon?"

Lagi-lagi pertanyaan itu memberikan sensasi tersendiri di hati Fathiya. Wanita itu pun menggeleng ragu.

"Jadi begini." Lintang berdeham sedikit. "Bisnis mi ayamku sudah lumayan mapan. Aku InsyaAllah sudah punya penghasilan cukup dan punya rumah tinggal di lantai dua." Kalimatnya terhenti. Pria itu memandangi Fathiya yang balas menatapnya heran.

Sejenak Lintang menyeruput es kelapanya dengan gugup. Namun, pria itu sudah membulatkan tekad. Ia tak ingin menyesal seperti dulu.

"Fathiya, maukah kamu menjadi istriku?"

Mendengar kalimat Lintang, Fathiya terdiam beberapa lama.

"Kak Lintang melamarku?" lirih ia bertanya.

Lintang memejamkan mata sejenak dan menarik napas. Tangannya tergenggam erat di atas meja. Tak sampai dua detik pria itu kembali menatap Fathiya dan tersenyum ringan. "Iya, aku melamarmu. Nggak kelihatankah kalau aku gugup?"

Lintang sadar betul kalau ini jauh dari kata romantis. Melamar di tengah keriuhan tanpa membawa hadiah dan persiapan apa pun mungkin terlihat sangat nekat. Namun, hatinya tak lagi bisa menunggu. Sudah sepuluh tahun lebih pria itu menantikan hal ini.

Fathiya melihat tangan bertaut yang sedikit bergetar. Pria di hadapannya benar-benar serius.

"A-aku masih belum mau menikah, Kak."

"Eh?"

Fathiya memainkan bros dagunya kembali, memilin-milinnya dengan gugup. "Beberapa tahun lalu, aku nyaris menikah. Namun, calon suamiku mendadak menghilang saat lamaran. Padahal keluarga sudah berkumpul semua." Dia menelan ludah. "Aku ... masih kapok."

Wanita itu menunduk sembari menunggu reaksi Lintang. Mungkin dia akan ditertawakan, karena hampir semua orang cenderung menganggap remeh wanita yang ditinggal pasangannya, apalagi menjelang pernikahan. Hidup Fathiya dikelilingi dengungan ghibah sebagai wanita tak laku, wanita gagal yang diputuskan calon suami tanpa sebab.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja. Aku udah biasa."

Fathiya masih tak mendapatkan umpan balik apa pun. Takut-takut ia mendongak. Wajah Lintang sedingin granit, ekspresi penuh amarah yang terpendam sangat dalam terlihat jelas. Rahang pria itu berkedut sedikit sebelum embusan napas panjang yang cepat terdengar.

"Apakah aku mengenalnya? Apakah teman SMA?"

Fathiya menggeleng.

"Baguslah. Kalau kenal, aku mungkin akan mencarinya dan melakukan sedikit perhitungan."

Mata Fathiya melebar. Ada nada posesif terdengar menggaung di telinganya.

"Ah, maaf. Aku melewati batas." Lintang menyesap es kelapa muda yang sudah mulai kehilangan dinginnya. Dirinya harus bisa meredam gejolak yang mendadak muncul tanpa bisa dicegah. Siapa pun pria itu, Lintang tak yakin bisa menahan diri jika bertemu dengannya. Pria berengsek mana yang berani membuat wanita sesempurna Fathiya terluka?

"Terima kasih sudah tidak merendahkanku." Kalimat Fathiya tertahan. Jemari lentik itu masih memilin brosnya gugup. "Namun, aku sungguh-sungguh tak ingin menikah saat ini."

"Kamu takut aku seperti mantanmu?"

Fathiya tak menjawab.

Lintang kembali bisa menguasai dirinya hingga senyum telah tersemat lagi. "Seperti yang kubilang tadi, salah satu alasan belum menikah adalah karena belum bisa melupakan cinta pertamaku." Jemari yang kukuh itu memutar-mutar sedotan di atas gelas, membiarkan sisa riak air di dasar berputar seperti pikirannya yang mengenang masa muda mereka.

Wanita itu menatap Lintang tak percaya. Pernyataan barusan mau tak mau membuat Fathiya berpikir lebih, tapi ia tak ingin berharap banyak. Dulu, Raka berkata akan selalu mencintainya, tapi mana buktinya?

"Aku sungguh ingin serius denganmu sejak SMA. Aku belum pernah merasakan cinta pada siapa pun kecuali dirimu." Senyum canggung menghias, tapi Lintang hanya bisa pasrah kala Fathiya tampak tak percaya.

"Kamu ingat saat aku mau pindah pas kelas tiga?"

Sejenak Fathiya menggerakkan matanya ke kanan, berusaha mengingat peristiwa lebih dari satu dasawarsa lalu.

"Aku kudu pindah ke Depok, besok. Mulai hari ini, aku nggak bakal sekolah karena sibuk urus surat-surat." Masih dengan seragam abu-abunya pemuda itu menghampiri Fathiya di kelas. Mereka berbincang tak jauh di depan pintu. Tubuh Lintang disandarkan ke tembok dengan lunglai, tampak jelas ia tak rela saat mengungkapkan berita mengejutkan itu.

"Kok mendadak?" Fathiya yang mengenakan jilbab putih itu tampak kebingungan.

"Babe nemu kedai bagus yang dijual murah di Depok. Kesempatan gede. Orangnya BU jadinye rela jual murah banget dan boleh cicilan tiga tahun nggak pakai Bank." Lintang menatap ke arah lapangan. Pandangannya menerawang seolah membayangkan masa depan yang entah bagaimana tanpa kehadiran Fathiya yang selama ini menyemarakkan hari-harinya.

"Rumah yang di sini?"

"Dijual buat bantu ngelunasin cicilan." Lintang menggaruk-garuk kepalanya. "Aku nggak pengen pindah, tapi aku nggak boleh egois. Soalnya, ini kesempatan gede banget buat keluarga kami."

Fathiya menyetujuinya.

"Meski bakalan jauh, boleh nggak minta alamat rumahmu? Kita bisa surat-suratan. Jadi, ukhuwah tetap terjalin." Setengah menyembunyikan malu, Lintang mengungkapkan keinginannya. Dia tak punya ponsel seperti teman-teman lainnya. Meminta nomor telepon seluler juga akan sangat membebani keuangan jika memaksakan diri menghubungi Fathiya lewat wartel. Hanya bertulis surat adalah satu-satunya harapan.

Fathiya tampak gugup, beberapa saat ia kehilangan kata-kata.

"Kenapa? Kaga boleh, ya?" Pemuda itu terlihat sedikit kecewa.

"Bukan gitu." Gadis itu memainkan kakinya di lantai sedikit, menggores debu dengan ujung sepatu. "Aku harus minta izin sama Mama. Beliau ketat soal berhubungan dengan lawan jenis di luar sekolah."

Lintang membuka mulut penuh keterkejutan. Rupanya ini salah satu alasan kenapa Fathiya tidak pernah mau diajak jalan ke mal atau ditraktir makan berdua di sebuah tempat.

Namun, bukan Lintang jika ia menyerah begitu saja. "Ini alamatku di Depok." Pemuda itu mengangsurkan kertas yang sudah dia siapkan sedari tadi. "Kalau ibumu ngizinin kita jadi sahabat pena, tolong kirim surat ke sini. Atau kalau kamu ada telepon rumah, boleh, tuh. Keluargaku kaga mampu pasang telepon saat ini. Mungkin aku bisa ke wartel ...."

"Jangan ...!" potong Fathiya gundah. "Mama paling nggak suka kalau aku nerima telepon dari cowok. Aku harus fokus sekolah."

Suara ludah yang ditelan terdengar di telinga Lintang kala berusaha memasukkan semua fakta pahit kembali ke dadanya. Bahkan ketika akhirnya ia menghilang dari sekolah, Fathiya masih tak menyinggung soal surat. Lintang pun tak berani bertanya apakah gadis itu sudah mendapatkan izin.

Hingga berbulan kemudian, sepucuk surat yang dinanti tak kunjung tiba. Saat itulah Lintang tahu dia sudah patah hati.

15 Maret 24

KASIHAAAAN!!!!

Melamar lanngsung ga pake persiapan dan nekat. lol Ada nggak ya yang begini? Shirei cuma nemu satu kenalan Shirei yang lamarannya dadakan tanpa persiapan begini.

Aku sayang Lintang. Ahahaha Dia husbu material banget. Cuma posisinya masih di bawah Vega, Alf, sama Gara. Ahahah

Btw, baca author note jadul, keinget GAGAL ITU novel Shirei yang SANG PENGGODA. Up lagi di WP nggak, ya? Hmmmm

Kemarin juga baru dapat kabar lalau ASAM GARAM ASA DAN GARA lagi-lagi GAGAL seleksi. Doakan setelahnya bisa dapat peerbit yang terbaiik, ya. Aamiin....

Lagi banyak gagal. Tapi, tetap harus cemungud. Makasih sudah support selalu. 

24 Mei 2021

Versi Storial diunggah besok, ya.

Makasiiih

OLD AUTHOR NOTE
👇👇👇

16 Agustus 2019

H-1 Dirgayahu RI ke 74. Semoga negara kita benar-benar merdeka luar dalam. Aamiin

H-6 Pengumuman 20 besar lomba novel Elex X Comico (Perutku mules rasanya)

DOAKAN MELAJU TERUS SAMPE TERBIT, yaaaa! 😍

Yang mau baca, silakan. Mumpung masih gratiis tis tis....

Kalau beneran terbit, Insya Allah bikin GiveAway lagi yang lebih heboh. Soale hanya karena keajaiban dari doa teman-temanlah kalau sampai Sang Penggoda menang. Heheheh

Btw, kira-kira Lintang mau ngajak omong apa, ya?

SAPA MAU PANGSIT SAOS KEJUUUU??

Continue Reading

You'll Also Like

97.1K 12.4K 39
Daily Life seorang sosialita sekelas Irene Bae ketika harus mengurus kelima anaknya sebagai ibu tunggal. Highest rank: #1 in Joy [190820] [041020] ou...
2.8K 382 41
Bukan mimpi tapi kenyataan. Kehidupan bagai di dunia fantasi seorang gadis kutu buku yang mencintai idolanya sendiri. Adinda Cityaningrum, seorang ga...
26K 4.4K 19
Orang bilang cinta pertama itu indah. Namun tak demikian dengan apa yang dirasakan Kayra Putri Wiyasa -Kay-. Abra Hadyan Bagaskara -Abra-, lelaki yan...
9.4K 2.3K 8
Meisha harus menuruti perjodohan yang sudah dibuatkan orang tuanya. Ingin menjadi anak yang berbakti, Meisha menyetujuinya. Tapi alangkah terkejutnya...