Wanita Cadangan โœ“

By Es_Pucil

323K 14.9K 1.2K

17+ | ROMANSA || SELESAI ๐Œ๐ž๐ง๐ข๐ค๐š๐ก, ๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐๐ข๐ฆ๐š๐๐ฎ ๐ญ๐ข๐ ๐š ๐ฃ๐š๐ฆ ๐ค๐ž๐ฆ๐ฎ๐๐ข๐š๐ง, ๐ฌ๐ข๐š๐ฉ๐š ๏ฟฝ... More

Trailer
Prolog
- 01
- 02
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10

- 03

15.2K 1.3K 90
By Es_Pucil

Tak kenal maka tak paham. Tak paham tak kan tumbuh sayang. Rumus sayang cewek cuman dua, kenali lalu pahami.
-Salwa-


Selimut tebal berwarna putih aku tarik sebanyak-banyaknya untuk menutupi seluruh tubuh --termasuk kepala-- dan membiarkan wajah tetap terlihat. Bodo amat jika lelaki yang masih tertidur pulas itu akan kehilangan selimut, lalu tubuhnya tereskpos --oh shit!

Aku benci membahas ini. Karena dia, dengan kejamnya merenggut kehormatanku dengan paksa. Aku menangis, tidak dipedulikan.

Argh! Aku ingin membunuhnya. Persetan dengan status jamur* nantinya.

"Sudah bangun, Salwa?" Tampak santai lelaki ini menyapa dengan suara serak khas bangun tidur disertai senyuman biasa seolah tidak terjadi apa-apa.

"Sialan! Kamu memperkosaku! Brengsek! ...." Sementara aku mengeluarkan semua sumpah serapah yang biasanya hanya tertulis dalam novel, dia hanya mengusap belakang rambutnya. Mengusap, dan menggaruk pipi kanan seolah yang dia dengarkan hanyalah sebuah burung yang mencicit.

"Jam berapa sekarang?"

Omelanku terhenti saat dia dengan wajah biasa saja bertanya pasal waktu.

"Enam lewat."

"Saya harus ke kantor!"

Dia langsung menyibak selimut menyebabkan aku, mau tidak mau harus menutup mata dengan wajah berpaling ke sisi lain.

Tidak acuh.

Bahuku luruh bersamaan dengan suara pintu kamar mandi yang dibanting. Dia bahkan tidak ingin repot menanyakan kabarku.

Sakit. Bukan hanya di seluruh tubuh akibat terus memberontak semalam, tetapi juga di hati.

Suami yang seharusnya memberikan rasa nyaman bagi istrinya, malah mengabaikanku begitu saja. Aku ini, istri sahnya! Dan rasa kepemilikan yang menyebabkan aku merasa ini tidak adil.

Pundak bergetar karena tangis yang mendadak muncul. Sisa-sisa kekuatan aku kumpulkan, lalu mengenakan pakaian yang berceceran di lantai.

Dengan langkah lunglai akibat nyeri di selangkangan, dan mata yang masih meneteskan air mata, aku hendak ka dapur. Kemudian memasuki sebuah tempat di mana aku merasa sendiri. Tidak perlu ada lagi yang mengganggu, atau melihat pemandangan yang menyakitkan.

Aku terduduk, bersandar pada tembok dingin sambil memeluk lutut. Kemudian menangis tanpa suara.

Dulu sekali, aku selalu memimpikan sebuah pernikahan yang indah, di mana suami yang akan selalu menjadi obat bagi luka istrinya. Namun, yang terasa sekarang malah suamiku sendiriyang mrnjadi racun menyakitkan.

Tanpa perasaan, dia menunaikan haknya. Tanpa peduli apa yang aku rasa, apa yang aku mau, dan apa yang menyakitiku.

Tuhan, sebenarnya apa rencanamu?

Entah berapa lama aku menangis, lalu terdengar suara di luar sana.

"Selamat pagi, Sayang ...."

Lalu, nyeri kembali menghantam tepat di palung hati. Seharusnya ... hanya kalimat itu yang kuucapkan, dan kudengarkan setiap harinya.

Namun, kenyataan berbanding terbalik. Aku malah mendengar kalimat itu dari sepasang suami-istri yang menjadi penyebab semua rasa sakit ini bermula.

Aku menyembunyikan wajah di antara lutut dan perut sambil menggigut bibir bawah dengan kuat untuk meredam isakan. Meski, hal tersebut menimbulkan rasa sakit lain karena bekas gigitan Revan masih terasa.

Lelah menangis, aku menilik ke arah pintu cokelat yang tertutup rapat. Biasanya, mama akan datang membawakan secangkir cokelat hangat saat tahu aku menangis. Namun, sekarang ... tidak ada lagi cokelat hangat atau ucapan menghibur agar tangisku reda. Semuanya harus dilakukan sendiri. Aku harus mandiri, termasuk menghapus air mata ini.

Meski menguatkan hati berkali-kali, tetap saja ... aku butuh mama.

*****

"Ini ruangannya, Bu."

Sekali, aku menganggukkan kepala pada wanita yang baru saja mengantarkanku ke depan ruangan Revan. Ia membungkuk, kemudian melangkah pergi.

Sebelum melangkah masuk, aku mengibaskan rambut ke belakang. Sedikit memperbaiki penampilan, lalu memutar kenop pintu.

"Naya, saya sudah bilang jangan ganggu saya sekarang!" Begitu ucapannya tanpa mau menoleh sedikitpun ke arahku. Matanya tampak fokus pada layar laptop.

Tidak peduli dengan kesibukannya sekarang, aku memukul meja kayu berwarna cokelat miliknya dengan kuat. Seketika, mata tajam itu tertuju padaku. Agak menggentarkan keberanian dalam diri, tetapi aku berusaha mengumpulkan serpihan-serpihan angkuh yang sedikit berantakan.

"Kembaliin HP gue!"

"Kamu buat apa di sini?"

"Lo budeg atau gak bisa denger, sih?" Aku mendengkus kesal kemudian mengulurkan tangan. "Kembaliin HP gue, sebelum gue ngamuk di sini!"

"Salwa ...."

"Apa? Lo mau marah, terus perkosa gue di sini? Gue gak peduli! Kembaliin HP gue!"

"Bukan itu ...."

"Lo cuman punya dua pilihan, balikin HP gue, atau ni ruangan lo bakalan gue bikin ancur!" Aku mengancam dengan mata melotot.

Kesabaran hampir habis, aku segera menuju ke sebuah meja yang ukurannya lebih besar dibanding meja Revan. Sebuah kertas putih berukuran besar terdapat di sana, berisi coretan abstrak berbentuk bangunan.

"Salwa, jangan sentuh!"

Cangkir berisi setengah kopi yang sudah dingin aku angkat tinggi-tinggi, bersiap menuangkannya ke lembaran kertas tersebut.

"Salwa, jangan lakukan itu!" Revan bergerak gesit, meraih tanganku dan mengambil cangkir itu.

"Kalau gitu, balikin HP gue!"

"HP kamu ... jatuh, Salwa."

"Ja ... tuh? Lo apain brengsek!" Tidak tahan, aku memukul dada lelaki ini. Meski tahu bahwa mungkin dia kebal terhadap pukulanku. Terbukti, semalam dia tidak meringis sakit saat aku terus melayangkan serangan padanya.

"Bukan saya, Salwa. Kamu yang tendang sampai jatuh."

"Lo yang maksa gue, brengsek!" Aku memekik kuat sambil mengusap rambut secara kasar ke arah belakang. "Lo gak tau, gimana susahnya hubungin Mama! Sial!"

"Bukan salah saya, Salwa. Kamu yang tendang sampai HP-nya jatuh dan rusak."

Kesal dan marah memenuhi diri, aku mendorong dadanya secara mendadak dengan sepenuh kekuatan. Tubuhnya tampak oleng kehilangan keseimbangan. Cangkir di tangannya jatuh ke arah kertas, diikuti suara gaduh saat ia terjatuh.

"Salwa ...!" Dia menggeram kasar.

"Bomat! Lo yang jatuhin, bukan gue!"

Aku segera berlari keluar. Tidak berselang lama, suara barang jatuh terdengar dari dalam ruangannya. Suara geraman mengikuti.

Rasain!

*****

Lemas, lesu, lunglai.

Rasanya tidak bersemangat lagi setelah pulang dari rumah Mama. Dia sedang ke luar kota, sehingga usahaku sia-sia.

Menemui Mama itu seperti ingin menemui ratu dari negeri besar. Dia sulit, bahkan mustahil bagi orang biasa untuk ditemui.

Seandainya ponselku ada, tentu tidak sesulit ini. Aku bisa meminta Mama untuk menemuiku, atau setidaknya bisa tahu kapan mama pergi dan kembali.

Kenop pintu kamar aku putar. Pandangan langsung menyapu sekitar hingga berhenti di atas tempat tidur dengan bed cover biru. Di atasnya ada sebuah benda pipih hitam yang sangat aku rindukan.

"Aaa!" Aku memekik senang dan menghampirinya. Seperti baru benda kesayanganku ini. Saat mengecek isinya, semua masih lengkap. Ungtunglah.

Pandanganku beralih pada lembaran kertas di samping ponselku tadi.

Maaf.

Hanya itu yang tertulis.

Astaga, Revan ... kamu membuat aku merasa bersalah sekarang.

Aku keluar kamar, mengecek kamar Revan dan ruang kerjanya, bahkan hampir seluruh rumah. Namun, sepertinya dia belum pulang. Suasana sangat sepi. Istri kesayangan dan putrinya entah ke mana. Atau mereka jalan-jalan?

Kembali ke kamar, aku menggunakan ponsel untuk mengirim pesan pada sekretarisnya, menanyakan keberadaan Revan.

Lembur di kantor, Bu.

Begitu balasan sekretarisnya beberapa menit setelah aku bertanya. Lega rasanya saat tahu dia tidak bersama dengan Adelia.

Mengganti pakaian dengan kaus putih, dan celana jeans, aku bersiap berangkat. Tidak lupa jaket untuk menghalau dingin dan juga tas selempang kecil.

*****

Gelap mengisi suasana kantor malam ini. Berdiri di depan ruangan Revan, tampak cahaya keluar dari celah-celah.

Beberapa saat, aku menilik layar ponsel. Hampir jam sepuluh, dan dia belum pulang. Ternyata workaholic benar-benar melekat pada dirinya.

"Revan ...." Aku menyapa sesaat setelah membuka pintu. Dia berbalik beberapa detik, lalu kembali fokus pada kertas besarnya. Aku melepaskan jaket yang basah ke atas meja. Tadi agak gerimis di jalan. Apalagi, aku hanya menggunakan ojek online.

"Kenapa kamu ke sini? HP kamu sudah baik lagi, kan?"

Aku menyengir. "Hihi, iya. Makasih."

"Hm ...," gumamnya pelan. "Silakan pergi!"

Bibirku manyun ke depan mendapat pengusiran secara nyata itu. "Bantu boleh?"

"Tidak perlu."

"Boleh, ya? Aku tuh merasa bersalah kalau gak bantu kamu. Apalagi kamu udah bantu perbaiki HP aku."

Tatapan matanya semakin tajam, menyebabkan kakiku mundur selangkah. Aku pikir, dia akan mengusir dengan cara kasar, nyatanya ...

"Buatkan saya kopi."

"Eh?" Beberapa kali aku mengerjap, lalu menunjukkan huruf O dengan cara menyatukan ujung jari telunjuk dan ibu jari. "Bentar!"

Baru hendak keluar, aku kembali berhenti. "Di mana buatnya?"

Dia melirik sekilas. "Tidak perlu. Saya berubah pikiran."

"Terus?" Pasrah, aku memilih duduk di atas kursinya. Memperhatikan pergerakannya yang gesit menggambar entah apa di atas kertas itu.

"Kamu silakan pulang. Karena dengan kamu pergi dari sini, itu sudah bisa membuat saya kembali fokus pada pekerjaan saya."

"Kamu kok jahat banget, sih? Padahal aku tulus loh mau bantuin. Bantu apa kek gitu."

"Ya sudah. Kamu duduk saja di situ, dan diam!"

Mendesah lelah, aku hanya manut. Lagipula, aku berpikir dengan kehadiranku di sini, dia tidak perlu takut atau merasa kesepian.

Aku bersandar. Lelah menguasai. Mata mulai berat terbuka. Kemudian ... gelap.

*****

Dingin terasa kuat menusuk kulit. Aku memeluk guling semakin erat, meresapi hangat yang mulai mengaliri tubuh. Kepala aku selipkan di dekat kehangatan itu, sementara hidung menghirup aroma harum kuat-kuat.

Lalu, gerakan asing terasa di atas bahuku. Yang terlintas saat itu hanyalah bayangan saat Revan menekan bahuku dengan kuat saat dia memaksa merenggut haknya.

Aku membuka mata secara kasar, dan menemukan dada bidang sebagai pemandangan pertama. Detik berikutnya, aku langsung mundur. Dingin langsung menyergap.

"Astaga, kamu apain aku lagi?!"

"Diem, Salwa. Suara kamu benar-benar tidak baik untuk kesehatan telinga saya!" Revan begitu santai bangun dari tidurnya, kemudian mengenakan kaus putih, lalu kemeja dengan warna senada.

Aku menunduk. Pakaian masih lengkap.

"Saya terbiasa tidur sambil buka baju."

Menilik sekitar, ruangan ini tampak asing. "Kamu bawa aku ke ... hotel?"

"Hotel apa? Berat badan kamu ternyata tidak sebanding dengan tinggi kamu. Saya tidak akan mampu angkat ke mobil." Dia berdiri, lalu melangkah ke jendela besar untuk membuka tirainya.

"Terus ini di mana?"

"Fasilitas kantor khusus untuk pekerja yang suka lembur seperti saya."

"Oh ... jadi ini masih di kantor kamu?"

"Masih di ruangan saya."

"Oke-oke!" Mataku menyipit ke arahnya. "Kamu gak apa-apain aku semalam, kan?"

"Saya terlalu capek untuk memikirkan itu, Salwa." Dia berkilah santai.

Helaan napasku terasa berat, tetapi lega. Aku membuang selimut yang menutupi tubuh, kemudian turun dari tempat tidur.

"Salwa ...!" panggilnya, menyebabkan aku yang hendak keluar harus berbalik lagi.

"Kamu sudah baikan?"

"Emang aku sakit apaan?"

"Kemarin, cara jalan kamu seperti orang yang baru disunnat, Salwa. Saya khawatir tentang itu."

Sial!

"Emang siapa yang bikin aku sampe kek gitu?"

"Maka dari itu, saya minta maaf."

"Au ah gelap!"

Aku mempercepat langkah untuk mencapai pintu, tetapi panggilan dari Revan menghentikanku lagi.

"Apa lagi, sih?"

"Kalau luarnya putih, yang di dalam tidak usah terlalu mencolok."

Awalnya, aku tidak ingin berbalik untuk menyembunyikan wajah malu ini. Namun, ucapan Revan sangat menarik perhatianku. "Maksudnya?"

"Bra kamu. Merah, terlalu mencolok."

Oh shit!

Bersambung....

Efek galon kagak ada kuota, otak merayap ke mana-mana. Keknya, harus dikasih 18+. Ya, gak?

Tengkyu kesetiaan kalian nunggu Pucil yang super ngaret ini. Lopyu all 😘😘

Sorry juga telat (beberapa menit) Hihihi
Soalnya Pucil cuman punya kuota tengah malam😂

See you next part😙

Jangan lupa:
Vote, jika suka
Comment, jika merasa ada yang kurang, atau apa gitu.
Share (link/tag) jika merasa orang lain perlu baca ini.
Follow jika ingin mendapatkan info-info tentang cerita seru lainnya dari si juara 1 cewek kyut ini😘

Es_Pucil

Continue Reading

You'll Also Like

229K 17.2K 43
Nara, seorang gadis biasa yang begitu menyukai novel. Namun, setelah kelelahan akibat sakit yang dideritanya, Nara terbangun sebagai Daisy dalam dun...
388K 43.1K 26
Yg gk sabar jangan baca. Slow up !!! Bagaimana jika laki-laki setenang Ndoro Karso harus menghadapi tingkah istrinya yang kadang bikin sakit kepala. ...
485K 38.1K 17
[SEBAGIAN DI PRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU BARU BACA] Dilarang ada hubungan antara senior dan peserta OSPEK, Galen, sebagai Ketua Komisi Disiplin terpa...
540K 4.3K 24
GUYSSS VOTE DONGG ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ cerita ini versi cool boy yang panjang ya guysss Be wise lapak 21+ Gavin Wijaya adalah seseorang yang sangat tertutup, ora...