Dedarah 「END」

By andhyrama

440K 54.9K 19.7K

[15+] Aku dikutuk. Aku hanyalah seorang gadis penderita asma yang ingin menjalani hari-hari dengan tenang ber... More

Prolog
Bagian 00
Bagian 01
Bagian 02
Bagian 03
Bagian 04
Bagian 05
Bagian 06
Bagian 07
Bagian 08
Bagian 09
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 29
Bagian 30
Epilog
Delapan
Segera Terbit!
Vote Cover!
Pre-Order
Ada di Shopee!

Bagian 28

9.8K 1.3K 667
By andhyrama

Dedarah
Bagian 28

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Tiga kata untuk mencerminkan semester pertama di tahun 2019 ini!

Jika kalian menjadi pengelola rumah hantu. Hantu apa saja yang perlu di-cosplay?

Jika kalian harus memilih, lebih baik menjadi sekecil semut atau menjadi sebesar gajah?

ADA SEBUAH PERMAINAN BERHADIAH!

Kalian akan mendapatkan hadiah fiksi yang istimewa!  Pertama, kalian ambil nomor undi. Nomor undinya adalah: jumlahkan digit akhir tanggal lahir+digit akhir bulan lahir+digit akhir tahun lahir!

 Kedua, ambil hadiahnya yang tersebar di Bagian 00-27! Jika hasilnya 12 buka Bagian 12 dan scroll ke bawah. Jika hasilnya 23 buka Bagian 23 dan scroll ke paling bawah dst! Hadiahnya ada di sana!

Apa hadiah kalian? Dan bagaimana perasaan kalian mendapatkan hadiah itu?

Catatan: Jika hadiahnya tidak muncul, coba logout dan kemudian login lagi.

○●○

Aku berdiri di depan meja riasku. Dengan tangan yang bergetar, aku mencoba mencukur poniku yang tampak tidak rata ini. Perlahan, aku menggerakkan gunting dengan bibir bergetar karena ingin kembali terisak.

Jantungku serasa berhenti, saat melihat apa yang terjadi. Tidak ada darah lagi. Aku terbebas dari kutukan. Aku kemudian menangis sembari memperhatikan kembali surat di atas meja ini.

Untuk Dahlia, Dahlia Putri Rema. Gadis cantik yang juga cerdas.

Seperti yang sudah dijanjikan, ini adalah surat mengenai apa yang harus kau lakukan untuk membuat giliranmu selesai. Rambutmu akan kembali normal setelahnya, dan kau akan mendapatkan apa yang kau mau.

Sebelumnya, aku ingin mengungkapkan motifku melakukan ini. Kau mungkin berpikir aku sangat jahat dan kau sangatlah membenciku. Namun, percayalah aku melakukan ini benar-benar karena aku sangat menyayangimu.

Maafkan aku karena tidak memberi tahumu tentang identitasku karena aku benar-benar tidak bisa. Kau pasti mengerti.

Jadi, ayo kembali ke ritualnya. Apa yang kau butuhkan adalah enam helai rambutmu dan satu helai rambut orang yang ingin kau jadikan penerima giliran dan sebuah gunting.

Malam Minggu ini adalah waktu ritual itu tiba, itu tepat saat bulan purnama. Berdirilah di bawah sinar rembulan dan panggil nama Mayang. Dia akan segera muncul. Gunting tujuh rambut itu dan kemudian ucapkan keinginanmu. Kau bisa mengatakan apa pun. Dia akan mengabulkan keinginanmu, apa pun itu. Itu adalah bentuk terima kasih karena kau telah berbagi darah padanya.

Jika kau berpikir ini kutukan, itu tidak benar. Ini adalah sebuah jalan agar keinginan kita terkabul. Katakan semua ini pada orang yang mendapatkan giliran setelahmu. Dia pun akan mendapatkan apa yang diinginkannya.

Aku mengumpulkan rambut-rambut rontok itu di bantalku dan juga di bantal Rajo karena aku tidur di sana sebelumnya. Aku lupa jika Ibu juga sebelumnya tidur di sana. Jadi, secara tidak sengaja, aku telah mengambil rambut Ibu dan mencampurkannya dengan rambutku. Tanpa kusadari, aku sudah melakukan ritual sesat itu dan mengutuk ibuku sendiri!

Aku pun berteriak keras dan kembali mengobrak-abrik seisi meja rias.


"Maaf, Ibu lupa beli robot Ultraman, nanti kita ke kota, ya. Kita beli itu," kata Ibu yang menanggapi kekecewaan Rajo tidak mendapati robot pesanannya.

"Ayo, ayo, ayo!" jawab Rajo dengan girangnya.

"Bu, apa Ibu akan cukur rambut?" tanyaku di meja makan.

Ibu sedang gembira, dia menoleh padaku dengan wajah yang girang. "Apa tadi, Rema?"

"Apa Ibu ada rencana cukur rambut?" tanyaku yang masih menahan diri dari kekhawatiran besar yang kurasakan di dadaku ini. "Dalam waktu dekat ini."

"Apa rambut Ibu sekarang tampak buruk?" tanyanya yang kemudian mengecek rambutnya.

"Ti-tidak Bu, aku sangat suka model rambut Ibu sekarang. Ja-jangan dicukur, ya Bu. Aku ingin rambut Ibu seperti ini saja," kataku yang sebisa mungkin tetap tampak normal.

"Kau kenapa? Tumben peduli dengan rambut Ibu," kata dia.

"Ibu cukur aja, rambutnya udah kayak singa itu," kata Rajo.

Aku melirik ke Rajo. "Jangan bilang begitu," bisikku.

Ibu malah tertawa. "Urusan rambut biarlah nanti, yang penting kita senang-senang dulu ya, ke kota. Belanja sepuasnya," kata ibuku dengan begitu gembira.

"Hore!" Rajo kegirangan.

"Kamu harus belanja banyak pakaian Rema," kata Ibu. "Sekarang kan sudah punya pacar, harus jaga penampilan biar pacarmu betah."

Dalam kondisi normal mungkin aku akan tersipu karena Ibu peduli dengan kedetakanku dan Darma, tetapi sekarang sama sekali tidak. Aku benar-benar mengkhawatirkan ibuku.


Hari ini, kami bertiga benar-benar keliling kota dan menghabiskan waktu untuk belanja. Sepanjang hari itu yang kupikirkan hanya Ibu. Tadi, setelah mandi dia bilang kalau dia menggosok kepalanya terlalu keras hingga berdarah. Padahal, rambutmu yang berdarah, Ibu. Sepertinya, dia belum menyadari hal itu, itu hal yang baik. Setidaknya, aku harus terus menahannya agar tidak potong rambut.

Aku bertekad untuk menemukan pelakunya sebelum malam Jumat. Artinya, aku hanya punya waktu empat hari. Semoga, kunjungan Darma ke tempat Bu Nina hari ini mendapatkan informasi yang berguna. Walau aku tidak yakin informasi itu akan menunjukkan siapa pelakunya, tetapi setidaknya Darma sudah memegang nama.

Kalau aku sendiri, aku tetap bersikeras bahwa Dewi adalah si pelaku. Besok, aku akan bicara empat mata dengan Dewi untuk memastikan semuanya. Aku tidak mau terus-terusan menduga-duga. Aku harus tahu segalanya!

Melihat Ibu dan Rajo tampak bahagia sedikit melunturkan kecemasanku. Setelah masalah ini usai, aku akan menjaga keduanya. Aku yang membuat Rajo hilang, aku juga yang membuat Ibu menggantikanku sebagai korban kutukan. Aku telah menyeret mereka dalam masalahku. Jadi, aku pula yang harus mengembalikan mereka ke tempat yang aman lagi.


"Dewi, aku ingin bicara padamu," kataku seraya menarik tangan Dewi untuk keluar kelas.

"Apa-apaan sih?" tanya dia.

"Ayo, ikut saja," kataku yang akhirnya disetujui olehnya.

Hari ini, aku memang disambut bahagia oleh teman-temanku. Beberapa mengucapkan selamat karena Rajo sudah ditemukan. Guru-guru juga tampak senang aku kembali, khususnya Bu Nikma yang sampai memelukku. Namun, tujuanku ke sekolah bukan untuk mendapatkan itu. Aku ingin memastikan Dewi atau bukan pelakunya.

Kami berdua kini ada di seberang gedung sekolah. Dia tampak kesal karena aku bersikap kurang sopan dengan menariknya secara paksa tadi.

"Maaf," kataku. "Ada hal serius yang ingin kukatakan," lanjutku.

"Apa?" responsnya yang menampilkan ekspresi kurang senang.

"Apa kau pernah mendengar kutukan rambut berdarah?" tanyaku.

Dia mengernyitkan dahi. "Kalau tidak penting, aku kembali ke kelas."

"Kau yang mengirimiku surat-surat itu, kan?" tanyaku.

"Surat apa?" kata dia. "Surat cinta? Kau pikir, aku tidak normal?"

"Kau ingin menggantikanku sebagai perwakilan sekolah ke olimpiade matematika, kan?" tanyaku dengan pandangan fokus ke matanya.

"Rema, kau baru saja kehilangan adikmu dan sekarang adikmu sudah ditemukan, seharusnya kau bersenang-senang dan melupakan masalah kecil tentang kecemburuanku. Apakah itu penting?" ungkapnya. "Aku dan dua siswa lain baru saja ditunjuk kepala sekolah untuk lomba debat Bahasa Inggris, urus saja lombamu dan aku akan mengurusi lombaku," lanjutnya yang kemudian pergi meninggalkanku.

Darma, apakah Darma berbohong? Dia bilang, Dewi akan menggantikanku, tetapi Dewi justru ditunjuk untuk lomba lain. Apakah pelakunya adalah dia? Darma! Dia satu-satunya orang yang membuka piano waktu itu, dia menaruh kertas itu di pianoku. Darma bicara dengan Sari sebelum Sari memberikanku surat itu. Tidak mungkin Sari belum membacanya, Darma pasti membujuk Sari sehingga Sari berperilaku aneh setelahnya—dan mungkin ceritanya di tanah lapang pinggir irigasi itu bohong. Sari mengarang karena disuruh Darma, dan Sari membawa nama Dewi di sana.

Darma membawa nama Dewi dalam kebohongannya, bahkan Darma terus mengatakan jika Ajeng mungkin adalah seorang tangan kanan. Darma tahu Ajeng adalah sahabat Dewi, dia ingin membuatku terfokus pada Dewi. Lalu, siapa sesungguhnya yang membantu Darma mendapatkan rambutku. Aku menggeleng pelan, tidak percaya.

Orang yang dapat dengan mudah menaruh surat ke lokerku, orang yang terus mendekatkanku dengan Darma, orang yang menggiringku berpendapat bahwa semua anak di kelas punya kesempatan menaruh surat itu kecuali dirinya, orang yang selalu ingin tahu isi surat-suratku, orang yang pernah ada di ranjangku dan dengan mudah mengambil rambutku, orang yang kini menutupi rambutnya dengan kerudung karena takut jika dia akan menjadi giliran selanjutnya. Orang yang bilang jika tulisan Darma berbeda dengan tulisan di surat itu! Naya. Hanya sahabatku yang bisa melakukan semua itu.

Aku hampir tidak bisa bernapas, memikirkan segala teori gilaku ini. Mengocok inhaler, aku segera menghirupnya. Aku harus segera bertemu Darma. Dia telah mempermainkanku. Dia telah membuatku jatuh cinta, tetapi ternyata dia adalah monster dalam bentuk malaikat. Serigala berbulu domba!


"Rema, saya punya berita besar," Darma tampak gembira. "Saya juga bersemangat ingin tahu ceritamu bisa menemukan Rajo. Saya dulu atau kamu dulu yang cerita?"

Aku menampar Darma dengan keras di pojok perpustakaan saat aku akan kembali memulai bimbingan dengan Bu Nikma. Kurasa tidak akan ada yang mendengar karena jam-jam ini belum banyak siswa yang masuk ke perpustakaan. Lagi pula, perpustakaan ini besar dan di pojok sini hampir tidak pernah disinggahi.

"Kenapa kamu menampar saya?" tanya dia seraya menempelkan tangannya ke pipi.

Aku menepukkan tiga lembar surat itu ke dadanya. "Kau yang menulisnya, kan?" tanyaku.

Dia memegang surat-surat itu dan melihat surat ketiga. Dia seperti membacanya dengan cepat.

"Ritualnya? Waktunya sudah lewat," kata dia dengan ekpresi tampak tidak senang.

"Kau berbohong padaku, kan?" tanyaku yang kemudian membeberkan teoriku, menuduhnya bersekongkol dengan Naya dan Sari untuk mendapatkanku. "Lalu, apa yang ingin kau lakukan jika rencanamu berhasil? Menidu—"

"Kak Rema," seseorang memanggilku.

Aku langsung menoleh ke belakang. Seorang gadis manis dengan rambut sepanjang pundak, sepertinya dia adik kelas.

"Kak Darma, Siang Kak," sapa gadis itu yang juga menyadari ada Darma.

"Si-siapa, kau?" tanyaku.

"Aku Tia. Eh anu, aku pernah mengirim surat ke Kakak lewat Kak Naya," jawabnya tampak malu. "Nama lengkapku, Tiana Dewita. Aku biasa dipanggil Tia atau Dewi. Salam kenal, Kak."

Aku mengerutkan dahi. "Dewi?"

"Bu Nikma sudah menunggu di ruang biasa Kak," kata dia yang tidak aku tanggapi—aku bingung. "Oh ya, apa Bu Nikma belum bilang ke Kak Rema? Selama Kak Rema tidak masuk, aku dibimbing oleh Bu Nikma untuk ikut olimpiade matematika. Kepala sekolah akhirnya memutuskan akan mendaftarkan dua siswa ke lomba itu, aku dan Kakak," kata dia seraya tersenyum.

Aku langsung menoleh ke Darma.

"Bu-bukan Dewi yang itu ternyata," kata dia seraya menahan senyum.

"Bisa kau pergi dulu, Tia?" tanyaku.

"Ba-baik," kata dia yang kemudian keluar dari lorong antara dua rak buku panjang ini.

Lalu, aku menoleh ke Darma. Mataku tampak perih.

"Ma-maafkan aku," kataku yang kemudian memeluknya. "Aku menuduhmu berbohong."

Aku menangis di pelukannya.

Dia tertawa kecil. "Su-sudah jangan menangis."

"Maafkan aku dulu!" kataku lagi.

"Iya, iya, saya maafkan," kata dia.

Aku melepaskan pelukanku. Lalu, dia memegang kedua lenganku dan menghapus air mata di pipiku. Dia tersenyum padaku, senyuman yang tulus.

"Ayo kita bertemu pelaku sebenarnya," kata dia.

Aku terkejut. "Ka-kau sudah menemukannya?"

Dia mengangguk. "Sekarang, aku sangat yakin jika pelakunya adalah dia. Surat ketiga melengkapi segala bukti yang kumiliki."

Aku berdebar-debar. "Si-siapa dia?"

"Pelakunya, orang yang memberikanmu kutukan itu adalah orang yang kau beri tas tangan di hari ulang tahunnya. Guru pembimbing lombamu, Bu Nikma," kata Darma.

Aku bungkam, benar-benar tidak bisa dipercaya.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Apa pendapat kalian tentang kecerobohan Rema yang sangat fatal itu?

2. Jika kalian bertemu si pelaku, apa yang ingin kalian katakan?

4. Kemarin ada segelintir orang yang curiga dengan pelakunya, tetapi belum ada yang menebak betul tentang motif si pelaku. Menurut kalian motif dia apa?

Siapa pengin lanjut?! Comment:  Which is gue banget!

Continue Reading

You'll Also Like

1M 147K 56
(Completed) Bumi tak menduga yang terjadi setelah Perang Dunia III. Spesies asing bernama Viator mendarat kembali di Bumi yang kini teradiasi dan pen...
1.4M 142K 74
Banyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum la...
107K 12.1K 23
Sesosok mayat lelaki ditemukan dalam sebuah mobil yang terkunci, membuat orang-orang berasumsi bahwa sang lelaki bunuh diri. Walaupun begitu, ternyat...
71.2K 3.2K 96
Merupakan buku ketiga dari serial Hope. Masa depan dan masa lalu memanglah saling berkaitan, karena memang keduanya merupakan bagian dari susunan wak...