Hei Gadis Berkepang

Oleh elfathrah

505 43 1

Kisah sahabat yang membingungkan. Enam anak SMA yang dipertemukan dalam satu game di tengah malam. Si jerapah... Lebih Banyak

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
24
25
26
27
28
29
30
31

23

10 1 0
Oleh elfathrah

Pagi-pagi setelah selesai acara bersih-bersih cuci jemur di kosan, Sari berkunjung ke rumah Agung di akhir pekan, seperti biasanya.

Sari selalu ingat amanat ibunya bahwa dia punya hutang budi pada keluarga Agung, setidaknya dia harus bantu-bantu di rumah mereka di akhir pekan.

Jadi, di sinilah Sari sekarang. Menyapu pekarangan, mencabuti daun kering dari dedahanan, menyiram tanaman dan lain-lain. Selesai di luar rumah, dia akan bersih-bersih di dalam. Menyapu, mengepel, dan lap perabotan. Tante Ira hanya memiliki dua orang putra. Putra pertamanya mas Agus, sudah berumah tangga di Jogja. Sisa putra bungsunya Agung, jadi tante Ira kekurangan personel untuk bantu-bantu di rumah.

"Anak laki-laki itu tidak selincah anak perempuan dalam soal pekerjaan rumah tangga" kata tante Ira suatu hari saat Sari membantunya di dapur.

"Tente ingin punya anak perempuan, sebetulnya, tapi karena tante itu beresiko kalau hamil lagi, bayi tante selalu mengalami pengapuran sebelum cukup umur untuk lahir, jadi sangat beresiko. Makanya tante cuma punya dua" katanya, menjelaskan kenapa tidak hamil lagi setelah punya Agung.

"Ada kamu di sini, tante senang. Setidaknya perasaan ingin punya anak perempuan, sedikit terobati" begitu jelasnya.

Sari senang karena tante Ira dan pak Haris sangat baik padanya. Meski pak Haris tidak banyak bicara, tapi sekali bicara pada Sari, pak Haris selalu seperti seorang ayah yang menasehati anaknya dengan lembut. Sari bahagia berada di tengah-tengah keluarga ini. Perasaan rindunya pada keluarga, terobati.

Kecuali saat ada anak yang satu itu di sekitarnya. Agung, si tiang. Saat sari bekerja dia akan berada di sekitarnya, mengoceh tanpa henti tentang segala hal. Membuat kepala Sari pusing.

"Kenapa kau menyapu disitu lebih dulu?"

"Ri, di sini belum di sapu!"

"Ri, apa yang kau cabuti di situ?"

"Oh, jadi itu harus dibersihkan juga?"

"Kenapa bagian itu harus dipel juga?"

"Ri, kemarin bla..bla..bla...bla..."

"Ri, kamu mendengarkan tidak?" Tanyanya.

"Ya.." jawab Sari sambil menyikat tutup wadah garam.

"Apa seisi rumah ini harus dicuci?" Tanyanya lagi. Sari mendesahkan nafas. Sepanjang pagi ini Agung terus bicara, membuat kepalanya pusing.

"Ya. Di sekitar kita selalu ada debu. Semakin lama setiap hari debu yang menempel bertumpuk, jadi seminggu sekali harus dibersihkan" jelas Sari.

"Ah..aman kalau begitu. Aku akan terhindar dari alergi debu" kata Agung sambil merebahkan tubuhnya di sofa samping taman, di pojok dapur.

"Oya, sofa ini berarti harus dibersihkan juga?" Tanyanya lagi.

"Hmmm" Sari mengangguk setuju.

"Baiklah, rumah ini aman...jadi rumah terbersih di lingkungan ini" katanya sambil tersenyum memejamkan mata.

"Ri, kalau dipikir-pikir, sejak tadi malam, bahuku tidak sakit lagi" Agung meraba-raba bahunya sambil matanya menerawang menatap udara kosong.

"Hmm.." Sari membilas semua perabot yang sudah dicucinya.

"Kenapa bisa begitu ya? Kenapa selalu sembuh setelah kau sentuh? Apa kau punya kekuatan super?" Tanyanya sambil terus memeriksa bahunya. Kini Sari melap perabot basah itu dan mengembalikannya ke tempat rak-rak bumbu.

"Jawab" kata Agung.

"Tidak" jawab Sari. "Aku tidak punya kekuatan super" katanya. Lalu ia membuka kulkas dan menutupnya lagi. Lalu berjalan ke depan mencari Ira. Agung mengekor di belakang.

"Tante, mau masak apa?" Tanya Sari.

"Nanti saja. Kamu makan aja dulu. Ambil sendiri di lemari, ya.." kata Ira yang sedang melap daun tanaman hias. Daun itu mirip sekali dengan daun plastik hiasan. Tebal, berwana hijau gelap, dan mengkilat. Ira akan melap daun itu satu persatu di waktu luang. Hasilnya setelah dilap, daun itu akan tampak sama dengan daun plastik hiasan. Lucu kalau kata Sari.

Sari kembali ke dapur, Agung masih mengekor di belakangnya.
"Kau belum makan?" Tanya Agung.

"Hmm" Sari mengambil piring dan sendok.

"Kalau aku bekerja sebanyak itu belum makan, pasti sudah lemas seperti kertas kena air" kata Agung. Duduk di kursi lain di seberang Sari yang mulai menyuap. Mengunyah dalam diam.

Agung menatapnya tanpa merasa malu sambil bertopang dagu. "Pipimu lucu kalau sedang mengunyah" kata Agung sambil menahan senyum. "Kau tahu sinchan?" Tanya Agung. Sari menggeleng, tetap mengunyah, matanya menatap piring di depannya.

"Kartun jepang" kata Agung. "Pipinya sama dengan pipimu kalau sedang mengunyah" Agung terpingkal-pingkal. Sari tersenyum

"Apa kau tidak punya kegiatan lain?" Tanya Sari.

"Harusnya aku berlatih musik dengan teman-teman. Tapi mereka belum mengabari dari tadi" Agung menatap layar ponselnya.

"Apa kau sudah punya persiapan untuk UAS?" Tanya Sari lagi.

"Sudah" jawab Agung. "Kau sendiri?" Tanyanya dengan mata membulat. Sari tak menjawab. Belum, dia merasa belum punya persiapan, dan karenanya dia sedang merasa pikirannya penuh. Merasa stuck tak bisa diapa-apakan. Apa ada cara mengeluarkan isi pikiran, lalu dipilah mana yang berguna dan mana yang sampah, lalu kita masukkan lagi yang berguna dan membuang yang sampah? Kalau ada caranya, Sari ingin tahu.

"Lain kali kalau bahuku sakit lagi, aku akan memintamu menyentuhnya" kata Agung senyum-senyum. Sari bangun lalu mencuci piring bekas makannya. Gadis hantu itu jelas punya permintaan pada Agung, makanya dia menempel terus.

"Apa kau pernah mendengar suara-suara?" Tanya Sari sambil meletakkan piring bersih ke rak piring.

Suara-suara seperti apa?" Tanya Agung, pandangannya mengikuti gerakan Sari.

"Suara wanita misalnya? Meminta sesuatu di dalam tidur?"

"Tidak ada" jawab Agung.

"Cuma memang ada beberapa kali kejadian aneh" kata Agung. "Terkadang aku ingin sekali memainkan sebuah lagu. Dan lagunya selalu sama. Aku tidak pernah memainkannya"

"Coba kau mainkan, aku ingin dengar" kata Sari.

"Baiklah" Agung tampak bersemangat. Ia pergi ke kamarnya. Sari pergi ke taman belakang, menunggu di sana.

Di taman itu ada cerukan tanah seluas 4 x 4 meter yang sudah disemen. Di atas lantai semen itu dipasang rumput sintetis. Di atas rumput sintetis itu ada bantal-bantal besar empuk yang terkadang bisa dijadikan sofa atau tempat tidur. Di tengah rumput sintetis itu ada lingkaran terbuat dari semen juga, untuk membuat api unggun kecil. Semua cerukan seluas 4 x 4 meter itu dinaungi atap seperti kanopi. Sekeliling rumput sintetis itu tidak ditutupi apapun, penuh dengan berbagai macam tanaman bunga dan kau bisa melihat langit dengan bebas.

"Kau sedang apa di sini?" Tanya Agung.

"Menunggumu" kata Sari.

"Kita main musiknya di sana" Agung menunjuk ruangan lain.

"Oh.." Sari bangkit mengikuti Agung.

"Siap?" Tanya Agung. Dia duduk di depan piano. Sari berdiri di ambang pintu, menyandarkan punggungnya ke tembok. Sari mengangguk. Gadis hantu itu duduk di dekat Agung. Siap mendengarkan lagu yang ingin ia dengar.

Perlahan jemari Agung menekan satu demi satu tuts piano. Mengalun nada-nada indah di ruangan itu. Sari tahu lagu ini. Ini salah satu lagu Mocca.

Setelah 2 ketukan nada tinggi, Sari membuka mulutnya. Dia hafal lirik lagu ini.

Hanya satu pintaku...
Tuk memandang langit biru..

Agung menatap Sari dengan mata membulat, kaget karena Sari tahu lagu ini. Dia menatap penuh tanya. Sari terus menyanyikan liriknya. Menganggukkan kepala, menyuruh Agung terus memainkan musik.

Hanya satu pintaku...
Tuk bercanda dan tertawa...
Di pangkuan seorang ayah...

Gadis hantu itu tersenyum menatap Sari dengan deraian air mata. Wajah pucatnya tampak sedih, mungkin dia mati dibunuh sebelum bertemu kedua orang tuanya. Mungkin dia merindukan mereka. Tanpa sadar, setetes bening mengalir di pipi Sari untuk si gadis hantu. Si gadis hantu tersenyum pada Sari, lalu menatap Agung yang tak menyadari kehadirannya, berterimakasih.

Hanya satu pintaku..
Tuk memandang langit biru..
Dalam dekap ayah dan ibu...

Sari dan Agung masih memainkan lagu itu saat di gadis hantu melambaikan tangan pada Sari dan mengecup pipi Agung. Ia menangis bahagia. Ia akan pergi. Sari melambai samar padanya, lalu gadis itu hilang.

Saat mereka duduk di taman, Agung bertanya.

"Kenapa kau menangis saat kita bermain musik tadi? Apa kau ingin pulang?"

"Ada seseorang yang merindukan kedua orang tuanya" jawab Sari sambil membaca buku.

"Oh..." Agung mengira seseorang itu adalah Sari. Memang, Sari juga merindukan kedua orang tuanya, tapi air mata itu untuk si gadis hantu. Merindukan kedua orang tua yang takan pernah bisa kau jumpai lagi selamanya. Yang tidak akan bisa kau peluk kau cium lagi, selamanya terkunci dalam alam lain, alam asing tanpa cinta.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

3.9M 233K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
4.2M 251K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
6.2M 121K 30
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
729K 38.4K 75
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...