Dedarah 「END」

By andhyrama

440K 54.9K 19.7K

[15+] Aku dikutuk. Aku hanyalah seorang gadis penderita asma yang ingin menjalani hari-hari dengan tenang ber... More

Prolog
Bagian 00
Bagian 01
Bagian 02
Bagian 03
Bagian 04
Bagian 05
Bagian 06
Bagian 07
Bagian 08
Bagian 09
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Epilog
Delapan
Segera Terbit!
Vote Cover!
Pre-Order
Ada di Shopee!

Bagian 16

9.2K 1.3K 598
By andhyrama

Dedarah
Bagian 16

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Apa karakter kartun paling kalian suka?  Alasannya?

Jika kalian bisa memilih, ingin menjadi orang paling pintar di dunia atau orang paling kaya di dunia?

Jika kalian satu-satunya orang yang tahu akan ada bencana besar (gempa, tsunami, dll) yang terjadi besok di daerah kalian. Apa yang akan kalian lakukan?

Apa yang kalian lakukan jika semua orang mengatakan jika di belakang kalian ada sosok hantu yang selalu mengikuti kalian. Akan tetapi, hanya kalian yang tidak bisa melihatnya?

Jika kalian ada di atas sebuah gedung pencakar langit, lalu kalian disuruh memilih menjatuhkan ponsel kalian atau menjatuhkan seekor kucing, mana yang akan kalian jatuhkan?

○●○

Di toko aksesoris, aku cukup kebingungan memilih apa yang harus aku hadiahkan untuk Bu Nikma. Apa yang disukai oleh seorang wanita dewasa? Dari kasus kecil ini, mau tidak mau aku jadi memikirkan Ibu. Apa yang disukai ibuku mungkin akan disukai juga oleh Bu Nikma. Ibuku sangat peduli dengan mode. Dia selalu memperhatikan fashion yang sedang tren saat ini. Dia pernah bilang jika fashion akan membuatnya terus muda. Apalagi, rukonya juga menjual pakaian dan tas wanita. Tas! Mungkin itu saja.

Aku menuju ke bagian tas. Di sini hanya ada tas-tas kecil, tetapi semuanya tampak lucu. Bu Nikma selalu suka warna yang polos dan tidak mencolok, warna yang kalem. Kurasa warna biru yang ini cocok. Aku pun segera mengambil tas tangan kecil itu dan membelinya.

Di bahu jalan, tempat Darma memarkirkan mobilnya. Aku melihatnya sedang berbicara dengan seorang pria, dia pasti sedang bertanya jalan. Aku pun segera menghampirinya.

"Terima kasih, Pak," kata Darma pada pria itu, tepat saat aku sampai di dekatnya.

Pria itu ikut menunduk saat Darma juga menunduk. Dia kemudian pergi menjauhi kami dengan ekspresi canggung.

"Kau sudah tahu di mana alamatnya?" tanyaku yang sudah berada di depan Darma.

Darma mengangguk, ekspresinya sangat serius—cenderung kurang senang. Seperti ada yang tidak beres. Namun, aku memtuskan untuk tidak bertanya padanya. Aku mengajaknya untuk segera masuk ke mobil.

"Kamu jadinya beli apa?" tanyanya saat mulai menyetir.

"Tas tangan," jawabku seraya menunjukkannya.

Dia melirik. "Kelihatan bagus."

"Semoga saja Bu Nikma suka," kataku yang tidak punya respons lain.

"Oh ya, lombamu kapan?" tanya dia seperti sengaja membuka topik baru.

"Tiga minggu lagi," jawabku.

"Saya yakin kamu bisa menang. Kamu dikenal sebagai anak berprestasi," kata Darma. "Banyak yang ingin belajar sama kamu, tapi mereka pada takut mendekatimu," lanjutnya yang membuatku tertarik. "Banyak lho, anak kelas saya yang kirim surat ke kamu, mereka ingin belajar bersama."

Ketika aku sedang curiga dengan gerak-gerik Darma, tiba-tiba dia mengatakan hal yang sama sakali tidak pernah terpikirkan olehku. Aku? Banyak anak yang ingin belajar bersamaku? Apakah surat-surat itu tidak semuanya surat cinta? Selama ini, aku membuang surat-surat itu tanpa membacanya.

Aku merasa terbangun dari ketidaksadaran secara tiba-tiba. Darma menyadarkanku dari segala prasangka buruk. Aku selalu menganggap semua orang menilaiku sombong, mereka iri padaku, juga membenciku. Aku memang menyembunyikan sakit asmaku, tetapi apa alasan itu tidak terdengar egois?

Darma menoleh ke arahku saat di lampu merah. "Saya baru tahu dari malam itu." Mungkin maksud dia malam Jumat kemarin. "Saya benar-benar khawatir padamu."

Aku tahu maksudnya. Dia sedang mengkhawatirkan sakit asmaku. Aku mencoba tersenyum padanya. "Terima kasih sudah khawatir. Namun, kau tidak perlu memikirkannya. Aku sudah menjalani kehidupan dengan asmaku selama bertahun-tahun."

"Kamu tidak membiarkan orang lain tahu, ya?" tanyanya yang tampak intens menatapku.

"Aku hanya tidak ingin dianggap lemah," jawabku yang mengalihkan pandangan—tidak sanggup bertatapan terlalu dalam dengannya.

Dia mengangguk, lalu kembali menyetir setelah lampu kembali hijau. "Saya memiliki banyak kelemahan. Saya tidak bisa memasak, lalu saya tidak bisa bertani, padahal Ayah punya sawah yang luas. Saya sangat payah dalam pelajaran menghitung, itu kenapa saya memilih IPS," ungkapnya seraya tertawa. "Tidak hanya itu, saya juga buruk dalam sepak bola atau basket. Awalnya, banyak yang berpikir saya pandai semua olahraga, tetapi mereka akhirnya tertawa saat melihat bagaimana saya menendang bola atau melempar bola basket ke ring," lanjutnya yang kemudian tertawa kecil.

Kurasa Darma hanya ingin mengatakan jika tidak masalah orang tahu kekurangan dan kelemahan kita. Semua akan baik-baik saja. Mungkin kata-kata dia harus kupikirkan baik-baik. Aku seharusnya tidak perlu malu dengan penyakitku. Memandang laki-laki di sampingku, aku merasa aura positifnya telah menyebar padaku. Naya benar, Darma adalah sosok yang positif.


Kecurigaan kecilku pada Darma setelah dia menanyakan jalan pada pria di depan toko aksesoris itu telah terjawab. Sekarang, kami ada di rumah sakit. Rumah sakit ini terlihat tua dan cukup menakutkan. Aku bertanya-tanya, apakah orang itu sedang sakit? Sakit apa? Prasangka buruk kembali datang. Jangan-jangan kutukan itu memang membawa penyakit. Fakta bahwa orang itu sudah sembuh dari kutukan membuatku berpikir bahwa penyakitnya akan tetap tinggal walau kutukannya pergi.

Setelah Darma berbicara pada resepsionis, ia mengajakku untuk masuk ke dalam lorong rumah sakit itu. Aku memperhatikan sekitar, banyak orang lalu lalang. Aku menemukan orang-orang sakit yang didorong dengan kursi roda ataupun mereka yang menggunakan tongkat. Banyak orang yang terbatuk-batuk hingga aku berpikir harusnya aku memakai masker di sini.

"Kau yakin dia ada di sini?" tanyaku yang masih sangat ragu.

Darma mengangguk. "Polisi yang saya kenal hanya memberikan nomor telepon, nama, dan alamat rumah orang itu. Lalu, saat saya mengajak orang itu bertemu melalui telepon, dia hanya memberikan nama dan nomor jalan saja, dia sama sekali tidak mengatakan bahwa ini adalah rumah sakit. Karena itu, saya sedikit kaget waktu bapak yang saya tanyai bilang kalau alamat yang saya maksudkan ternyata rumah sakit."

Aku mengangguk tanda mengerti. Apa kutukan itu datang pada orang-orang yang menyembunyikan penyakitnya? Aneh sekali jika aku berpikiran seperti itu. Namun, bukannya orang itu sangat mirip denganku? Dia tidak mau mengatakan jika dia sedang sakit. Tunggu, ada yang aneh!

"Kenapa dia menjawab teleponmu? Bukannya teleponnya ada di rumah? Dan dia justru ada di sini?" tanyaku.

"Jawabannya hanya satu. Yang menerima telepon saya mungkin bukan orang itu," jawabnya yang memang cukup masuk akal.

"Mungkin keluarganya," kataku yang sekarang benar-benar penasaran.

"Gedungnya ada di sana," kata Darma menunjuk ke gedung yang terpisah dari posisi kami berada. "Nanti kita ke sana. Ayo, salat Zuhur dulu," lanjutnya seraya menunjuk ke mushola yang terpisah dari gedung ini.

"A-aku sedang berhalangan," jawabku berbohong.

Dia mengangguk tanda mengarti. "Kamu bisa menunggu di taman itu," kata dia seraya menunjuk taman kecil di samping gedung ini.

"I-iya. Aku akan menunggumu di sana, ya," kataku yang kemudian melangkah ke taman itu. Darma pun juga pergi ke mushola.

Jangan lagi. Aku kembali melihat Rajo, dia sedang berlari di lorong. Lalu, dia melewatiku sembari cekikikan seakan tak menyadari bahwa ada kakaknya di sini. Walau aku ketakutan, aku tetap mencoba untuk tenang. Aku harus yakin jika Rajo ada di rumah, dia baik-baik saja. Dia pasti sedang bermain Nintendo dengan senang. Aku harus mulai membiasakan kedatangan sosok itu. Namun, tanpa sadar aku menangis karena memikirkan suatu kemungkinan yang sangat buruk. Bagaimana jika suatu saat aku tidak bisa membedakan mana Rajo yang asli dan mana yang hanya imajinasiku? Bagaimana jika keduanya muncul bersamaan dan keduanya sama-sama dalam bahaya? Bagaimana jika aku menolong Rajo yang salah dan Rajo adikku yang sebenarnya justru terkena bahaya? Rentetan pertanyaan itu membuatku menggeleng. Pikiranku benar-benar sedang campur aduk.


Memperhatikan air mancur kecil di taman ini, aku mencoba tenang. Setelah mengetahui bagaimana cara agar kutukanku bisa teratasi, aku akan segera memulai hidup baru. Aku akan menata kehidupanku lagi dengan baik. Aku bertekad untuk itu.

"Ayo kita temui Bu Nina," kata Darma yang kini tak segan menyebut nama orang itu.

Aku bangkit dari bangku taman setelah menyadari ada Darma. Aku mengangguk dan segera mengikutinya berjalan ke gedung sebelah. Gedung itu terlihat jauh lebih mengerikan. Banyak cat yang sudah mengelupas dan suasana yang tampak remang walau matahari sedang bersinar terik.

Kami berjalan di lorong gedung ini. Aku langsung merinding saat mendengar suara-suara tawa dari ruangan di samping kami. Tidak hanya suara tawa yang menggema, tetapi juga suara tangis yang lirih, lalu tiba-tiba ada suara teriakan. Walau Darma tidak menjelaskan, aku sudah bisa menduga keberadaanku ada di mana.

Di ujung lorong, aku menemukan seorang wanita sedang memandangi kami, wanita yang cukup muda dan memakai baju putih dan kerudung yang juga putih. Aku berhenti karena wanita itu tampak aneh, tatapannya tak bergerak dari kami.

"Kau melihat wanita itu?" tanyaku yang ragu-ragu menunjuk ke wanita berwajah pucat itu.

"Wanita di mana? Saya tidak melihatnya," kata Darma dengan wajah bingung.

Tubuhku langsung gemetar, seakan ada sengatan hawa dingin yang merasuki seluruh tubuku. "Darma, ayo pergi dari sini," ajakku.

Darma tertawa kecil. "Tentu saja saya lihat dia. Ayo ke sana," kata dia yang membuatku langsung memukulnya.

"Awas kau!"

"Apa kau yang bernama Darma, orang yang menelepon dan membuat janji bertemu ibuku?" tanya wanita muda itu.

"Iya, Kak," jawab Darma seraya mengajak berjabat tangan.

"Saya Resti," wanita itu menjabat tangan Darma. "Senangnya dipanggil Kak, padahal umur kita mungkin terpaut belasan tahun," ujarnya. "Ini pacarnya, ya?"

Aku ingin menyanggah, "bu—"

"Calon," Darma menginterupsiku dengan cengirannya yang menyebalkan.

Wanita itu tersenyum kecil padaku. "Saya Resti."

"Saya Rema."

"Ayo langsung saja temui ibuku," kata Kak Resti yang kemudian membawa kami berjalan ke tikungan lorong.

Aku dan Darma mengikuti. Suara tangisan dan orang-orang yang tertawa masih bisa kudengar. Aku sangat khawatir karena dugaan-dugaan buruk bermunculan di otakku. Karena takut, tanpa sadar aku menggandeng tangan Darma. Dia melirikku sembari menyengir karena sadar sedang kugandeng. Buru-buru, aku melepaskan gandenganku dan berjalan dengan sok berani.

Kami dibawa ke sebuah kamar. Kak Resti membuka pintu dan masuk, aku dan Darma ikut masuk dengan menunduk tanda permisi. Sosok dengan pakaian hijau sedang duduk di ranjang putih, membelakangi kami.

"Ibu, ada tamu," kata Kak Resti.

Aku mengatur napasku karena melihat sosok itu memiliki rambut yang acak-acakan seperti dicukur dengan asal-asalan. Ada bagian kepala yang tanpa rambut, ada yang masih cukup panjang. Sangat tidak beraturan. Itu membuatku semakin ketakutan. Ingin kugandeng Darma, tetapi aku tidak mau melihat cengirannya lagi.

Sosok Bu Nina itu kemudian menoleh dan memperhatikan anaknya, lalu dia menoleh ke arah Darma, barulah dia menoleh ke arahku. Wajahnya tampak marah saat melihatku, lalu matanya sembab dan yang aku kagetkan adalah dia memegang sebuah gunting.

"Rambut panjang," kata Bu Nina yang kemudian melompat dari ranjang dan mendekatiku dengan cepat.

Aku kaget, dia mendorongku hingga jatuh. Napasku tak bisa kuatur saat dia menodongkan gunting ke arahku. Dia ingin mencukur rambutku. Sontak, Darma ingin menolongku dan Kak Resti menghalau ibunya.

"Berikan rambutmu! Berikan padaku!" kata ibu itu membuatku langsung panik bukan main, seketika itu aku langsung sesak napas.

"In-ha-in," aku munjuk tasku yang tadi terjatuh.

Darma langsung mengambil tas itu dan mengambilkan inhalerku. "Ini, hirup," kata dia seusai mengocok ihalerku.

Saat aku menghirup inhaler ini, Bu Nina menatapku dengan tatapan penuh. Aku harus pergi!

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Siapa tokoh paling tidak kalian suka di cerita ini?

3. Sampai bab ini, bagian mana yang paling kalian ingat?

4. Pendapat kalian tentang diksi di cerita ini, bagaimana?

Siapa pengin lanjut?! Comment: Sultan mah bebas!

Hadiah permainan di Bagian 28: Boleh memilih hadiah lain dari Bagian 01-27.

Continue Reading

You'll Also Like

478K 54.2K 24
[PEMENANG WATTYS 2017] BUKU PERTAMA MIND TRILOGY Okan, guru Seni Rupa SMA yang hobi menabung koin ke dalam lubang yang berada di dalam dinding, menem...
1.4M 141K 74
Banyusirih mengalami tahun-tahun terburuk sepanjang sejarah. Hampir setiap hari ada mayat yang mereka kuburkan, dan jumlahnya tidak sedikit. Belum la...
25K 2.2K 10
Peringkat #1 horor pada 20/11/2022. Magma Taraka punya masa lalu yang mengenaskan. Ibunya meninggal setelah melahirkannya, membuatnya dibenci oleh sa...
35.3K 38 1
¡! BACA DESKRIPSI TERLEBIH DAHULU!¡ Berhati-hatilah kalian. Jika belum pulang ketika jam menunjukkan pukul lima sore. Maka kalian akan hilang. Mencer...