Haga & Gigi

Par MbakTeya

7.6M 314K 12.2K

#Kissing With the Boss Karena mabuk Gigi tanpa segaja mencium Haga, Boss tempatnya bekerja Plus

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua belas
Tiga belas
Empat belas
Lima belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh-END

Enam Belas

311K 14.2K 505
Par MbakTeya

Selamat membaca, semoga suka❤

Jangan lupa tinggalkan jejak 😉

"Gi." Gigi menggeliat, dia mulai terganggu dengan sentuhan-sentuhan di wajah. "Gigi."

Mengerutkan kening, Gigi mengubah posisi tidurnya. "Gigi bangun, sudah pagi."

Bisikan di samping telinga membuat Gigi berjengit. Dia membuka mata, dan melotot melihat Haga ada di atasnya.

"Pak," kata Gigi langsung mendorong wajah Haga menjauh ke belakang. Dia bangkit dan cepat-cepat melepaskan wajah Haga saat di lihatnya lelaki itu memberi tatapan tajam. "Maaf, Pak. Saya terkejut."

Haga mendengkus, dia ikut duduk di samping Gigi. Menopang dagu, menatap gadis di hadapan.

"Kenapa Bapak ada di sini?" tanya Gigi. Karena dia ingat betul, semalam setelah mereka pulang dari acara jalan-jalan mendadak yang membuat tensi darahnya naik. Gigi sudah mengunci pintu kamarnya dan Haga juga sudah memasuki kamar lelaki tersebut.

Akan tetapi, kenapa sekarang Haga ada di sini? Di atas ranjang bersama dirinya.

"Membangunkanmu." Haga tidak merubah posisi, dia masih menatap Gigi. Lalu lelaki itu tersenyum, saat melihat Gigi meremas-remas tangannya gugup. "Kamu tidak lupa kan, jika Ibu saya dan Hara mengajakmu pergi."

Gigi mengangguk. "Terima kasih sudah membangunkan saya." Gigi menunduk, dia menggigiti bibir gelisah. "Bisakah Bapak keluar, saya harus mandi."

Menggeleng, Haga kembali membanting diri ke ranjang. Dia berbaring dengan berbantal kan tangan, menatap Gigi dengan senyum senang.

"Pak," kata Gigi mengerutkan kening melihat tingkah Haga.

"Kamu bisa membawa pakaianmu ke kamar mandi," kata Haga memejamkan mata. "Saya ingin tidur."

Gigi melongo, dia tidak mengerti sama sekali dengan tingkah ajaib Haga. "Bapak kan punya kamar sendiri."

Tidak ada jawaban, Gigi mendengkus keras-keras. Sengaja biar Haga tahu jika dia sedang kesal. Akan tetapi tidak ada perubahan apa pun, lelaki itu masih memejamkan mata, pura-pura tidur.

"Cepatlah sebelum Mam atau Hara memanggilmu."

Gigi menggerutu, dengan kesal dia turun dari ranjang. Ingin sekali rasanya Gigi menggulingkan Haga dari pembaringannya. Namun, ditahan dia memilih melangkah ke lemari, mengambil pakaian miliknya dan masuk ke kamar mandi.

Kurang lebih sepuluh menit dan dia sudah keluar dari kamar mandi. Gigi tidak nyaman berlama-lama. Apalagi ada Haga di kamarnya.

"Kamu tidak mandi ya? Kenapa cepat sekali."

Gigi meremas handuk di tangan sembari menatap Haga tajam, tapi yang ditatap malah asyik memainkan ponsel. Mengembuskan napas panjang, Gigi menjemur handuk dan menyiapkan diri di depan kaca
Dia tidak mau peduli dengan apa yang dilakukan Haga di sana.

"Sudah selesai, ayo pergi," ajak Haga berdiri di samping Gigi. Dia menyentuh kursi yang di duduki Gigi, menatap bayangannya dari kaca.

"Bukannya Bapak ingin tidur?"

"Tidak lagi." Haga menyentuh sejumput rambut Gigi, dia menimang, menghirup aromanya, mengangguk puas dan kembali melepaskan. "Dan Gigi, berapa kali harus saya katakan, berhenti panggil saya Bapak. Karena di sini saya bukan Bos kamu apalagi Bapak kamu."

Gigi mengangguk patuh, dia masih kesulitan bernapas menyaksikan aksi Haga tadi.

"Bagus, saya harap kamu tidak lupa." Haga mengulurkan tangan. "Ayo kita pergi."

Gigi mengangguk, dia bangun tanpa merespons bantuan Haga. Mengambil tas, dia bergegas berjalan lebih dulu. Ingin segera kabur dari kamar yang tiba-tiba menyusut.

"Kenapa buru-buru sekali?"

Meringis dalam hati, Gigi hanya bisa memaksakan senyum kaku. Jantungnya masih berdebar, apalagi kini Haga merangkul bahunya.

"Nanti kita jatuh, Pak," kata Gigi sopan sembari mencoba menyingkirkan tangan Haga dari bahunya.

"Tidak akan."

Gigi menghela napas panjang, dia mulai mengikuti langkah Haga menuruni anak tanggah.

Tiba di lantai dasar, sudah banyak orang berlalu lalang. Mereka yang akan mendekorasi rumah ini menjadi tempat pesta. Gigi meringis, teringat lagi jika dia tidak memiliki gaun pesta.

Harapannya hanya satu, semoga saja Hara dan Ibu Jasmine membawanya ke butik, mall atau ke suatu tempat yang menjual gaun pesta.

===

Dua jam berlalu dengan cepat, harapan Gigi semakin menipis. Tidak ada butik atau mall di sini, mereka berada di pinggir kota, mendatangi kebun anggur milik keluarga Haga.

Gigi suka berada di sini, dia sudah memakan beberapa anggur segar dari pohonnya dan itu terasa sangat nikmat.

"Gigi ayo ke sana." Hara menunjuk bangunan empat lantai di depan mereka. Mengangguk, Gigi mempercepat langkah. "Di sini tempat Papa, menyimpan berbotol-botol anggur yang sudah di kelola. Cobalah."

Gigi mengambil gelas yang di sodorkan Hara, dia baru mau menenggaknya saat suara Haga menginterupsi.

"Awas mabuk."

Wajah Gigi bersemu, dia teringat lagi kejadian beberapa hari lalu. Melirik ke arah Haga, lelaki itu tengah asyik menyesap minuman di gelasnya. Tanpa melirik sana-sini.

"Minum segelas kecil tidak akan membuat Gigi mabuk." Gigi tersenyum pada Hara. Meski wajahnya masih bersemu, Gigi mulai menyesap minuman di gelasnya.

"Enak," kata Gigi menenggak habis minumannya.

"Mau lagi."

"Tidak perlu, dia tidak terlalu kuat minum." Haga mencegah Hara mengisi ulang gelas minumannya.

Gigi menunduk kian dalam, tidak berani lagi melihat ke atas. Dia malu, wajahnya terasa panas. Entah apa maksud Haga, mengingat-ingatkannya kejadian menyebalkan itu.

"Benar, Gi?"

Gigi menggeleng. "Aku rasa satu gelas lagi tidak akan membuatku mabuk," katanya meminta Hara mengisi gelas minumannya.

Dia tidak menoleh ke samping, tempat Haga berdiri. Lelaki itu menyebalkan, Gigi butuh sesuatu yang menenangkan, anggur mungkin bisa jadi alternatif.

"Hanya dua gelas, oke." Haga menepuk-nepuk kepala Gigi pelan, lalu menyingkir ke sudut ruangan. Mengangkat telepon dari Samuel.

"Sok romantis."

Gigi tersenyum malu mendengar ejekan Hara. Dia melirik Haga, lalu cepat-cepat membuang muka saat lelaki itu menatap ke arahnya dengan senyum memikat.

Ada apa dengannya?

Kenapa sekarang jantungnya berdebar lebih cepat tiap kali bertatap dengan Haga. Dia tidak berubah mencintai Haga kan?

Haga bosnya, dia tidak siap patah hati jika Haga menolak perasaannya, dan ada apa pula dengan Haga? Kenapa lelaki itu suka sekali menggoda dan terkadang terlihat begitu manis penuh perhatian.

Apa karena Haga menyukainya. Wajah Gigi semakin memerah saat satu pemikiran itu muncul di kepala. Jika Haga juga mencintainya, dia harus bagaimana?

"Gigi."

Aduhhh kenapa pikiran itu membuatnya kebingungan. Dia ingin tetap bersama Haga, entah sebagai kekasih atau sekretaris lelaki itu. Akan tetapi dia lebih suka menjadi kekasih Haga.

"Gigi!"

"Ah, ya." Gigi menatap Hara, dia tersenyum salah tingkah. Pemikiran itu membuatnya tidak fokus.

"Mam bertanya padamu."

"Ada apa ya, Bu?" tanya Gigi, dia tersenyum. Masih merasa malu dengan tingkahnya.

"Kamu pernah ke kantor, Haga?" Gigi mengangguk, tentu saja dia bekerja di sana.

Apa Haga tidak pernah mengatakan hal ini pada keluarganya. Gigi mendesah kecewa, andai mereka tahu, sudah pasti mereka tidak akan menerimanya dengan tangan terbuka. Mana sudi anak lelakinya menjalin hubungan dengan karyawan rendahan semacam dirinya ini.

"Bagaimana menurutmu sekretaris Haga?"

"Pak Samuel baik-"

"Bukan Samuel, tapi sekretaris kedua Haga."

Gigi menahan napas untuk beberapa detik, itu dirinya bukan? Apa yang harus dia katakan? Gigi sangat kebingungan. "Dia kelihatan baik juga, Bu. Rajin dan sopan." Gigi menghela napas, semoga dia tidak salah mengambil langkah.

"Benarkah?"

Tanya dengan nada tak percaya Bu Jasmine membuat semangat Gigi berkurang banyak. "Tentu saja, kami beberapa kali pernah bertemu."

"Cantik?"

Gigi mengangguk tak yakin. "Standar Bu, masih banyak yang lebih cantik di kantor Pak eh... Haga," kata Gigi membalas tatapan Bu Jasmine agar beliau percaya. "Memangnya kenapa ya, Bu?" Gigi menahan napas, menjadi gelisah menunggu jawaban.

"Saya mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan tentang dia." Bu Jasmine mengangkat bahu, dia meletakan gelas ke atas meja. "Haga juga pernah bercerita jika sekretaris barunya bodoh dan ceroboh."

"Hah?"

"Itu beberapa tahun lalu, saya kira Haga sudah memecatnya dan diganti dengan yang lain. Akan tetapi seperti yang saya katakan tadi, beberapa hari lalu saya mendengar berita tidak menyenangkan tentangnya."

Gigi meremas kedua tangan, dia kesulitan menarik napas, sudah membayangkan berita apa yang di dengar Ibu Jasmine. "Kalau boleh saya tahu, berita apa ya, Bu?"

"Katanya dia hamil anak Haga, itulah kenapa Mam paksa Haga buat bawa kamu. Mam gak mau Haga bertindak ceroboh. Apalagi Mam sangat penasaran sama kamu, gara-gara mendengar cerita Tante Clara."

Gigi menunduk, entah kenapa dia merasa sangat sedih. Matanya memanas, hatinya sakit.

"Kamu menangis?"

Menggeleng, Gigi terkekeh. "Tidak. Tentu saja tidak, untuk apa aku menangis," katanya sembari mendongak.

"Lalu ini apa, hem." Sentuhan lembut Ibu Jasmine di pipi membuat air mata yang tak disadarinya kembali menetes. Gigi terkekeh, dia berusaha menghapus air mata tersebut. "Kamu tenang saja, Haga tidak mungkin menghamili sekretarisnya. Dia tidak sebodoh itu."

Mengangguk beberapa kali, Gigi tersenyum kaku. Tidak lagi membalas ucapan Ibu Jasmine, karena dia tak tahu harus mengatakan apa.

"Mam, ada apa dengan Gigi?" Haga yang sudah kembali terkejut melihat sisa air mata di pipi Gigi. "Kenapa menangis? Apa ada sesuatu yang salah?" tanya Haga. Dia menyentuh pipi Gigi, mengusapnya dengan lembut.

Begitu Gigi menggeleng dan mengatakan tidak apa-apa Haga memberi kecupan di kedua pipinya.
Gigi mematung, dia sangat terkejut dengan aksi Haga. Apa-apaan itu?

"Yakin?"

Mengangguk kaku, Gigi mencoba mundur. Dia tidak mau dekat-dekat dengan Haga.

"Mam."

"Tidak ada, Sayang."

"Aku tidak percaya, tapi baiklah. Ayo kita pulang." Haga memeluk pinggang Gigi. Memilih berjalan lebih dulu, dia ingin membawa Gigi menjauh dari Ibu dan Adiknya. "Jadi, kenapa kamu menangis?"

"Saya tidak apa, Pak." Gigi memilih berbohong, dia tidak ingin Haga tahu yang sebenarnya. Bisa lebih malu lagi dia.

"Bukankah kita sudah sepakat, jika kamu harus berhenti panggil saya bapak." Haga melirik Gigi tajam, memberi peringatan berbahaya.

"Maaf," kata Gigi lemah. Kesedihan membuatnya tak fokus.

"Lupakan, jadi kenapa kamu menangis?"

Menarik napas panjang, Gigi berkata, "Tadi mata saya kemasukan debu."

"Dan saya tidak percaya."

Gigi meringis, tapi dia tidak mengatakan apa pun lagi. Mereka sudah sampai mobil, Ibu Jasmine dan Hara sudah sangat dekat.

====

Pukul tiga sore mereka tiba di rumah, Gigi langsung pamit kembali ke kamar. Dia merenung, memikirkan nasib jika sampai orang tua Haga dan Hara tahu pekerjaannya.

Gigi menunduk, menenggelamkan wajah di antara kaki. Dia terlihat sangat frustrasi.

Kenapa orang tua Haga tahu tentang gosip itu tapi tidak mengenali wajahnya.

Otak Gigi buntu, dia bukan hanya harus memikirkan nasibnya setelah ini. Akan tetapi dia juga harus memikirkan tentang pesta nanti malam.

Hanya tinggal beberapa jam lagi rumah ini akan di penuhi tamu, dan dia belum menemukan pakaian yang pas untuk di pakai.

"Ya Tuhan." Gigi mengeluh, dia berbaring telentang. Menatap langit-langit kamar, mendesah tidak tahu harus melakukan apa.

Ketukan di pintu membuat Gigi menoleh, dia hendak bangkit saat pintu terbuka dan Haga berjalan masuk dengan menenteng sebuah kotak besar.

Gigi tersenyum lebar, dia turun dari ranjang. Sangat berharap kotak yang di bawa Haga berisi gaun pesta untuknya. "Apa itu?" tanya Gigi menunjuk kotak yang di letakan Haga di atas tempat tidur.

"Hadiah, untuk Mam dan Papa."

"Kenapa dibawa ke sini?" Gigi kecewa, kenapa hidupnya tidak seperti wanita-wanita beruntung dalam film atau novel sih.

"Nanti kamu beri pada, Mam."

Gigi mengangguk, dia kembali duduk di ranjang. Menatap kotak tersebut dengan lemah.

"Kamu tidak ingin membukanya?"

"Buat apa, saya tidak ingin tahu isinya," kata Gigi sembari mengeleng. Dia tida sekepo itu sampai ingin tahu isi kado yang diberi Haga untuk ibu dan ayahnya.

"Supaya kalau Mam bertanya, kamu bisa menjawabnya dengan lancar." Haga ikut duduk dia mendorong kotak tersebut mendekati Gigi.

"Nanti saya lihat, Bapak ada perlu apa lagi?" Gigi melirik Haga, lalu menunduk, memperhatikan kuku di tangan.

"Bapak lagi, bapak lagi!"

Gigi menggigit bibir, tahu jika Haga marah padanya. Mau bagaimana lagi, sudah bertahun-tahun dia memanggil lelaki itu, bapak. Sangat sulit untuk di rubah lagi.

"Sepertinya Bapak harus daftar jadi calon Ayah anak-anak saya. Supaya tidak marah lagi kalau saya panggil Bapak."

Bagian terakhir itu nge-halu ya.
Gak ada di percakapan wkwkw.

Kok kayak siput ya

Tapi di hitung-hitung ini udah benar urutannya, mau di percepat takut jadi aneh dan ngerusak konsep yang udah aku buat.

Jadi... nikmati aja ya, sajian siput yang gak bisa di makan ini




Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

403K 45.8K 27
Summer Grace dekat dengan pengawalnya, Chase Dagwood. Hubungan mereka profesional sebagai majikan dan pekerja. Namun pembawaan Summer yang luwes dan...
612K 35.9K 27
Andira terhasut teman-temannya yang sesat. Dia menyesal tidak menjadi cupu selamanya. Dan akibatnya dia terlibat skandal dengan asisten sekaligus bod...
16.8M 730K 42
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
567K 8.8K 6
"Oceana bibir kamu-" "Hah? emangnya kenapa sama bibir saya Pak?" "Bibir kamu terlalu merah!" ujar Sean seraya menempelkan tisu di atas kening Oceana...