(Bukan) Kekasih Pilihan

By Olil_Lia

104K 1.5K 91

Mereka bilang, pernikahan adalah pelengkap separuh agama, persatuan antara dua hati yang terikat dalam ikatan... More

Prolog
Satu. Malam Pertama Leia
Dua. Dia yang Hadir Bagai Purnama
Tiga. Teman Hidup
Empat. Tanya
Lima. Sebuah Penerimaan
Enam. Kepada Pria Yang Diami Sudut Gelap dalam Ruang Hatiku
Tujuh. Mimpi Ellena
Delapan. Kemunafikkan
Sembilan. When I Fall In Love
Salam Kangen...
Salam Cinta
Bukan Kekasih Pilihan pindah Ke Fizzo.

Sepuluh. Cinta dan Benci

3.5K 95 7
By Olil_Lia

"Jika kau yang bertanya seberapa besar kebencian bisa menyakitimu, lihatlah dulu seberapa besar kau mencintai dan menggantung seluruh kebahagiaan padanya.
Maka, sebesar itulah rasa sakit yang akan kau terima.

Karena sejatinya, cinta dan benci itu hanya memiliki perbedaan tipis. Setipis ari yang menjadi pelindung kehidupan bayi dalam kandungan."

______________

Di sebuah ruang kerja dengan gaya arsitektur modern, dua penjaga berpakaian rapi berdiri tegak di balik pintu.
Mengawasi setiap gerak gerik mencurigakan, dan mencegah kegaduhan yang mungkin saja terjadi, sesuai arahan sang boss.

Ruangan yang didominasi warna hitam dengan banyaknya ornamen-oranamen kayu itu tengah kedatangan tamu spesial rupanya.
Seseorang yang begitu berarti bagi si empunya tempat.

"Bagaimana keadaanmu, Lei? Maafkan Om yang baru bisa menemui kamu. Banyak hal yang harus Om kerjakan sepeninggal papa kamu."

"Kabar Leia baik, Om. Terima kasih selama ini sudah sangat baik dan perhatian sama Leia."

Hans tersenyum ramah mengetahui respon positif yang ditunjukkan Leia.
"Kamu sudah dewasa sekarang. Semakin cantik. Persis mama kamu."

Gadis itu balas senyum, "Terima kasih, Om."
Sebenarnya, ada perasaan kurang nyaman setiap kali bercakap-cakap dengan Hans.
Hanya saja, mengingat jasa dan betapa dekatnya orang yang dia panggil om itu terhadap keluarganya, membuat Leia segan bila harus berlaku tidak sopan pada Hans.

"Oiya, bagaimana dengan pendidikanmu? Om dengar kamu masih belum melanjutkan kuliah semenjak menikah dengan Aryan, betul?"

Leia sedikit mendongak ketika Hans menyebutkan kata 'kuliah'. Tidak menyangka bahwa masalah yang bertubi ia hadapi, mampu menghapuskan ingatan tentang impiannya.
"Leia belum tahu, Om. Mungkin nanti bisa didiskusiin sama Mas Aryan."

"Mas?"
Hans mengubah posisi duduk. Terlihat sekali bahwa pria paruh baya itu tidak nyaman dengan panggilan Leia pada mantan supir itu.

Dan entah mendapat keyakinan dari mana, begitu mantap Leia menjelaskan.
"Iya, Om. Karena sekarang status Leia adalah istrinya Mas Aryan, jadi Leia harus patuh pada apapun keputusan Mas Aryan selama itu masih dalam konteks kebaikan."

Kebaikan?

Lagi lagi kalimat yang keluar dari bibir mungil Leia membuat Hans menggeleng.

"Leia, kamu ... Tidak apa-apa, kan?"

"Alhamdulillah Leia baik, Om."

Hans semakin tidak nyaman, terlihat jelas bagaimana ia tidak bisa diam dan terus saja mengubah posisi duduknya.
"Lalu bagaimana dengan Ben, Lei? Hubungan kalian baik, kan?"

Gadis itu tersenyum, "Kami baik, Om. Kak Ben selalu baik sama Leia. Jadi nggak ada alasan buat Leia nggak menyukai Kak Ben."

Ah, syukurlah.
Setidaknya masih ada satu poin positif antara hubungan Leia dengan Ben.
Begitu pikir Hans, sembari mengembuskan napas lega.

Di kepalanya kini dipenuhi rencana yang harus segera ia lakukan sebelum Leia benar benar dekat dan jatuh ke pelukan Aryan.

***

Meski tanpa disadari, hubungan pernikahan ternyata mampu mengikat hati dua sejoli. Meski itu sebuah pernikahan yang tak pernah diharapkan.
Mungkin begitu yang tengah dialami Aryan saat ini. Sangat tidak nyaman meninggalkan Leia bersama dengan Hans yang bahkan tak segan untuk menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya.
Terlebih dengan adanya surat misterius yang mengancam keselamatan Leia, membuat Aryan harus ekstra ketat dan memastikan sang istri selalu dalam jangkauan pandangnya.

Namun lagi-lagi, karena alasan itulah Aryan mau tidak mau harus meninggalkan Leia.
Dia harus mencari kejelasan mengenai status kematian Pak Tjandra yang ia ajukan sejak hampir dua minggu ke kantor polisi, yang hingga detik ini tak ada satu panggilanpun yang masuk ke ponselnya mengenai progres penyidikan.

"Bagaimana, Pak? Apa sudah ada kemajuan dari kasus Pak Tjandra?"
Tanpa basa-basi, langsung pria itu mengutarakan apa yang menjadi tujuan utamanya menyambangi markas kepolisian.

"Maaf, Pak Aryan. Dari penyidikan yang kami lakukan, kami tidak menemukan ada kesalahan apapun."

"Apa? Bagaimana mungkin, Pak? Saya yakin betul ada kejanggalan pada kematian Pak Tjandra."

"Asumsi tanpa bukti percuma saja, Pak Aryan. Selama ini anda memberikan laporan hanya berdasarkan apa yang anda yakini tanpa ada satupun bukti. Sudahlah, mari kita tutup saja kasus ini. Percuma. Hanya membuang waktu anda saja."

Darah seolah mendidih di puncak kepala Aryan dengan perlakuan seorang yang harusnya melayani masyarakat, mendengar setiap keluhan rakyat.
Tapi, apa yang dia dapat sekarang?
Seorang berseragam cokelat susu dipadukan celana twist dengan warna yang lebih gelap itu nyatanya menolak untuk membantu mengungkap kematian ayah mertuanya yang ia yakini ada sesuatu yang salah di sana.

Setelah berhasil mengatur napas dan mengendalikan emosi, sebuah ide terlintas begitu saja dalam benak.
"Bagaimana kalau kita melakukan autopsi saja?"

Sang aparat sedikit terkejut dengan pernyataan yang diajukan Aryan.
"Anda yakin?"

"Bapak bilang saya harus punya bukti jika mau membuat laporan. Dan sekarang saya butuh hasil visum Pak Tjandra sebagai buktinya. Saya yakin, rekam medis Pak Tjandra bisa jadi perbandingan atas dugaan serangan jantung yang menjadi penyebab utama meninggalnya Pak Tjandra."
Jelas Aryan penuh percaya diri.

Setelah menimang cukup lama, sang sipir menanggapi disertai dengan embusan napas gusar.
Susah sekali meruntuhkan kepercayaan Aryan. Pikirnya.

"Baiklah, kalau memang itu yang Pak Aryan inginkan. Tapi kami butuh tanda persetujuan dari anggota keluarganya yang lain. Anda bisa?"

"Tentu. Akan segera saya berikan tanda tangan yang Bapak inginkan."

***

Di antara seluruh ruang dunia yang penuh ingar-bingar ini, ada sebuah ruang dingin, sepi, kosong, dan penuh kebencian.
Ruangan bercat putih itu hanya memiliki satu ranjang kecil berwarna senada dengan seorang penghuni yang kedua tangannya seringkali terikat pada setiap sisi ranjang.
Di sebalik pintu yang hanya memiliki empat lubang persegi panjang berukuran 10cm sebagai satu-satunya ventilasi, seorang pria muda berdiri meratapi nasib wanita yang berada di dalam ruang mengerikan itu.

Ruangan itu, wanita itu, selalu berhasil mencuri tetestetes air mata yang tak pernah ia tampakkan pada dunia.

"Ma. Aku di sini, Ma," lirihnya penuh kepiluan.

Tak bersambut, wanita paruh baya di sana justru sibuk dengan rambut kusut tak beraturan yang dibiarkan tergerai.
Membuat si pria itu semakin merasakan kengiluan dalam hatinya.

Setelah sebelumnya mendapat izin untuk mendapatkan kunci, dengan sebuah nampan penuh makanan, pria itu langsung membuka pintu baja dan langsung menguncinya sesuai yang telah disepakati bersama tim dokter.

"Ma,"
Tangan kekarnya mengusap lembut wajah sang ibunda. Meski wanita yang ia panggil mama itu bahkan tak mengenali siapa dirinya.

Dengan hati-hati, pria itu melepas ikatan tangan dan membantu sang mama agar duduk tegap.

"Ayo, buka mulutnya, Ma."
Dengan telaten ia menyuapi hingga makanan di piring tinggal separuh tersisa.

"Ma, aku janji akan balaskan dendam Mama pada Papa dan semua orang yang telah merebut kebahagiaan Mama. Aku janji akan mengambil seluruh senyuman dari wajah mereka, seperti yang telah mereka lakukan pada Mama. Mama sembuh, ya. Biar aku bisa selalu kuat dan membalaskan dendam kita."

Berbeda dari sebelumnya, Mayang kali ini merespon ucapan Ben.

Sambil menatap lekat putra semata wayangnya, Mayang menggeram seolah menahan amarah.
"Mati. Dia memang pantas mati! Iya, kan, Ben?"

Sesekali matanya terbuka lebar dengan gigi bergemeletuk seolah tak tahan dengan amarah dan kekecewaan yang seakan tak kuasa lagi untuk ia pendam. Setelah itu, berganti isak tangis kepedihan. Detik berikutnya, tangis kepiluan itu berganti lagi menjadi tawa penuh kepuasan.

"Dia memang pantas mati!! Pantas mati!"

Benji yang semula duduk persis di hadapan Mayang, kini mulai berdiri mengatur jarak. Tak terbantahkan memang betapa besar ia menyayangi sang Ibunda, begitu juga sebaliknya. Tapi dalam kondisi seperti ini, Mayang sama sekali tak mengenalinya.
Teringat tiga hari lalu saat ia nekat menenangkan Mayang seorang diri dengan tangan kosong. Dirinya bahkan hampir kehilangan nyawanya saat dengan kekuatan super yang entah berasal dari mana, Mayang mencebgkeram dan mencekik leher Benji hingga meninggalkan bekas luka.

Beruntung tim dokter segera datang setelah mendengar kegaduhan, dan langsung menyuntikkan obat penenang pada Mayang.

Kali ini, Benji bertindak lebih cekatan. Sebelum Mayang semakin tak terkendali, dibawanya keluar semua barang-barang yang sebelumnya ia bawa masuk, lalu segera pergi dan mengunci pintu baja itu lagi.
Meninggalkan Mayang yang terus berteriak ingin merasakan kebebasan.

"Maafin, Ben, Ma. Benji nggak bisa menuruti keinginan Mama. Semua ini demi kesembuhan Mama. Setelah Mama sembuh, Ben janji akan segera bawa Mama keluar dari ruang dingin ini," Isak Benji di sebalik pintu yang ia kunci.

__________________________

Annyeong..
Assalamu'alaikum.

Taqobalallahu minna wa minkum
Wa taqobbal yaa kariim..

Mohon maaf lahir batin ya, kawan pembaca semua.
Terimakasih untuk support dan dukungannya pada Leia dkk.

Do'akan agar saya masih punya cukup tenaga untuk terus melanjutkan cerita ini.

Tengkyu, love.
😘
💞

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 27.4K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
596K 43K 40
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
2.3M 203K 32
Mati dalam penyesalan mendalam membuat Eva seorang Istri dan juga Ibu yang sudah memiliki 3 orang anak yang sudah beranjak dewasa mendapatkan kesempa...
593K 25.4K 40
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...