Dedarah 「END」

By andhyrama

440K 54.9K 19.7K

[15+] Aku dikutuk. Aku hanyalah seorang gadis penderita asma yang ingin menjalani hari-hari dengan tenang ber... More

Prolog
Bagian 00
Bagian 02
Bagian 03
Bagian 04
Bagian 05
Bagian 06
Bagian 07
Bagian 08
Bagian 09
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25
Bagian 26
Bagian 27
Bagian 28
Bagian 29
Bagian 30
Epilog
Delapan
Segera Terbit!
Vote Cover!
Pre-Order
Ada di Shopee!

Bagian 01

20.9K 2.2K 282
By andhyrama

Dedarah
Bagian 01

a novel by Andhyrama

www.andhyrama.com// IG: @andhyrama// Twitter: @andhyrama//FB: Andhyrama// Ask.fm: @andhyrama

○●○

Kita tidak berpikir dengan cara yang sama. Hidupku bukan hidupmu.

○●○

Aku mengendari sepedaku dengan pelan. Aku melewati jalanan yang cukup terjal untuk sampai ke sekolah, melewati jalan yang samping-sampingnya adalah hutan. Untungnya, sekolahku tidak terlalu jauh. Aku hanya perlu bersepeda selama dua puluh menit. Jika aku bersekolah di kota, aku harus bersepeda lebih dari satu jam.

Saat melewati jalanan hutan, aku selalu merasakan ada yang sedang mengawasiku di balik pepohonan. Sebenarnya ada jalan alternatif selain jalan penuh bebatuan ini. Jalan di pinggir sungai. Namun, aku harus memutar cukup jauh. Aku bisa kehilangan banyak waktu. Lagi pula, merasa diawasi hanyalah pemikiran yang kubuat sendiri, tak ada orang yang bersembunyi di hutan untuk mengintai gadis SMA yang sedang berangkat sekolah. Bagaimana jika yang mengawasiku bukanlah manusia? Aku menggeleng, tertawa kecil karena pikiranku mulai kacau.

Selain suara tasku yang bergoyang-goyang di keranjang depan. Aku bisa mendengar suara-suara serangga di tengah hutan ini. Aku suka mendengar suara serangga. Biasanya, aku akan turun dari sepeda dan menuntunnya agar lebih jelas mendengar suara-suara itu. Aku pun melakukannya lagi sekarang. Aku merasa dapat bernapas dengan begitu normal di pagi hari. Udara di sini sangatlah segar.

"Dua, tiga, empat...," aku mendengar suara perempuan.

Aku diam, tubuhku tiba-tiba merinding saat melihat sosok gadis dengan seragam sama sepertiku sedang berada di dekat pohon. Dia seperti sedang berjaga dalam permainan petak umpet, menutup mata dengan kedua tangan yang ditempelkan ke batang pohon.

"Aku akan menemukan kalian," ujarnya saat selesai menghitung sampai sepuluh.

Dia menyadari kehadiranku. Kami berdua saling bertatapan. Aku tahu dia, Hani, teman kelasku. Memandangnya dengan wajah sedatar mungkin. Aku kembali mendorong sepedaku pergi. Gadis dengan rambut panjang yang tampak kumal itu harus kujauhi, dia sangat aneh.


"Lihat, aku baru saja mendapatkan perangko 20 sen dengan gambar Pak Soekarno," kata Hendra yang masuk ke kelas dengan menunjukkan perangkonya lagi.

"Aku punya setumpuk perangko Pak Soeharto di rumah," sahut Gilang yang sedang duduk dengan kaki di atas meja seperti jagoan.

"Itu baru terbit tahun lalu," ujar Hendra seraya melirik ke arah foto presiden Soeharto yang terpajang di atas papan tulis itu.

Di saat dua laki-laki tidak penting itu berdebat, aku tengah mengerjakan soal-soal di buku. Hampir seluruh soal di buku ini sudah aku kerjakan. Biasanya, aku memang menghabiskan waktu pagiku di kelas sebelum guru datang untuk berlatih soal.

"Hei, Rema," seseorang mendekatiku.

Aku mengangkat wajahku dengan malas. Sari sedang menatapku dengan sikap angkuh. Dia memakai lipstik, dan itu membuatku muak. Dia selalu merasa dirinya paling cantik di sekolah ini. Dengan berdandan seperti itu, tak akan mengubah banyak hal selain dirinya memang gadis bodoh yang hanya ingin memikat laki-laki—yang tentu saja bodoh jika terpikat dengannya.

"Ada sesuatu di loker mejamu," kata dia.

Lagi-lagi soal itu, aku sudah bisa menduga apa yang ada di kepala gadis—aku tidak yakin dia masih, mengingat dia selalu berganti-ganti pacar—ini. Maka dari itu, aku tak mempedulikan kata-kata Sari dan kembali fokus ke soal-soalku.

"Aku hanya ingin menghitungnya," kata dia lagi. "Pagi ini, aku dapat tiga surat cinta. Ayolah, aku hanya ingin tahu milikmu ada berapa hari ini."

"Aku bukan sainganmu," kataku singkat.

Dia diam untuk beberapa saat, kemudian menggebrak mejaku. "Jadi, kamu pikir. Kamu yang paling cantik di sekolah ini? Sombong sekali! Kamu pikir siapa dirimu?"

Ratu drama.

Aku menoleh ke arahnya. Wajahnya memerah karena marah, kuambil surat-surat tidak penting yang kurasa jumlahnya lebih dari lima—padahal aku selalu membuangnya tanpa kubaca setiap sore—dan berdiri. Aku menunjukkannya pada Sari. Kulemparkan surat-surat itu ke wajahnya.

"Mereka untukmu," kataku yang kemudian melangkah pergi.

Aku tahu, wajah-wajah anak di kelas ini langsung menoleh ke arahku. Aku diam saja saat Sari mengataiku murahan atau sebangsanya. Dia tidak punya cermin di rumah. Saat dia berteriak menanyai berapa harganya diriku, aku memilih diam. Kelas ini membuatku benar-benar marah.


Kuperhatikan wajahku di cermin kamar kecil. Jika aku harus memilih, kuingin memiliki wajah biasa saja. Karena setiap orang yang melihatku, mereka akan memuji rupaku terlebih dulu. Kurapikan rambutku, menata poni agar tampak sempurna.

Wajahku memang cantik, maksudku sangat cantik. Hidung mancung yang sempurna, ukuran mata yang pas dengan bulunya yang lentik, bibirku yang mungil dan merah alami, lalu bentuk rahang, pipi, bahu yang bagus. Aku juga cukup tinggi. Namun, kecantikan ini tidak terlalu banyak membantuku—justru membuatku harus berurusan dengan orang macam Sari. Mungkin, di masa depan akan berguna.

Andai saja aku tidak mengidap asma. Mungkin kehidupanku akan lebih baik. Tidak perlu ada yang kusembunyikan. Menghirup inhalerku secara diam-diam, aku kembali fokus pada cermin. Kupandangi wajahku dengan saksama.

Aku kaget.

Seseorang muncul di balik tubuhku. Aku menoleh ke belakang. Hani. Walau dia berdiri membelakangiku, menatap tembok. Aku tahu itu dia dari rambutnya yang tampak tidak terurus itu. Dia sedang menghitung, entah apa yang dia hitung. Akan tetapi, aku tidak ingin berurusan dengannya. Aku memilih ke luar.

"Rema!" seorang gadis mengagetkanku.

Aku mengatur napas dan menatapnya kesal. "Apa?"

Gadis manis dengan rambut keriting dan berbando itu tampak khawatir, dia menarik tanganku. "Kamu kelahi sama Sari?"

"Tidak."

"Dia lagi bacaian surat-suratmu di kelas, yang lain juga ngetawain kamu, Ma," ungkap Naya. "

Aku tertawa getir. "Mereka menertawakan pengirim surat itu," kataku. "Lagi pula, apa dia tidak punya otak? Dia juga mendapatkan surat-surat semacam itu—kalau dia tidak mengarang."

Naya ikut terawa. "Ya udah, ayo ke kelas. Sebentar lagi bel masuk."

Aku mengangguk, lalu kurasakan ada yang mengikuti kami saat berada di lorong kelas. Hani, dia ikut berjalan di belakang kami. Aku tidak bisa mengerti gadis dengan tahi lalat di dahinya itu. Keanehan sosoknya terkadang membuatku merinding.

"Ini yang terakhir," suara Sari.

Saat aku dan Naya masuk ke kelas, kulihat Sari sedang berdiri di atas meja. Dia sedang membaca surat-surat itu. Menyadari keberadaanku, semua orang menoleh. Pandangan paling tajam kudapat dari Dewi. Gadis yang sedang memegang buku RPUL itu tampak sangat membenciku. Dia duduk dengan gadis berambut pendek bermana Ajeng yang tampaknya sedang menggambar—satu-satunya yang tak menatapku."

"Si kembang sekolahnya datang," sindir Sari.

"Padahal kau yang ingin sekali dibilang seperti itu," siswa laki-laki yang bajunya tidak dimasukkan itu menertawai Sari.

"Danu, diam!" suruh Sari.

Aku dan Naya sudah duduk berdampingan. Kami berdua satu meja. Mencoba tak mempedulikan tingkah Sari. Aku kembali membuka buku.

"Tidak usah munafik, Sar. Kamu kan selalu iri dengan Rema. Semua orang juga tahu siapa yang lebih cantik," seru Danu yang kembali tertawa.

Naya tertawa di sebelahku. "Danu membelamu."

"Tidak. Dia mengolok Sari, bukan membelaku," jawabku.

"Dilihat-lihat, Danu itu ganteng juga tahu. Dia kan pernah tolongin kamu pas olahraga. Dia yang bawa kamu ke UKS pas kamu kecapaian. Kalau aku jadi kamu, aku mau saja sama Danu," kata Naya yang tidak kugubris.

Aku kembali terusik saat melihat Hani lewat. Dia selalu duduk di belakang. Semua orang tak ada yang mempedulikan gadis itu. Dia selalu sendiri dan dikucilkan. Kadang, aku merasa kasihan. Akan tetapi, aku tetap bersikeras tak ingin menyapa apalagi berteman dengannya. Dengan Naya saja sudah cukup menyusahkan.

"Kalian debat terus, katanya mau baca suratnya," suara Gilang menghentikan perdebatan tidak penting antara Sari dan Danu. Walau aku mencoba tak melihat, tetap saja telingaku mendengar.

"Aku mau cerita soal perangko Ratu Victoria, kalian pasti penasaran," Hendra sepertinya ingin menginterupsi Sari.

"Tidak ada yang peduli dengan perangko di sini," sindir Gilang.

"Untuk Dahlia," mulai Sari. "Dahlia Putri Rema. Gadis cantik yang juga cerdas. Maaf untuk apa yang akan terjadi di kemudian hari padamu. Kau mungkin akan merasa sangat takut, sedih, dan marah. Namun, kau akan akan baik-baik saja."

Mendengar isi surat itu, aku merasa jantungku terteakan. Aku langsung menoleh ke arah Sari yang sudah turun dari meja.

"Apa maksudnya?" Sari tampak bingung.

"Rema akan diperkosa oleh pengirim surat itu," celetuk Gilang.

"Hei! Jangan bicara sembarangan!" Naya membentak.

Sari tampak tertawa. "Masuk di akal juga."

Aku menahan emosiku. Dia membicarakan hal itu tanpa rasa bersalah sedikit pun. Aku pun berdiri. "Berikan surat itu padaku!"

Sari memandangku dengan mimik seperti meremehkan. "Kamu bilang ini jadi milikku."

"Itu artinya kau yang akan diperkosa, Sar?" tanya Danu.

"Tidak apa-apa. Asal dia ganteng dan kaya," jawab Sari.

Tamparan keras tiba-tiba datang ke arah Sari. "Bodoh! Dasar cewek murahan!" Naya menarik kertas di tangan Sari. Namun, Sari tak mau melepaskannya. Dia tampak sangat marah dengan tamparan itu.

Saat semua orang memperhatikan Naya dan Sari. Aku diam-diam menghirup inhalerku. Tidak ada orang yang melihatku melakukan itu. Mungkin. Kecuali Hani yang menatapku dari bangku pojok.

○●○

Question's Time

1. Apa pendapat kalian tentang bagian ini?

2. Hantu apa yang paling kalian takuti?

Me: Pocong, tapi seringnya ketemu kunti. Pocong cuma sekali.

Hadiah permainan di Bagian 28: Bermalam dengan pocong di kuburan.

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 623 28
(The Chosen sequel) Setelah berhasil melewati ritual terakhir yang nyaris mempertemukannya dengan kematian, Stela kini dihadapkan pada awal yang baru...
680K 106K 49
(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru A...
479K 54.3K 24
[PEMENANG WATTYS 2017] BUKU PERTAMA MIND TRILOGY Okan, guru Seni Rupa SMA yang hobi menabung koin ke dalam lubang yang berada di dalam dinding, menem...
49.8K 5.9K 37
"setiap manusia punya sisi yang lain dalam dirinya" [Paranormal, Mystery, Thriller] #5 in Paranormal (11-02-2018)