Frou

By andihaname

124K 19.5K 5.2K

[SELESAI] Gendis Jingga dan Niagara, dua orang yang mendirikan sebuah radio amatir bernama Frou. Lalu Rasio... More

La Sol El Luna
Light Inside
About a Friend
Bedroom Avenue
I Am You
You and Your Shadows
Farther Than I Might Have Ever Figured
Anaheim
We Don't Have Much to Say
Glitches
False Alarm
Less Afraid
a Lot of Fireworks But I Still Had a Reason to Smile
Oh Well
Words and Stories
If I Could I Would
I Love You But I'm Letting Go
Part of Me, Apart from Me
Let Me Erase You
Lost
Ironic
Blue Sky Thinking
Love Is
Self-Reflecting Room
Home
[extra] About Frou Studio
Blurry
La Sol, El Luna (FINAL)
Quite Quiet [EPILOG}

From Satellite

2.8K 557 228
By andihaname

From Satellite - Stereocase

---

Gendis menyerah untuk berpura-pura menghadapi Rasio seperti biasanya ketika ada beberapa hal yang sudah terkuak di depan matanya. Mungkin belum semua, tapi sebagian besar sudah ia ketahui dan tidak perlu bukti banyak untuk menyadari Rasio tidak seperti yang diharapkannya.

Gendis merasa tidak perlu menerka apapun lagi maupun mengelaborasikan semuanya. Terlalu banyak asumsi hanya membuatnya semakin kepikiran. Padahal ia sudah bertekad untuk menyudahi urusannya dengan Rasio dan juga Gara. Tidak main-main, menyudahi urusan dengan Rasio artinya mengakhiri hubungan mereka.

Yang ternyata tidak disetujui oleh Rasio. Sesuai praduganya.

"Maksud kamu apa?" Rasio bertanya. Tatapannya menghujam netra Gendis. "Udahan? Udahan dalam artian apa?"

Gendis menarik napas pelan, menolak terpancing oleh nada tak setuju Rasio. "Udahan, Yo. Aku pengen kita nggak ada hubungan apa-apa lagi," konfirmasinya sekali lagi.

Bukan main kentaranya perubahan pada raut wajah Rasio. Wajah yang selalu tenang dan tak terusik itu tiba-tiba menjelma menjadi wajah yang selalu ia berikan pada Gara. Tak terkendali, penuh amarah, dan terancam.

"Nggak bisa sepihak, Dis," Rasio menyahut cepat. "Keputusan kayak gini nggak bisa sepihak."

"Emang nggak bakal pernah ada dua pihak dalam keputusan kayak gini. Ini keputusan aku sendiri dan aku minta kamu ngerti keadaannya."

"Keadaan gimana, Gendis?" nada bicara Rasio meninggi.

"Keadaan kayak gini," tegas Gendis sembari menimbang-nimbang perlukah ia paparkan semuanya pada Rasio. Wajar jika cowok itu meledak-ledak, Gendis mengajaknya bertemu setelah lama saling tak memberi kabar hanya untuk menyudahi hubungan mereka.

"Aku salah apa ke kamu?" tanya Rasio. Gendis mendapati ada sekelebat intonasi yang menunjukkan cowok itu tak ingin disalahkan, sangat berkebalikan dengan pertanyaan yang diajukannya.

"Nggak ada, kamu nggak punya salah apapun ke aku," Gendis menjawab datar.

"Terus masalah kita apa?"

"Kamu mau aku jujur kenapa aku tiba-tiba minta kita putus?" Gendis menantang.

"Silakan."

Gara," Gendis tak gentar menyebutkan nama itu di depan mata Rasio.

Rasio membanting punggungnya ke sandaran kursi dan menarik napas kasar. "Kenapa lagi? Gara ngomong apalagi ke kamu?" tanyanya gusar.

"Nggak ada. Gara nggak ngomong apa-apa ke aku," tampaknya Rasio harus disadarkan bahwa ini bukan masalah adanya orang ketiga atau bukan, melainkan tentang semua perlakuan buruk Rasio pada saudaranya sendiri yang akhirnya perlahan-lahan terkuak.

"Terus ngapain kamu bawa-bawa Gara lagi? Buat apa, Dis? Apa hubungannya kita sama dia?"

"Aku udah tau semua yang kamu lakuin ke Gara, Yo. Telat emang. Tapi lebih baik telat daripada aku ngelanjutin hubungan sama orang yang udah bikin Gara pergi dari rumah."

Rasio menggeleng-geleng dan mendengus, belum mau mengakui tuduhan Gendis.

Oh, kasihan Rasio, lupa bahwa beberapa minggu lalu pasca bertengkar hebat dengan Gara di studio, ia dengan terang-terangan memaki saudaranya sendiri di depan mata Gendis. Mencoba untuk tetap berada di pihak Rasio, tadinya Gendis tak mau mendengarkan rutukan-rutukannya. Tapi setelah melihat betapa besar kebencian Rasio pada Gara, hati kecilnya yang selalu membela Gara pada setiap situasi, dan mengingat betapa ketakutanya Gara setiap hal tentang Rasio disodorkan padanya, Gendis akhirnya menyadari di pihak siapa ia harus berdiri.

"Aku kira kamu orang baik, Yo. Ternyata kamu yang menyebabkan Gara sampai kayak gini. Dia hancur, dia selalu ketakutan, dia ngerasa nggak punya apa-apa lagi karena semua--" Gendis mencoba meloloskan kata-katanya yang tertahan akibat kesedihan yang tiba-tiba mencengkeram tenggorokannya. "Semua udah kamu ambil, Yo," lanjutnya pelan, akhirnya menyadari bahwa dirinya juga menjadi salah satu yang diambil Rasio dari Gara.

"Gara cerita itu semua? Kamu percaya?" tanya Rasio bertubi-tubi.

Gendis menggeleng. "Bukan Gara yang cerita. Tapi aku percaya semua cerita tentang dia, darimana pun sumbernya."

"Gimana kalau dia mengada-ada? Kamu tau kan, Dis, dia nggak pernah suka sama aku--"

"Aku tau dia nggak pernah suka sama kamu, Yo," potong Gendis. "Tapi itu semua salah kamu. Dari dulu aku selalu bilang ke dia untuk nerima kamu dan Bunda, sampai akhirnya waktu dia bener-bener mau nerima, malah kamu yang cari masalah. Kepercayaan yang udah Gara bangun untuk kamu runtuh semua. Sadar, dong, Yo, gimana efek sikap kamu ke Gara."

Untuk beberapa detik Rasio tidak memberikan reaksi apapun. Raut wajahnya tetap datar, tatapannya lurus ke arah meja. Gendis nyaris mengira Rasio akan mengakui kesalahannya saat cowok itu menggeleng pelan dan mengangkat sudut bibirnya.

"Lo berharap apa dari marah-marah lo ke gue sekarang, Dis? Gara udah pergi dari rumah, nggak ada yang tau dia kemana dan gimana kabarnya. Oke, gue terima kita putus. Terus apa? Lo mau apa sekarang?"

Gendis terkesiap. Perutnya mendadak terasa diaduk. Apa kata Rasio barusan? Gara pergi dari rumah? Untuk kedua kalinya?

"Bukan kabur ke studio kayak dulu," Rasio menambahkan seolah tau isi kepala Gendis. "Bahkan gue nggak tau dia bakal balik atau enggak."

"Kamu jahat banget, Yo," suara Gendis bergetar. Ia masih belum mencerna kenyataan bahwa Gara memutuskan untuk menghilang lagi.

Rasio mengangguk mengiyakan. "Lo juga, Dis. Orang paling jahat bagi Gara bukan gue, tapi lo, temennya sendiri, yang ninggalin dia," serangnya.

Gendis tidak bisa berpikir lagi. Tiba-tiba saja semua akar permasalahan ini dibelokkan padanya. Padahal bukan ini maunya, dia cuma ingin mengakhiri hubungan dengan Rasio dan menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi keterikatan antara dirinya, Rasio, dan Gara.

"Silakan salahkan gue semau lo, toh nggak bakal mengubah apa-apa," Rasio melanjutkan dengan tenang.

"Mungkin di mata kamu emang nggak bakal mengubah apa-apa. Tapi seenggaknya aku bebas, Yo. Aku nggak usah berurusan sama kamu atau Gara lagi."

"Oke kalo ini mau lo, gue nggak maksa," Rasio akhirnya menyudahi seluruh perlawanannya terkait keputusan sepihak Gendis. "Satu pesen gue, Dis, nggak ada yang berubah dari hidup lo, gue, apalagi Gara. Semuanya udah telat."

Tanpa diberitahu pun Gendis sudah mengerti. Tapi hidupnya memang bukan untuk memperbaiki apa yang terlanjur rusak. Hidupnya akan selalu terarah ke depan dan menganggap masa lalu hanya kerikil yang tinggal ditendangnya saja.

----

Ketika Gendis mengatakan ia ingin menyudahi seluruh bentuk keterikatan antara dirinya, Rasio, dan Gara apapun itu bentuknya, ia benar-benar serius dengan ucapannya. Segala bentuk keterikatan emosional juga ia lenyapkan sepenuhnya agar ia bisa hidup sebagai seorang Gendis Jingga yang mandiri tanpa dibayang-bayangi Niagara dan Rasio Andromeda.

Ada malam-malam yang Gendis lalui penuh isak hingga dadanya sesak. Ada pula malam-malam dimana ia terjaga sampai pagi dan membuatnya kehilangan energi untuk beraktivitas. Susah payah Gendis membuat dirinya untuk tetap berada pada perputaran waktu yang seharusnya, berusaha untuk tetap menanti hari esok meski ada rongga di dadanya.

Agak kontradiktif, memang. Kebebasan yang diinginkannya ternyata menciptakan kehilangan besar dalam waktu yang bersamaan. Tidak apa-apa, ini namanya melatih diri. Nanti lama-lama Gendis pasti akan terbiasa menjadi sosoknya yang dulu sebelum bertemu dengan Gara dan Rasio.

Pertemuannya dengan Rasio yang berakhir tak terlalu bagus itu sudah terjadi tiga bulan yang lalu. Setelah itu, Gendis menjalani hari-harinya sebagaimana seharusnya, yang berkisar antara kegiatannya menyelesaikan skripsi dan mengenal keluarga calon Papa barunya.

Mama juga sudah tau bahwa anaknya tidak berpacaran lagi dengan Rasio. Pada mulanya wanita itu sedih, tapi akhirnya paham kalau sebuah hubungan tidak selalu bermuara pada 'selamanya'. Hubungannya dengan suaminya dulu bahkan bisa kandas.

Memasuki bulan keempat dimana Gendis mulai terbiasa dengan hidup barunya, seseorang datang mengunjunginya dan mengajaknya untuk mengorek ingatan-ingatan yang ingin sekali ia lupakan.

"Udah lama nggak ada yang dateng studio, Dis," Bam berkata pelan, waktu itu sore-sore sehabis hujan. Gendis lupa bagaimana Bam tau dimana kosnya, tapi ia tak sempat memikirkan itu. Yang ia pikirkan adalah alasan apa yang mengirim Bam kesini.

"Gara udah ada kabar?" nama itu meluncur penuh harap dari bibir Gendis. Rupanya akan selalu ada nama Gara dalam otaknya tak peduli berapa lama ia mencoba melupakan.

Bam menggeleng. "Nggak ada. Gue kesini atas inisiatif sendiri. Lo mau kan ke studio?"

Gendis ragu. Hidupnya sudah jauh lebih baik sekarang, dan hal-hal tentang Frou juga sudah ia simpan rapat-rapat di kotak yang tak mau dibongkarnya lagi. Tapi melihat Bam memintanya sepenuh hati, Gendis tak kuasa menolak.

Lagipula, jika hal-hal tentang Frou, Gara, dan Rasio tidak membebaninya lagi, seharusnya kunjungan ke studio ini juga bukan hal yang memberatkan.

"Bentar, ya, Bam, aku ganti baju dulu," pamit Gendis yang langsung mendapat anggukan Bam.

Menit-menit ganti baju juga digunakan Gendis untuk meredakan kegugupannya. Ia akan datang lagi ke studio Frou setelah berbulan-bulan mencoba melupakannya. Entah akan seperti apa Gendis nantinya saat menginjakkan kaki disana. Mungkin menjadi lebih kuat atau justru semakin dibuat muram.

Sepanjang perjalanan ke studio, Bam tidak berbicara apa-apa. Gendis pun menahan rasa penasarannya atas alasan apa yang membuat Bam memintanya kesana. Setahunya, Bam bukan orang yang suka ikut campur kecuali terdesak, seperti saat Gara dan Rasio bertengkar hebat di studio. Entahlah, Gendis benar-benar tidak tau angin apa yang membawa Bam menjemputnya.

Gendis melompat turun dari motor Bam sembari melepas helm yang dikenakannya saat motor sudah terparkir. Pandangannya beredar ke area parkir yang dulu sangat familiar untuknya. Kendaraan Gara dulu juga sering terparkir disini, kadang-kadang malah sampai menginap sehingga ia perlu membayar uang parkir lebih untuk Pak Ato, satpam bangunan kos ini.

Di ujung huruf U bangunan kos inilah studio Frou berlokasi. Ada rasa rindu yang tiba-tiba memenuhi rongga dada Gendis begitu tatapannya hinggap pada pintu bercat cokelat itu. Pada pintu itu, sebuah hiasan kayu bertuliskan 'FROU' tergantung. Dulu hiasan kayu itu selalu jatuh karena pakunya terlalu pendek, membuat Gara misuh-misuh sebelum mencari paku yang lebih panjang.

"Kuncinya ada di Pak Ato, Dis," suara Bam membuyarkan lamunan Gendis.

Gendis mengangguk lalu mengatakan pada Bam bahwa ia akan ke pos satpam untuk mengambil kunci.

Sesuai praduga Gendis, Pak Ato masih menyambutnya dengan hangat. Seringnya Gendis datang kesini sambil membawa makanan untuk Pak Ato membuat pria itu tak segan untuk balas berbaik hati padanya.

Setelah berbincang beberapa menit, Pak Ato akhirnya memberikan sebentuk kunci dengan gantungan bertuliskan Frou. Beberapa bulan lalu ketika Frou dalam masa jayanya, Gara dengan semangat membuat stiker dan gantungan kunci sebagai merchandise. Ada-ada saja, katanya supaya orang-orang tidak meninggalkan radio ini.

Gendis menerima kunci studio dengan tangan sedikit bergetar, membuat Pak Ato tersenyum simpul, mungkin paham bahwa sebentuk kunci ini berarti besar bagi Gendis.

"Akhirnya ada juga yang ngambil kunci kesini, Neng," ucap Pak Ato.

"Cuma satu ya, Pak?" Gendis memberanikan diri untuk memastikan apakah hanya kuncinya yang dititipkan di pos satpam atau ada kunci Gara juga.

"Cuma satu, Neng. Kalau punya Mas Gara mah kayaknya dibawa sama dia."

Gendis mengangguk dan tersenyum. Sebelum ia mengucapkan terima kasih, Pak Ato berbicara lagi.

"Neng punten..."

"Iya, Pak?" respon Gendis langsung.

"Studio radionya nggak bakal diapa-apain, kan? Maksudnya teh barang-barangnya nggak bakal dikeluarin, kan?"

Gendis menggeleng. "Saya kesini cuma mau liat sama bersih-bersih, Pak. Emang kenapa?" ia balik bertanya.

Kalau Gendis tidak salah lihat, ia menangkap adanya keharuan dalam tatapan Pak Ato, yang kemudian terjawab ketika pria itu bersuara lagi.

"Kata Mas Gara, studionya jangan diapa-apain. Dia udah bayar sampai tahun depan."

Gendis terkejut. Untuk apa Gara bayar sampai tahun depan kalau radio ini sudah tidak aktif sejak tiga bulan lalu? Apa yang ingin dipertahankan Gara ketika ia sendiri pergi entah kemana dan tidak ada orang lain yang menjalankan radio ini?

Pelan, Gendis mengonfirmasi dugaannya. "Berarti Gara bakal kesini lagi, kan, Pak?"

Pak Ato kembali tersenyum. "Kurang tau, Neng. Dia nggak bilang apa-apa."

Hati Gendis mencelos. Harapannya yang beberapa detik lalu membumbung tinggi langsung terhempas kembali ke tanah. Sudah pasti Gara pergi tanpa petunjuk kapan ia akan kembali.

Akhirnya Gendis pamit meninggalkan pos satpam dan berjalan menuju studio. Dengan perasaan yang luar biasa campur aduk, Gendis membuka pintunya.

Nyaris seisi studio tertutup oleh kain. Sofa, meja, meja siaran, juga lemari rendah. Karpet yang biasanya terhampar di depan sofa sudah tergulung berdiri di sudut ruangan. Poster band kesayangan Gara sudah tidak menempel pada tembok, tapi lukisan dan apapun yang ditempel Gendis masih ada disana.

Gendis membuka dua jendela, membiarkan sirkulasi terjadi di ruangan yang sudah berbulan-bulan tertutup ini. Setelahnya ia mengambil sapu dan mulai membersihkan seluruh penjuru studio. Pokoknya ia harus menyibukkan diri sebelum otaknya dikuasai sinyal untuk menangis.

"Berdebu banget, ya, Dis," Bam ternyata sudah berdiri di pintu ketika Gendis sibuk menyapu.

Gendis mengangguk tanpa menjawab apa-apa.

"Mau gue bantuin bersih-bersih?"

"Nggak usah, aku aja."

"Gue minta lo kesini bukan buat bersih-bersih," Bam meluruskan.

"Terus buat apa?" Gendis berbalik terlalu cepat, menciptakan keheningan yang canggung.

Bam tak bersuara lagi, dan Gendis juga tak berminat untuk memperpanjang percakapan. Tangannya terus bergerak memegang gagang sapu, mengenyahkan debu dari bahwa meja, dari bawah sofa, dari sudut-sudut ruangan, pokoknya semua sudut tanpa tersisa.

"Gue mau beli minuman ke minimarket," Bam bersuara, tapi kali Gendis tidak berbalik badan. Ia tetap menyapu dengan posisi memunggungi Bam.

"Gue pergi bentar, ya," pamit Bam sebelum keluar dari studio.

Gendis tidak menjawab, atau lebih tepatnya tidak bisa menjawab karena tenggorokannya tercekat.

"Kalau nyapu tuh nyapu aja, Gendis, nggak usah pakai nangis," gumamnya seraya menepuk-nepuk pipinya karena kegiatan menyapu ini tiba-tiba membuatnya sedih akibat sebuah ingatan.

Cuma Gara satu-satunya teman Gendis yang tau bahwa semasa kecil ia senang berbicara pada gagang sapu dan berpura-pura sebagai penyiar radio. Gara juga sering menggunakan kebiasaan ini sebagai bahan untuk menjahilinya. Menyebalkan. Tapi Gendis tau hal itu juga yang membuat Gara mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Frou.

Lama-kelamaan sesuatu yang tertahan di pangkal tenggorokannya kian naik dan membentuk genangan di pelupuk matanya.

Gendis tetap menyapu, menghilangkan lapisan debu sampai tak bersisa. Tapi semakin hilang lapisan debu pada lantai, semakin tebal lapisan air matanya. Gendis akhirnya menghentikan gerakannya lalu menengadah dan menarik napas.

Akhirnya ia memperbolehkan airmatanya meluncur bebas di pipinya.

Studio Frou menghadirkan apa-apa yang pernah mengisi hari-harinya bersama Gara dulu. Tanpa harus dipaksa mengingat-ingat, dengan sukarela memori Gendis terbuka pada bagian ketika Frou masih menjadi satu-satunya perhatiannya dan Gara. Frou menjadi penyelamat seolah-olah seluruh masalah di dunia bisa lenyap hanya dengan mengudaranya radio itu.

Ingatan yang diciptakan Gara dan dipenjarakannya di studio Frou sama sekali tak mengizinkan Gendis untuk memiliki ingatan lain. Mengekang tapi membebaskan, memenjarakan tapi melindungi.

Gendis membekap mulutnya untuk menahan isakannya agar tak lebih kencang. Sosok Gara terasa hadir di ruangan ini, begitu juga suaranya, tawanya, langkah kakinya yang tegas, semuanya. Studio Frou terasa masih dihidupkan Gara tak peduli sudah berapa lama tak dihuni. Gara tetap disini, menjelma menjadi panel-panel transparan yang mengokohkan ruangan ini.

Saat Bam kembali dari minimarket dan menemukan Gendis duduk terisak di tengah-tengah ruangan, ia tak berani masuk dan memilih untuk menunggu di luar hingga Gendis berhenti menangis. Beberapa menit kemudian Gendis akhirnya berdiri lagi, mengusap sisa-sisa air matanya, dan menyapu lagi seolah tak terjadi apa-apa.

"Gue lama, ya, Dis? Sorry, ya, tadi ketemu temen jadi gue ngobrol dulu," Bam akhirnya masuk dan pura-pura baru datang.

"Lama banget, orang udah haus," balas Gendis pura-pura kesal.

"Hehehe. Nih lo ambil mau apa. Gue juga beli cemilan," kata Bam sambil membuka keresek yang dibawanya.

"Makasih ya, Bam," Gendis membuka salah satu minuman dan meneguknya.

Bam tersenyum dan mengangguk. "Ngeliat lo nyapu, gue sebagai penghuni kosan ini jadi ngerasa bersalah, Dis," ujarnya.

"Kenapa?"

"Gue nggak pernah bersihin studio pasca ditinggal Gara. Boro-boro bersihin studio, bersihin kamar sendiri aja gue males."

Tawa Gendis berderai, tau bahwa Bam sedang berusaha membangun percakapan dengannya. Sebelumnya ini, mereka tak terlalu akrab. Komunikasi-komunikasi yang terbentuk cuma berlandaskan keperluan saja, dan biasanya tidak jauh dari Frou dan Gara.

"Nggak apa-apa. Aku aja baru kesini setelah berbulan-bulan," balas Gendis.

"Gimana perasaan lo?" tanya Bam.

"Perasaan...?"

"Setelah liat studio."

"Oh..." Gendis baru paham. "Nggak tau. Biasa aja, tapi nggak biasa aja. Kangen, tapi nggak terlalu kangen."

"Sebenernya gue ngajak lo kesini karena disuruh Gara."

"Hah?" Gendis menoleh cepat. Informasi ini terlalu tiba-tiba untuknya. "Disuruh Gara? Kapan?" ulangnya tak percaya.

"Sebelum dia cabut," jawab Bam. "Udah lama, sih, tapi gue nggak bisa mengabaikan pesannya gitu aja. Gara bilang seenggaknya lo harus kesini sekali walaupun udah nggak ada aktivitas apa-apa. Dia juga udah bayar biaya sewa sampai tahun depan dan nggak ngizinin siapapun mindahin barang-barang disini."

Gendis menggigit bibir. Perasaannya berkecamuk. "Dia tuh maunya apa?" tanyanya pelan.

Bam mengedikkan bahu. "Nggak pernah ada orang yang ngerti kemauan Gara. Tapi kalo gue boleh nebak, mungkin Gara cuma nggak mau lo ngelupain Frou."

Bahu Gendis turun, sedih sekali mendengar kalimat Bam barusan. Baik Bam dan Gara mana ada yang tau bahwa Gendis hampir sembuh pasca melepaskan diri dari belenggu Frou, tapi dilukai lagi akibat kunjungannya kesini? Ya, Gendis belum benar-benar sembuh. Buktinya ia menangis tadi.

"Bam..." panggil Gendis tiba-tiba setelah keduanya diam cukup lama.

"Hah? Iya kenapa, Dis? Wah kaget gue," Bam betulan kaget karena Gendis memanggilnya saat ia sedang melamun.

Gendis tertawa pelan. "Cuma mau bilang..."

"Bilang apa?"

"Kalau Gara ngehubungin kamu, tolong bilangin kayaknya ini terakhir aku kesini."

Bam tertawa. Ngaco, nih, Gendis kayak mau kemana aja. "Ya elah, sok terakhir. Kan lo masih di Bandung, Dis, nggak kemana-mana."

"Beneran," tegas Gendis. "Aku udah nggak di Bandung, Bam."

"Terus? Oh lupa gue! Di Jakarta, ya? Jadi abis lulus lo langsung pulang ke Jakarta, Dis?"

"Paris."

"HAHAHA. Paris van Java? Itu, sih, tetep di Bandung, Dis," Bam benar-benar tertawa. "Kaget gue, kirain--"

"Paris beneran. Di Prancis."

Bam menganga. Tawanya lenyap tak bersisa. "Bercanda lo, ya? Paris tuh jauh, Dis!"

Gendis hanya menarik senyum kecilnya tanpa berucap apa-apa.

Bam masih heboh memastikan apakah Gendis bercanda atau tidak. Tidak apa-apa kalau Bam belum mau percaya. Gara juga mungkin tidak akan percaya seandainya ia diberitahu. Jangankan orang-orang ini, Gendis juga masih belum mau percaya.

"Bam, makasih ya waktu itu udah nganterin pulang," Gendis berucap tiba-tiba, meredam segala kehebohan Bam tentang Paris.

Bam terkekeh. "Sama-sama. Akhirnya gue punya kesempatan juga untuk jelasin gimana keadaan Gara yang nggak lo ketahui."

"Iya. Dan karena itu juga, aku udah nggak sama Rasio."

"Hah? Nggak salah denger nih gue?" tawa Bam pun meledak sejadi-jadinya, membuat bibir Gendis mengerucut sebal. "Good, good. Baru tau, ya, gimana busuknya setan itu di belakang lo?"

Gendis mendesis sebal. Omongan Bam menusuk sekali, membuatnya ikut merasa rugi karena pernah membela Rasio.

"Lo sekarang udah tau, kan, gimana hancurnya Gara waktu tau lo jadian sama Rasio? Gara nggak sekuat kelihatannya, Dis. Dia lemah banget kalo udah menyangkut lo," Bam melanjutkan sembari terkekeh.

"Iya, udah tau," sahut Gendis. "Rasio rapi banget, ya, nyembunyiin gimana jahatnya dia ke Gara."

"Emang," Bam mengangguk mantap. "Semoga Gara cepet balik, ya, biar lo berdua jadian. Anak-anak sini udah ngira yang enggak-enggak tentang kalian gara-gara keseringan di studio bareng. Kalo cuma temenan doang, nanggung, Dis."

"Ngaco. Terus apa kabar Alika kalo kayak gitu?"

"Pernah denger yang namanya pelarian?"

"Ngaco," sahut Gendis sekali lagi.

"Gara masih sama Alika, itu kabar terakhir yang gue tau," Bam menjawab ringan. "Tapi mana ada pelarian bisa jadi selamanya?"

Gendis mengedikkan bahu, sedikit menyesal mengapa ia menyebutkan nama Alika dalam situasi ini. Bukannya Gendis tak suka dengan Alika yang berisik itu, hanya saja pernah ada dirinya dan Gara yang menertawai Alika habis-habisan dan menjadikannya bahan bercandaan.

"Gue masih berharap dapet kabar baik dari lo dan Gara," imbuh Bam, senyumnya terlihat sangat bersimpati. "Tapi lo jangan ke Paris, Dis! Kapan bisa ketemu Gara lagi kalo lo malah pindah negara?"

Gendis membalasnya dengan senyuman masam. Ia sudah sudah cukup bahagia tanpa harus disangkutpautkan dengan Gara, apalagi Rasio. Huru-hara yang terjadi karena hubungannya dengan Gara dan Rasio membuat kebebasan menjadi barang mahal. Oleh karena itu, meski berkunjung studio Frou sempat membangunkan ingatannya, Gendis tetap bertekad untuk melupakan semuanya.

Lalu menyambut kehidupan baru bersama keluarga barunya yang akan terjadi hanya dalam hitungan bulan saja.

----

Empat bulan sejak kunjungan terakhirnya ke studio Frou, berarti kurang lebih delapan bulan sejak ia terakhir melihat Gara sekaligus memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rasio. Selama delapan bulan itu juga, Gendis membangun kembali atom-atom di tubuhnya menjadi sosok baru yang tidak terikat dengan masa lalu.

Dalam rentang waktu itu pula, Gendis berusaha berdamai dengan Mama, menerima Adam dan putrinya untuk menjadi anggota keluarganya, dan menyelesaikan skripsinya. Hal yang baru ia sadari adalah urusan-urusan tersebut terasa lebih mudah diselesaikan karena tak ada beban lain yang menyesaki otaknya, dalam hal ini tentu saja masalah Gara dan Rasio.

Ada waktu-waktu dimana Gendis merasakan rongga di dadanya menganga lagi. Tentu saja sulit menghilangkan hal-hal yang pernah familiar untuknya. Tapi Gendis tidak mau mencari kemana hilangnya rongga itu. Kepingan yang mengisi rongga itu biarlah tertinggal di delapan bulan lalu ketika Gendis memutuskan untuk menyudahi semua keterikatannya dengan Gara dan Rasio.

Perputaran waktu akhirnya sampai pada rencana pernikahan Mama dan Adam. Mereka memutuskan untuk melangsungkan pernikahan di Paris. Kata Mama itu, tidak ada orang-orang yang bisa diundang apabila pernikahan itu diadakan di Indonesia. Gendis mengerti soal ini, karena keluarga besar kedua orangtuanya telah mengucilkan mereka bertiga bertahun-tahun yang lalu akibat gagalnya rumah tangga. Teman dan kerabat? Ah, Mama tidak berani mengundang mereka kalau hanya menimbulkan pergunjingan.

Maka Gendis menyanggupi untuk mengikuti tempo cepat Mama untuk mengurus perpindahan dari Indonesia ke Prancis.

Termasuk lulus dari kuliahnya yang memakan waktu lima tahun.

"Bam! Recky! Tisan! Kalian kok....? Kenapa nggak bilang kalian mau kesini?" Gendis keluar dari ruang sidang skripsi dengan senyum lebar yang tidak bisa ia tahan.

Ketiga cowok itu menyambut Gendis dengan cengiran yang tak kalah lebarnya. Masing-masing dari mereka memegang buket bunga untuk Gendis, seolah-olah mempersilakan cewek itu untuk memilih pasangan hidup.

"Heboh banget, sih! Malu ah diliatin yang lain," Gendis menutup wajahnya dengan kedua tangan karena ia benar-benar malu menjadi pusat perhatian disana.

Koridor tempat ruang sidang berlokasi memang ramai karena banyak orang yang menyambut kelulusan disana. Tentu saja kehadiran Bam, Recky, dan Tisan yang membawa buket bunga berukuran jumbo menarik perhatian orang-orang disana.

"Ya elah, santai, Dis. Harusnya lo bangga keluar dari ruang sidang disambut cowok-cowok ganteng kayak kita," kata Tisan, luar biasa percaya dirinya.

"Selamat ya, Dis. Cie lulus," giliran Recky yang menggoda.

"Makasih banyak, ya. Kalian baik banget," Gendis tersenyum tulus. Sidang skripsinya yang berjalan tanpa hambatan saja sudah membuatnya senang, sekarang malah ditambah dengan kehadiran tiga cowok ini. Bukan main meletup-letup perasaan gembira Gendis saat ini.

Bam yang lebih banyak diam di saat kedua temannya heboh akhirnya mendapat perhatian Gendis.

"Kenapa, Bam?" tanyanya.

Bam menggeleng dan tersenyum meski tarikan bibirnya tak selebar biasanya. "Selamat udah lulus, ya, Dis. Di buket bunga gue ada surat, jangan sampe hilang suratnya. Dibacanya nanti aja di kosan."

Meski heran, Gendis mengangguk juga. Ia kemudian melanjutkan selebrasinya bersama ketiga orang yang sudah ia anggap teman itu, meski kalau boleh jujur ia agak heran apa yang membuat mereka berempat bisa akrab.

Gara tidak pernah benar-benar berniat membuat Gendis dan ketiga rekan bandnya akrab. Gara selalu menempatkan Gendis di sisi yang tak boleh dijamah orang lain. Mungkin ketiadaan Gara saat ini akhirnya mengaburkan batas-batas itu. Bam yang lebih dulu mengakrabkan diri kemudian diikuti oleh Recky dan Tisan.

Gendis senang, ia punya banyak teman. Walaupun bagian tersedihnya adalah ia akan meninggalkan Indonesia sebentar lagi.

Hingga saat berada di kamar kosnya, senyum Gendis belum lenyap karena masih teringat akan kebaikan tiga orang itu. Menyenangkan sekali, rasanya seperti dihujani hal-hal baik hari ini. Tadi sebelum berpisah, Bam juga sempat mengatakan bahwa Gendis bisa meminta bantuannya kapan saja.

Oh ya, omong-omong soal Bam, Gendis jadi ingat bahwa ada surat yang diselipkan cowok itu di buket bunga pemberiannya. Gendis buru-buru mencari surat itu. Ketemu! Surat itu beramplop merah muda. Lucu sekali, persis surat cinta.

Tapi setelah membaca surat itu, Gendis Jingga justru dibuat menangis karenanya.

Dari Niagara.

Ditulis lebih dari delapan bulan lalu.

Halo, Gendis Jingga Cantikirana,

Akhirnya gue bisa juga nulis nama lengkap lo, karena gue tau lo nggak pernah suka gara-gara nama itu dikasih sama bokap lo yang bajingan itu.

Ini gue, Niagara, akhirnya nulis surat buat lo, dan mudah-mudahan bisa lo baca di hari kelulusan lo, ya. Semoga Bam nggak lupa buat ngasihin.

Waktu lo baca surat ini, kayaknya gue lagi ada di Semarang, atau di Bukittinggi? Atau di Kendari? Entahlah, gue masih belum tau mau kemana. Yang jelas, gue nggak ada di Bandung. Gue lagi mencari rumah gue, Dis, entah dimana. Rumah itu bukan soal atap. Gue rela tidur di depan toko, asal gue bahagia dan dipertemukan dengan orang yang mau menerima keadaan gue yang seperti ini.

Gendis Jingga, gue juga berharap ketika lo baca surat ini, lo udah bukan Gendis yang selalu berbaik hati pada manusia nggak berguna yang lo temui di hidup, cukup gue aja manusia nggak berguna itu. Gue nggak mau lo ngabisin tenaga lo, psikis dan fisik, pada orang-orang kayak gue. Capek, Dis, lo udah ngerasain, kan?

Lebih baik lo cari kebahagiaan lo sendiri, hidup buat diri lo sendiri, dan berhenti mikir kalau kebahagiaan orang lain adalah tanggung jawab lo. Gendis Jingga berhak bahagia atas dirinya sendiri, janji, ya?

Oh ya, lo nggak perlu lagi patungan bayar sewa studio, hahaha. Semua udah gue bayar sampai tahun depan. Kenapa? Karena walaupun gue jauh, gue masih pengen punya keterikatan dengan Frou. Dengan bayar sewa studio sampe tahun depan, artinya gue masih menginvestasikan diri gue disana walaupun cuma dalam bentuk uang. Jadi ketika gue capek nyari rumah di luar, gue masih punya Frou untuk pulang.

Oh ya ada lagi, tolong doain gue untuk berhenti benci Rasio, ya, Dis? Gue capek. Gue pengen berdamai dengan dia dan diri gue sendiri. Gue pengen meredam kemarahan gue ke Rasio, tapi itu butuh waktu. Doain ketika gue balik ke Bandung nanti, gue menjadi Niagara anak yang baik.

Terakhir dan yang terpenting, gue mau minta maaf karena pernah nampar lo. Itu yang terakhir, gue janji. Gue hilang kendali waktu itu, dan gue masih heran kenapa setelah itu lo masih mau bicara baik-baik ke gue. Rasanya gue mau nyakitin diri gue sendiri waktu liat lo nahan perih. Maafin gue, Dis. Demi Tuhan, kalo sampe sekarang lo belum maafin gue, nanti pas gue balik, lo bisa ngelakuin apapun ke gue buat bales tamparan itu.

Maafin gue, Gendis.

Maafin gue.

Gue juga nitipin lo ke Bam, Recky, dan Tisan. Biar kalo lo ada apa-apa, mereka bisa bantuin lo. Mereka baik, gue aja yang salah langkah karena nggak pernah ngenalin lo baik-baik ke mereka dan sebaliknya. Pokoknya kalo ada apa-apa, langsung hubungi mereka, ya?

Terakhir, baik-baik sama Rasio.

Bentar, kayaknya ada yang kelupaan sebelum gue doain hubungan lo dan Rasio.

Gue sayang lo, Gendis. Dari dulu dan entah sampai kapan. Mau gimanapun hidup kita berakhir nantinya, gue akan tetap menyayangi lo.

Baik-baik sama Rasio, ya.

-Niagara-

----

Author's Note: satu chapter lagi deh kayaknya.

Akan ada happy ending untuk Gendis, Gara, dan mudah-mudahan Rasio. Tapi happy ending kan bisa bermacam-macam bentuknya. Happy ending karena bersatu, happy ending karena memilih jalan masing-masing, atau happy ending karena semuanya kembali sehat-sehat seperti sediakala.

Chapter terakhir kayaknya butuh waktu lama. Semua akan diakhiri disana. Gara, Gendis, dan Rasio akan berakhir disana.

Oh ya aku penasaran gimana perasaan kalian tiap baca Frou, aku butuh sudut pandang kalian untuk mengakhiri Frou. Boleh berbagi pendapatnya?

Selamat membaca. Terima kasih sudah membaca sampai bagian ini.

XOXO.



Continue Reading

You'll Also Like

503K 54.4K 22
Berkisah tentang seorang Gus yang dikejar secara ugal-ugalan oleh santrinya sendiri. Semua jalur ditempuh dan bahkan jika doa itu terlihat, sudah dip...
6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
802K 95.9K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
507K 38K 27
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...